Ulasan kali ini akan berbeda dengan yang sebelumnya. Biasanya, saya mengulas buku yang telah diterbitkan. Kali ini bentuknya adalah pracetak, kisah kehidupan Connie Constantia, seorang penyanyi yang mungkin telah mengisi masa muda om dan tante saya.
Agak aneh memang mengulas sebuah buku dengan 249 halaman, yang kemungkinan besar isinya akan berubah setelah adanya ulasan ini.
Sehari sebelum menulis ini, di tempat seseorang yang minggu lalu memberi saya buku ini, saya ditunjukkan buku yang kira-kira bisa saya gambarkan seperti ini: buku tentang kisah yang sama, ditulis oleh penulis yang lain, lebih tipis, dan saya belum membacanya. Semoga tidak salah jika saya menyebut buku dengan sampul depan seorang perempuan yang sedang memakai kerudung dengan gaun bermotif kulit macan ini sebagai edisi revisi dengan penulis yang berbeda.
Oleh penulis yang kedua ini, saya diminta untuk memberi masukan. Sudah saya corat-coret sampai halaman 59. Kata-perkata, begitulah biasanya saya membaca buku yang akan saya ulas. Namun kemudian, sang penulis meminta saya membaca cepat. Sepertinya, ia ingin buku ini segera diterbitkan, mungkin seperti yang diinginkan oleh orang yang ditulisnya. Secara pribadi, saya tidak setuju dengan proses yang demikian. Tapi, saya bukanlah bagian dari proses penerbitan buku ini. Ia adalah kawan. Ia ingin sebuah masukan. Dan saya menyanyikannya dalam bentuk sebuah ulasan:
Menulis tentang kehidupan seseorang dengan menggunakan kata ganti “saya”, bagi saya hampir mirip dengan seorang aktor yang memerankan sebuah karakter.
Keberhasilan seorang aktor kemudian bisa diukur dari semakin sedikitnya pertanyaan para penikmat sebuah pertunjukan yang sedang berlangsung. Hanyut dalam imajinasi yang disajikan, mungkin itulah puncak dari harapan sang penikmat, lepas dari indera apa saja yang telah digunakan.
Di dalam buku ini, itu terjadi di paragraf-paragraf tertentu saja, di beberapa bagian masa kecil Connie ketika di Manado, misalnya. Jika pertemuan imajinasi pembaca dan penulis hanya terjadi dalam waktu yang singkat dan tidak terjadi secara terus menerus, maka itu akan menjadi godaan yang cukup besar bagi pembaca untuk mengajukan kejanggalan, keraguan, yang kemudian berakhir pada bentuk pertanyaan. Cukuplah kiranya tanda tanya itu ada pada bagian judul, bukan dalam isi pada lembaran-lembaran selanjutnya.
Hal lain yang akan membantu membangun imajinasi para pembaca, menurut saya adalah jika penulis mampu menyampaikan gaya bahasa yang tumbuh dalam diri Connie sebagai seorang artis. Ini bukan berarti artis tidak mungkin menjalani lembaran hidup yang lain, tapi saya tidak begitu yakin bahwa dalam kehidupan Connie telah mengendap jargon-jargon seorang aktivis dan budayawan, meski hal tersebut bisa saja lalu-lalang di kehidupannya.
Hal lainnya adalah, begitu banyaknya kalimat klise yang merasuk dalam buku yang pernah saya sarankan berjudul “Nyayian Iman” ini. Klise tentu tak bisa memberi kita nada baru. Jika tak ada nada baru, lantas apa yang bisa kita nikmati? Terkait hal itu, lepas dari baik atau buruknya sampul yang sekarang, potret diri Connie dalam berpakaian bukanlah hal yang klise. Ia berkerudung hitam dengan dada yang kelihatan. Nilai ketakklisean itulah yang semestinya ditonjolkan, lepas dari setuju atau tidaknya kita dalam cara orang lain berpakaian.
Meski sampul depan menimbulkan kesan yang berbeda dibanding dengan perempuan berkerudung pada umumnya, namun sepertinya akan lebih menarik jika ada gambaran sosok penyanyi di situ. Namun sepertinya usulan saya ini tidak akan digunakan. Tentu tak mengapa.
Sekarang, mari kita lihat daftar isi sebelum kembali lagi ke isi tulisannya. Saya tak menemukan adanya nilai lebih dari cara penyusunan seperti itu, yang terkesan seperti kumpulan cerita pendek. Memang di kisah kehidupan yang berirama spiritual ini, terdapat penggalan-penggalan cerita, namun saya rasa pembaca tidak bisa begitu saja membuka kisah yang diinginkan tanpa menyelesaikan lembaran sebelumnya, dan sebelumnya. Alur yang disusun oleh penulis dalam cerita ini sudah sangat baik, dari masa kecil Connie yang hanya bisa menggenggam rejeki ala kadarnya sampai ia bisa menggenggam mic di Jakarta, sampai lorong hitam putih spiritual yang kemudian dilaluinya. Saya terpikir, mengapa di daftar isi tidak dibuat dua hal saja, “Sebelum” dan “Sesudah” misalnya, dengan tetap mempertahankan kronologi, toh pembaca yang ingin tenggelam dalam buku ini tetap harus mengikuti ceritanya dari awal, ‘kan?
Kembali ke isi buku. Jika memang jalan spiritual menjadi ruh dalam buku, yang katanya akan dijual murah ini, maka sangat disayangkan jika ruh tersebut tidak dikemas secara elok, sehingga pembaca kemungkinan besar akan menyaksikan nyayian iman yang sangat panjang dan diulang-ulang.
Bisakah Anda bayangkan duduk di kursi panjang gereja atau duduk bersila di dalam masjid sambil mendengarkan khutbah yang kata-katanya penuh kutipan ayat dan Anda tak tahu kapan itu berakhir? Mungkin beberapa orang bisa menikmati hal tersebut, namun sungguh disayangkan jika buku yang berusaha menyingkapkan kebenaran ini hanya bisa dinikmati sebagian orang saja atau bahkan golongan tertentu saja, ‘kan?
Seperti yang saya katakan di awal, saya hanya membaca buku ini sampai halaman 59 saja. Ketika diminta untuk membaca cepat, saya benar-benar cepat menuju halaman selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya—tanpa membaca— dan menemukan sebuah nyanyian tanpa jeda, persis seperti yang saya gambarkan di paragraf sebelum ini.
Sampai halaman akhir buku ini, izinkan saya jujur—hal yang sepertinya bernilai dalam hidup Connie—bahwa saya belum bisa menikmati karya ini secara lahir. Tapi secara batin, saya sepertinya agak bisa merasakan. Dan hal yang terakhir ini sepertinya tak akan terjadi tanpa bantuan dari penulis yang telah berusaha menyisipkan “ruh” dalam tulisannya, lepas dari kekurangan yang ada. Selamat, Connie dan Penulisnya. Maaf, baru bisa nyawer begini.
10 Agustus 2018