Bocah itu bernama orah – kulitnya agak legam akibat sering terpanggang matahari. Matahari telah tinggi waktu ia tiba dengan seekor kambing peyot di sebuah pasar hewan yang ramai. Seperti biasa – sudah enam bulan ini sejak ayahnya mati diseruduk babi, ia selalu ke pasar, jika tak ada hasil buruan yang bisa dijual, ia akan mengelap lapak-lapak dan memperoleh sedikit uang tapi kadang hanya sebungkus nasi – ia akan langsung menuju los daging langganan, di bagian ujung paling kiri, milik Sangkaeng.
“Apa yang kau bawa hari ini, bocah pandir?” tanya Sangkaeng – lelaki berwajah garang, dengan jenggot panjang, tulang pipi menonjol, dan bekas luka parut dekat alis. Sambil mencacah-cacah kaki seekor kucing.
“Kau bisa langsung mengenalinya, kambing,” seru Orah.
“Tak tahukah kau, di sini orang tak suka kambing. Mulutnya terkutuk, busuk,” kata Sangkaeng.
“Tapi, kambing ini satu-satunya kepunyaan ibuku, tidakkah kau lihat dagingnya yang empuk?” ujar Orah merendah sambil mengikat kambingnya pada sebuah tiang. Ibunya sudah kelewat payah dan sakit-sakitan. Mungkin usianya sekarang lima puluhan.
“Kamu memang anak goblok! Pantas saja seluruh pedagang memanggilmu: Bodoh! Di seluruh Tomohon, kau bisa lihat sendiri. Orang-orang yang kerap ke gereja, dan mengira mereka memiliki Tuhan dan mendapat pahala dari kebaktian, lebih suka daging babi dan tikus, kampret dan ular, monyet dan kucing, methenolone enanthate bodybuilding dan asu, daripada kambing,” kata Sangkaeng sambil memberikan Orah segelas kopi yang masih mengepul.
“Kamu paham maksudku? Aku tak akan membeli kambing loyomu, bawa pulang saja. Jika mau, aku akan menebus anjing kampungmu itu,” kata Sangkaeng.
Orah diam sejenak. Setelah menyeruput kopi, ia menyahut: “Bagaimana mungkin aku menjual anjing yang terus mengikutiku, kadang di belakang kadang di depan, yang selalu mematuhi perintah, tak pernah jauh, dan tinggalan satu-satunya dari ayahku. Tidak. Itu gila! Kami tumbuh bersama, biar mati bersama! Aku tak mau menyakiti anjingku!” Orah menggelengkan kepala.
Sementara anjingnya yang mengikuti sejak rumah, mengibas-ngibaskan ekor, terus menggoyang-goyangkan badan, antara sela kakinya. Anjing itu tak tahu jika seorang, Sangkaeng, “Si Jagal dari Tomohon,” ingin menjirat lehernya saat itu.
Dilihatnya anjingnya – anjing yang memperoleh makanan dari tangannya, dan tak pernah menolak titahnya, meski sering ia tak mendapatkan sesuatu untuk diberikan. Dengan lembut Orah usap-usap kepalanya. Ia heran, dengan segala kekurangan dalam memenuhi haknya, anjing itu masih saja mengikutinya. Kesetiaannya tak bergantung pada pemberian.
“Bagaimana, kau bersikeras tak menjual asumu?” Suara Sangkaeng memecah kebisuan sesaat antara mereka.
Sekali lagi anak itu menggelengkan kepala. “Masih dan akan begitu selamanya,” katanya. “Aku tak sudi mengirim anjingku ke dalam sangkar besi milikmu, untuk kemudian dikarungi, mulut dan kakinya diikat tali, lalu dipukuli sampai mati, dan dibakar. Dan ditusuk besi panas. Tidak. Itu amat mengerikan. Biadab! Keji!”
“Ayolah, kukasih lima puluh ribu!” Kata Sangkaeng.
“Aku tak butuh uangmu!” jawab Orah. “Kami sudah saling memahami. Ia melihat mataku dan segera tahu keinginanku, begitu sebaliknya. Ia sama sekali tak membuang waktu dan tenagaku. Ia tak seperti pedagang, yang sering diliputi ketamakan. Tidak. Pikiran semacam itu tak terlintas di benak anjing. Kepalanya mutlak berisi kesetiaan, ia tak membebani apa pun kepada tuannya kecuali sepotong tulang atau belaian lembut.”
Sambil tersenyum, Sangkaeng berkata: “Begitulah keadaan anjing. Punya perasaan yang dalam dan misterius. Cintanya tak putus-putus. Jika diberi bersyukur, jika tidak bersabar. Semestinya keadaan manusia lebih baik dari anjing, jika Tuhan menganugerahi sesuatu, bersyukur, dan jika menahannya, bersabar. Anjing makan dari tangan tuannya, lalu menaatinya. Sementara kita yang makan dari berian Tuhan, terus berbuat rusak dan hina. Tidak kau lihat anjing lebih baik dari kita? Manusia bisa lebih anjing daripada anjing? Apa kau masih menganggapku kejam setelah ini?”
“Seluruh orang di pasar – tempat di mana orang berkumpul dan menumpuk uang – tahu, kau orang yang lurus jika menginginkannya,” kata Orah.
“Orah,” seru lelaki tua itu.
“Ya,” sahut si bocah. Waktu itu tangannya masih menggengam gelas dan ia sedang melamunkan tahun-tahun lampau. Ia teringat akan kenakalannya. Kemudian ia memandang masa depannya yang suram. Suram seperti ibunya yang sakit-sakitan dan menunggu ajal, seperti nasib hewan yang dijejal-jejal. Tak bergerak, cuma diam.
“Ketika sepantaranmu aku sudah berjalan jauh ditemani seekor anjing. Kami menyusur lembah, menembus semak dan padang-padang terbuka, berbelok di sudut jalan panjang yang sisi-sisinya diapit tebing. Kami tempuh ribuan mil kampung, jalur-jalur pengangkut kayu, jalan setapak penuh ilalang yang mengarah ke tambang-tambang yang terbengkalai. Dan seringkali kami harus berjuang mencari jalan pulang kepada orang-orang serta rumah yang dicintai. Itu membuatku bahagia,” kata Sangkaeng.
“Kenapa sekarang kau jadi jagal anjing?”
Asu juga berarti nafsu, dan orang yang diikuti asu itu nafsunya telah tinggal di luar atau ikut berjalan di sisinya. Sementara anjing-anjing kita, aku menyebutnya nafsu yang diburu-buru, masih lekat dalam diri dan terus membuntuti…
Sangkaeng tak menyahut. Sebentar ia menatap mata bocah yang penuh selidik. Lelaki itu kemudian ke luar dari los, melewati anjing-anjing yang telah di kelantang dan gosong, dengan kepala terjuntai ke bawah, Orah mengikuti di belakang. Disusul anjingnya.
“Di mataku, dunia telah berubah, aku bukan siapa-siapa. Orang kalah dan jatuh,” kata lelaki tua itu. “Dulu, waktu pecah zaman pemberontakan, kutinggalkan rumah, aku lari bersama anjing kesayanganku. Saat itu situasi amat sulit. Tak pernah ada cukup makanan, dan tubuhku jadi tulang berbungkus kulit. Kami bertahan hidup dengan mengais sisa makanan dan bangkai hewan. Yang parah waktu aku begitu kelaparan, ketika tak ada lagi bonggol pisang dan kentang busuk yang bisa dimakan, aku bunuh anjingku sendiri dengan membungkam hidungnya serta merebusnya hidup-hidup.”
“Tatoki! Kolombeng! Kau makan erwe, sahabat terbaikmu sendiri?”
“Ya. Aku makan daging, kulit, dan sisa-sisa yang menempel pada tulangnya. Aku tak punya pilihan. Aku tak mau mati kelaparan.”
“Mungkin saja aku berdosa. Kejam. Tapi makan anjing itu sudah ada sejak lama. Lagipula anjing itu banyak, rasanya lezat, gampang dimasak, bisa mengusir nasib sial dan meningkatkan syahwat, bikin kuat.”
“Apapun itu. Tetap kau lebih tolol daripada aku. Pukimak!” kata Orah dengan suara ditinggikan. “Kamu tahu kan kalau anjing itu sahabat terbaik manusia?”
“Ya. Yudistira, kamu tahu, pria jujur dalam kisah Mahabharata itu ditemani seekor anjing kudisan untuk sampai Tuhan,” jawab Sangkaeng.
“Mengapa anjing yang dianggap kotor bisa sampai Tuhan?”
Sangkaeng tersenyum mendengar ucapan Orah. “Asu juga berarti nafsu, dan orang yang diikuti asu itu nafsunya telah tinggal di luar atau ikut berjalan di sisinya. Sementara anjing-anjing kita, aku menyebutnya nafsu yang diburu-buru, masih lekat dalam diri dan terus membuntuti… Tak ada anjing yang menumpuk-numpuk materi, tak ada anjing yang ingin menguasai bumi, tapi nafsu ini akan terus bersembunyi. Abadi. Jangan dituruti!” Kata Sangkaeng menutup obrolan.
Sejenak itu terdengar seperti jawaban.
“Dan bagaimana cara mengatasinya?” kata Orah. Tapi kali ini suaranya membentur tembok-tembok tua.
Hening. Ia pun membalikkan tubuh, dan kembali pulang. Tapi sebelum melangkahkan kaki, ia teringat kata itu kembali.
“Asu juga berarti nafsu, seperti angin, yang dingin, bisa membawa jauh kobaran api dalam hatimu…”[]
Sumber Gambar: Detik.com