DONASI

Wato dan Sebuah Rahasia

Tiga kali dalam seminggu, sebelum beranjak tidur, aku menceritakan sebuah kisah sejarah kepada Moliye, putriku. Sudah sebulan terakhir ini aku melakukannya.   Kenapa? Apa nama...

LEMBAR | WEDNESDAY, 10 APRIL 2019 | 17:43 WIB

Tiga kali dalam seminggu, sebelum beranjak tidur, aku menceritakan sebuah kisah sejarah kepada Moliye, putriku. Sudah sebulan terakhir ini aku melakukannya.

 

Kenapa? Apa nama itu terdengar aneh di telingamu? Ya. Nama itu memang tak datang dari zaman ini. Itu nama seorang ratu dari abad ke-13. Maharatu dari Pohalaa[i] Limutu[ii]—sebuah negeri di utara pulau Sulawesi.

 

Moli, nama kecil putriku itu, tak biasanya malam ini ia minta diceritakan dua kisah sekaligus. Sialnya, aku sedang kehabisan bahan. Kisah pertama yang kuceritakan sebelumnya—tentang kisah pengkhianatan Sultan Haji di Banten—adalah yang terakhir. Aku tak siap dengan permintaannya yang mendadak seperti ini. Aku memutar otak.

 

Moli memang lebih menyukai cerita sejarah (terlebih yang ada tragedinya) ketimbang dongeng si kancil yang cerdik, atau si singa dan jakal yang cerdik, dan sebagainya—padahal ia masih duduk di bangku TK. Karena seleranya itu, suatu ketika, aku sampai harus berurusan dengan guru sekolahnya. Katanya, Moli selalu menolak jika ditugaskan maju ke depan kelas membacakan sebuah dongeng untuk teman-temannya. Menurut Moli, cerita dongeng adalah cerita yang paling membosankan.

 

Bagaimana kalau bapak ceritakan lagi kisah Ken Arok?” Kataku menawarkan opsi.

 

Tak mau. Aku mau cerita yang baru!” Jawab Moli ketus dan wajah yang bosan.

 

Bagaimana kalau Arum Palaka? Kataku lagi terus mencoba. Moli menggeleng. “Bagaimana kalau Mahapati si penghasut?”. Gadis kecil itu tak bergeming. Sepertinya ini akan sulit. Anak ini kalau sedang menginginkan sesuatu harus dituruti. Aku rasa bagian dirinya yang keras itu tidak menurun dari ibunya—yang lembut dan penurut. Watak Moli kelihatannya menurun dari namanya—meski aku tak yakin soal ini. Aku harus menemukan satu cerita secepatnya. Tetapi cerita rentang apa, siapa? Aku harus mengulur waktu.

 

Baiklah, Moli. Bapak ke dapur sebentar ya. Mau minum. Bapak haus.”

 

Moli hanya menangguk malas.

***

Ada satu rahasia yang dijaga ratusan tahun lamanya. Tentang pengkhianatan. Seorang Wato[iii] akan menceritakannya kepadamu. Dan karena itu kau sungguh beruntung.

 

Ia mendengar rahasia itu dari majikannya, seorang bangsawan golongan Wali-Wali Popodu,[iv] yang ditugaskan melakukan moloahu.[v]

 

Mungkin ia satu-satunya orang yang selamat setelah tak sengaja mendengar rahasia itu dari perbincangan sang majikan dengan seorang tamunya. Simaklah baik-baik. O ya, hati-hati. Perhatikan sekelilingmu, jangan-jangan ada yang diam-diam sedang mencuri kesempatan mendengarkan rahasia ini. Jika ketahuan, kau bisa dihabisi!

 

Bagaimana, aman? Baiklah, begini cerita lengkap rahasia itu.

 

Itu hari kelima semenjak Olongia[vi] lo Balanga[vii] ditemukan tewas di negeri ibunya, Maharatu Moliye, hujan badai tak henti menyapu negeri limutu; juga negeri sang ayahanda, Maharaja Wolanga, penguasa Pohalaa[viii] Gorontalo. Kedua negeri berduka, tapi langsung digulung perang berkepanjangan.

 

Olongia lo Balanga, maharaja muda yang malang. Ia mati muda. Kepalanya dikubur di gorontalo, badannya di Limutu. Entah, apakah itu untuk menghormati kedua orangtuanya, ataukah itu tindakan biadab untuk melecehkan wibawa maharaja dan maharatu Gorontalo dan Limutu.

 

Olongia lo Balanga meninggalkan seorang istri dan seorang putra yang tangkas, dan sakti. Jilimonu nama anak itu. Anak yang malang dan berjiwa besar—yang kelak mengalahkan seorang panglima perang Limutu, Hemuto. Salah seorang yang paling bertanggung jawab atas kematian ayahnya.

 

Pembunuhan berencana. Ya, sebuah pembunuhan yang sangat terencana. Wato itu mendengarnya lamat-lamat dari balik dinding pada suatu senja yang mendung, ketika ia iseng menguping pembicaraan majikannya dengan seorang tamunta. Mereka berbisik-bisik namun terdengar juga. Pembunuhan itu direncanakan oleh empat Olongia lo Linula[ix]: Hunggina, Bilinggata, Lupoyo, dan Uwabu.

 

Majikan Wato itu memang orang kepercayaan Olongia lo Balanga. Ia ditugaskan khusus untuk melakukan moloahu terhadap para pejabat dan bangsawan korup persis sehari setelah sang Olongia diangkat sebagai raja yang memimpin dua negeri sekaligus: Limutu-Gorontalo.

 

Banyak pejabat kerajaan dan bangsawan yang tak suka dengan keputusan Maharaja Wolanga dan Maharatu Moliye mengangkat Olongia lo Balanga. Maharaja muda itu harus disingkirkan, bagaimanapun caranya.

 

Kebencian itu semakin menjadi-jadi ketika Olongia lo Balanga menambah satu posisi baru dalam hirerarki kekuasaannya, yaitu Walaapulu.[x] Dan kemudian mengangkat seorang Diti Olongia.[xi]

 

Kau tahu, di abad-14, para pejabat tidak suka dengan ide-ide distribusi kekuasaan. Yang dilakukan Olongia lo Balanga itu dianggap memangkas sebagian kekuasaan dan merendahkan martabat mereka.

 

Maka, semua taktik busuk untuk menjatuhkan sang maharaja pun datang seperti badai yang menerjang. Dan lalu maut mengurung sang maharaja muda.

 

Tamu itu membenarkan temuan sang majikan. Bahwa empat Olongia lo Linula yang merencanakan pembunuhan terlebih dahulu menyebarkan dua rumor keji.

 

Yang pertama, yang ini sangat mengguncang-guncang, bahwa Maharatu Moliye berselingkuh dengan Hilibala, seorang panglima Pohalaa Gorontalo, yang dijebak untuk berganti posisi dengan Hemuto, panglima dari pohalaa Limutu dalam sebuah misi.

 

Kedua panglima memang saling menyebar jebakan. Hilibala sedang sial. Ia duluan jatuh dalam perangkap. Perseteruan dan rumor keji itu telah menjadi satu kombinasi pemicu perang.

 

Yang kedua, yang ini lebih gila lagi, bahwa Olongia lo Balanga telah menghina rakyat di negeri ibunya, dan lebih membangga-banggakan rakyat di negeri ayahnya.

 

Mungkin itu terdengar berlebihan dan ganjil, tapi di abad 14, para pejabat kerap menggunakan rumor buat merusak pikiran banyak orang termasuk para tetua adat. Rumor itu jelas mengarah ke satu titik: menghancurkan wibawa sang maharaja muda.

 

Tak berapa lama setelah rumor itu tersebar, tiba-tiba menyusul sebuah kabar ke saentero pelosok negeri bahwa Olongia lo Balanga telah dipenggal. Tak ada yang tahu kalau maharaja muda itu sebenarnya telah dibunuh oleh Olongia Hunggina, Bilinggata, Lupoyo, dan Uwabu melalui sebuah skenario hukuman penggal.

 

Tak ada penyelidikan. Tak ada sidang adat. Tak ada keputusan Bandayo Popoide.[xii] Bahkan Maharaja Wolanga dan Maharatu Moliye baru tahu putra mereka dipenggal setelah kepala dan badannya dikirim ke negeri masing-masing buat dikuburkan. Pembunuhan berkedok hukuman penggal itu terjadi begitu saja. Seperti sebuah berita kematian yang menyedihkan. Membekas begitu dalam, lalu menjelma menjadi api yang siap membakar siapa saja.

 

Suasana kedua negeri begitu cepat memburuk. Perang tak terelakkan. Berkecamuk di mana-mana. Kebencian berkobar di seluruh pelosok negeri hanya dalam tempo lima hari semenjak pembunuhan itu.

 

Seluruh orang-orang kepercayaan Olongia lo Balanga tengah diburu untuk dihabisi. Termasuk dirinya (dan majikan dari Wato yang sedang menguping di balik dinding).

 

Maharaja Olongia lo Balanga memang sudah mengetahui rencana pembunuhan terhadap dirinya. Itu sebabnya, sehari sebelum dia akan dibunuh, dia mengutusku secepatnya menemuimu, Tuan. Namun aku tiba lebih lambat karena menghindari pasukan pembunuh yang dikirim mengejarku. Aku beruntung bisa tiba di sini dengan selamat, dan menceritakan semuanya kepadamu. Aku mohon agar kau segera ke ibukota dan menceritakan semua temuanmu, dan apa yang kuceritakan ini, kepada Maharaja Wolanga dan Maharatu Moliye.”

 

Baik, baik. Kau tenang saja Diti Olongia. Aku sudah menyusun rencana untuk ini semua. Informasi darimu telah menguatkan semua temuanku. Besok aku akan ke ibukota. Sementara ini kau carilah tempat yang aman. Tunggu sampai semua terkendali.”

 

Wato tersentak mendengar itu semua dari balik dinding tempat ia menguping. Segumam kecil melintas di mulutnya yang gemetar, “Eyanggu, Eyanggu,[xiii] sungguh kejam mereka…”

 

Suasana tiba-tiba mencekam. Rasa getir menyelinap dengan cepat dari balik dinding. Wato itu diam terpaku di tempatnya. Tak pernah seumur hidupnya mendengar rahasia besar seperti ini. Lututnya gemetar. Ini berarti—selain tamunya sore itu—nyawa majikannya juga berada dalam bahaya.

 

(Sebagai seorang pejabat yang bertugas melakukan moloahu, segala resiko dipertimbangkan. Itu sebabnya keduanya berbisik-bisik. Resiko diteror hingga dibunuh tentu resiko yang harus selalu siap diterima. Sang majikan berulang kali mengatakan hal itu kepada semua wato yang mengabdi kepadanya. Tak lupa sang majikan berpesan, jika terjadi sesuatu kepadanya, kalian semua secara hukum adat tidak terikat lagi denganku. Bebas. Pergilah! Jangan kembali. Jangan pernah menceritakan kepada siapa pun kalau kalian pernah bekerja untukku. Demikian pesan sang majikan.)

Senja yang mendung telah berganti malam ketika Wato itu bergeser dari ruangan majikannya. Tak ada bulan. Malam yang lindap semakin gelap oleh awan hitam. Sepanjang malam Wato itu tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya sibuk, kalut.

 

Belum lagi ia bertamasya ke alam mimpi, tiba-tiba terdengar jeritan dari arah depan. Ia dan seluruh Wato langsung berlari ke arah suara itu berasal. Ternyata dari ruangan sang majikan. Di sana ia menyaksikan dua orang terkapar dengan dada yang tertembus panah. Yang satu majikannya, yang satunya lagi tamunya. Menyaksikan itu Wato tersengal, ia menggigil ketakutan. Suasana menjelang pagi itu benar-benar mencekam.

 

Segera Wato itu ingat pesan majikannya. Ia lantas memutuskan pergi. Dua Wato lainnya, yang bekerja bersamanya di rumah itu, juga mengambil keputusan yang sama.

 

Wato itu berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga rahasia itu dengan keberanian. Bagi seorang Wato seperti dirinya, menjaga rahasia besar tuannya adalah sebuah kehormatan—meski bertahun-tahun ia diselimuti kegelisahan. Sebenarnya ia ingin menghadap Maharaja Wolanga dan Maharatu Moliye, tapi kemudian ia mengurungkan niat itu. Lagipula siapa yang bakal percaya dengan omongan seorang Wato.

 

Bertahun-tahun makin diperam, semakin ia tak kuat menyimpan rahasia besar itu. Ia telah menyaksikan perang saudara berkecamuk di mana-mana. Dendam dan kebencian berkobar di pelbagai pelosok negeri Limutu dan Gorontalo. Rasanya sudah cukup. Ia lelah dan merasa tak berguna menyaksikan semua itu.

 

Konon ia hidup hingga dua ratus tahun lamanya hingga kedua negeri yang berperang saling berdamai karena dua juru damai cemerlang: Popa dan Eyato.[xiv] Wato itu kemudian memutuskan sudah waktunya menceritakan rahasia ini kepada seseorang. Dan ia memilihmu. Kau sangat beruntung.

 

Ia berpesan kepadamu, tolong ceritakan kembali rahasia ini kepada seluruh anak cucumu. Agar mereka tahu leluhur mereka difitnah dan dibunuh dengan keji. Bilang kepada mereka, jangan mendendam, jangan berperang. Tunduklah di atas janjia lo u duluwo—limolo pohalaa.[xv] Jangan pernah melanggar janji ini. Jagalah dengan nyawamu!

 

Lipundo biye lahuwa

Molinggadu lo dutuwa

Ma tomoliyatuwa

Modame moponuwa[xvi]

***

Aku sebenarnya tidak ke dapur, maksudku, aku benar-benar tidak ke dapur untuk minum. Aku menyambar gawai yang tadi kuletakkan di meja makan sebelum ke kamar Moli, kuputuskan menelpon Kakek Moli.

 

Halo, Pap.”

 

Ya. Ada apa? Tumben.”

 

Tentang rahasia itu, sepertinya sudah waktunya kuceritakan kepada Moli, Pap.”

 

Kau yakin?”

 

Bagaimana menurut, Papa?”

 

Terserah kau. Rahasia itu telah sepenuhnya menjadi tanggung jawabmu.”

 

Aku pikir Moli sudah siap mendengarkan rahasia itu, Pap. Usianya sudah 5 tahun. Dulu, Papa menceritakan rahasia itu kepadaku saat aku seusia Moli.”

 

Ceritakan saja jika kau sudah mantap.”

 

Baik, Pap.”

***


[i] Pohalaa adalah perserikatan kerajaan-kerajaan kecil (Linula) di Gorontalo untuk membentuk satu pemerintahan bersama.

[ii] Sekarang Limboto. Sebuah kabupaten di Provinsi Gorontalo.

[iii] Budak. Dalam kisah ini, adalah budak belian, atau disebut Wato Tilali.

[iv] Bangsawan yang salah satu orang tuanya tidak berasal dari bangsawan murni.

[v] Pejabat intelijen, tugasnya memata-matai para pejabat kerajaan dan para bangsawan yang dicurigai.

[vi] Maharaja

[vii] Ini adalah sebuah gelar Maharaja Polamolo. Artinya maharaja yang berpindah-pindah, Limutu (Limboto)-Gorontalo, dalam menjalani kepemimpinannya.

[viii] Terdapat dua Pohalaa (perserikatan) besar: Limutu dan Gorontalo.

[ix] Kerajaan kecil.

[x] Pejabat penghubung dan bisa menggantikan maharaja jika sang maharaja berhalangan.

[xi] Orang kepercayaan maharaja untuk melaksanakan tugas-tugas penting dan mendesak.

[xii] Parlemen, Majelis Rakyat

[xiii] Panggilan rakyat kepada maharaja.

[xiv] Masing-masing mewakili Limutu dan Gorontalo dalam sebuah perundingan damai yang sakral dan melahirkan sebuah perjanjian yang dikenal sebagai “Janjia lo u duluwo”. Terjadi sekitar tanggal 12 Sya’ban 1084 H, akhir November 1673.

[xv] Setelah perjanjiaan damai dua negeri, kemudian dikonsolidasikan lebih luas kepada tiga Pohalaa lain, Atinggola, Suwawa, Bolango.

[xvi] Tuja’i.serpert puisi bersajak. Ia berisi nasihat, petuah, dan pesan-pesan penting tentang kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Tuja’i yang dikutip di sini adalah sepenggal Tuja’i yang diucapkan oleh Leibidaa (seorang bangsawan ahli Tuja’i) pada saat perundingan damai Limutu-Gorontalo. Artinya kurang lebih begini: negeri yang kita idamkan, terletak berdampingan; sudah hendak bersatu badan, berdamai dalam kasih sayang.

788

Susanto Polamolo

lahir di Kotamobagu 8 Oktober 1985. Menyelesaikan S1 di FH-Univ. Proklamasi 45 Yogyakarta (2012). S2 diselesaikan di MIH Pascasarjana FH-Univ. Slamet Riyadi Surakarta (2015). Konsentrasi keilmuan hukum tata negara. Saat ini mengelola penerbitan Sabua Buku. Tinggal di Wangon, Banyumas.

Comments are closed.