DONASI

Reaksi Absurd pada Perayaan Tahun Baru

Banyak daerah di Indonesia merespon pergantian tahun dengan larangan dan himbauan. Salah satu daerah paling tegas dalam menyikapi perayaan tahun baru adalah kota Langsa. Melalui...

LEMBAR | SATURDAY, 12 JANUARY 2019 | 16:05 WIB

Supriansyah

Lurah di Islami.co, pernah belajar di IAIN Antasari, Banjarmasin.

Banyak daerah di Indonesia merespon pergantian tahun dengan larangan dan himbauan. Salah satu daerah paling tegas dalam menyikapi perayaan tahun baru adalah kota langsa. Melalui dinas syariat islam, pemerintah kota tersebut memberlakukan larangan kepada masyarakat merayakan pergantian tahun, dari 2018 ke 2019 pada senin malam (31 Desember).

Beberapa daerah lain seperti kota kelahiran saya, Banjarmasin, cuma mengeluarkan himbauan kepada seluruh masyarakat kota Banjarmasin, untuk tidak melakukan aktivitas yang berlebihan dalam merayakan pergantian tahun. Bahkan di kota yang terkenal dengan sebutan ‘kota seribu sungai’ ini, ada masjid yang menginisiasi gerakan “tidak keluar rumah” untuk melawan perayaan tahun baru yang dianggap sebagai menyerupai perbuatan agama lain, yang mana bisa dianggap sebagai pengikut agama lain.

Dari larangan dan himbauan tersebut sering berujung pada usulan untuk merayakan tahun baru dengan melakukan kegiatan keagamaan yang sesuai dengan agama masing-masing. Usulan ini sebenarnya meninggalkan dua permasalahan yang akut. Yakni, usulan tersebut menggelorakan aroma permusuhan yang salah sasaran dan usaha menyikapi perayaan tahun baru ini sering berhenti pada imaji kesolehan sahaja. Kedua permasalahan ini menjadikan reaksi pemerintah tersebut salah sasaran dan mengaburkan perlawanan yang sebenarnya.

Penyematan kata ‘perilaku yang berlebihan’ pada perayaan tahun baru adalah hal yang absurd, tidak ada penjelasan tentang apa dan bagaimana perilaku yang berlebihan tersebut. Kekaburan apa yang sebenarnya dilarang dalam perayaan tahun baru, mengakibatkan pemaknaannya menjadi liar. Akhirnya reaksi terhadap perayaan tahun baru sering berhenti pada solusi agama.

Menghadapkan agama melawan perayaan tahun baru adalah solusi yang sudah usang. Sebab, solusi agama, khususnya Islam, hingga sekarang masih didasarkan pada isu penyerupaan terhadap agama lain. Solusi ini juga terkesan rasis, sebab alasan yang digunakan menyiratkan bahwa agama lain adalah sumber permasalahan perilaku berlebih-lebihan tersebut.

Semua perilaku berlebihan seperti meniup terompet dan membakar mercon adalah perilaku yang membawa masyarakat muslim pada kemurtadan, karena menyerupai perilaku ibadah agama lain, khususnya Kristiani dan Majusi. Perbuatan inilah yang kemudian dianggap sebagai bagian dari perbuatan sia-sia yang dimaksud oleh pemerintah. Inilah letak permasalahannya, selain ibadah orang lain dilarang untuk ditiru juga tersirat adanya penggiringan opini bahwa ‘ibadah’ tersebut bagian dari kesia-siaan.Menerjemahkan perbuatan meniup terompet dan membakar mercon sebagai perbuatan sia-sia adalah hak pemerintah, namun kurang tepat dalam membidik titik persoalan. Sebab, persoalan israf (berlebihan) sebenarnya tidak hanya pada dua perbuatan itu saja. Israf juga bisa ditemukan dalam perilaku belanja menikmati akhir tahun di pusat-pusat perbelanjaan. Namun, perilaku belanja ini tidak masuk dalam perbuatan israf, sebab perbuatan itu menguntungkan pemodal besar.

Konsumerisme yang bermazhab pada narasi ‘keserakahan itu baik’ seakan tidak memiliki musuh yang sepadan, bahkan agama terkesan tidak berdaya menghalangi nafsu belanja dari masyarakat yang dianggap bagian naluri manusia.

Pemodal besar mendapatkan untung besar karena perilaku belanja dari masyarakat di akhir tahun selalu tidak terkendali, karena diiming-imingi diskon besar-besaran. Konsumerisme yang bermazhab pada narasi ‘keserakahan itu baik’ seakan tidak memiliki musuh yang sepadan, bahkan agama terkesan tidak berdaya menghalangi nafsu belanja dari masyarakat yang dianggap bagian naluri manusia. Padahal perilaku konsumtif yang berlebihan itu tidak lagi menjadi bagian eksistensi diri dalam masyarakat konsumtif.

Masyarakat kita sekarang ini sering terjebak atau kata yang lebih tepat adalah dijebak, untuk mengikuti perilaku masyarakat kelas yang oleh Thorstien Veblen disebut dengan Leisure Class. Yakni, kelompok orang-orang yang identik dengan waktu luang dan conspicuous consumption (pola konsumsi yang tidak memiliki tujuan apa-apa, melainkan melanggengkan kesenjangan dan hierarki sosial).

Di akhir dan awal tahun, pengunjung selalu saja membeludak di pusat-pusat perbelanjaan, harusnya juga dinarasikan sebagai perilaku tasyabbuh (menyerupai) kelompok kelas penindas masyarakat kecil yang kerjanya cuma menghabiskan uang karena kekayaannya yang besar. Namun, sayangnya ini luput dari pengamatan pemerintah dan otoritas keagamaan yang masih suka bermain pada simbol terompet dan mercon sebagai perbuatan sia-sia. Padahal masyarakat yang sedang dihisap oleh pemodal terus diabaikan hingga sekarang. Bahkan lebih berbahaya ketimbang terompet dan mercon.

Usaha pemerintah tersebut untuk melakukan reaksi perlawanan kepada perilaku yang berlebihan dalam perayaan tahun baru, mulai menjamur sejak imaji religiusitas sudah menjadi tren di banyak pemerintahan.

Pihak yang paling banyak mengambil keuntungan dari imaji religius tersebut adalah kepala daerah, bukan kota secara keseluruhan. Imaji atau citra religiusitas dalam sebuah pemerintahan sebenarnya adalah siasat kebanyakan kepala daerah,  untuk meraih popularitas dan atensi dari rakyat yang dipimpinnya. Dari presiden hingga walikota atau bupati terus menebar citra atau imaji untuk menarik atensi masyarakat sebagai konstituennya.

Pemimpin yang cuma mementingkan citra ini, memang terkesan memperjuangkan kepentingan masyarakat. Padahal, yang sebenarnya diperjuangkan adalah kepentingan masyarakat mayoritas dan mengabaikan kepentingan bersama. Persoalan ini menjadi penyakit akut dari imaji kereligiusan. Namun, ini diabaikan karena yang penting bagi penguasa adalah meraih kekuasaan. Padahal Kyai Abdurrahman Wahid, atau akrab dipanggil Gus Dur, pernah berpesan “yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

Kemanusiaan seharusnya menjadi isu penting, ketimbang pelarangan terompet dan mercon yang sering hanya menjadi topeng jualan imaji sang pemimpin daerah. Nilai kemanusiaan akan menggiring kita menyelamatkan manusia dari hisapan pemodal dari perilaku konsumsi yang berlebihan dan sia-sia, sebagaimana lazim di penghujung dan awal tahun ini. Reaksi pemerintah kota seharusnya tidak berhenti cuma jualan imaji saja, yang sampai sekarang belum mampu menghentikan pola konsumtif yang memiliki daya rusak yang lebih dahsyat ketimbang terompet dan mercon.


Sumber gambar: Travel Kompas