Ritual Jamasan Desa Jajar

Masyarakat Desa merupakan masyarakat yang masih erat ngugemi (berpegang teguh pada) tradisi dan budaya yang turun-temurun dari leluhurnya. Karena pada setiap tradisi dan budaya terdapat nilai-nilai dan pelajaran yang dapat menuntun manusia menuju jalan ketenangan atau slamet. Tradisi dan budaya tersebut banyak bentuknya dan setiap daerah memiliki tradisi dan budayanya masing-masing. Salah satu bentuknya adalah tradisi jamasan.

Jamasan/Jamas merupakan upacara menyucikan, membasuh, merawat serta memelihara benda-benda pusaka, bertuah atau keramat. Biasanya, benda-benda tersebut berupa keris, tombak, gamelan, kereta kencana dan benda lainnya yang dianggap mempunyai pengaruh bagi dirinya atau masyarakat. Jamasan umumnya dilaksanakan di waktu-waktu yang dianggap sakral bagi masyarakat setempat, seperti bulan Suro dalam penanggalan Jawa atau Muharam dalam penanggalan Islam. Tujuan dari Jamasan adalah menjalin ikatan batin antara pemilik pusaka dengan benda pusaka. Selain itu juga sebagai bentuk rasa syukur dan nguri-nguri warisan adiluhung para leluhur agar tetap terawat dan ter-ruwat.

Jamas sendiri dalam bahasa Jawa berarti “keramas”. Maksudnya, jamasan adalah kegiatan membersihkan benda yang dianggap mempunyai kedudukan tinggi, sebagaimana keramas pada kepala. Jika jamasan pada umumnya membersihkan benda pusaka, berbeda dengan Jamasan yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Jajar. Apa yang membedakannya yaitu jamasan di Desa Jajar, dalam pelaksanaannya, bukan men-jamasbenda pusaka atau keramat, melainkan men-jamas diri sendiri.

Jamasan ini dilakukan setiap menjelang bulan suci Ramadhan. Tradisi ini sudah turun-temurun dari para pendahulu. Pada saat menjelang bulan Ramadhan, setiap orang dianjurkan untuk melaksakan mandi jamas. Karena memasuki bulan yang suci, maka manusia haruslah mensucikan diri pula. Suci di sini selain dimaknai sebagai suci jasmani, juga dimaksudkan untuk mensucikan rohani dari hal-hal yang sudah mengotori jiwa. Tradisi ini mirip dengan tradisi mandi merang di daerah Betawi atau tradisi padusan di daerah Jawa Tengah, yang tujuannya sama, yaitu untuk menyucikan diri dalam rangka menyambut bulan yang suci.

Proses Jamasan

Jika tradisi padusan dan mandi merang biasanya dilakukan di sumber air atau sendang, tradisi jamasan di Desa Jajar dilaksanakan di Jeding Wanatirta, sebuah kamar mandi umum yang ada di Desa Jajar sejak dekade 70-80-an. Kata “jeding” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti kamar mandi; dan “Wanatirta” berasal dari dua kata, yaitu “wana” yang berarti hutan dan “tirta” yang berarti sumber air. Maksudnya sebutan Jeding Wanatirta adalah kamar mandi yang berada di hutan, karena memang letaknya yang berada di alas/hutan.

Jeding Wanatirta ini berukuran cukup luas, hingga muat 10 orang lebih. Konon, dulunya tidak semua rumah mempunyai kamar mandi, sehingga aktivitas mandi harus dilakukan di sumber atau sumur-sumur umum, yang kemudian pada dekade 70-80-an dibangun kamar mandi umum untuk memudahkan kebutuhan masyarakat. Selain itu, penggunaan Jeding Wanatirta sebagai ritual jamasan adalah karena di desa Jajar tidak ada sendang atau kolam yang cukup luas untuk ritual tersebut.

Dalam melakukan ritual jamasan, ada beberapa piranti yang diperlukan. Pertama adalah kendil yang dihias oleh janur (daun kelapa) secara melingkar. Kendil adalah wadah air yang terbuat dari tanah liat. Mengingat Jamasan ini sudah dilakukan secara turun menurun, dulu masyarakat masih menggunakan kendil untuk menyimpan/membawa air. Maka dari itu untuk menjaga kemurnian dan sakralitas tradisi, masih dipergunakanlah kendil untuk membawa air dalam ritual Jamasan. Selain itu penggunaan kendi dalam jamasan juga dalam rangka merawat eksistensi kendil sebagai alat wadah air pada masa lampau.

Kata janur sendiri sangat melekat dengan budaya Jawa. Janur dalam kepercayaan masyarakat Jawa bermakna “sejatining nur” atau cahaya yang sejati. Bisa juga berarti “jaa`a nuur” dalam bahasa Arab yang berarti datangnya cahaya. Dalam konteks ini Jamasan diharapkan dapat memberikan cahaya, penerangan dan pencerahan bagi para pelaku jamasan dalam menjalani puasa pada bulan ramadhan kelak.

Dalam kendil tersebut berisi landhaLandha adalah rendaman air merang (bekas tangkai padi yang sudah kering) yang telah dibakar. Landha tersebut yang kemudian digunakan untuk keramas. Penggunaan landhauntuk keramas sudah berlangsung dari zaman nenek moyang, mengingat zaman dahulu belum ada sampo dan sabun. Khasiat dari landha atau rendaman merang ini adalah menghitamkan rambut, mengurangi minyak dan ketombe. Hal itu juga menunjukkan bahwa pembersihan diri, termasuk perawatan rambut, sudah terkonsep sejak dahulu.

Pada umumnya, pengikut ritual mandi Jamas adalah perempuan, betapa pun sebenarnya mandi Jamas diperuntukkan bagi semua kalangan. Namun, dalam hal ritual, perempuan lebih utama, karena perempuan dianggap lebih khusyuk dalam menjalankan ibadah. Perempuan tersebut berjumlah sembilan atau ganjil, dengan memakai kemben serta membawa gayung dan kendi berisi rendaman landha.

Sebelum melaksanakan ritual inti, para penjamas terlebih dahulu bersimpuh dan menengadahkan tangan sembari berdoa di depan jeding sebagai bentuk kulo nuwun kepada para penunggu. Hal itu tidak dimaksudkan sebagai penyembahan, melainkan bentuk solidaritas manusia dengan yang lain (makhluk halus) sebagai sesama makhluk yang menghuni daerah tersebut. Selaras dengan apa yang diajarkan dalam Islam bahwa ketika memasuki kamar mandi dianjurkan membaca doa.

Usai memanjatkan doa-doa, para penjamas tersebut memasuki Jeding Wanatirta dengan berurutan. Kemudian mereka mengalirkan air merang yang ada dalam kendil tersebut ke rambut yang digunakan untuk keramas dengan menggosok-gosokkannya layaknya keramas. Sekiranya sudah cukup menggosokkan air merang ke rambut, selanjutnya para penjamas membasuh rambutnya dengan mengalirkan air bersih dari Jeding Wanatirta. Selain membersihkan rambut, para penjamas juga mengalirkannya ke seluruh tubuh. Proses pembasuhan tersebut dimulai dari yang paling atas menuju ke bawah, sembari melantunkan salawat. Setelah seluruh tubuh dibasuh, para penjamas tersebut keluar dari jeding secara berurutan dengan tetap melantunkan salawat yang menandai bahwa ritual telah selesai.

Ritual jamasan ini merupakan bentuk penyucian dan pembersihan diri sebelum memasuki bulan Ramadhan atau pasa (dibaca: poso) dalam kalender Jawa. Pada dasarnya manusia tidak luput dari dosa dan kesalahan. Maka dari itu perlu yang namanya menjamas diri. Secara tidak langsung, ritual jamasan juga memberikan pelajaran tentang penghargaan pada diri, bahwa manusia adalah pusaka itu sendiri. Sebagaimana pusaka, manusia jika tidak di-jamas juga akan hilang kekeramatannya.

Tradisi jamasan di desa Jajar merupakan bentuk akulturasi nilai-nilai Islam dan Jawa dalam bingkai budaya lokal yang masih dilestarikan sampai saat ini. Di masa modern ini, tradisi hampir punah digerus oleh kecanggihan teknologi yang mengakibatkan masyarakat tidak lagi percaya akan adanya tradisi. Maka dari itu, perlulah generasi muda untuk memberi perhatian terhadap budaya dan tradisi setempat. Karena generasi muda lah yang akan menggantikan generasi sebelumnya kelak, yang akan tetap membawa dan melanjutkan khazanah tradisi dan budaya masyarakat setempat.