DONASI

Ilmu Kasampurnane Wong Jawa

RNg Ronggowarsito, dalam Wirid Hidayat Jati di awal pembukaan “Serat Wirid” menyebutkan bahwa ilmu kasampurnane Wong Jawa itu disebut “Ilmu Ma’ripat”. Sumbernya disebut begini: ”Bersumber...

LATAR | MONDAY, 3 SEPTEMBER 2018 | 08:04 WIB

Nur Kholik Ridwan

Pernah menjadi anggota PP. RMI NU dan Peneliti di ISAIS UIN Sunan Kalijaga. Karya yang pernah diterbitkan : Suluk Gus Dur : Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa (2013); Negara Bukan - Bukan : Prisma Pemikiran Gus Dur Tentang Negara Pancasila (2018); dan NU dan Neoliberalisme ; Tantangan dan Harapan Menyongsong Satu Abad (2014).

RNg Ronggowarsito, dalam Wirid Hidayat Jati di awal pembukaan “Serat Wirid” menyebutkan bahwa ilmu kasampurnane Wong Jawa itu disebut “Ilmu Ma’ripat”. Sumbernya disebut begini: ”Bersumber dari riwayatnya wiradat, ajaran para wali pulau Jawa. Sesudah Sunan Ampel wafat, mereka mengajarkan segala jenis wirid, yang menjadi benih pelajaran ilmu kasampurnan bagi diri pribadi. Kesemuanya berasal dari Dalil (Al-Qur’an), Hadits, Ijmak, Qiyas, sebagaimana disebutkan dalam semua wirid.” Lalu disebutkan beberapa kekhususan para wali dalam menyampaikan jenis ilmunya itu.

Dalam hal doa-doa dan mantra menggunakan bahasa Arab dan Jawa. Mantra di situ maksudnya sebagaimana disebut Bausastra Djawa adalah “donga, tetembungan dianggo japani”. Dalam Kitab Wedha Mantra yang berisi 221 Wejangan, yang disebut “Dening Sang Indrajati” (tanpa tahun) disebutkan di bagian awal menyebutkan bahwa doa-doa yang berasal dari bahasa Jawa, yang bisa disalin dalam bahasa Arab dan yang tidak memungkinkan disalin dibiarkan, begini:

“Sakèhing mantra kang asalé saka basa Jawa supaya disalini basa Arab kabeh, mangkono pamanggihing panjeriengané para Wali, nanging Kangjeng Sunan Kalijaga ora rujuk, jalaran ora sathithik cacahing kaprawiran kang mantrané saka sasmitaning gaib (dhawuhing Pangéran) malah ana uga mantra kang kaseselan nylenèh ora ngre èkaké, mula saupama disalini, dikuwatiraké yèn suda sawabé, luwih manèh yèn nanggori tembung kang nylenèh banjur kapriyé, putusané mung sabisa-bisa disalini basa Arab, nanging kang ora bisa aja dipeksa.”

Dalam mempelajari Ilmu Kasampurnan, Wong Jawa disebut ketika akan menerima pengajaran Wirid Hidayat Jati harus di pandu oleh seorang guru, serta disyaratkan berwudhu. RNg Ronggowarsito menyebutkan: “Adapun tatacara pertama yang wajib dilakukan, guru dan murid mengambil air wudhu dan mengucapkan lafal niat seperti di bawah ini: nawaitu raf`al hadatsi shaghirata wal kabirata fardhan lillahi//ta`ala Allahu Akbar. Lalu keduanya berpakain yang serba suci, tidak boleh menggunakan pakaian yang ada emasnya, lebih baik kalau memakai kuluk (tutup kepala).”

Dalam Kitab Wedha Mantra, bahkan disebut kalau manusia Jawa hendak mencari Ilmu kasampurnan harus mandi tobat, disebut begini: “Yèn arep nampani wejangan utawa arep nglakoni, kudu adus tobat yaitu kramas, tegesé awaké diresiki, nanging iki lagi resik ing lair, déné supaya resik tekan batiné, kudu nganggo mantra kaya ing ngisor iki: “Nawetu ghuslal minhu taobati kokoiri lillahi ta’ala.”

Apa yang dikemukakan oleh RNg Ronggowarsito itu adalah penjelasan tentang Ilmu Kasampurnan yang harus dicapai dengan memasuki tarekat, sebagaimana RNg Ronggsowarsito, dan para leluhur Jawa melakukan itu. Katanya begini: “Orang yang diajari diberi penjelasan pengamalan satu persatu mengenai ilmu ma’ripat. Sesudah itu yang memberi pelajaran membaca doa istighfar dan doa qobul. Orang yang diajari disuruh berjanji, selama gurunya masih hidup, tidak boleh mengajarkan ilmunya, karena menurut pengalaman tidak baik akibatnya. Apabila terpaksa, ada saudara yang sakit berat, sedangkan dia belum punya ilmu, boleh mengajarkan soal Datullah saja.”

Ini adalah ajaran tarekat, dimana murid tidak boleh mengajarkan ilmu yang diajarkan kepada orang lain ketika gurunya masih hidup. Akan tetapi dalam tarekat, dikecualikan apabila murid mendapat idzin dari gurunya; atau meskipun sang guru sudah meninggal, tetapi murid belum memperoleh izin guru untuk mengajarkan, maka tidak dibenarkan mengajarkan, apalagi membai’at orang sebagai muridnya. Di masa lalu, tarekat yang banyak diamalkan adalah Syathariyah, Haqmaliyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan Syadziliyah. Guru yang dianggap boleh mengajarkan itu, menurut RNg Ronggowaesito, bisa dari 8 kelompok: wirya (kelompok luhur yang punya derajat); ulama yang alim, ahli tapa dan riyadhah; sujana (yang punya kelebihan); aguna (yang puna kepandaian dan menekuni ilmu); perwira; orang berada, kaya; dan petani yang jujur. Delapan kelompok ini disebutkan di dalam Wirid Hidayat Jati.

Dalam tarekat, inti pengajaran dari seorang guru, harus memperoleh izin dari gurunya untuk mengajarkan ilmu ma’ripat beserta tahapan untuk mencapainya. Sumber dari pengajaran ilmu kasampurnan Wong Jawa yang dilakukan seorang guru, yang disebut Ilmu Ma’ripat itu harus mengacu pada empat hal seperti telah disebutkan di bagian awal di atas, berasal dari Al-Qur’an, hadits, ijma, dan qiyas, sebagaimana Ilmu Kasampurnane Wong Jawa yang didasarkan dari yang 4 itu. Al-Qur’an disebut sebagai firman Alloh; hadits Sabda Rasulullah; Ijma, kesepakatan para ulama; dan qiyas, ajaran para ahli atau pendeta (maksudnya ijtihad dengan metode qiyas yang dilakukan ulama yang ahli).

Khusus soal qiyas, itu adalah istilah teknis yang dikenal di dalam ushul fiqh yang digeluti para ulama dan ahli agama, dan digunakan oleh apara ahli hukum madzhab Sunni untuk merumuskan hukum. Maksudnya adalaah merumuskan sebuah konklusi hukum suatu perkara yang tidak disebutkan hukumnya dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, dengan berpijak pada kesamaan illat (alasan) dari yang disebutkan Al-Qur’an atau hadits. Contoh untuk memudahkan memahaminya adalah, kalau Al-Qur’an mengharamkan berkata “Uh” dan “Cihh” kepada orang tua, maka menendang dan menghardik orang tua lebih haram lagi. Menghardik orang tua dilarang, diambil dengan cara qiyas tadi, diqiyaskan larangan berkata “Cihh” kepada orang tua.

Oleh karena itu seorang guru Ilmu kasampurnan bagi Wong Jawa, tidak boleh grusa-grusa, iso ngukur awake dewe, lan ngukur ilmune, dan itu adalah ilmu yang diwariskan para leluhur Jawa dalam menagajarkan Ilmu kasampurnan. Untuk masing-masing tarekat, tentu memiliki aturan masing-masing, cara baiat dan cara-cara mendaki, antara Syathariyah, Qadiriyah dan Sadziliyah, misalnya, meskipun intinya sama; di tambah adanya perbedaan guru, juga mempengaruhi terhadap cara-cara pengajaran dan pengetahuan yang diajarkan, karena menyangkut wawasan dan tingkat ma’rifat seorang guru yang berbeda. Akan tetapi bahwa mengambil sumber pengetahuannya dari Al-Qur’an, hadits, ijma dan qiyas, merupakan warisan Ilmu Kasampurnan Wong Jawa yang turun-temurun, yang kemudian diolah dalam laku dan berbagai sembah yang harus dilakukan agar memperoleh “Ilmu Kasampurnan”; dan kemudian diungkapkan pengalaman-pengalman itu dalam bahasa Jawa atau pegon, dengan tembang ataupun gancaran.

Sebagian Wong Jawa kemudian membaca Ilmu Kasampurnan itu dari serat dan suluk yang ditulis; dan mengambil kebijaksanaan dari situ. Sebagian yang lain cukup dengan jalan umum, karena itu yang tepat bagi dirinya, yaitu ngaji kuping di langgar atau di mesjid, golek ilmu srengat sekaligus ilmu laku, seperti sabar, lilo ing pandhum, ngerti Gusti Ora Sare, dan begitu seterusnya.

Lan Gusti Alloh ingkang Ngudaneni menungso.