DONASI

Raden Fatah: Murid sekaligus Menantu Sunan Ampel

Artikel ini menjelaskan kisah seorang bangsawan keturunan Raja Majapahit yang bernama Raden Fatah, dan kemunculan kerajaan barunya, kesultanan Demak Bintara. Fatah adalah keturunan Raja Brawijaya...

LEMBAR | SUNDAY, 8 SEPTEMBER 2019 | 23:18 WIB

Artikel ini menjelaskan kisah seorang bangsawan keturunan Raja Majapahit yang bernama Raden Fatah, dan kemunculan kerajaan barunya, kesultanan Demak Bintara. Fatah adalah keturunan Raja Brawijaya yang berhasil membangun dinasti baru di pesisir utara Pulau Jawa bagian tengah.

Hubungan kekerabatan Fatah dengan istana Majapahit di masa lalu tidak diragukan. Atas dasar ini, kerajaan baru yang dibangun Fatah adalah penerus Dinasti Wijaya di Majapahit. Meskipun, kerajaan Demak lahir dengan tatanan sosial dan politik yang baru.

Baca Juga: Istana Prawoto dalam Serat Centhini

Asal-usul dan Nasab Raden Fatah

Menurut berita yang tertulis dalam Babad Pajang, Raja Majapahit memiliki seorang istri cantik rupawan dari negeri di utara, yaitu China. Istri raja Majapahit ini kemudian dikenal orang sebagai putri China. Dia anak seorang kaisar di China, kemudian diboyong ke Majapahit untuk dijadikan permaisuri (garwa padmi) sang raja.

Babad Pajang menerangkan sebagai berikut:

…Patut saking putri China,

puniku pan garwa padmi,

putrane prabu ing China,

prameswari Majapahit…” (Babad Pajang).

Keterangan di atas juga terdapat dalam Babad Demak Pesisiran. Salah seorang istri raja Majapahit adalah putri jelita yang berasal dari China. Perempuan bangsawan Muslim ini anak seorang kaisar China. Parasnya yang rupawan membuat Brawijaya mabuk kepayang, dan sangat menyayanginya.

Babad Demak Pesisiran memberitakan:

…Sang Prabu Brawijaya ing Majapahit

garwa putri saking China langkung anyunipun

Brawijaya Majalengka langkung tresna

dateng puteri saking China singgih

temahan dipun senggama…” (Babad Demak Pesisiran).

Dari pernikahan Raja Brawijaya dengan putri dari China ini lahir seorang anak, dan setelah besar dikenal dengan nama Raden Fatah, pada tahun 1455 M. Berdarah paduan Majapahit-China, Fatah juga memiliki nama lain Jin Bun. Kelak, Fatah tumbuh sebagai seorang pangeran Majapahit yang akan meneruskan dinasti sang ayah, Prabu Brawijaya terakhir. Namun, dengan terlebih dahulu membagun dinasti baru, kesultanan Demak Bintara.

Menurut Kiai Bisyri Musthofa, anak Raja Majapahit (Brawijaya; Kertawijaya) yang lahir dari Putri China—yang kemudian diperistri Arya Damar Palembang—itu bernama Hasan. Saudaranya, anak Putri China dari ayah bernama Arya Damar diberi nama orang tua mereka Husain (Bisyri Musthofa, Tarikh al-Auliya: Tarikh Wali sanga, 1372 H: 3).

Adapun nama Fatah (berasal dari kata ‘al-Fath’, yang berarti ‘pembuka’) lebih sebagai nama julukan setelah dia berhasil membuka wilayah (kerajaan; kesultanan) baru, hutan Gelagah. Wilayah ini juga dikonotasikan sebagai cikal-bakal komunitas muslim di Jawa (Abu al-Fadhal, Ahla al-Musamarah fi Hikayat al-Auliya’ al-‘Asyrah, 1420 H: 4).

Selain tercatat dalam kitab babad dan serat, sudah menjadi berita yang masyhur di tengah masyarakat Jawa (terutama kaum santri), bahwa Raden Fatah adalah anak kandung Raja Brawijaya atau Ranggawijaya. Ayah Fatah disebut-sebut sebagai penguasa terakhir kerajaan Majapahit. Meskipun, masyarakat awam umumnya hanya mengetahui Majapahit dengan Brawijaya sebagai rajanya. Karena itulah, hampir setiap peristiwa besar yang terjadi pada masa kepemerintahan Majapahit dihubungkan dengan sosok raja yang bernama Brawijaya sebagai pelakunya.

Ada juga pendapat yang mengatakan, Raden Fatah adalah anak Kertabumi, raja Majapahit yang memerintah pada tahun 1474-1478. Memang benar, Kertabumi adalah raja Majapahit yang paling akhir, karena setelah itu kesultanan Demak berdiri. Dengan kemunculan kerajaan Demak, Majapahit kemudian menjadi bawahan kesultanan Demak. Selanjutnya yang menjadi penguasa di sana adalah orang kepercayaan Raden Fatah (Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, 2007: 33).

Jangan sampai keliru, Putri China yang menjadi ibunda Fatah berbeda dengan Putri Campa yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan demikian, istri Raja Brawijaya itu ada yang berasal dari keluarga kekaisaran Campa, dan ada pula istri lainnya yang berasal dari daratan China. Keduanya adalah seorang Muslim, dan keturunannya dibesarkan dalam tradisi Islam (santri).

Nasab Raden Fatah

1 Nabi Adam 21 Parikesit
2 Raden Nur Cahya 22 Hudayana
3 Sang Hyang Nur Rasa 23 Jayaderma
4 Sang Hyang Wenang 24 Jaya Amijaya
5 Sang Hyang Wening 25 Gendrayana
6 Sang Hyang Tunggal 26 Sumawicitra
7 Sang Hyang Guru 27 Citrasuma
8 Wisnu 28 Pancadriya
9 Srigati 29 Sila Jalu
10 Hyang Trustili 30 Serima Punggung
11 Marikena 31 Gandiawan
12 Raden Manawasa 32 Resi Gentayu
13 Raden Sutapa 33 Raden Lembu Amiluhur Jenggala
14 Raden Seketrem 34 Raden Tebu
15 Raden Saheri 35 Rawis Rengga Jenggala
16 Pulasara 36 Raden Laliyan
17 Habiwasa 37 Raden Mundisari Pajajaran
18 Pandu Astina 38 Prabu Mundiwangi Pajajaran
19 Arjuna 39 Raden Suruh
20 Angkawijaya 40 Barawijaya terakhir (Kertawijaya) menikahi Putri dari China
41 Raden Fatah atau Hasan, menikahi Sayidah Murtasimah putri bungsu Sunan Ampeldenta

Sumber: Bisyri Musthofa, dalam Tarikh al-Auliya: Tarikh Wali sanga (1372 H) 

Lahir hingga Remaja dalam Asuhan Arya Damar

Dikisahkan, seorang putri cantik anak seorang kaisar China telah dipersunting oleh Prabu Brawijaya, penguasa Majapahit terakhir. Tidak lama setelah diboyong oleh Raja Brawijaya ke Majapahit dia hamil. Di usia kandungannya yang masih terbilang muda, entah kenapa Raja Brawijaya memerintahkan Arya Damar, Adipati Palembang agar membawa dan menjaganya.

Kepada Jaka Dilah, nama lain Arya Damar, Raja Brawijaya berpesan: “Jangan kau sentuh dia, sampai anak yang ada di dalam kandungannya lahir. Adapun setelah dia melahirkan, semua menjadi tanggung-jawabmu”.

Benar, akhirnya Putri dari China yang mengandung janin Brawijaya tadi melahirkan. Seorang bayi laki-laki tampan lahir di tengah-tengah keluarga Arya Damar. Selanjutnya, bayi ini besar dalam belaian kasih sayang seorang adipati di Palembang yang juga masih kerabat dekat istana Majapahit. Terdapat keyakinan di tengah masyarakat awam, Arya Damar sebenarnya saudara tua Raden Fatah se-ayah, dan selanjutnya menjadi ayah tirinya (Abu al-Fadhal, 1420 H: 4).

Namun Slamet Muljana menyuguhkan kesimpulan yang berbeda. Menurut dia, ayah Arya Damar adalah Hyang Wisesa, atau Wikramawardana, yang tidak lain suami Kusumawardhani. Selain beristri anak Hayam Wuruk (Kusumawardhani) Hyang Wisesa juga menikahi seorang putri China. Dengan demikian, Arya Damar juga anak raja Majapahit dari ibu seorang putri dari China. Tetapi, baik ibu maupun ayah Arya Damar berbeda dengan orang tua Fatah (bayi yang dititipkan Brawijaya kepadanya (Slamet Muljana, 2007: 87).

Pemilihan nama Fatah untuk bayi Raja Brawijaya yang baru lahir ini juga menjadi pembicaraan bagi sebagian sejarawan Muslim. Nama Fatah telah dihubung-hubungkan dengan kata ‘al-Fath’, yang berarti ‘pembuka’. Lebih jauh lagi, kata ‘al-Fath’ dikonotasikan dengan satu rencana besar, atau paling tidak angan-angan bagi pembukaan wilayah baru, yaitu Hutan Gelagah. Wilayah ini kelak menjadi pusat pemerintahan kerajaan yang dibangun orang-orang Islam di Jawa.

Dengan demikian, kata ‘al-Fath’ yang mengandung makna ‘pembuka’ juga membawa pengaruh yang lebih luas lagi, yaitu berdirinya kesultanan Islam, Demak Bintara. Adakah hal ini telah disadari (direncanakan) oleh Raja Brawijaya melalui putranya, Arya Damar, atau semua terjadi secara kebetulan?

Nama Fatah juga mengingatkan kita pada seorang penguasa Turki Utsmani ketujuh. Sultan Mehmed II dikenal secara luas dengan nama Muhammad Al Fatih (Fatih Sultan Mehmet) yang berkuasa pada tahun 1444-1446 dan 1451-1481. Dia mendapat julukan ‘al-Fatih’, atau ‘Sang Penakluk’ setelah menguasai Konstantinopel pada tahun 1453, yang sekaligus mengakhiri riwayat kekaisaran Romawi Timur.

Pada tahun 1474 Mehmed mengirim pasukannya ke Shkodra, tetapi mengalami gagal. Kemudian dia memimpin pasukan untuk mengepung Shkodra pada 1478-1479. Venesia tetap mempertahankan kota tersebut sampai akhirnya diserahkan ke Utsmani pada Perjanjian Konstantinopel (1479), sebagai syarat mengakhiri perang.

Menurut Slamet Muljana, nama yang diberikan untuk anak Brawijaya yang dititipkan kepada Arya Damar adalah Jin Bun (China). Baru setelah menjadi sultan di Demak dia bergelar Panembahan Jimbun. Menurut Babad Tanah Djawi, nama Fatah adalah Senopati Jimbun (Slamet Muljana, 2007: 86). Ada juga pendapat yang mengatakan, nama anak Brawijaya yang diberikan kepada Arya Damar adalah Hasan. Adiknya yang sama-sama lahir dari putri China dengan Arya Damar diberi nama Husain.

Tetapi keputusan Brawijaya yang buru-buru menitipkan anaknya yang masih di dalam kandungan kepada Arya Damar, untuk di bawa ke wilayah yang relatif jauh dari pusat kotaraja Majapahit adalah fakta yang tidak boleh diabaikan. Arya Damar menerima amanat dari Brawijaya untuk mengasuh seorang pangeran Majapahit sejak masih di kandungan hingga menjelang dewasa. Adakah langkah Brawijaya itu untuk mengatur (memberi kesempatan) agar anaknya tumbuh dalam tradisi Muslim?

Baca Juga: Kosmopolitanisme Pesantren:Arab Digarap, Jawa Digawa

Raden Fatah ke Ampeldenta hingga Menikah

Dikisahkan, tidak lama setelah melahirkan anak Raja Brawijaya (Fatah), Adipati Arya Damar kemudian memperistri putri China itu. Dari perkawinan Arya Damar dengan Putri China kemudian lahir seorang anak yang diberi nama Husain. Dengan demikian,  Raden Fatah memiliki saudara se-ibu.

Raden Fatah dan adiknya, Raden Husain memantapkan langkah untuk pergi ke Ampeldenta, berguru kepada Sayid Rahmat. Mereka mendiskusikan keinginannya itu dengan Arya Damar. Setelah orang tua mereka merestui, keduanya keluar dari Palembang menuju Ampeldenta. Fatah dan Husain pun akhirnya bisa menghadap ke Sayid Rahmat.

“Kalian ini siapa, dan mau apa sehingga ingin menemuiku,” tanya Sayid Rahmat.

Fatah menjawab: “Nama saya Fatah putra Brawijaya. Dan ini saudara se-ibu saya, namanya Raden Husain, putra Arya Damar seorang adipati di Palembang. Kami berdua ingin mengabdi dan berguru ilmu agama kepada tuan” (Abu al-Fadhal, 1420 H: 27).

Saat itu, pada masa-masa akhir kekuasaan Majapahit, pusat pendidikan keislaman Ampeldenta telah menjadi tujuan bagi para pelajar dari berbagai pulau di Nusantara. Di tempat itu Fatah remaja berkumpul dengan para santri Sayid Rahmat yang lain. Di sana sudah ada santri-santri yang lebih dulu datang untuk belajar agama Islam kepada Sayid Rahmat.

Mereka antara lain: Raden Paku putra Maulana Ishaq yang kelak masyhur sebagai Sunan Giri, Sayid Qasim putra Sayid Rahmat dan kelak masyhur dengan sebutan Sunan Derajat, Sayid Abdul Jalil putra Sayid Abdul Qadir putra Maulana Ishaq yang kelak masyhur dengan sebutan Syeh Siti Jenar, Sayid Amir Husain putra Haji Usman putra Sayid Rajapandita yang tidak lain adalah keponakan Sunan Ampel, Sayid Amir al-Haj putra Sayid Usman al-Haj yang kelak masyhur dengan sebutan Sunan Kudus, Raden Said putra Raden Syahid (Sunan Kalijaga) yang kelak masyhur sebagai Sunan Muria, dan Amir Hamzah putra Sayid Muhsin. Terpilih sebagai pimpinan para santri Sunan Ampel adalah Sayid Qasim.

Hari demi hari Fatah dan adiknya berada di Ampeldenta. Fatah muda dikaruniai kecerdasan dalam memahami palajaran agama. Ia tumbuh menjadi seorang yang alim dalam ilmu agama: syari’at, thariqat, hingga hakikat. Tidak hanya belajar agama, Fatah juga semakin mengenal keluarga besarnya di Majapahit. Iya, jarak Majapahit dengan Ampeldenta relatif lebih dekat bila dibandingkan dengan Palembang, tanah kelahirannya.

 

Gambar: Makam Raden Fatah di belakang Masjid Agung Demak, 20 Mei 2019 (foto: Ali Romdhoni)

 

Fatah tinggal di Ampel cukup lama, dan hubungannya dengan Sayid Rahmat semakin dekat. Sampai akhirnya, Sunan Ampel menikahkan Fatah dengan anak bungsunya yang bernama Sayidah Murtasimah (Abu al-Fadhal, 1420 H: 28). Adapun Raden Husain telah lebih dulu minta izin kepada Sunan Ampel dan kakaknya, Raden Fatah untuk menghadap Raja Brawijaya di Majapahit.

Sampai di sini, hubungan Fatah dengan Sayid Rahmat tidak sebatas sebagai guru dan murid, tetapi juga sebagai keluarga, mertua dan menantu. Raja Brawijaya juga berperan dalam menyatukan Sayid Rahmat dan Fatah. Iya, Brawijaya adalah paman Sayid Rahmat. Sedangkan Fatah adalah anak kandung Brawijaya. Dengan demikian, Rahmat dan Fatah adalah saudara sepupu. 

Pernikahan Raden Fatah dengan Sayidah Murtasimah melahirkan lima orang anak, yaitu Pangeran Prabu, Raden Trenggana, Raden Bagus Seda Kali, Kanduruhan, dan Sayidah Ratiyah (Abu al-Fadhal, 1420 H: 30).

Selain itu, saya juga memperoleh informasi yang mengatakan bahwa perempuan yang dinikahi Raden Fatah sebenarnya adalah cucu Sunan Ampel (Manuskrip Syeh Anom Sidakarsa, 1171 H). Meskipun demikian, yang jelas antara Raden Fatah dan Sunan Ampel memiliki hubungan kekerabatan yang sangat dekat, yaitu murid sekaligus menantu, atau cucu menantu.

Dari paragraf-paragraf di atas menjadi jelas, Raden Fatah memiliki garis keturunan langsung (nasab) dari raja-raja Majapahit. Keinginan awal adalah menjadi pembelajar agama Islam, seorang ilmuwan, atau ulama. Karena dorongan dan pengarahan dari para guru spiritual (wali) serta dukungan dari raja Brawijaya, ayahandanya sendiri, Fatah kemudian menapaki jalan panjang hingga menjadi seorang sultan di tanah Jawa.

Dengan demikian, anggapan sementara pihak yang meyakini Raden Fatah memiliki ambisi untuk menjadi seorang raja, bahkan sampai memerangi orang tuanya sendiri perlu dikoreksi.

Apalagi jika memperhatikan ajaran di lingkungan kaum santri tradisional—mereka umumnya memiliki ketaatan yang tinggi kepada guru, dan melawan penguasa yang sah adalah terlarang—rasanya mustahil terjadi peperangan antara Fatah dengan ayahnya sendiri.

Wallahu a’lam.

6024

Ali Romdhoni

Penulis buku Istana Prawoto: Jejak Pusat Kesultanan Demak. Dosen Universitas Wahid Hasyim Semarang. Email: ali_romdhoni@yahoo.com

Comments are closed.