Menjadi pendatang ternyata menyenangkan, terutama saat diminta menjelaskan asal usul.
Terhitung sudah tujuh bulan saya merantau di Siam, rasanya biasa saja, tak jauh beda seperti di Jogja. Saya tiba tepat di hari kelahiran Pancasila, 1 Juni 2021, tiga bulan sebelum varian delta menyerang Indonesia. Di Siam, saya kuliah, saya tidak tinggal di Krung Thep, tapi di sebuah daerah di timur laut Kerajaan Siam, namanya Isan.
Isan adalah daerah yang larang banyu dan larang pangan, tanahnya merah sehingga susah diolah. Di Isan tidak ada gunung, jadi sejauh mata memandang yang terlihat cuma sabana luas yang kini sedang merayakan pembangunan.
Penduduk Isan sebagian besar adalah kelompok etnik yang secara kultural agak sedikit berbeda dari Siam pada umumnya. Mereka mengidentifikasi dirinya dengan sebutan etnik Lao-Isan, dengan corak kebudayaan Lan Chang (Kerajaan Laos kuno). Jadi agak berbeda dengan iklim budaya di Krung Thep. Mayoritas penduduk Isan beragama Buddha aliran Theravada, mereka cukup toleran dan pengertian dengan pendatang yang punya kepercayaan lain seperti saya.
Bisa dibilang ini adalah kali pertama saya menjadi pendatang di suatu negara. Soal menjadi pendatang ini membuat saya sadar akan pentingnya identitas kebangsaan. Sebelum dapat kesempatan belajar di Siam, saya tidak terlalu tertarik dengan wacana tentang identitas kebangsaan, blas. Saya bahkan belum khatam membaca buku Komunitas Terbayang Imagined Communities dari Ben Anderson meski dulu sempat punya. Ketika di luar negeri, walau cuma di Siam, yang jaraknya cuma seper-lemparan batu dari Bantul, tanpa jembatan narasi identitas tentang komunitas terbayang yang namanya: Indonesia, agaknya saya cukup kesulitan menjelaskan asal usul saya. Tapi buat saya, itu jadi hal baru yang menantang.
Bisa dibilang ini adalah kali pertama saya menjadi pendatang di suatu negara. Soal menjadi pendatang ini membuat saya sadar akan pentingnya identitas kebangsaan.
Sebisa mungkin saat ditanya soal asal-usul, saya mengurangi menggunakan kata ‘Indonesia’ untuk menjawabnya. Saya lebih prefer mengaku sebagai orang ‘Jawa’ atau menjelaskan asal usul dengan cerita-cerita sejarah, seperti cerita tentang Candi Borobudur atau kisah kerajaan-kerajaan Nusantara. Mengaku sebagai orang Indonesia akan saya lakukan bila sudah mentok.
Mengaku Jawa
Kata ‘Jawa’ rupanya cukup membantu saya untuk menjelaskan asal-usul saya, karena kata ‘Jawa’ di Siam cukup familiar, kata itu melambangkan daerah yang amat jauh.
Ada pepatah Siam mengatakan “Jika ada seorang pria yang pergi ke laut, ke Jawa, atau ke Phang Nga, maka perempuan yang kekasihnya harus menunggu selama tiga tahun. Jika setelah tiga tahun, ia bersama pria lain, maka perempuan itu tidak bisa dipersalahkan”.
Saat saya mengaku sebagai orang ‘Jawa’, biasanya lawan bicara saya sudah mahfum bahwa saya berasal dari daerah yang sangat jauh.
Lalu setelah frekuensinya sama, pembicaraan akan berlanjut ke pembahasan soal sejarah agama-agama di Asia Tenggara. Di Isan ada sebuah temple (kuil) Buddha yang cukup terkenal dan menjadi jujukan wisata religi umat buddha dari berbagai penjuru dunia, nama kuil itu Wat Phra That Phanom. Lokasinya di provinsi Nakhon Phanom yang menjadi jantung dari kawasan Isan. Di kuil ini ada sebuah batu lingga dan relik buddha yang menurut kepercayaan orang-orang Isan dibawa ke Isan ketika daerah ini dikenal dengan sebutan Dwarawati sekitaran abad ke lima hingga tujuh masehi.
Cerita tersebut cukup memukau saya, karena masih terekam jelas dalam ingatan orang-orang di sini, tapi setelah saya dipukau dengan kisah tentang asal usul sejarah mereka, saya biasanya langsung diintrogasi soal Candi Borobudur.
Rupanya kisah tentang Candi Borobudur dan Kemaharajaan Jawa (Mataram Kuno) cukup melegenda di Siam. Mereka percaya bahwa kerajaan Mataram Kuno atau Jawa adalah sekutu Siam sejak era Kerajaan Sukhothai (1238-1347) yang menjadi cikal bakal Siam hari ini. Apalagi kisah tentang Borobudur, orang sini sangat tertarik dengan cerita tentang akulturasi agama Hindu dan Buddha di Jawa. Tapi sayangnya pengetahuan saya tentang sejarah dinasti Sanjaya dan Sailendra hanya mentok pada cerita tentang Rakai Pikatan menuju ke Empu Sindok saja yang harus memindahkan kerajaannya ke Watugaluh (Jawa Timur) akibat letusan Merapi.
Rupanya kisah tentang Candi Borobudur dan Kemaharajaan Jawa (Mataram Kuno) cukup melegenda di Siam. Mereka percaya bahwa kerajaan Mataram Kuno atau Jawa adalah sekutu Siam sejak era Kerajaan Sukhothai (1238-1347) yang menjadi cikal bakal Siam hari ini.
Hal yang membuat saya kaget lagi adalah kisah Panji, orang Siam ternyata kenal dengan kisah Panji, mereka mengenalnya dengan sebutan Inao. Kisah Inao di Siam merupakan adaptasi dari hikayat Panji Semirang yang menceritakan tentang kisah penyamaran seorang pangeran bernama Panji atau Inu Kertapati (menjadi Inao di Siam) yang mencari cintanya, dewi Sekartaji (menjadi Busaba).
Konon kisah ini merupakan kisah yang sangat disukai oleh Raja Rama 1 (Raja Thongduang) pendiri Dinasti Chakri di Siam beserta putranya, Raja Rama 2 (Raja Chim). Bahkan karena saking sukanya dengan kisah Panji mereka pun menggubahnya menjadi versi Siam dan mengkreasikannya menjadi tarian (Lakhon Nai) dan wayang (Nang Yai).
Bahkan di Khon Kaen, kota tempat saya tinggal mereka juga punya legenda tentang dewa penjaga kota yang akarnya juga masih berhubungan dengan kisah Panji, yaitu kisah tentang Keong Emas yang disebut Sang Thong, yang menceritakan tentang seorang pangeran yang menyamar menjadi keong emas yang menuntut pengakuan dari ayahnya yang merupakan seorang raja.
Orang Isan juga cukup kaget saat saya perlihatkan beberapa foto lawas dari Google yang menampilkan Raja Rama 5 atau Raja Chulalangkorn yang sedang melakukan lawatan ke Kraton Kasunanan Surakarta di Jawa tahun 1896. Juga cukup banyak foto di Google yang menampakan Raja Chulalangkorn yang sedang mengenakan busana Kerajaan Jawa lengkap dengan batiknya.
Dan, pastinya ada saja yang menyambar dengan cerita bahwa di Krung Thep juga ada sebuah perkampungan yang dulu dihuni oleh orang-orang Jawa. Mungkin memang benar hubungan Siam dan Jawa memang cukup erat dari masa ke masa. Yang jelas saat saya mengaku orang ‘Jawa’ di Isan, apalagi saat bicara dengan orang-orang sepuh, ibarat gayung bersambut, pasti akan disuruh presentasi soal sejarah nusantara.
Sukarno
Selain kata ‘Jawa’ hal yang membantu saya mendiskripsikan asal usul saya adalah kata ‘Sukarno’. Saya biasanya mengeluarkan jurus ini saat orang-orang di sini sudah mulai bercerita tentang Raja Bhumibol yang sangat dicintai rakyat Siam.
‘Anda tahu Sukarno?’
Demikian intro yang selalu saya pakai untuk melegitimasi asal-usul saya, sekaligus menegaskan bahwa di negara tempat saya berasal juga punya pemimpin yang konon dicintai rakyatnya.
Dari cerita tentang Sukarno, saya cukup percaya diri untuk menggambarkan perpolitikan di Indonesia era kontemporer, karena bahan saya banyak. Mulai dari kisah soal ASEAN sampai ke sejarah kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda.
Nah kalau sudah menginjak soal perpolitikan seperti ini, ya saya mulai bersemangat mengunakan kata ‘Indonesia’, obrolan soal identitas kebangsaannya dikesampingkan dulu, saatnya jadi pengamat politik lintas negara, padhakan Sarjana Ilmu Politik je.
‘Ndak usah muluk-muluk bicara Demokrasi, lha wong kita ini masih di Asia Tenggara og?’