Meluruskan Kesalapahaman Muhyidin

Membaca tanggapan Muhyidin atas tanggapan saya di langgar.co beberapa waktu yang lalu, memaksa saya mengingat-ngingat kembali perjumpaan saya dengan Muhyidin.

Seingat saya, saya hanya pernah bertemu dengan Muhyidin kurang lebih dua atau tiga kali di Jogja. Topik perbincangan saya dengannya pun, nyaris tidak pernah menyinggung soal tradisi budaya, apalagi tradisi adat pernikahan Sasak.

Jadi, cukup mengherankan ketika Muhyidin dengan fasihnya “berimajinasi” tentang saya, yang ia gambarkan seolah-olah sebagai sosok yang suka ikut campur urusan orang lain, arogan, merasa paling berhak atau paling benar berbicara masalah tradisi budaya Sasak, pembela paling gigih golongan bangsawan Lombok, anti dengan modernitas dan seterusnya.

Padahal ditanggapi atau tidak ditanggapi adalah konsekwensi logis dari sebuah tulisan yang dipublikasikan di media, lebih-lebih media yang berbasis on line, seperti langgar.co.

Tapi ya sudahlah, anggap saja saudara Muhyidin benar, dan saya pikir hal ini baik untuk saya mengevaluasi diri. Jangan-jangan, secara tidak sadar, saya benar-benar tipe orang seperti yang dipersepsikan oleh Muhyidin. Dan untuk hal ini, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada saudara Muhyidin Azmi, yang telah mengingatkan saya. Barangkali kedepan, mungkin saya akan lebih berhati-hati lagi.

Dan untuk hal ini, saya menyampaikan ucapan terima kasih kepada saudara Muhyidin Azmi, yang telah mengingatkan saya. Barangkali kedepan, mungkin saya akan lebih berhati-hati lagi.

Sepertinya, dalam tanggapan Muhyidin yang berjudul, Tanggapan atas Tanggapan: Sebuah Respon Kepada Lamuh di media ini, merasa keberatan dengan istilah “serampangan” “keliru” dan “parsial” yang saya gunakan untuk menanggapi tulisan pertamanya.

Baiklah, melalui kesempatan yang barbahagia ini, saya mengajukan permintaan maaf kepada saudara Muhyidin terlebih dahulu, jika beberapa diksi yang saya gunakan telah menyinggung perasaannya. Dan untuk selanjutnya, izinkan saya menjelaskan dari mana datangnya istilah-istilah teknis yang menjadi keberatanya itu.

Mula-mula Muhyidin dalam tulisannya yang berjudul, Maskulinitas dan Feminimitas Masyarakat Suku Sasak, menjelaskan tradisi pernikahan adat Sasak seperti dalam paragraf panjang ini:

  • “Dalam tradisi perkawinan masyarakat suku Sasak, terdapat beberapa jenis model perkawinan dengan pola atau cara yang berbeda-beda, ialah sebagai berikut:Pertama, kawin lari (merarik).Secara etimologi kata Merarik diambil dari kata lari (berlari), Merarik’an berarti melaik’an (melarikan). Sedangkan, secara terminologis, merarik mengandung dua arti. Pertama, lari. Lari merupakan arti yang sebenarnya dari merarik. Kedua, keseluruhan pelaksanaan perkawinan menurut adat Sasak. Kedua, kawin dengan cara menculiklawan dari merarik yang telah sama-sama disetujui oleh kedua belah pihak untuk melakukan perkainan, namun dalam hal ini tidak ada proses saling mencintai sebelumnya. Laki-laki atau pemuda yang menginginkan melakukan kawin dengan cara menculik, melakukan suatu rencana yang tidak diketahui oleh pihak perempuan dan hal itu dilakukan dengan cara pemaksaan. Ketiga, kawin meminang (Melakok atau Ngendeng)jenis perkawinan ini tidak seperti pola yang diterapkan pada kawin dengan cara menculik, namun dengan cara atau pola meminang. Pola perkawinan ini  biasanya dilakukan oleh masyarakat adat Sasak yang berada di daerah perkotaan. Hal ini disebabkan karena, pengaruh pendidikan dan budya yang saling mempengaruhi sehingga tampak ada pola atau cara yang lebih praktis dan lebih manusiawi. Keempat, kawin tadong (kawin gantung)perkawinan jenis ini dilakukan pada masa si anak masih kecil. Mereka saling dijodohkan dan pada masanya nanti akan dikawinkan secara sah. kawin tadong, oleh masyarakat suku Sasak diartikan sebagai penundaan perkawinan yang layak seperti perkawinan yang lain hingga salah satu atau kedua mempelai menginjak dewasa. Kelima, kawin ngiwetperkawinan jenis ini merupakan perkawinan yang dilakukan dengan cara melarikan istri orang lain. Ngiwet artinya melarikan istri sah orang lain dengan maksud untuk dijadikan istri, perkawinan jenis ini dikenal pada masyarakat suku Sasak yang menganut ajaran Islam Wetu Telu.”

Dalam paragraf tersebut, Muhyidin sepertinya sama sekali tidak menerangkan bahwa yang dimaksudnya adalah cara atau tahapan awal yang diambil, manakala masyarakat Sasak hendak melangsungkan acara pernikahan, melainkan langsung menyebutnya sebagai “jenis model” tradisi pernikahan Sasak.

Sebagai opini, tentu pendapat ini sah-sah saja. Tapi, coba saja bandingkan dengan realitas sosial masyarakat Sasak di Lombok. Yang saya pahami bahwa klasifikasi seperti itu sama sekali tidak ada.

Ilsutrasi sederhananya, jika kita hendak bertanya bagaimana jenis model pernikahan Sasak kepada masyarakat, kemungkinan kita tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Karena, mereka tidak mengenal jenis model seperti yang Muhyidin deskripsikan.

Namun sebaliknya, jika kita bertanya bagaimana cara masyarakat melangsungkan acara pernikahan? Jawaban yang paling mungkin yang akan kita peroleh adalah dengan cara “adat” atau dengan cara menggelar acara “resepsi”.

Kemudian jika kita bertanya lebih lanjut, bagaimana cara atau langkah awal yang diambil oleh pengantin sebelum ke tahap acara “adat” atau “resepsi”, barulah pertanyaan kita akan dijawab dengan memilih salah satu dari 4 atau 5 cara yang disebut oleh Muhyidin sebagai “jenis model” penikahan Suku Sasak.

Lalu apa hubungannya dengan istilah “hukum” yang saya gunakan untuk menjelaskannya?

Sebenarnya, saya ingin menunjukkan bahwa, artikulasi dari istilah “hukum” dalam konteks tradisi pernikahan Sasak itu, sejajar maknanya dan sering dipertukar penyebutannya dengan mata acara yang lazimnya akan diselenggarakan oleh pihak yang sedang berbahagia (keluarga pengantin).

Acara-acara itu sederhananya merupakan bentuk aktualisasi dari tiga aspek esensial yang menjadi basis nilai, yang dirujuk oleh masyarakat dalam hal mengatur relais sosial mereka, atau barangkali untuk memelihara kerukunan hidup mereka. Aspek-aspek itu meliputi aspek agama, negara dan adat.

Keberatan Muhyidin selanjutnya adalah, ketika saya memilih menggunakan kata “keliru”, ketika mengoreksi tahapan-tahapan penyelenggaraan tradisi pernikahan adat Sasak yang ia kemukakan. Walaupun pada akhirnya saudara Muhyidin bersedia menirma koreksi dari saya.

Dalam tulisannya itu, Muhyidin menulis:

“Dalam bentuknya yang paling sempurna, seremoni perkawinan masyarakat suku Sasak tradisional terdiri dari tiga tahap, ialah; Pembayun, Nyongkolan, dan Sorong Serah”.

Ketiga tahap yang dipaparkan oleh Muhyidin tersebut tentu saja kurang tepat, untuk tidak mengatakan keliru. Karena tahapan-tahapan itu sangat berbeda dari umumnya yang masih berlaku hingga saat ini.

Oleh karena itu, sekiranya tidak berlebihan jika saya mencoba menawarkan rincian tahapan-tahapan acara dalam tradisi adat pernikahan Sasak, yang agak berbeda dengan pemaparan Muhyidin, sembari sedikit menyinggung penjelasan mengenai pemaknaan tiap-tiap tahapan acara itu.

Saya kira dua poin inilah yang menjadi pangkal persoalan atau sumber kesalah-pahaman antara saya dan Muhyidin. Namun nampaknya, Muhyidin tidak puas dengan argumentasi yang saya kemukakan.

Tentu saja itu hak pribadi Muhyidin untuk bersepakat atau tidak bersepakat dengan siapapun dan dengan apapun. Hanya saja, sekiranya Muhyidin sudah bisa menerima penjelasan saya mengenai tahapan-tahapan dalam pernikahan adat Sasak, mestinya ia meninjau kembali posisi kritiknya terhadap golongan bangsawan yang diduganya mendapatkan prestise atas golongan bukan bangsawan melalui penyelenggaraan tradisi pernikahan, apakah masih relevan atau tidak untuk dibicarakan. Bukan malah membuka persoalan lain yang cenderung memperlihatkan kebencianya terhadap golongan bangsawan Lombok,  sembari menyinggung-nyinggung pribadi saya dengan ungkapan-ungkapan satire-nya.

Dalam tanggapannya untuk saya, Muhyidin terkesan menganggap saya lah yang kurang objektif, saya lah orang yang seolah-olah, sekuat tenaga berusaha menolak pengaruh Hindu-Bali, pengaruh Kerajaan Makasar dan bahkan pengaruh Belanda atas masyarakat Suku Sasak.

“Dalam memandang stratifikasi sosial Sasak, Lamuh berangkat dari keberatannya soal pandangan umum yang menyamakan stratifikasi sosial Sasak dengan  masyarakat Hindu Bali. Lamuh sepertinya kesal, lalu berusaha menjelaskan dengan penuh semangat bahwa dua konstruksi stratifikasi di Lombok dan Bali itu berbeda”

Padahal yang mulai menyinggung tentang pengaruh Jawa dan Islam dalam tradisi pernikahan Sasak adalah Muhyidin sendiri. Muhyidin sepertinya lupa, bahwa dalam tulisan pertamanya, ia mengutip hasil kajian yang dilakukan oleh Jamaluddin, untuk menjelaskan bahwa Lombok sudah terpengaruh sejak awal oleh Kerajaan Jawa, kira-kira semenjak abad ke 5-6 Masehi, melalui invasi Kerajaan Kalingga. Bahkan Muhyidin menunjukkan pengaruh Jawa atas Lombok di paragraf-paragraf awal tulisannya:  

“Jamaluddin, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Islam Lombok Abad XVI –Abad XX. Menjelaskan bahwa, budaya Jawa sangat berpengaruh dalam membentuk budaya masyarakat Sasak Lombok yang disebabkan adanya hubungan politik dengan Majapahit. Kehadiran pembesar Majapahit ke Lombok adalah untuk tujuan penguasaan wilayah timur Nusantara, ekspedesi pertama Majapahit ke Lombok dipimpin oleh Patih Nala (Empu Nala), dan ekspedisi kedua langsung dipimpin oleh Gajahmada. Dengan kehadiran orang-orang Majapahit di Lombok, maka sangat mungkin Jawa sangat berpengaruh dalam masyarakat Sasak Lombok. Kedatangan Suku Jawa ke tanah Lombok dimulai sejak zaman Kerajaan Daha, Kelling (Kelingga), Singosari samapi pada zaman Kerajaan Mataram Hindu pada abad ke 5-6 Masehi. Lebih-lebih setelah hampir runtuhnya Kerajaan Majapahit pada penghujung abad 15 atau tempatnya sekitar tahun 1518-1521 di saat memasuki era Islamisasi.”

Pada paragraf yang lain, Muhyidin secara eksplisit menyinggung keterpengaruhan masyarakat Suku Sasak oleh Islam. Muhyidin menyebutkan bahwa pengaruh Islam atas masyarakat Suku Sasak, layaknya kesatuan dua entitas yang tidak terpisahkan. Sampai-sampai ia mengutip pendapat Maria Platt untuk menguatkan pandangannya.

“Maria Platt, dalam penelitannya yang berjudul “Sudah Terlanjur”: Perempuan dan Transisi Perkawinan di Lombok menyebutkan bahwa masyarakat suku Sasak sangat menghormati adat,  dengan meminjam istilah dari Hooker yang mengatakan bahwa adat bukanlah entitas yang terpisah dari Islam, dan bisa menyerap praktik Islam tetapi juga bisa menentangnya……”

Namun anehnya, ketika saya mengemukakan pandangan tentang basis pemahaman masyarakat suku Sasak yang saya kira, cenderung dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Islam yang dibawa oleh para wali Tanah Jawa, sepertinya Muhyidin enggan untuk menerimanya. Alih-alih menerima, ia malah menganggap saya sedang membangun imajinasi:

“Baik, saya senang dengan tesis yang dikonstruksi Lamuh itu. Bagi saya, Lamuh punya imajiansi kreatif, untuk tidak mengatakan Cocokologi yang cukup atraktif….”

Muhyidin seakan-akan menolak pengetahuan umum, tentang pemaparan pembagian strata sosial golongan bangsawan Lombok yang dihitung berdasarkan perhitungan 33, 66, dan 99 kebaikan secara simbolis, yang diumumkan oleh pembayun melalui acara Sorong Serah Aji Krama. Tetapi amat disayangkan, jika penolakan Muhyidin tersebut tidak diserati argumentasi pembading, barangkali untuk mengoreksi pengetahuan yang mungkin dinilainya terlanjur keliru. Entah Muhyidin  hendak mengadopsinya dari konsep pemikiran dalam tradisi Hindu, tradisi Budha, tradisi warisan Kolonial Belanda atau mungkin dari tradisi yang lain, selain tradisi wirid yang saya kemukakan.

Dengan demikian saya jadi menduga-duga, jangan-jangan saudara Muhyidin tidak benar-benar mengetahui atau memahami hal-hal yang esensial dalam tradisi pernikahan Sasak. Dari sinilah saya ingin mengatakan bahwa sepertinya Muhyidin tidak berimbang –untuk tidak mengatakan parsial– dalam  hal menyampaikan informasi tentang tradisi pernikahan Sasak.

Lalu apa tanggapan saya? Pada dasarnya saya sangat percaya bahwa tidak ada tradisi budaya yang berangkat dari ruang kosong. Ada banyak faktor yang mempengaruhinya, dan boleh jadi pengaruh tersebut masih berlangsung hingga hari ini dan ada pula yang sudah lama tidak berpengaruh lagi. Namun, marilah kita secara objektif menilai sejauh mana batasan-batasan pengaruh itu masih dapat kita diskusikan.

Tentu saja saya katakan, tidak benar bahwa saya menolak atau menutup mata terhadap pengaruh Hindu-Bali, Kerajaan Islam Makasar, Bima, Dompu Sumbawa dan pengaruh lainnya pada masyarakat Suku Sasak di Lombok.  Hanya saja, pengaruh-pengaruh lain, selain Jawa dan Islam tersebut, terbatas pada aspek-aspek tertentu, bukan dalam konteks pembicaraan mengenai pernikahan adat Sasak. Dan pengaruh itu, sepertinya tidak terlalu signifikan merubah sistem pranata sosial masyarakat yang berlaku pada umumnya.

Oleh karena itu, saya sarankan kepada saudara saya Muhyidin, mungkin ada baiknya ia membaca kembali tulisannya yang berjudul Maskulinitas dan Feminimitas Masyarakat Suku Sasak. Sebelum bereaksi secara berlebihan, terhadap pembaca yang merespon tulisannya itu. Karena, saya kira ada banyak hal yang belum terjelaskan di sana.

Pada kesempatan yang baik ini, saya juga menolak untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan Muhyidin, karena saya kira sudah tidak ada uregnsinya lagi saya menjawab. Saya tidak bisa mengikuti alur logika yang dibangun oleh Muhyidin, yang agak-nya lebih percaya bahwa golongan bangsawan Sasak atau Menak adalah “mitos”. Alasan selain itu juga, barangkali saya tidak cukup pantas menjadi juru bicara golongan bangsawan Lombok seperti penilaian Muhyidin terhadap saya.

Saya tidak bisa mengikuti alur logika yang dibangun oleh Muhyidin, yang agak-nya lebih percaya bahwa golongan bangsawan Sasak atau Menak adalah “mitos”.

Jika Muhyidin benar-benar ingin mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang golongan bangsawan Lombok, ada baiknya ia mempertimbangkan juga refrensi yang ada di Jawa, karena saya kira hal tersebut cukup berpengaruh. Mungkin misalnya sejarah tentang Kerajaan Mataram Islam, yang di melalui pada masa pemerintahan Panembahan Senopati yang terinspirasi mengaktualisasikan spirit ajaran esoteris Islam (tasawuf) dalam sistem pemerintahannya, setelah mendapatkan bimbingan lahir batin dari Sunan Kalijaga alias Raden Sahid.

Cobalah cari tahu juga, kenapa golongan bangsawan di lingkungan kerajaan Jawa, yang  tidak sedikit dari mereka dipercayai sebagai wali, tidak bisa menurunkan kewaliannya, tetapi secara bersamaan gelar kebangsawanannya justru masih bisa diturunkan secara genetis kepada generasinya selanjutnya. Sebut saja misalnya Sunan Kalijaga atau Raden Sahid yang tidak bisa menurunkan kewaliannya tapi secara bersamaan gelar Raden-nya masih dilanjutkan oleh zuriat-nya. Demikian juga halnya yang berlaku di Kerajaan Mataram Islam selanjutnya seperti Keraton Kartasura, Surakarta, Yogyakarta, Mangkunegara maupun Pakualaman.

Sebagai informasi lebih lanjut, cobalah cari tahu juga bahwa istilah “bangsawan” dan “menak”, dalam pemahaman masyarakat Sasak, adalah dua istilah yang sebenarnya menunjukkan hal yang sama. Jadi, saudara Muhyidin tidak perlu repot-repot untuk membeda-bedakannya.

Di samping itu, cobalah cari tahu juga, bahwa di Lombok, ada bayak bangsawan Lombok yang menjalani laku spiritual (tarekat) namun enggan bekerjasama dengan Kolonial Belanda, bahkan lebih memilih menentangnya melalui jalan peperangan.

Terakhir, cobalah belajar memahami dengan baik, bahwa Serat Menak itu hanya wiracarita (cerita kepahlawanan tokoh Islam), bukan kitab babon yang membahas tentang kawuruh, piulang, suluk atau kitab-kitab ajar lain untuk para raja Jawa di lingkungan Mataram Islam seperti Serat Tajussalatin, Serat Topah (martabat tujuh), Suluk Acih, Martabat Sanga, Serat Ambiya, Wirid Hidayat Jati, Serat Centini dan seterusnya. Dan sekedar informasi untuk saudara Muhyidin, Serat Menak atau Hikayat Amir Hamzah juga sudah populer di masa pemerintahan Sultan Agung melalui transformasinya menjadi tradisi seni pertunjukan wayang dan tari,jauh sebelum Kolonial Belanda berkuasa penuh di Tanah Jawa setelah meredam pemberontakan Pangeran Diponegoro atau Perang Jawa. Terima kasih.

Lamuh Syamsuar
Penyair asal Lombok Tengah. Buku puisi terbarunya Topeng Labuapi, terbit di Rua-aksara, Yogyakarta, 2022.