DONASI

Mulawarman

Batu mengekalkan namamu. Mulawarman, raja yang mulia, raja penuh kemenangan, yang telah memberi sedekah 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana di tanah lapang suci ini,...

LEMBAR | SUNDAY, 26 MAY 2019 | 14:25 WIB

Batu mengekalkan namamu.

Mulawarman, raja yang mulia, raja penuh kemenangan, yang telah memberi sedekah 20.000 ekor lembu kepada para Brahmana di tanah lapang suci ini, Wajarakeswara.

Dia adalah sinar rembulan, begitu lembut, begitu indah, pada masanya. Semua orang ingin bicara dengannya, mendengar titahnya, menghabiskan seluruh hari bersamanya.

Dia adalah sinar rembulan, begitu lembut, begitu indah, pada masanya.

Negerinya, Kutai Lama –konon kerajaan Hindu tertua di Indonesia, antara abad ke-IV dan pertengahan abad V– dialiri sungai besar, Mahakam. Tempat buaya-buaya raksasa tumbuh dan pesut-pesut sembunyi, dan, rakyatnya selalu bisa bertahan hidup. Di sini mereka bisa memilih karibnya sendiri, monyet, biyawak, anak-anak keong, atau sunyi yang purba dan panjang.

Mulawarman, cucu dari Kudungga. Ia habiskan banyak tahun di sana. Di serap akar basah. Lesap antara kabut cahaya. Di atasnya, langit gosong, asing, dan kawanan angsa terbang.

Dan ketika saat terakhir hidupnya tiba, waktu rambutnya memutih, dadanya kendor, tampak kerut-merut di bibir dan di sudut-sudut matanya, jidat dan rahangnya, dan lehernya kisut. Di saat itulah, ia melihat masa silamnya. Bermacam-macam hal terbayang di benaknya. Kepedihan besar dalam hidupnya. Ketidakkekalannya. Juga seberkas cahaya yang hilang akhirnya.

Itulah yang dibayangkan Mulawarman, putra Aswawarman, raja berhati basah, waktu nyaris tilas dan diiris duka tak habis-habis. Dan ketika ia telah dimakamkan, melintas ambang pintu keramat dalam perjalanan.

Di sana, di sekitar Muara Kaman, saya tak melihat gundukan bekas kuburnya atau reruntuhan istana raja.

Di sana, di sekitar Muara Kaman, saya tak melihat gundukan bekas kuburnya atau reruntuhan istana raja.

Tapi Gunung Kombeng, tempat yang disebut angker penduduk sekitar, seolah melindunginya dari musnah. Di sana ditemukan arca Mahakala, Ganesa, Karttikeya, fragmen kepala Brahma, Agastya, Nandi. Sayangnya, batang pohon yang dulu pernah didekap sang raja sudah lama ambruk. Lapuk. Tapi penduduk percaya pohon itu kekal abadi. Masih tegak. Tak pernah rubuh. Menjadi kerajaan para jin dan gergasi. Mungkin benar apa yang dikatakan oleh Bosch, seorang pencatat tarikh, mengutip kesaksian Muller dan Witkamp, “Pernah ada candi megah di Muara Kaman.”

Jika sudah begitu, barangkali tak penting mengingat nama Brahmin tua yang menggarit tujuh lembing batu dalam bahasa Sanskrit itu. Apakah Mulawarman keturunan dinasti matahari, Angsuman, atau dinasti bulan. Kita tak punya tempat untuk menyangsikan semuanya. Tapi ada yang bisa dicatat dari sana: Yupa itu dibikin sebagai peringatan akan kearifan sang raja.

Abu jadi abu, debu jadi debu, dan, tujuh tiang batu, mengekalkan namamu…

Raja yang ulung, yang agung, Mulawarman, titisan dewata, dan, yang sedekahnya (berupa air, madu, susu, segunung minyak kental, emas yang melimpah, dan biji-bijian, dan lembu-lembu jantan) telah dicatat di tanah lapang suci ini.[]

583

Agus Rois

Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.

Comments are closed.