DONASI

Motif Kawung: Dari Kasinungan Suwung Hingga Ka-Awang-Uwung

Unsur utama dari batik jenis motif kawung adalah empat bulatan lonjong bagai kelopak bunga mengapit empat bulatan kelopak yang lebih kecil di tengahnya. Di dalam...

SULUK | SUNDAY, 3 OCTOBER 2021 | 15:03 WIB

Unsur utama dari batik jenis motif kawung adalah empat bulatan lonjong bagai kelopak bunga mengapit empat bulatan kelopak yang lebih kecil di tengahnya. Di dalam bulatan lonjong ada dua bulatan isen-isen. Empat bulatan lonjong dan dua bulatan isen-isen tersebut memiliki makna yang sangat dalam.

Motif Batik Kawung sering dihubungkan dengan para penempuh jalan spiritual. Mereka yang memakainya diharapkan memahami tahap kasinungan (diberi / ketempatan) suwung (kekosongan diri) dari berbagai penyakit hati untuk kembali pada asal mula atau fitrah. Disebutkan dalam serat Wedhatama: “Sejatine kang mangkana wus kakenan nugrahaning hyang widhi. Bali alaming nga-SUWUNG, Tan karem karameyan. Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira. Mulane wong anom sami” (Artinya: Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugerah Tuhan. Kembali ke alam kekosongan, tidak mabuk keduniawian yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke fitrah. Demikianlah yang terjadi wahai anak muda.

Motif Batik Kawung sering dihubungkan dengan para penempuh jalan spiritual. Mereka yang memakainya diharapkan memahami tahap kasinungan (diberi / ketempatan) suwung (kekosongan diri) dari berbagai penyakit hati untuk kembali pada asal mula atau fitrah.

Dalam dunia pewayangan tahap kasinungan suwung ini disimbolkan dalam busana para panakawan. Arti dari Pana adalah pandai dan Kawan artinya sahabat atau pengiring. Mereka sesungguhnya para ulama yang memiliki kepandaian ilmu namun mampu mengendalikan dari hawa nafsu. Ikhlas menjalani hidup sebagai Abdullah menemani para ksatria dengan amar makruf nahi munkar.

Panakawan tediri empat tokoh, yakni Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Nama-nama mereka memunculkan frasa “fatruk ma bagha nala samirana” yang memiliki makna tinggalkanlah yang durjana atau buruk maka engkau akan mendapatkan yang baik. Demikian ungkapan amar makruf nahi munkar bagi mereka yang telah kasinungan suwung.

Petruk berasal dari kata fatruk yang memiliki arti tinggalkanlah. Dalam khazanah spiritual frasa fatruk adalah berhubungan dengan kalimat fatruk kulla maa siwallaahi. Kalimat itu memiliki arti tinggalkanlah semua yang selain Allah SWT.

Batik Motif Kawung

Nama Bagong berasal dari frasa bagha yang berarti ketercelaan. Makna ini dilambangkan pada sosok Bagong dalam pewayangan digambarkan dengan ciri-ciri fisik, tubuhnya bulat, memiliki mata yang lebar dan bibirnya tebal. Secara filosofi tokoh Bagong mengingatkan mereka yang ada dalam tahapan kasinungan suwung pada perbuatan batil yang melekat pada dirinya sehingga bisa meninggalkannya.

Nama lengkap Gareng adalah Nalagareng, terdiri dari kata nala dan qorin yang memiliki arti memperoleh banyak teman. Maknanya Nala Gareng dalam tahapan kasuwungan adalah perintah untuk menjaga dan menumbuhkan rasa persaudaraan. Ciri fisik selanjutnya, Gareng memiliki tangan yang ceko atau melengkung memiliki makna untuk tidak mengambil hak atau milik orang lain. Kaki pincang Gareng, sebagai laku tanda untuk senantiasa memiliki sikap waspada dan ingat kepada Allah SWT.

Nama Semar berasal dari kata samir yang berati teman yang dekat. Tradisi jawa yang adiluhung bahwa sosok Semar sama dengan istilah ismar yang berarti sang pengokoh atau penegak dan pondasi. Istilah Sa Ma Ra atau asmara berarti juga sang pecinta atau si pembawa rahmat. Ia adalah seutama-utamanya Panakawan, sosok yang arif dan bijaksana yang mengajarkan pentingnya untuk membuka cakrawala jiwa. Sehingga proses dari tokoh pewayangan Punakawan yakni kembali kepada fitrah yakni manusia suci.

Hingga selanjutnya makna kawung adalah Ka-Awang-uwung, yaitu mengangkasa atau melangit dalam menempuh jalan spiritual. Makna Ka-Awang-uwung adalah mencapai tahapan makrifatullah. Tahapan itu dilandasai dengan kesadaran dua hubungan yang dijalani manusia, yaitu habluminallah dan habluminannas.

Dalam Suluk Suksma Lelana, pencapaian makrifatullah, tertuang dalam empat tahapan, yaitu: Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Tahapan Syariat, suatu upaya untuk mempelajari hukum-hukum agama dengan baik untuk diamalkan dalam menjalani habluminallah maupun habluminanas. Tahapan tarekat, yaitu dalam menjalankan syariat agama tidak hanya dengan jasmaninya tetapi dengan olah rohani yang senantiasa memohon petunjuk Allah. Tahapan Hakikat, seseorang memahami hakikat ajaran agama dengan baik sehingga lebih mantap dalam menjalankan ajaran agama. Dan puncaknya tahap makrifat, adalah pengenalan sifat-sifat Allah secara baik sehingga ia semakin ikhlas hidup hanya untuk Allah semata.

Makna Ka-Awang-uwung diraih dengan empat tahapan secara menyeluruh. Disebutkan dalam Suluk: “Punapa yen wus kakekat, estu lajeng sarengatnya kawuri, yen saking pamanggih ulun, tan wonten kang tinilar, jer muktamat ing hadis ugi kasebut, kak tanpa sarengat batal, sarak tanpa kak tan dadi“. Artinya: Apakah jika seseorang sudah sampai ke tingkatan hakikat, dia boleh meninggalkan syariat? Menurut pendapatku dan pendapat Hadis tak boleh ada ajaran syariat yang diabaikan, karena kebenaran atau haq tanpa syariat tak jadi dan syariat tanpa haq batal juga.

Empat bulatan lonjong bermakna empat tahapan jalan spiritual, yaitu syariat, tarekat, hakekat, dan makrifat. Disebutkan dalam Suluk: “Paran Gusti yen kapisah, temah mangke kakalihira sisip, kang lempeng taksih ing kawruh, sakawanira tunggal, ngelmuning Hyang sarengat myang tarekatu, kakekat miwah makripat, punika kamil apdoli”. Artinya: Perjalalanan menuju Tuhan tak boleh hanya dengan pendekatan yang tak utuh, mereka harus melakukan empat hal itu sebagai satu kesatuan, yaitu : syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat, inilah suatu hal yang sempurna.

Empat bulatan lonjong bisa juga berarti empat nafsu manusia. Dalam Suluk Saloka Jiwa disebutkan empat nafsu manusia, yaitu: Aluamah (dalam ejaan Arab lawwmah) yang memancarkan warna hitam; Amarah (ammarah) memancarkan warna merah; Supiah (shufiyyah) berwarna kuning; dan Mutmainah (muthma’inah) berwarna putih. Sedang dua motif isen adalah konsep hidup berpasangan dalam hubungan habluminallah dan habluminannas. Kedua simbol itu menyatu dalam motif Kawung.

Untuk itulah guratan motif kawung itu ada pada puncak artefak lingga dan yoni yang menjadi simbol kesatuan antara rakyat dan pemimpinnya (manunggaling kawula-gusti). Jiwa Kawung, Ka – Awang-uwung, menjadi sumber pencerahan dalam hubungan pemimpin dan rakyat untuk golog gilig (berkerja keras saling mendukung) mengendalikan nafsu dan memakmurkan negeri.

Dalam konsep konsep tasawuf, empatan bulatan lonjong dan isen itu dibaca menyatu sebagai empat lam alif tauhid. Lam alif yang pertama menyatakan Laa Ilaaha illa Allaah (Tiada Tuhan selain Allah). Lam alif yang kedua menyatakan Laa Ma’buuda illa Allaah (Tiada Yang Disembah kecuali Allah). Lam alif yang ketiga menyatakan Laa Mahbuuba illaa Allaah (tiada Yang Dicinta kecuali Allah). Dan lam alif yang keempat menyatakan Laa Maujuuda illaa Allaah (Tiada Yang Ada kecuali Allah). Itu semua menjadi dasar, penempuh jalan ruhani itu menyakini Ketuhanan Yang Maha Esa.

Keyakinan akan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah puncak spritualitas manusia yang telah Ka-Awang-uwung sejak dulu. Untuk itulah guratan motif kawung itu ada pada puncak artefak lingga dan yoni yang menjadi simbol kesatuan antara rakyat dan pemimpinnya (manunggaling kawula-gusti). Jiwa Kawung, Ka – Awang-uwung, menjadi sumber pencerahan dalam hubungan pemimpin dan rakyat untuk golog gilig (berkerja keras saling mendukung) mengendalikan nafsu dan memakmurkan negeri.

2143

Ki. H Ashad Kusuma Djaya

Aktivis Gerakan Literasi dan Penggerak Dakwah Kultural Muhammadiyah

Comments are closed.