Menu

Tiga Berbeda di Klenteng yang Sama

ASAP putih meliuk usai Liong Kwo Tjun menyentuhkan ujung Hio di atas nyala lilin. Semerbak harum cendana menyergap indra penciuman siapa saja yang berada di ruang sembahyang. Tjun, begitu dia dipanggil, berjalan menuju satu per satu pintu dan berdiri di depannya. Di sana ada tiga pintu. Pintu paling barat untuk pengikut Konghucu. Bagian tengah untuk penganut Tao dan paling Timur untuk pengikut Buddha. Pada setiap pintunya Tjun berhenti sejenak dan mengatupkan tangan. Bibirnya bergetar merapal doa.

Pada pintu terakhir, tepatnya pintu masuk agama Buddha, Tjun berbalik badan dan berjalan menuju teras paling barat. Dia berhenti tepat di depan Altar. Di sana dia menancapkan tiga hio berwarna merah lantas merapal doa lagi. Kata Tjun, itu salam untuk Tian/Tuhan. Sebelum melakukan ritual apapun, warga Tionghoa biasanya berdoa pada Tian. Tian berarti yang mulia dan menempati kedudukan paling atas. Maka, altarnya diletakkkan di teras klenteng dan menghadap ke luar. Tujuannya agar Asap Hio bisa sampai ke atas berikut rapalan doa yang dipanjatkan.

Usai berdoa, Tjun berjalan memasuki pintu masuk paling barat dan melakukan ritual yang sama: menancapkan tiga hio berwarna merah ke altar Dewa Penjaga lantas berdoa. Begitu seterusnya hingga dia berada di depan altar Hok Tik Tjing Sien atau Dewa Bumi (Dewanya para petani).

Seperti bertamu ke rumah orang, bertamu ke klenteng juga harus menjaga kesopanan. Tidak boleh berkata kotor, apalagi berkelahi. “Itu tuan rumah di klenteng ini,” katanya menunjuk patung Hok Tik Tjing Sien.

Dewa Bumi berwujud orang tua berjenggot panjang, berjubah merah, dan tersenyum. Dikatakan dalam buku 600 Tahun Pelayaran Muhibah Zheng He (262 Tahun Tay Kak Sie) pada 2005 lalu, Dewa Bumi memiliki tugas menjaga panen palawija lancar serta manusia dan ternak hidup sejahtera. Namun seiring perubahan zaman, tugas Dewa Bumi semakin kompleks. Urusan pemerintahan termasuk melindungi keamanan desa, ketenteraman rumah dan kuburan, gunung, lembah, hingga tumbuhan juga menjadi tanggung jawabnya. “Kebanyakan warga Tionghoa di Kudus kan petani. Jadi pemilihan dewa disesuaikan dengan warganya. Tak heran di setiap klenteng memiliki dewa berbeda-beda tergantung masyarakat atau pemilik klentengnya,” katanya.

Dewa Bumi memiliki tugas menjaga panen palawija lancar serta manusia dan ternak hidup sejahtera.

Tjun, warga Tionghoa yang juga menjadi penasihat di Klenteng Hok Hien Bio mengaku tidak banyak warga Tionghoa yang datang ke klenteng. Klenteng lebih sering sepi, kecuali ada acara tertentu, seperti Bee Gwee, Ciswak, atau Imlek. Kadang-kadang ada yang datang untuk berkomunikasi dengan dewa.

Ya, dewa juga bisa berkomunikasi dengan manusia. Begitu sebaliknya. Komunikasi ini biasa dilakukan ketika sulit menentukan pilihan. Maka, biasanya warga Tionghoa datang ke klenteng dan mencoba melakukan ritual pak pwee atau pakpoe.

Penasaran dengan ritual ini, saya pun mencoba melakukan komunikasi dengan Dewa Bumi. Dipandu Tjun, saya memulainya dengan meminta izin Tian. Saya tancapkan tiga hio berwarna merah ke altar Tian lantas meminta izin.

Menancapkan hio juga ada aturannya. Badan harus tegak. Hio juga harus tegak lurus. Saat menancapkan hio, disarankan untuk sedikit membungkuk sebagai tanda hormat.

Pemilihan jumlah hio juga ada maksudnya. Hal ini disesuaikan dengan kepercayaan masing-masing orang. Namun biasanya berjumlah ganjil. Bisa satu, tiga, hingga kelipatannya. “Masalah jumlah ini memang ada filosofinya. Ada maknanya. Jadi tergantung individu masing-masing. Ada yang cukup tiga, ada yang sampai ratusan. Tergantung kebutuhan dan keperluan. Kalau saya biasanya tiga. Yang ganjil lebih mantep,” katanya. Usai menancapkan hio, saya mohon izin dengan menyebut nama dan mengutarakan maksud.

Sebelum bertemu Dewa Bumi, saya bertemu dengan Dewa Penjaga terlebih dahulu. Altarnya terletak persis di depan pintu masuk utama bagian barat. Maka setelah menancapkan hio, saya baru menemui Dewa Bumi.

Altar Dewa Bumi di Klenteng Hok Hien Bio cukup mewah. Berbeda dengan Dewa Penjaga. Altar Dewa Bumi berbentuk rumah mini berbahan kayu. Penuh ukiran dan tampak mewah. Tjun sendiri tidak mengetahui makna ukiran itu. Namun terlihat ada beberapa bentuk hewan (saya tidak yakin bentuknya. Mungkin singa, macan, atau semacamnya). Ada juga ukiran bunga dan tulisan mandarin. Di tengah rumah, ada patung Dewa Bumi dan dua patung lainnya. Di altar juga terlihat beragam ornanem berwarna merah, seperti lilin, tempat hio, bendera dengan tulisan mandarin, hingga pak pwee atau pakpoe. Pak pwee ini terbuat dari bambu yang didesain menyerupai bentuk hati. Pak pwee jumlahnya sepasang. Kegunaannya untuk berkomunikasi dengan dewa.

Altar Dewa Bumi di Klenteng Hok Hien Bio cukup mewah. Berbeda dengan Dewa Penjaga. Altar Dewa Bumi berbentuk rumah mini berbahan kayu. Penuh ukiran dan tampak mewah.

Sesuai arahan Tjun saya mencoba berkomunikasi dengan Dewa Bumi. Setelah meminta izin, saya diminta menunggu beberapa menit. Diyakini Tjun, dewa tidak langsung hadir setelah dimintai izin. Maka setelah dua menit berlalu, saya baru bisa melakukan ritual pak pwee.

Caranya cukup mudah. Yakni dengan melempar pak pwee ke tanah. Dari lemparan ini akan terjadi beberapa kemungkinan. Kemungkinan itu, menurut Tjun sesuai dengan konsep Yin Yang.

Tjun menjelaskan ada empat posisi pak pwee usai dilempar. Pertama dua tertelungkup yang artinya dewa tidak setuju. Kedua posisi dua terlentang artinya dewa tertawa atau diartikan bisa ya atau tidak (terserah). Ketiga satu terlentang, satu tertutup yang artinya setuju. Terakhir, salah satu atau dua-duanya berdiri tanpa bersandar pada apapun. Itu artinya akan terjadi hal yang mengejutkan.

Langkah pertama, saya meminta izin kepada dewa. Setelah meminta izin, saya diminta menunggu. Menurut keterangan Tjun, dewa tidak langsung hadir. Maka setelah dua menit berlalu, barulah saya memutar pak pwee di atas hio yang dipercaya umat Tionghoa sebagai alat penyampai maksud. Setelahnya pak pwee saya lempar ke tanah. Tujuannya untuk mengetahui dewa berkenan berkomunikasi dengan saya atau tidak. Beruntung, pak pwee lemparan saya dalam posisi satu terlentang dan satu tertutup. Itu artinya saya diterima. Saya berlanjut dengan empat pertanyaan. Setiap pertanyaan, saya harus izin dulu pada Dewa Bumi dengan menyebut nama dan pertanyaan kemudian memutar pak pwee di atas hio persis seperti langkah pertama tadi. Dari pertanyaan yang saya ajukan, ada yang disetujui, ada yang tidak disetujui, dan ada pula yang ditertawai.

Beruntung, pak pwee lemparan saya dalam posisi satu terlentang dan satu tertutup. Itu artinya saya diterima.

Tjun mengatakan bahwa pak pwee ini harus dilempar oleh orang yang ingin meminta bantuan kepada dewa. Tidak bisa diwakilkan. Pak pwee juga tidak boleh digunakan lebih dari tiga kali untuk pertanyaan yang sama. Alternatifnya bisa menggunakan pertanyaan lain. Dan yang paling penting, tidak boleh memaksanakan kehendak. Sebab ada kalanya dewa tidak mengizinkan, namun umat memaksa ingin mendapat persetujuan. Hal ini, menurut Tjun menyalahi aturan penggunaan pak pwee.

Selain pak pwee, ada juga ramalan nasib di klenteng ini. Namanya Ciamsi. Ciamsi berupa batang bambu yang digunakan untuk meramal nasib. Batang bambu itu diletakkan di wadah dan diberi nomor. Jumlahnya sekitar 100 batang. Cara penggunaannya dikocok untuk mengeluarkan batang bambu yang sudah diberi nomor tadi. Batang bambu yang keluar itulah yang kemudian disesuaikan dengan syair-syair yang dibacakan oleh Biokhong (penjaga klenteng) sebagai jawaban ramalan. Selain warga Tionghoa, banyak orang Jawa yang melakukan ritual ini. “Banyak yang meminta saya untuk membacakan Ciamsi. Baik Konghucu, Tao, Buddha, Katolik, hingga Islam,” kata Chudori, Biokhong asli Jawa. Kata Tjun, banyak yang cocok dengan ramalan Ciamsi.

Selain Dewa Bumi, di klenteng ini juga memiliki dewa lain, seperti Makco Kwan Iem Poo Sat (Dewi Welas Asih), Dewa Pengobatan Po Seng Tay Te atau Paw Shen Ta Ti dan beberapa dewa lain. Karena menjadi tempat peribadatan umat Tridharma (ajaran Taoisme, Buddhisme, dan konfusianisme), maka selain dewa dalam ajaran konfusianisme juga ada dewa dalam ajaran Buddhisme dan Taoisme.

Siang itu, Tjun memang sengaja sembahyang di kota kelahirannya. Meski sudah tinggal di Semarang, sepekan sekali, Tjun menyempatkan berkunjung ke Kudus. Selain mengurus pekerjaan, dia juga sembahyang di Klenteng Hok Hien Bio. “Banyak yang cocok dengan klenteng ini, termasuk saya,” kata salah satu penasihat di Klenteng Hok Hien Bio.

Baca juga: Kontestasi Politik Identitas Golongan Tionghoa Muslim

 

Lampion dan Altar  

LAMPION berwarna merah terpasang. Di depan altar, buah-buahan seperti pir, jeruk, apel tertata rapi. Terlihat dua lelaki bersusah payah menggeser lilin berukuran jumbo. Tamu klenteng sudah berdatangan. Ada yang dari Semarang, Jakarta hingga Sumatra.

Sore itu, pada Januari 2017 klenteng Hok Hien Bio ramai. Pengurus klenteng keluar masuk untuk menyiapkan acara Bee Gwee. Bee Gwee sendiri adalah ritual untuk menghormati Dewa Bumi. Biasanya acara ini diselenggarakan sebelum perayaan Imlek.

Bambang Goenarto atau Go Tjwan Bing, pengurus klenteng sekaligus ahli feng shui yang saat itu masih hidup mengatakan, jika perayaan Bee Gwee dilaksanakan di depan klenteng. Kata Bambang, Dewa Bumi tidak mengizinkan ada arak-arakan. Padahal umumnya perayaan Bee Gwee dilaksanakan di luar klenteng dengan mengarak tandu dewa dan atraksi liong-liong. “Dewa mintanya begitu. Kali ini agak berbeda,” katanya kala itu.

Kata Bambang, Dewa Bumi tidak mengizinkan ada arak-arakan. Padahal umumnya perayaan Bee Gwee dilaksanakan di luar klenteng dengan mengarak tandu dewa dan atraksi liong-liong.

Untuk mengetahui Dewa Bumi berkenan atau tidak, Bambang sebelumnya berkomunikasi dengan dewa. Kata Bambang, untuk berkomunikasi dengan dewa, ada ritualnya tersendiri. Namun Bambang tidak menjelaskan secara detail prosesinya.

Dalam berkomunikasi dengan dewa, Bambang mengaku tidak selalu berhasil. Ada kalanya gagal. Kegagalan ini biasanya karena tidak konsentrasi, keadaan kurang bersih, dan tidak sunggung-sungguh. Selama tidak fokus, komunikasi tidak bisa mulus. “Dalam Islam, tahajud menjadi salah satu cara bekomunikasi dengan Allah. Kadang bisa berkomunikasi kadang tidak. Lagi-lagi tergantung hati. Nah, dalam berkomunikasi dengan dewa juga demikian,” katanya.

Bambang lahir di Kudus, 14 Mei 1956 dan meninggal pada 2018 lalu itu memang menjadi salah satu ahli Feng Shui di Kudus.

Menurut Bambang, Feng Shui adalah ilmu alam. Feng berarti angin dan shui berarti air. Namun feng shui bisa juga dikatakan sebagai ilmu topografi Tionghoa. Bisa pula dikatakan sebagai ramalan dalam perhitungan Tionghoa.

Lelaki bershio monyet api ini mengatakan bahwa Feng Shui tidak sebatas pada pengaturan arah atau tata letak bangunan. Namun bisa diterapkan untuk menentukan hari baik, jodoh, percintaan, rumah tangga, peruntungan, hingga pemakaman. Lebih luas Feng Shui juga bisa digunakan untuk menentukan karir, perlindungan, dan keselamatan diri. Orang Jawa menurut Bambang, juga melakukan ritual serupa. Salah satunya dalam menentuan hari baik.

Lebih luas Feng Shui juga bisa digunakan untuk menentukan karir, perlindungan, dan keselamatan diri.

Maka sebagai keturunan Tionghoa Jawa, begitu dia menyebut dirinya, Bambang selalu menyocokkan hitungan Jawa dan Feng Shui ketika ada orang yang meminta untuk dicarikan hari baik.

Dalam kesempatan itu, saya meminta Bambang membaca karakter dan peruntungan saya. Pertama-tama, Bambang menanyakan tanggal lahir, bulan, dan tahun kelahiran saya untuk menentukan shio. Dalam dunia Feng Shui dikenal dengan istilah bazi. Bazi dilakukan dengan membaca karakter, keuangan, kesehatan hingga karir seseorang dengan menggunakan sifat atau kepribadian seseorang.

Setelah membaca karakter, Bambang memberi beberapa petunjuk tentang karir. Dia juga memberi wejangan agar kehidupan saya semakin baik.

Untuk jodoh, Bambang juga melakukan hal yang sama. Bedanya hasil hitungan akan dicocokkan dengan shio pasangan. Kemudian baru diketahui cocok atau tidak (sial: jiong: ciong).

Jika cocok, tentu saja hubungan bisa berlanjut ke pernikahan. Jika jiong, ada dua pilihan. Pertama tidak dilanjutkan karena terlalu beresiko. Bisa juga dilanjutkan namun harus melalui ruwatan atau Ciswak. “Kalau mau lanjut, memang harus buang jiong dulu. Tetapi kalau jiongnya terlalu berat, saya sarankan tidak usah melanjutkan pernikahan. Karena beresiko,” katanya.

Dia mengatakan bahwa shio sangat memengaruhi sifat dan masa depan seseorang. Agar ramalan lebih akurat, Bambang kadang-kadang mengombinasikan hitungannya dengan melihat garis tangan, memasukkan unsur Yin Yang, dan lima elemen (air, kayu, api, tanah, dan logam) sehingga ramalannya lebih akurat.

Feng Shui mengenal konsep pengolahan energi. Namun pengolahan energi ini dapat berubah bentuk untuk tujuan tertentu melalui proses metafisika.

Kata Bambang, Feng Shui mengenal konsep pengolahan energi. Namun pengolahan energi ini dapat berubah bentuk untuk tujuan tertentu melalui proses metafisika. Tak heran ilmu satu ini cukup sulit dipelajari. Bahkan tidak banyak yang menguasainya.

Untuk mempelajari ilmu ini, Bambang mengaku harus berlajar bertahun-tahun. Awalnya berguru ke Surabaya. Lalu pindah ke Semarang hingga berlanjut di Jakarta. Agar lebih fasih lagi, Bambang juga belajar ke negeri leluhurnya, Tiongkok. “Kan ada dalilnya, belajarlah hingga ke negeri China, Maka saya pun belajar hingga ke sana,” katanya lantas terkekeh. Dia percaya Yin (negatif) dan Yang (positif) yang menyebabkan kehidupan tidak konstan. Tak heran jika manusia kadang senang kadang sedih. Kadang sakit, lain waktu sehat.

Selain ramalan dan sembahyang, masih ada ritual Tionghoa lainnya. Namanya Ceng Beng. Kata Tjun, Ceng Beng merupakan ziarah kubur leluhur. Kegiatannya mendoakan sekaligus membersihkan makam sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga yang sudah meninggal atau biasa dikatakan sebagai sembahyang kubur. Ceng Bing biasanya jatuh pada 4 atau 5 April setiap tahunnya.

Dikutip dari tionghoa.info, kata Ceng Beng berasal dari dialek hokkian yang merupakan salah satu istilah dalam astronomi Tiongkok. Istilah itu mengacu pada salah satu dari 24 posisi matahari yang jatuh pada 4-5 April. Pada hari itu diyakini cahaya matahari akan bersinar paling terang, sehingga cuaca menjadi lebih hangat (http://www.tionghoa.info/hari-ceng-beng-festival-ching-ming/). Maka, saat itu diyakini inilah waktu terbaik untuk melakukan tradisi Ceng Beng ini.  “Jika NU ada ziarah kubur, kami ada Ceng Beng. Ya, kami juga melakukan penghormatan leluhur,” katanya.

Namun, dia melanjutkan, tradisi semacam ini dijauhi oleh Tionghoa Kristen. Penyebabnya karena tidak sesuai dengan ajaran Kristen. Keseluruhan prosesi itu dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada arwah orang mati (leluhur). Bagi Tionghoa Kristen penyembahan selain kepada Tuhan berarti melanggar iman Kristiani. Jika Muhammadiyah tidak ada tradisi ziarah kubur, maka sama halnya dengan pemeluk agama Kristen, tidak terkecuali bagi Tionghoa Kristen.

Perbedaan pandangan ini tentu saja menimbulkan perdebatan tersendiri di kalangan warga Tionghoa, tak terkecuali bagi Tjun.

Klenteng menyediakan makanan, seperti sate, gulai, dan beberapa kudapan untuk tamu.

Suatu malam, saya bertandang ke Klenteng Hok Hien Bio dan mengikuti kegiatan di sana. Dalam kegiatan itu beberapa warga Tionghoa terlihat duduk di meja untuk menjamu tamu. Saat itu bertepatan dengan Ramadhan. Klenteng menyediakan makanan, seperti sate, gulai, dan beberapa kudapan untuk tamu. Baik warga Tionghoa, tamu Muslim, atau pemeluk agama lain dipersilakan untuk mencicipi. Terlihat beberapa umat Buddha dan Islam berkumpul di sana, kecuali Tionghoa Kristen. “Tionghoa Kristen memang tidak mau ke klenteng. Apalagi mengikuti ritual. Sebab ajarannya begitu. Beberapa masih nekat ke sini. Itu pun diam-diam. Takut ketahuan,” kata salah satu warga. Warga yang lain menimpali. “Ya, kalau Tionghoa Kristen memang tidak ke klenteng. Takut. Nah kalau ada yang ke sini, mereka pakai masker, biar tidak ketahuan,” katanya.

Tjun yang saat itu hadir juga mengatakan bahwa Tionghoa Kristen memang tidak mengikuti ritual. Permaslahannya terletak pada kepercayaan bahwa ritual atau tradisi Tionghoa bertentangan dengan ajaran Kristiani. Sama halnya dengan warga Tionghoa lainnya yang menganggap bahwa Tionghoa Kristen tidak melestarikan budaya leluhur. Perbedaan itu sebetulnya dipahami keduanya bahwa setiap kepercayaan memiliki dasar-dasarnya yang kuat. Tionghoa Kristen mengikuti ajaran agama Kristen. Sedangkan warga Tionghoa melaksanakan tradisi leluhur. “Sebetulnya agak sulit menerima. Rasanya aneh saja. Namun tentu saja kami memaklumi,” kata Tjun.

Tjun menyangkal adanya sesembahan dalam ritual yang dijalankannya. Dia mengatakan bahwa tradisi ini sebagai bentuk penghormatan saja. Adanya patung dewa lengkap dengan altarnya juga sebagai bentuk penghormatan kepada dewa. Dengan adanya patung itu, mereka semakin fokus berdoa. Sedangkan penggunaan hio dalam ritual juga bukan bentuk sesembahan. Namun untuk meningkatkan konsentrasi agar khusyuk dalam menjalankan ritual. Kayu cendana yang dibakar akan mengeluarkan aroma terapi yang baik untuk menenangkan diri.

Pemberian buah dalam Ceng Beng maupun di altar dewa juga kadang diperbebatkan. Padahal, dalam pandangan orang Tionghoa, buah yang ditaruh di depan altar ada maknanya. Buah apel misalnya, menjadi simbol keselamatan. Buah jeruk berarti kesuksesan. Sedangkan pir berarti tata krama. Semuanya menjadi simbol untuk menjembatani hubungan antara manusia dengan leluhur atau dewa. “Nanti buah-buahannya juga dimakan kok,” terangnya. Dia terlihat membetulkan kacamatanya.

Pemberian buah dalam Ceng Beng maupun di altar dewa juga kadang diperbebatkan.

Bagi Tjun penghormatan kepada keluarga tidak dilakukan semasa hidup saja. Tetapi terus terjalin hingga orangtua telah meninggal dunia. Maka ritual Ceng Beng dilakukan untuk menghormati leluhur dengan tujuan agar ikatan kekeluargaan terus terjaga. Namun, kata Tjun, sebagian Tionghoa Kristen berpendapat bahwa ritual itu merupakan penyembahan. Padahal ritual itu menjadi bagian dari tradisi, bukan penyembahan terhadap orang mati atau berhala. “Saya perlu meluruskan ini agar orang tidak salah paham,” katanya.

Namun orang Tionghoa Kristen memiliki pandangan berbeda. Bagi Go Poen Tjwan atau Timotius Seno Joyo, salah satu Tionghoa Kristen asal Kudus mengakui bahwa ritual di klenteng memang telah menjadi perdebatan di kalangan Tionghoa Kristen. Sebab ritual yang dilaksanakan tidak sejalan dengan ajaran mereka. Jika ada Tionghoa Kristen yang melaksanakan ritual di klenteng tentu saja dinilai sebagai pelanggaran terhadap ajaran Kristen. “Jadi jelas kami tidak melakukan ritual di klenteng,” katanya.

Untuk ritual Ceng Bing misalnya, Seno, sapaan akrabnya mengatakan tidak melaksanakannya. Sebab Kristen mengajarkan bahwa manusia diciptakan dari tanah dan akan kembali ke tanah. Dalam ajaran Kristen, orang yang sudah meninggal tidak lagi berurusan dengan orang yang masih hidup melainkan langsung dengan Tuhan.

Dalam Alkitab (Kejadian 3:19) Tuhan berfirman bahwa “Dengan berpeluh engkau akan mencari makananmu, sampai engkau kembali menjadi tanah. Karena di situlah engkau diambil; sebab engkau debu dan engkau akan kembali menjadi debu.” Dari firman itu Seno menyimpulkan bahwa jika ingin berbuat baik dengan orangtua atau keluarga, maka seharusnya dilakukan semasa hidup. Sebab ketika manusia sudah meninggal dunia, maka jiwa, roh, dan nyawanya akan kembali lagi kepada Tuhan. “Yang sudah meninggal ya sudah. Urusannya sudah langsung kepada Tuhan, bukan lagi dengan manusia,” katanya.

Dia mengibaratkan Kristen itu mirip dengan Muhammadiyah. Sedangkan Katolik sama dengan Nahdlatul Ulama (NU). “Setelah ada kematian, kami tidak ada kegiatan apapun. Tidak ada kirim doa dan lainnya. Dalam hal ini, saya mengibaratkan agama Kristen nyaris sama dengan Muhammadiyah. Nah kalau di NU kan ada 7 hari kematian, sebulan kematian, setahun kematian dan seterusnya, kurang lebih sama seperti NU. Bisa dibilang Katolik dan NU toleransinya lebih tinggi. Sedangkan Kristen dan Muhammadiyah lebih strength,” tuturnya. Kendati demikian, dia mengaku, rutin ke kuburan untuk membersihkan makam orangtuanya.

Menurut keterangan Seno, ritual Tionghoa sudah bercampur dengan Jawa. Bukan asli Tiongkok lagi. Misalnya saja ritual tabur bunga. Baginya kegiatan itu bukan tradisi Tionghoa. “Itu kan sebetulnya campuran dengan Jawa dan ada unsur ajaran Buddhanya juga. Jadi tidak betul-betul asli Tiongkok,” akunya.

Itu kan sebetulnya campuran dengan Jawa dan ada unsur ajaran Buddhanya juga. Jadi tidak betul-betul asli Tiongkok.

Perbedaan pandangan ini tentu saja menjadi perselisihan tersendiri bagi Tionghoa dan Tionghoa Kristen. Meski berbeda, Seno mengakui bahwa tidak ada perdebatan sengit atau konflik besar. Tentu saja ada pro dan kontra, akan tetapi selalu disikapi bijaksana. “Kamu dengan kepercayaanmu. Aku dengan kepercayaanku,” begitu katanya.

Dia tidak memungkiri ada keluarga yang memiliki perbedaan pandangan. Itu wajar. Namun biasanya tidak ada perdebatan lanjutan. Misalnya soal ritual penentuan hari baik, letak pemakaman, hingga Ciswak (penolak bala).

Seno menceritakan ada Tionghoa yang masih menghitung hari saat meninggal. Makanya muncul istilah gunung, guntur, segoro, dan sat. Dalam hitungan Jawa namanya neptu pasaran orang meninggal. Ada maknanya. Gunung berarti mendapat kemuliaan. Guntur akan mendapat banyak kesulitan. Segoro berarti murah rezeki. Terakhir sat atau asat artinya mengalami kesulitan ekonomi. Dalam hitungan Tionghoa juga demikian. Misalnya meninggalnya hari Senin, nanti dikuburkan hari Rabu. Jika hitungan kurang baik, maka akan dilakukan ritual tolak bala atau Ciswak. Untuk menolak bala ada beberapa cara seperti melepas burung merpati dan memecah semangka. Nah biasanya yang demikian ini dilakukan orang klenteng (Buddha, Tao, dan Khonghucu). “Lagi-lagi ini karena kepercayaan masing-masing,” jelasnya.

Dalam esai berjudul Menafsir Ulang Hubungan Tradisi Cina dan Kekristenan di Indonesia yang disarikan dari tesis berjudul “Reimagining Chinese Culture Tradision: The Quandary between Chinese Culture Tradition and Christian Dogma in Indonesia” oleh Ira Chuarsa menjelaskan bahwa fenomena hubungan Tionghoa dengan Tionghoa-Kristen menimbulkan perdebatan. Tak sedikit perselisihan muncul karena adanya keluarga bukan Kristen menjalankan tradisi itu. Juga perselisihan akibat pandangan bahwa Cina-Indonesia-Kristen tidak berbakti kepada leluhur.

Dalam tulisannya, Ira menawarkan solusi untuk mengatasi kesenjangan berbagai identitas dengan memahami ulang makna ‘agama’. Praktik-praktik tradisi Cina yang dipahami dalam prespektif fenomenologis yakni menyerap makna dan membangun tafsir intersubjektif dan lintas-budaya antara budaya penafsir dan budaya dalam praktik budaya itu sendiri.

Namun bagi Seno sulit menafsirkan makna agama itu sendiri. Baginya, antara agama dan tradisi atau kepercayaan dengan budaya memiliki keterikatan dan sulit dipisahkan. “Agama dan tradisi itu seperti menyatu satu sama lain. Sulit dipisahkan. Makanya, saya katakan, tidak usah diperdebatkan. Lakukan saja menurut keyakinan masing-masing,” katanya.

Baca juga: Batik Tok Wi

 

Tionghoa Kristen 

LELAKI itu berjalan pelan dan berhenti di sebuah ruangan di Gereja Isa Al Masih Kudus. Di ruang itulah, dia meminta saya menunggu. Beberapa menit kemudian dia kembali.

Namanya Liem Tjong Hian atau Lukas Sutrisno. Dia tercatat sebagai koordinator pendeta di Gereja Isa Al Masih Kudus. Lukas, begitu keluarga memanggilnya lahir dua tahun sebelum merdeka. Saat itu Jepang masih menjajah Indonesia.

Saya tertarik mengenalnya karena dia Tionghoa, pendeta, dan beragama Kristen. Maka, posisinya sangat penting dalam membahas hubungan tradisi Tionghoa dengan Tionghoa kristen. Tentu saja ditilik dari kacamata seorang Pendeta Kristen Tionghoa.

Lukas hanya tersenyum saat saya bertanya hubungan klenteng, Tionghoa, dan Tionghoa Kristen. “Saya ini tidak mengetahui leluhur saya. Kakek dan nenek sudah meninggal saat saya lahir. Yang saya tahu ya, Papa dan Mama. Bagaimana saya menghormati leluhur, jika saya saja tidak mengenal mereka. Tahu fotonya saja tidak,” katanya. Suaranya halus, namun jelas. Sesekali meninggi saat mengucapkan kalimat “Bagaimana saya menghormati leluhur, jika saya saja tidak mengenal mereka. Tahu fotonya saja tidak.” Ya, kalimat itu mendapatkan penekanan untuk memperkuat argumennya.

Lukas mengaku sejak kecil dididik orangtuanya secara Kristen. Dia tidak mengenal penyembahan seperti di klenteng. “Kami diajarkan untuk taat kepada Tuhan Yesus berikut dengan ajarannya,” tuturnya.

Maka segala ritual di klenteng tidak dia jalankan. Misalnya Bee Gwee, Ciswak, Ceng Beng, hingga ritual lain di klengteng. Bahkan ramalan hingga penentuan hari baik juga tidak dia percayai.

Firman Tuhan yang tertuang dalam Keluaran (20:3-5) Perjanjian lama berbunyi “Jangan ada padamu Allah lain di hadapan-Ku (20:3). Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di bawah, atau yang ada di air di bawah bumi (20:4). Jangan sujud menyembah kepada atau beribadah kepadanya, sebab aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalas kesalahan bapa kepada anak-anakya, kepada keturunanya yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku (20:5).” Itu salah satu firman yang menjadi pedoman umat Kristen dalam menjalankan ajaran Yesus. Dia menekankan kata TUHAN harus menggunakan huruf kapital. Sebab kata TUHAN ini untuk membedakan Tuhan buatan manusia atau TUHAN yang dia yakini. “Ya memang harus dibedakan. Jika disamakan, nanti maknanya juga sama. Padahal itu jelas berbeda,” begitu dia menjelaskan.

Jangan sujud menyembah kepada atau beribadah kepadanya, sebab aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu yang membalas kesalahan bapa kepada anak-anakya, kepada keturunanya yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci aku (20:5).

Kendati demikian, dia tidak memungkiri bahwa dalam keluarga besarnya masih ada yang melaksanakan peribadatan di klenteng. Bahkan perdebatan sering terjadi karena mereka berbeda keyakinan.

Dia mencerikan suatu hari papanya meninggal dunia. Saat akan dikebumikan, salah satu kerabat tergopoh-gopoh ke kuburan sambil membawa semangka. Rupanya kerabatnya akan memasukkan semangka itu ke dalam kuburan papanya. Lukas pun melarang.

Menurut kepercayaan kerabat, kematian papanya tepat pada dino renteng. Hal itu diyakini akan berdampak buruk terhadap keluarga. Maka kerabat yang masih percaya dengan ramalan, memaksa Lukas untuk memberikan Ciswak agar bisa menolak bala. “Saya katakan waktu itu pada adik Papa saya. Ora usah digawan-gawani koh. Iki wong Kristen kok,” kata Lukas. Kerabatnya pun menjawab. “Mengko nek ono opo-opo piye. Matine pas dino renteng,” katanya. Tetapi Lukas bersikeras melarang siapa saja yang memasukkan semangka dan lele ke dalam kuburan Papanya. “Semongkone mengko tak pangane. Lelene mengko tak gorenge,” jawab Lukas singkat. Setelah perdebatan itu, jasad papanya lenyap dari pandangan karena diuruk tanah.

Tepat 40 hari setelah kematian itu, anak dari kerabatnya (kerabat yang akan memasukkan semangka yang diceritakan di awal) meninggal dunia. Kematian itu membawa perselisihan antarkeluarga. Kerabat menyalahkan tindakan Lukas yang  tidak memercayai ramalan itu. Sedangkan Lukas tetap berpegang teguh pada keyakinannya.

Lukas datang ke rumah duka dan turut berbelasungkawa. Namun dia diusir. Dadanya dipukuli. Dia tidak diperbolehkan menginjakkan kaki di rumah duka. Suasana menjadi tidak kondusif. Sebagian keluarga menenangkan kerabatnya. Sebagian lagi meminta Lukas pergi dari sana. Lukas pun pulang dengan perasaan tidak karuan.

Lukas memaklumi tindakan itu secara rasional. Dia tetap berpikiran positif bahwa kerabatnya masih tidak terima anaknya meninggal dunia. Benar saja, seiring berjalannya waktu, kerabatnya itu mulai menerimanya kembali. “Lagi-lagi ini kan perkara kepercayaan. Kalau sejak dalam pikiran percaya bahwa dino renteng itu bakal membuat sial, ya kejadian betulan. Semua tergantung dengan pikiran masing-masing,” begitu Lukas menceritakan.

Dalam primbon Jawa memang ada istilah dino renteng. Dino renteng adalah hari yang jumlah neptu dan pasarannya (weton) sama selama tiga hari berturut-turut.

Dalam primbon Jawa memang ada istilah dino renteng. Dino renteng adalah hari yang jumlah neptu dan pasarannya (weton) sama selama tiga hari berturut-turut. Ada yang bilang dino renteng ini baik untuk menuntut ilmu. Ada juga yang menggunakannya untuk meramal cuaca.

Tak dipungkiri, banyak orang yang masih percaya hari-hari tertentu (dianggap baik). Tradisi itu hingga kini masih dijalankan. Biasanya orang mencari hari baik untuk menikah, mencari keberuntungan, menolak sial, hingga pemakaman. Namun bagi iman Kristen, Lukas menyebut tidak ada hari tertentu untuk melaksanakan kegiatan. Semua hari baik. Dan Lukas meyakini itu.

Lukas mengatakan bahwa dalam ajaran Kristen melakukan kunjungan ke makam memang tidak diwajibkan. Namun tidak juga dilarang. Sesuai imam Kristen, yang sudah meninggal ya sudah. “Kalau ingin berbakti dengan orangtua seharusnya dilakukan saat orangtua masih hidup,” katanya.

Kuburan juga tidak perlu dihias terlalu mewah. Sederhana saja. “Kuburan orang Tionghoa itu mahal. Ada yang sampai ratusan juta. Kalau kami rasa kok berlebihan.  Pembuatan altar di klenteng juga demikian. Padahal tidak perlu mengeluarkan biaya yang begitu mahal hanya untuk mempercantik makam,” tuturnya.

Namun, dia mengatakan bahwa perkara agama dan tradisi itu memang memiliki keterikatan. Lukas mengatakan, Tuhan telah berfirman dalam Matius 9:29 “Jadilah kepadaku menurut imanmu.” Tuhan juga berfirman dalam Yakobus 2:22 yang berisi “Iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.”  Maka Lukas meyakini bahwa terjadilah sesuai imanmu. “Maksudnya, kamu mantap yang mana, ya silakan,” tuturnya.

Iman bekerja sama dengan perbuatan-perbuatan dan oleh perbuatan-perbuatan itu iman menjadi sempurna.

Dari firman itu Lukas menjelaskan bahwa iman berarti percaya pada janji Tuhan. Maka, sesuai imam Kristen tentu saja dia bertindak sesuai dengan janji Tuhan tersebut.

Saat sedang berdiskusi, Seno yang kebetulan menjadi salah satu sekertaris di Gereja Isa Al Masih muncul. Seno pun turut berdiskusi. Dia mengatakan bahwa semua agama pasti mengajarkan hal baik. Maka dia mengatakan terjadilah sesuai imanmu. “Selama ini kami tidak memperdebatkan soal keyakinan. Ya sudah masing-masing,” ungkap lelaki berusia 61 tahun ini.

Khusus Imlek, Seno mengaku semua warga Tionghoa masih merayakannya. Baik itu Tionghoa Katolik, Tionghoa Kristen, maupun Tionghoa Muslim.

Seno mengatakan bahwa Imlek bukanlah hari raya umat Khonghucu, melainkan penanggalan bulan dalam kalender Tionghoa. Biasanya disebut tahun baru Tionghoa.

Seperti perayaan Idul Fitri, saat Imlek Seno dan warga Tionghoa mengunjungi keluarga dan kerabat secara bergantian. Warga yang lebih muda biasanya mendatangi yang lebih tua. Seno juga akan menyantap makanan bersama saat Imlek. Ada daging, buah-buahan, hingga aneka kudapan khas Imlek, seperti kue keranjang dan siu mie (mie panjang umur) untuk dimakan bersama keluarga. Kebanyakan warga Tionghoa juga membeli baju baru hingga membagikan ang pauw (amplop berisi uang).

Dia mengatakan bahwa tradisi perayaan Imlek di Tiongkok dan sekitarnya jauh lebih kuat.

Dia mengatakan bahwa tradisi perayaan Imlek di Tiongkok dan sekitarnya jauh lebih kuat. Kegiatan mengunjungi keluarga besar, terutama yang lebih tua, ketika Imlek tiba juga menjadi agenda besar warga Tionghoa di sana. “Kebetulan saya di Hongkong tepat saat imlek. Itu sekitar beberapa tahun lalu. Di sana ramai sekali. Bandara saja penuh. Eh ternyata mereka melakukan perjalanan untuk bersilaturahmi ke sanak saudara. Jadi kalau di sini ya kayak lebaran,” tuturnya. Namun, dia menegaskan bahwa itu bukan bagian dari ritual sembahyang, hanya tradisi asli Tionghoa saja.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) Kudus Peter M. Faruq. Peter sapaan akrabnya mengatakan bahwa ritual di klenteng memang tidak dijalankan oleh warga Tionghoa Muslim. Namun, dia tidak memungkiri kalau masih merayakan Imlek bersama keluarga. Baginya antara Imlek dan ritual keagamaan di klenteng itu berbeda. Imlek merupakan tahun baru dalam penggalan kalender Tionghoa.

Dalam buku yang ditulis oleh Hew Wai Weng dan diterjemahkan oleh Afthonul Afif berjudul Berislam Ala Tionghoa: Pergulatan Etnisitas dan Religiositas di Indonesia (2019) menjelaskan bahwa ada tiga jenis tanggapan terhadap perayaan Imlek bagi warga Tionghoa Muslim. Haram, tidak haram dengan persyaratan, dan tidak haram sekalipun disertai ritual adat Tionghoa. Dalam bukunya itu, Weng menjelaskan bahwa banyak Tionghoa Muslim yang menilai bahwa perayaan Imlek tidak haram selama tidak menyertakan ritual seperti membakar dupa dan memberikan sesembahan. Sebagian lain menganggap bahwa perayaan Imlek dalam berbagai bentuknya tetap tidak diperbolehkan. Sedangkan ada juga yang masih menjalakan ritual adat untuk menunjukkan penghormatan kepada leluhur. Tiga hal ini masing-masing dipengaruhi oleh pengalaman sosial, interaksi keluarga, dan budaya.

Kebanyakan dari kami tidak ke klenteng, apalagi mengikuti ritual. Kalau merayakan Imlek ya di rumah saja.

Merujuk pada alasan yang kedua Peter tetap merayakan Imlek. Peter mengatakan bahwa perayaan Imlek umumnya memang masih dijalankan oleh warga Tionghoa Muslim di Kudus. “Kebanyakan dari kami tidak ke klenteng, apalagi mengikuti ritual. Kalau merayakan Imlek ya di rumah saja,” ungkapnya.

Dalam cara menanggapi Imlek, Peter menyebutkan bahwa apa yang dilakukan oleh kalangan Tionghoa Muslim tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Tionghoa Kristen, merayakan Imlek tanpa perlu menyertainya dengan ritual menurut tradisi Tionghoa. “Kalau Katolik memang masih mengikuti tradisi di klenteng. Namun kalau Kristen tidak. Sebab ada kepercayaan tidak boleh memuja selain Tuhan Yesus,” paparnya.

Sejumlah Tionghoa Muslim juga masih melaksanakan ritual Ceng Beng. Sebagian lagi tidak. Kegiatan Ceng Beng dilaksanakan dengan mengunjungi makam, membersihkan makam, berdoa, dan memberi makanan. Peter sendiri mengaku hanya ikut-ikutan saja. Asal gabung tanpa mengikuti ritualnya.

Bagi Peter, ziarah kubur itu wajib. Maka, setiap malam Jumat dia selalu menziarahi makam orangtuanya. Tentu saja ini berbeda dengan ritual Ceng Beng, meski sama-sama melakukan kunjungan ke makam leluhur, namun ziarah yang dia lakukan mengikuti tata cara Islam. Tujuannya adalah mendoakan orangtua yang sudah meninggal, tentu saja tanpa dupa atau sesembahan.

Baca juga: Meninggalkan Pasar

 

Biokhong 

PAGI itu, sekitar pukul 10.00 saya berkunjung ke Klenteng Hok Hien Bio. Klenteng ini beralamat di Jalan A. Yani No 10 Kudus. Di sana, saya bertemu dengan Chudori, Biokhong atau juru kunci klenteng ini. Dia beretnis Jawa dan pemeluk agama Buddha. Orang-orang biasa menyebutnya dukun klenteng. Ini karena dia menguasai seni ramalan Tionghoa. Salah satunya adalah memandu ritual Ciamsi.

Dulu, sebelum tinggal di klenteng, dia hidup di Undaan, wilayah Kudus bagian selatan yang berjarak sekitar 9–10 kilometer dari pusat kota. Suatu hari, dia berkenalan dengan orang Tionghoa dan menawarinya pekerjaan sebagai Biokhong. Waktu itu dia ragu menerima tawaran tersebut. Namun oleh kenalannya itu, dia dijanjikan untuk diajari tata cara menjalankan ritual di klenteng. Choduri setuju. Sejak saat itu dia pun resmi menjadi Biokhong di sana.

Selama mengabdi di klenteng, dia diajari banyak hal. Mulai dari sembahyang, ritual, memandu Ciamsi, hingga ritual membakar kertas.

Dalam perjalanannya, dia pun mengajak istri dan anak-anaknya untuk tinggal di klenteng. Hingga kini, dia dan istrinya masih tinggal di sana. Sedangkan anak-anaknya ada yang sudah mentas dan masih sekolah.

Upah menjadi Biokhong tidak banyak. Bisa dikatakan kurang untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi biaya sekolah anak. Untuk itu, dia mencari tambahan penghasilan dari membantu pengunjung klenteng melakukan ritual Ciamsi hingga membuat perkumpulan barongsai di klenteng. “Upah dari sini memang sedikit. Kalau saya dan istri tidak mencari tambahan penghasilan ya repot. Dapur tidak mengepul,” katanya.

Perkumpulan barongsai dia dirikan bersama anak dan teman-temannya. Dia melatih personelnya setiap hari agar mampu tampil memukau.

Perkumpulan barongsai dia dirikan bersama anak dan teman-temannya. Dia melatih personelnya setiap hari agar mampu tampil memukau. Dari usahanya ini, dia sering diundang ke beberapa tempat. Kadang untuk acara sekolah hingga acara sunatan. Hasilnya memang tidak seberapa. Namun cukup untuk menambal kebutuhan hidup sehari-hari dan sisanya untuk melestarikan kesenian barongsai.

Tidak hanya itu, dia juga kadang diminta memandu ritual Ciamsi. Ritual ini hanya bisa dilakukan oleh dirinya, dan tidak sedikit warga Tionghoa yang meminta bantuannya untuk melakukan ritual ini. “Ya kadang dikasih limapuluh ribu. Kadang seratus ribu. Tidak tentu,” katanya.

Suatu malam ketika saya berkunjung, saya menyaksikan ada orang yang ingin melakukan ritual Ciamsi. Saat itu Chudori menolak. Katanya, dia sedang lelah, dan ini membuatnya sulit berkonsentrasi. Dia khawatir ramalannya tidak akurat. “Lagian sudah terlalu malam. Mending besok pagi saja,” dia menyarankan.

Tidak hanya orang Katolik, ritual itu juga dilakukan oleh orang Tionghoa Kristen, bahkan ada pula yang Muslim. Khusus untuk Tionghoa Kristen, mereka biasanya melakukannya secara diam-diam. Tidak jarang mereka datang dengan menutup wajahnya. “Khawatir kalau ketahuan pendeta,” jelasnya. Ada juga yang melakukan Pak Pwee. Mungkin sedang bingung dengan suatu masalah. Ya, meski mereka bukan orang klenteng, Chudori tetap membantu.

Orang Tionghoa Kristen yang datang biasanya minta air doa. Air itu, dia sendiri yang mendokan. Banyak yang cocok, namun ada pula yang tidak. “Orang Islam dan Tionghoa Kristen memang masih banyak yang ke sini. Mereka yang masih percaya dengan ritual klenteng. Bagi saya sah-sah saja. Tidak perlu ada yang diperdebatkan,” tuturnya.

Orang Tionghoa Kristen yang datang biasanya minta air doa. Air itu, dia sendiri yang mendokan.

Terkait Tionghoa Kristen yang masih mengunjungi klenteng, Seno mengakui memang masih ada. Namun baginya, itu urusan masing-masing. Orang lain tidak berhak menghakimi atau menentukan dosa atau tidak.

Dia menjelaskan, ada dua tipe orang Tionghoa Kristen yang sering mengunjungi klenteng.

Pertama Tionghoa Kristen yang hanya berkunjung ke klenteng saat diminta bantuan atau sengaja hadir karena ada kegiatan. Kategori yang kedua yakni Tionghoa Kristen yang masih berdoa di klenteng. Kategori terakhir ini dalam imam Kristen dikatakan mendua di hadapan Tuhan.

Seno mengaku sering berkunjung ke klenteng untuk mengikuti kegiatan di sana. Misalnya perayaan Imlek atau Bee Gwee. Namun dia menyangkal mengikuti ritualnya. “Saya hanya ikut saja. Tidak tidak ikut ritualnya,” ujarnya.

Baca juga: Kesaksian Seorang Editor Penggerutu

 

Geger Kudus 

LIONG KWO TJUN tumbuh di sebuah kota kecil bernama Kudus. Kota dengan aroma tembakau dan pengaruh Islam yang kuat. Kehidupannya adem ayem. Tidak ada gejolak antara warga Tionghoa dengan orang Jawa. Mereka hidup rukun bertetangga. Baik dengan umat Islam maupun umat agama lain. Meski demikian, dulu di kota ini pernah terjadi peristiwa kelam yang tercatat dalam sejarah. Pada 1918, terjadi kerusuhan besar yang dikenang sebagai Geger Kudus. Kerusuhan ini melibatkan warga Tionghoa dan Jawa.

Dalam buku berjudul Kudus karya Amen Budiman disebutkan bahwa pada 30 Oktober 1918 Kudus pernah menjadi tempat perseteruan antara warga pengangkut pasir (pribumi) dengan warga Tionghoa yang saat itu sedang melintas di depan menara Kudus. Warga Tionghoa yang sedang melaksanakan pawai berpapasan dengan warga pengangkut pasir. Karena menghalangi jalan hingga salah satu pengendara kuda dalam pawai itu terjatuh, warga Tionghoa pun tidak terima dan memaki-maki pengangkut pasir. Karena kedua pihak sama-sama tidak terima, maka terjadilah perkelahian.

Amen menyebutkan sehari setelah peristiwa itu, tepatnya malam hari, rumah dan toko warga Tionghoa dilempari batu dan dibakar. Banyak korban berjatuhan dalam aksi kekerasan ini. Baik dari warga pribumi maupun Tionghoa. Kerusuhan ini pun menjadi noktah hitam dalam sejarah Kudus.

Sejak saat itu, kehidupan warga Tionghoa Kudus mulai terancam. Keberadaan mereka terasingkan karena dianggap berbeda. Tidak berhenti di situ, pada 1967, saat Tjun berusia 9 tahun, Soeharto melarang semua hal yang berbau Tionghoa ditampilkan di depan publik. Perayaan budaya warga Tionghoa tidak boleh dilaksanakan, kecuali di area klenteng. Mereka juga dipaksa mengganti nama. Bahasa Mandarin tak boleh diajarkan di sekolah. Meski semuanya sudah dilaksanakan, mereka tetap saja dianggap “asing”. Ketika peristiwa September 1965 meletus, mereka lagi-lagi menjadi sasaran kekerasan karena dianggap komunis. Pengebirian ruang gerak mereka tertuang dalam Inpres No.14 Tahun 1967. Karena larangan ini, warga Tionghoa termarjinalkan secara politik.

Perayaan budaya warga Tionghoa tidak boleh dilaksanakan, kecuali di area klenteng.

Pada masa itu, kehidupan memang serba sulit. Selalu saja ada alasan untuk mencurigai mereka. Meski demikian, dia tidak pernah merasa dikucilkan oleh teman-temannya.

Namun dia mengaku pernah mendapatkan perlakuan diskriminatif dari lurah di desanya. Dia dituduh sebagai anak Partai Komunis Indonesia (PKI). Namun Tjun tidak menghiraukannya. “Santai saja. Yang penting saya masih tercacat sebagai warganya, meski masih dianggap asing,” katanya diiringi derai tawa.

Tjun tidak memiliki nama lain. Baik nama Indonesia maupun Jawa. Namanya tetap Liong Kwo Tjun. Padahal saat itu Soeharto sedang gencar memerintahkan warga Tionghoa untuk mengganti nama. “Saat itu saya masih lemah perekonomiannya. Jadi tidak terlalu dipermasalahkan,” katanya.

Namun pengucilan itu berakhir ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden RI. Disebutkan dalam buku Bapak Tionghoa Indonesia karya MN. Ibad dan Akhmad Fikri AF bahwa Inpres tersebut dicabut oleh Gus Dur. Gus Dur juga mengeluarkan Kepres No. 19 Tahun 2002 dan meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Kemudian dijelaskan dalam buku yang sama bahwa Sosilo Bambang Yudoyono juga mengeluarkan kebijakan berupa UU No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Etnis Tionghoa dalam undang-undang ini telah diakui sebagai warga negara Indonesia asli. Kini warga Tionghoa dapat bernafas lega, meski mereka menyadari bahwa sewaktu-waktu mereka dapat dikambinghitamkan kembali ketika situasi politik tidak menentu.  “Ono sing ngomong. Wah wong Cino kuwi pinter bisnis. Duite akeh. Itu omong kosong. Orang Cina yang tidak bisnis juga banyak. Yang gak punya uang ya banyak. Yang nakal-nakal ya banyak. Ini bukan karena etnisnya, tetapi personalnya. Namun cap bagi orang Tionghoa seakan tidak ada habisnya. Makanya banyak orang Tionghoa yang enggan masuk ke politik. Ahok hanya satu dari seribu yang berbeda,” ungkapnya.

Ono sing ngomong. Wah wong Cino kuwi pinter bisnis. Duite akeh. Itu omong kosong. Orang Cina yang tidak bisnis juga banyak. Yang gak punya uang ya banyak. Yang nakal-nakal ya banyak. Ini bukan karena etnisnya, tetapi personalnya.

Tjun merasa sudah menjadi orang Jawa asli. Itulah mengapa dia enggan berpindah kewarganegaraan. Sebab dia lahir dan mencari makan di negara ini. “Kalau disuruh pindah, jelas tidak mau. Saya ingin tetap di Indonesia. Mengabdi di sini. Saya ini kurang Jawa apa? Saya tidak doyan makanan Tiongkok. Saya pernah pergi ke sana beberapa kali. Namun saya tidak bisa makan. Maka setiap kali berpergian, saya sering membawa sambel trasi,” katanya lantas tertawa. Dia memainkan ponselnya. Katanya, ada mahasiswa yang ingin bertemu dengannya. Namun beberapa saat ditunggu, mahasiswa itu tak kunjung datang.

Tjun dididik secara Katolik oleh orangtuanya. Namun sebagai Tionghoa, dia juga diajarkan untuk menjunjung tinggi ikatan kekeluargaan sesuai ajaran leluhurnya, seperti berbakti kepada orangtua, kerabat, dan leluhur. Tak hanya itu, dia juga diajarkan untuk tetap berbakti setelah orangtua dan keluarga meninggal dunia.

Dalam tradisi Tionghoa, kata Tjun, menghormati orangtua dan leluhur harus dilakukan sepanjang hidup. Baik kepada keluarga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal dunia. Penghormatan itu dilakukan agar hubungan kekerabatan mereka tidak terputus.

Selain penghormatan kepada leluhur, Tjun juga diajarkan untuk melaksanakan segala ritual di klenteng. Baginya ritual merupakan tradisi yang tidak bisa dipisahkan dari statusnya sebagai keturunan Tionghoa. Maka selain rajin ke gereja, dia juga rajin ke klenteng.

Pada 1983, Tjun menikahi pacarnya, seorang Tionghoa-Kristen bernama Esther Ikawati, 60. Tjun bershio ayam dan Esther bershio babi. Menurut perhitungan feng shui kedua shio ini cocok, meski berbeda keyakinan.

Tjun menyadari perbedaan itu sejak mengenal Esther di sekolah. Esther terkenal sebagai Tionghoa-Kristen yang taat. Esther, begitu Tjun mengisahkan, tidak akan mengubah keyakinannya hanya untuk menikahinya.

Esther selalu membujuk Tjun untuk tidak lagi mendatangi klenteng.

Bagi Esther, melakukan ritual di klenteng merupakan sebuah larangan. Bahkan terhitung perbuatan dosa. Esther selalu membujuk Tjun untuk tidak lagi mendatangi klenteng. Namun Tjun seringkali menasehati istrinya bahwa menghormati keyakinan orang lain itu lebih penting. “Jadi perbedaan kami ini tidak hanya sekedar beda gereja saja. Tetapi beda tradisi juga. Saya masih melaksanakan ritual di klenteng. Sedangkan istri saya, ke klenteng saja tidak mau. Anehnya, kami masih satu atap,” jelasnya.

Esther, kata Tjun, tidak pernah memintanya pindah agama. Namun, istrinya berulang kali memintanya agar tidak mengikuti ritual di klenteng.

Esther berpandangan bahwa ritual itu salah. Ritual itu larangan. Larangan yang terus menerus dilukukan akan berdampak buruk bagi seseorang. “Jadi istri saya selalu bilang tidak usah ke klenteng koh. Tidak perlu mengikuti ritual di sana. Biar nanti kalau meninggal dunia bisa bersama-sama. Bisa masuk surga bersama,” Tjun menirukan saran istrinya. Namun Tjun menolak. Tjun geleng-geleng kepala. “Saya jawab saja. Kita ini mati kapan? Apa bisa kita merencanakan kematian bersama? Aku bisa mati lebih dulu. Kamu juga bisa mati lebih dulu. Sudahlah, kamu jalankan saja apa yang kamu yakini. Aku juga menjalankan apa yang aku yakini,” kata Tjun. Dalam ajaran Kristen, mengkristenkan orang bisa mendatangkan pahala. Itulah mengapa Esther selalu mengajak Tjun untuk menghentikan ritual di klenteng. Meski nyaris tidak pernah mengajak Esther ke klenteng, Tjun merasa sikap istrinya itu aneh.  “Bagi saya tetap aneh. Keturunan Tionghoa tetapi meninggalkan ritual di klenteng. Lha wong ini budaya leluhur,” katanya lantas tertawa.

Namun, Tjun sadar bahwa perbedaan itu memang tidak perlu dibesar-besarkan. Tjun bertekad dia tidak akan meminta istrinya berpindah agama atau mengikuti ritual di klenteng. “Saya katakan. Ya sudahlah, keyakinan kita memang beda. Namun yang lain kan tidak. Jika sulit menyatukan perbedaan, maka satukan saja persamaan kita. Kita lupakan perbedaan. Toh kami masih suka dengan sambel trasi.

***

0
561
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.