Menu

Banyuwangi

Pada suatu sore yang sejuk di Desa Grogol, Kecamatan Giri, saya bersilaturahmi ke kediaman KH. Nur Salim. Di usianya yang sudah 77 tahun, beliau masih cukup lancar berbicara. Ada banyak kenangan yang bisa diceritakan meski seringkali tak bisa mengungkapkan secara detil.

Kenangan tentang aktivitasnya di Nahdlatul Ulama tentu menjadi tema yang menarik bagi penulis. Lebih-lebih saat itu, ia juga menunjukkan sejumlah majalah kuno, dokumen, arsip, rekaman kaset dan sejumlah foto lawas. Tambah membuat saya tak ingin beranjak dari rumahnya yang bercorak art deco itu.

Dari sekian itu, ada satu foto yang memantik saya untuk menulis ini. Yaitu , foto hitam putih di bawah ini. Sekelompok anak muda yang membawa beberapa alat musik. Di bagian belakangnya, tertulis: Lesbumi Sinar Laut Muntjar 1960.

“Orkes dangdut LESBUMI,” ungkapnya saat saya tanya perihal foto tersebut. “Kadung wes tampil, akeh kang deleng,” imbuhnya.

Sayangnya, hanya seutas kenangan itu yang bisa dikorek dari beliau. Tak ada data lainnya. Namun, sepenggal keterangan itu, semakin menimbulkan tanda tanya besar: Lesbumi pada tahun 1960?

Sebagaimana kita ketahui, Lesbumi secara resmi dilahirkan pada 21 Syawal 1381 H atau 28 Maret 1962 sebagaimana tercantum pada Anggaran Dasar yang pertama. Pada saat itu, dipilihlah Djamaludin Malik sebagai ketua umumnya. Sedangkan Usmar Ismail dan Asrul Sani sebagai wakil ketuanya. Empat bulan dari pertemuan tersebut, diselenggarakanlah acara Musyawarah Besar I Lesbumi di Bandung pada 25-28 Juli 1962. Fragmen berdirinya Lesbumi tersebut, sulit untuk mencari keterangan lebih lengkap.

Choirotun Chisaan yang mengangkat Lesbumi dalam tesis S2-nya di Sanata Dharma, Yogyakarta juga tak mendedah secara detail kronik kesejarahan dari Lesbumi sendiri. Tesis yang kemudian diterbitkan LKiS dengan judul “Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan” itu, hanya mengurai latar belakang pendiriannya yang kental nuansa politis.

Lebih lanjut, Choirotun juga mengesankan pendirian Lesbumi bersifat “top down“. Yaitu, atas inisiatif aktivis seniman NU di pusat untuk menggelar mubes guna merespon situasi sosial-politik yang ada (133-9). Hal ini cukup janggal jika dibandingkan dengan proses berdirinya organ-organ di NU.

Pada umumnya, ada gerakan awal terlebih dahulu oleh pengurus NU di lingkup daerah. Karena terlihat efektif, kemudian diluaskan skalanya hingga kemudian menasional. Simak saja sejarah berdirinya GP Ansor, IPNU dan organ lainnya. Kebanyakan berawal dari bawah ke atas.

Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak.

Dari keterbatasan literatur tentang Lesbumi yang saya baca serta temuan foto “Lesbumi Sinar Laut” ini, menimbulkan hipotesis dibenak saya. Bisa jadi, sebelum Lesbumi diresmikan, secara lokalistik lembaga tersebut telah ada dan bergerak. Seperti halnya di Banyuwangi dengan membentuk Lesbumi yang salah satu produk kebudayaannya adalah Orkes Melayu Sinar Laut Muntjar.

Hipotesa ini, memang perlu penelitian lebih lanjut. Mencari arsip dan data-data pendukung ataupun pembantah, menjadi hal yang penting. Bisa jadi, nama Lesbumi muncul dari Banyuwangi, meski pada arsip Mubes I itu tak tercantum delegasi dari Banyuwangi. Dari 16 komisariat daerah yang hadir, yang paling dekat hanya Singaraja dan Surabaya.

Akan tetapi, jika menyimak dinamika kebudayaan di ujung timur Jawa ini, hipotesa di atas memang perlu disimak lebih jauh lagi. Dari Banyuwangi muncul dua lagu yang saling berhadapan dan sama-sama populer pada dekade 60-an. Yakni, lagu Genjer-genjer yang identik dengan Lekra-PKI dan Selawat Badar yang merupakan bagian dari Lesbumi NU.

Gambaran dinamika kebudayaan di tlatah Blambangan ini, juga terekam pada hasil bahtsul masail Muktamar NU tahun 1954. Saat itu, ada persoalan dari NU Banyuwangi yang dibahas. Pertanyaannya adalah tentang hukum sandiwara dengan propaganda Islam.

Sandiwara dengan propaganda Islam ini, dikenal dengan sebutan “drama”. Lakon yang ditampilkan biasanya tentang para sahabat Nabi. Hingga dekade 90-an akhir, seni drama ini masih populer. Saat ini, sudah sulit kita jumpai.

Dari pertanyaan tersebut, Muktamar NU memperbolehkannya dengan syarat tidak ada unsur kemungkaran (menurut kaca mata syariat). Namun bukan soal hukumnya yang menarik dibahas dalam tulisan ini. Konteks sosial politik yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan demikian itulah yang patut ditelisik lebih jauh.

Tahun 1954 merupakan masa-masa awal NU menjadi partai politik. Setahun kemudian, akan menghadapi pemilihan umum 1955. Untuk itu, semua organ NU digerakkan untuk memasok dukungan suara. Tak terkecuali pada sektor seni budaya. Potensi ini digarap penuh. Terlebih, lawan politik NU masa itu (PKI) begitu masif menyasar seniman dan budayawan lewat Lekra (Lembaga Kesenian Rakyat).

Dalam konteks Banyuwangi, perseteruan politik kebudayaan antara NU dan PKI memang cukup dahsyat. Selain melalui Genjer-Genjer dan Selawat Badar, persaingan lainnya cukup ketat. Mulai dari grup musik seperti Sri Muda (Lekra) vs O.M Sinar Laut (Lesbumi), tari-tarian seperti Gandrung yang kerap ditampilkan Lekra melawan Kuntulan yang sering dibawakan seniman Islam.

Ada satu cerita tutur yang penulis simak dari seorang tokoh NU lawas yang hidup di zaman itu, yang menarik tentang dinamika kebudayaan di Banyuwangi. Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Haji Ismail Ridwan, Ketua Lesbumi pada dekade 60-an, rela melakukan poligami dengan seorang penari gandrung. Hal ini tak lain agar ia bisa masuk ke komunitas seniman gandrung yang banyak dikooptasi PKI pada masa itu.

Ada pula dengan cerita tari kuntulan. Secara historis, tari itu baru muncul pada dekade 60-an. Di dalam gerak tarinya sarat dengan simbolisasi ibadah dan amal sholeh. Hal ini sesuai dengan makna kuntulan yang merupakan penyerdehanaan dari lafaz “Kuntu Lailan” dalam bahasa Arab. Maknanya adalah berdiri di waktu malam (qiyamul lail).

Konon, awal munculnya tari kuntulan yang dibawakan oleh kaum hawa dengan iringan musik rebana dan selawat Nabi itu, mendapat penolakan dari para kiai sepuh. Seperti Rais Syuriyah PCNU Banyuwangi kala itu, KH. Harun Abdullah.

Namun, juga mendapat pembelaan dari ulama NU yang lain. Pembela yang paling getol adalah KH. Suhaimi Rafiudin Kampung Melayu. Dengan sederhana, kiai yang memiliki manuskrip tafsir Quran ini, mengajak para kiai yang keberatan menimbang dua kemudaratan. Satu sisi kemudaratan karena adanya potensi mengumbar aurat atau ikhtilat dari tarian kuntulan atau kemudaratan banyak orang yang simpati pada PKI karena mengakomodir seni budaya.

Dari pertimbangan tersebut, akhirnya banyak ulama yang menyetujui. Setidaknya, tak mempermasalahkannya secara vulgar. Pandangan demikian tentu saja berangkat dari kaidah usul fiqh yang memperbolehkan memilih kemudaratan yang lebih ringan dari adanya dua kemudaratan.

Dari rangkaian fakta tersebut, sangat besar kemungkinan jika Lesbumi itu tak muncul dari atas, tapi berakar dari bawah terlebih dahulu. Merangkak dan tumbuh efektif hingga menjadi wadah nasional. Dan, bisa jadi pula, Banyuwangi jadi satu daerah yang berkontribusi mengkreasi berdirinya Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia Nahdlatul Ulama tersebut. Wallahu’alam. (*)

Berbicara Sejarah Banyuwangi, tak bisa terlepas dari arsip-arsip Belanda. Terhitung sejak 1767, kolonialisme Belanda telah bercokol di Bumi Blambangan. Lebih-lebih, tak banyak sumber lokal yang bisa dirujuk sehingga hal ini menempatkan arsip Belanda menjadi sumber primer.

Celakanya, arsip-arsip Belanda tersebut, melahirkan dua kesulitan sekaligus. Pertama, arsip-arsipnya hampir tak ada yang tersimpan di Banyuwangi. Jika tidak di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) di Jakarta, ya ada di Lieden, Belanda. Butuh waktu, tenaga dan juga biaya, bukan?

Soal bahasa adalah ihwal yang lebih menyulitkan lagi. Semua arsip tersebut, sudah barang tentu berbahasa Belanda. Bahasa yang berlaku pada masa itu. Tak banyak penggiat sejarah di Banyuwangi yang memiliki kompetensi tersebut.

Di tengah kesulitan demikian, datanglah seorang bernama Pitoyo Boedi Setiawan. Ia dilahirkan dari pernikahan seorang serdadu sukarelawan berkebangsaan Belanda yang menikahi blesteran Jawa-Negro. Ia lahir dan tumbuh di Purworejo, Jawa Tengah bersama kelima saudaranya.

Pada masa Jepang, ia bersama beberapa saudaranya sempat di tahan. Kemudian, dilepaskan setelah pasukan Dai Nippon itu hengkang usai Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Tiga saudaranya, mengikuti kewarganegaraan sang ayah dan tinggal di Belanda, sedangkan Pitoyo bersama seorang saudaranya memilih tetap menjadi warga Indonesia.

Pitoyo tinggal di Surabaya, ia bekerja di pelayaran sekaligus memiliki biro travel. Di kota itu ia membangun biduk rumah tangga pertamanya. Meskipun akhirnya harus bercerai, namun perceraian itu menjadi titik balik bagi kehidupannya. Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia memutuskan untuk pindah ke Banyuwangi. Ia meminang seorang gadis yang dikenalnya kala mengantar tamu dari Perancis untuk berwisata di Banyuwangi dan Bali. Perempuan yang disuntingnya tersebut adalah Artatik. Seorang janda dari seniman Banyuwangi, Fatrah Abal.

Keputusan Pitoyo menikahi Artatik dan memilih tinggal di Banyuwangi, mengantarkan hidupnya pada takdir yang lain. Kemampuannya berbahasa Belanda (dan juga Inggris) sejak kecil, menjadikannya sebagai penerjemah arsip-arsip Belanda tentang Banyuwangi.

Dwi Pranoto, seorang penggiat sejarah di Banyuwangi mendapat tugas untuk mencari sejarah lahirnya Banyuwangi. Ia pun mengakses arsip-arsip Belanda di ANRI. Arsip-arsip tersebut kemudian diserahkan kepada Pitoyo untuk diterjemahkannya. Bisa jadi, Pranoto mengetahui kemampuan Pitoyo itu dari Fatrah Abal. Meskipun telah bercerai, ia masih menjalin hubungan baik dengan bekas istrinya itu, bahkan dengan suami barunya.

Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht.

Dengan penuh ketekunan, Pitoyo menerjemahkan arsip-arsip tersebut. Bahkan, ia meminta saudaranya di Belanda untuk mengakses arsip-arsip lain yang tersimpan di Belanda. Atas jasa-jasanya inilah, banyak kisah tentang Banyuwangi yang terkuak. Mulai dari peperangan Puputan Bayu (1771 – 1772) hingga perkembangan tari Gandrung yang menjadi ikon Banyuwangi.

Hasil terjemahan dari Pitoyo itulah kemudian menjadi rujukan para penulis dan penggiat sejarah di Banyuwangi. Seperti terjemahnya atas De Indische Gids II yang ditulis oleh C. Lekkerkerker (1923), Blambangansch Adatsrecht karya Dr. Y.W. de Stoppelaar (1926), hingga Gandroeng van Banjoewangi karya John Scholte (1927).

Sampai saat ini, hasil terjemah dari Pitoyo tersebut, masih berupa manuskrip. Tulisan tangan, yang pernah diterbitkan – sejauh pengetahuan penulis – hanya Blambangansch Adatsrecht. Karya tersebut diterbitkan oleh Pusat Studi Budaya Banyuwangi (PSBB) pada 1991 dengan judul Hukum Adat Blambangan.

Selain itu, karya terjemah Pitoyo hanya ditemukan dalam kutipan di artikel karya penulis-penulis Banyuwangi. Seperti Hasan Ali, Fatrah Abal, Dwi Pranoto, Armaya dan lain sebagainya.

Karya terjemah Pitoyo atas arsip-arsip Belanda itu, kini kembali menggema. Sengker Kuwung Belambangan, sebuah NGO kebudayaan berbasis di Banyuwangi kembali menerbitkan karya terjemah Pitoyo. Kali ini adalah terjemah jilid kesebelas dari De Opkomst van het Nederlandsch gezag in Nederlandsch-Indie/ Java yang disunting oleh Jhr. Mr. J.K.J de Jonge dan M.L. van Deventer.

Terjemah yang diterbitkan dengan judul Belanda di Bumi Blambangan: Naskah-Naskah Arsip Kolonial Lama yang Belum Diterbitkan (Oktober: 2018) itu, memang tak keseluruhan. Hanya beberapa bagian buku saja yang diterjemahkan. Utamanya yang berkaitan langsung dengan Banyuwangi.  Paling banyak adalah arsip berupa surat yang ditulis oleh seorang Gubernur Jendral Hindia Belanda G.J Petrus Albertus van der Parra (w. 1775), ada delapan surat yang diterjemahkannya. Adapula empat arsip yang ditulis oleh Johannes Vos, seorang Gubernur dari Pesisir Timur Laut Jawa yang menjabat pada 1761-1765.

Setidaknya, ada tiga orang yang turut berjasa dalam mewujudkan buku primer dalam kajian sejarah Banyuwangi ini. Ialah Kang Munawir dan Banjoewangi Tempoe Doeloe (BTD) yang telah meluangkan waktu untuk mengarsipkan manuskrip terjemah karya Pitoyo dan mengetiknya ulang. Kemudian, Mas Emha Aji Rawamidi yang mengeditorinya, serta Mas Antariksawan Jusuf yang berusaha untuk mewujudkannya sebagai buku.

Waba’du, buku ini amat penting untuk para pengkaji sejarah Banyuwangi. Menyajikan sumber-sumber primer. Namun, bagi kalangan pemula (awam), membaca buku ini perlu bacaan-bacaan pendamping agar bisa mengerti alur ceritanya dengan baik. Selain Ujung Timur Jawa 1763-1813: Perebutan Hegemoni Blambangan (Yogyakarta: Pustaka Ifada, 2012) karya Sri Margana, juga ada Suluh Blambangan 1 & 2 (Banyuwangi: SKB, 2017) karya M. Hidayat Aji Rawamidi.

Selamat Membaca.