Sangsa Sulok yang duduk di atas batu di bawah pohon rindang sebuah puncak bukit tersenyum sembari memandang anak muda di hadapannya. Senyumnya semakin lebar disusul tawa kecil. “Kau yakin dengan pertanyaanmu?” tanyanya kemudian setelah merasa puas tertawa. “Kau yakin ingin bunuh diri dengan cara yang menyenangkan?” lanjutnya.
Anak muda di hadapannya tak ikut tertawa atau tersenyum. Wajahnya tampak datar saja, tak tersinggung walau berpikir Sangsa Sulok menertawakan pertanyaannya. “Tentu aku sangat yakin, Tuan. Untuk apa aku jauh-jauh dan bersusah payah mendaki bukit Tain Mian ini jika tanpa keyakinan?”
“Kau salah orang, Anak Muda. Aku tak tahu apa-apa perihal bunuh diri dengan cara yang menyenangkan.”
“Kabar itu begitu meyakinkan bahwa Tuan Sangsa menguasai metode bunuh diri yang menyenangkan.”
“Dari siapa kau mendengarnya? Itu omong kosong. Jika aku mampu melakukannya untuk apa aku masih bertahan hidup dalam keadaan harus bersusah payah begini? Kau lihat keadaanku?”
Anak muda mengamati Sangsa Sulok. Pakaian lelaki tua di hadapannya penuh dengan tambal-tambal. Jenggot dan kumisnya tak terawat. Rambutnya panjang kusut. Tulang pipinya begitu mononjol. Tubuhnya kurus kering. Hanya sorot matanya saja yang tampak cerah dan jernih.
“Apa yang tampak secara kasat mata dari diri Tuan bukan jaminan bahwa Tuan tidak tahu apa-apa perihal metode bunuh diri itu. Aku diberi tahu oleh Burah Ngeswu, seseorang yang mengaku pernah menjadi murid Tuan. Dialah yang memberiku saran untuk menemui Tuan.”
“Ya. Aku dia memang mantan muridku. Kenapa tidak minta padanyanya saja?”
“Dia tidak mau, Tuan. Setelah kudesak dia menyarankanku agar berguru pada Tuan.”
“Kau tidak tanya kenapa dia tidak bunuh diri? Bahkan memilih menjadi pejabat?”
“Dia tidak mau menjelaskan, Tuan.”
Sangsa Sulok diam tapi matanya lekat menatap anak muda yang ingin bunuh diri itu. Sesaat kemudian dia tersenyum dan mengajukan pertanyaan, “Kenapa untuk bunuh diri saja kau harus berguru pada orang yang belum pernah bunuh diri?”
Sangsa Sulok diam tapi matanya lekat menatap anak muda yang ingin bunuh diri itu.
“Minum racun, gantung leher, iris nadi, menusuk ulu hati, menembak kepala, lompat dari gedung, telentang di rel kereta, dan cara lainnya itu bukan cara bunuh diri yang menyenangkan, Tuan. Aku ingin cara yang menyenangkan.”
“Baiklah. Tapi, kau harus tahu aku hanya bisa memberi tahumu metodenya. Selanjutnya berhasil atau tidak kau bunuh diri tergantung kemampuanmu. Jadi, jangan salahkan aku jika kau gagal melakukannya. Kau paham dan siap?”
“Sejak berniat mencari Tuan aku sudah siap apapun syaratnya. Berapapun biayanya akan aku usahakan.”
Sangsa Sulok tertawa, “Jika aku berhasil membunuh dirimu sesuai keinginanmu tanpa aku memintamu melakukan apa-apa maka aku akan memungut biaya. Senyatanya aku hanya memberimu informasi.”
“Jadi, gratis, Tuan?”
“Ya. Lagi pula apakah kau punya uang?”
Anak muda itu tersenyum malu, “Hanya selembar ini, Tuan.” Katanya setelah merogoh sesuatu dari saku bajunya.
“Aku tahu kau orang susah. Itu salah satu alasanku kenapa aku mau membantumu bunuh diri yang menyenangkan. Sekarang persiapkan telinga dan hatimu baik-baik.”
“Aku siap, Tuan.”
“Untuk bunuh diri yang menyenangkan ada banyak metode sebenarnya. Tapi, akan aku ajarkan satu metode saja. Kau sudah tahu, kematian itu sebuah keniscayaan. Tanpa kau bunuh diri pun kau kelak akan mati. Tapi, ada cara bunuh diri yang menyenangkan. Kau tentu sudah tahu, diri manusia tercipta dari empat unsur: tanah, air, api, udara. Aku yakin kau tak pernah mengira ada satu unsur yang sebenarnya tak kalah penting bahkah bagiku sangat penting dalam diri manusia. Unsur itu adalah waktu.”
“Waktu?”
“Ya. Waktu. Aku mengibaratkan semacam alarm waktu, yang tertanam dalam dirimu, diriku, dan seluruh yang hidup. Alarm itulah yang harus kau temukan. Sebab, letaknya bisa saja berbeda antara manusia satu dengan lainnya. Jika kau bisa menemukannya, kau akan bisa mengatur kematianmu walau tidak mungkin memperpanjangnya. Kau bisa bunuh diri kapan saja.”
“Apakah akan menyenangkan, Tuan?”
“Kau carilah dulu mesin waktumu. Sekarang pulanglah. Jika sudah ketemu datanglah ke sini lagi, aku akan memberitahumu.”
Anak muda itu berulang kali meminta agar menjelaskannya sekaligus. Sangsa Sulok menggeleng bahkan tak menanggapi sedikitpun. Anak muda itu kewalahan sampai akhirnya memutuskan untuk pergi dari bukit itu.
Sangsa Sulok memandang langkah anak muda itu sampai tak tampak dari jangkauan matanya. Dia tersenyum mengenang berpuluh tahun lalu.
Sangsa Sulok memandang langkah anak muda itu sampai tak tampak dari jangkauan matanya. Dia tersenyum mengenang berpuluh tahun lalu. Itulah mengapa tadi dia tertawa ketika mendengar keinginan bunuh diri anak muda itu. Dulu, sekira seusia anak muda tadi, dia ingin bunuh diri gara-gara merasa tak kuat patah hati. Niatnya tak kesampaian. Seseorang menyambarnya ketika dia hampir menjatuhkan diri ke dasar jurang.
“Kau mau apa?”
“Bunuh diri. Aku tak kuat menahan sakitnya hati ini.”
“Bodoh. Itu cara kuno. Aku punya cara bunuh diri yang menyenangkan. Kau mau?”
“Bunuh diri yang menyenangkan? Bohong. Mana ada cara begitu. Mati ya mati. Bunuh diri ya tinggal bunuh diri.”
“Aku setuju denganmu. Tapi, kematian itu sebenarnya kenangan bagi kehidupan. Jika caramu tidak tepat, kau tak akan mendapatkan kematianmu. Caramu tadi hanya akan mengantarmu pada kenangan kematian, bukan kenangan kehidupan.”
“Aku tak paham maksudmu. Kenapa bunuh diri saja harus repot?”
“Apa tujuanmu bunuh diri?”
“Meninggalkan penderitaan hidup.”
“Kau keliru. Justru kau akan hidup bersama penderitaanmu.”
“Aku masih tak paham.”
Seseorang yang menggagalkan usahanya bunuh diri dengan cara kuno itu dengan telaten mengajarinya bagaimana membunuh diri yang menyenangkan. Bertahun kemudian dia paham bagaimana caranya bunuh diri yang menyenangkan. Justru karena itu dia hidup sampai sekarang. Dan, kini dia sedang menanti seorang pemuda itu datang lagi untuk diajari cara tepat bunuh diri.
Seseorang yang menggagalkan usahanya bunuh diri dengan cara kuno itu dengan telaten mengajarinya bagaimana membunuh diri yang menyenangkan.
Penantian itu tak lama. Beberapa bulan kemudian anak muda yang datang padanya telah kembali duduk di hadapannya. Dia telah bertekad mengajari anak muda itu bagaimana bunuh diri yang menyenangkan.
“Tapi, aku ke sini karena merasa tak berhasil menemukan alarm waktu dalam diriku.”
“Tak apa. Aku khawatir kau ke sini setelah aku mati sehingga tak mendapat petunjuk dariku.”
“Kenapa tidak dari dulu saja, Tuan. Lebih hemat waktu.”
“Jangan bodoh. Aku butuh tahu kesungguhanmu belajar metode bunuh diri yang menyenangkan itu. Agar tidak seperti Burah Ngeswu.”
“Bagaimana dengan Burah Ngeswu? Apakah aku tidak bisa belajar darinya?”
“Kau sungguh banyak tanya, Anak Muda,” Sangsa Sulok tersenyum, “Ketahuilah Burah Ngeswu itu sudah gagal memahami metodeku. Dia pikir telah melakukan metodeku padahal sama sekali salah. Dia justru menghidupkan yang menyenangkan secara liar, menuruti perintah nafsu jahatnya.”
“Aku merasa sulit memahami maksud Tuan.”
“Dia tidak pernah membunuh nafsu jahatnya ketika alarm waktu dalam dirinya memberi isyarat. Dia memang tampak senang tapi dalam dirinya menderita. Kau paham?”
“Belum.”
“Carilah tahu apa yang dilakukan Burah Ngeswu selama menjadi pejabat Kota Andolop ini.”
“Itu petunjuk bagiku untuk memahami maksud Tuan tadi?”
Sangsa Sulok mengangguk.
Anak muda itu pergi ke kota Andolop di mana Burah Ngeswu bekerja sebagai pejabat kota. Sulit sekali menemukan orang itu. tapi, sebuah surat kabar mengabarkan tertangkap di sebuah penginapan bersama perempuan bukan istrinya. Dia diduga telah menggelapkan anggaran belanja kota.
Anak muda itu tersenyum. Merasa telah paham bagaimana caranya bunuh diri yang menyenangkan. Dia sekarang bisa tersenyum setiap kali alarm dalam dirinya bergetar untuk kemudian segera membunuh dirinya.
“Tak terbayangkan bagi yang tak memahami dan merasakan sendiri metode bunuh diri yang menyenangkan ini akan membahagiakan. Bahkan sangat mungkin dianggap olok-olok belaka,” gumamnya.