DONASI

Apa Ada Angin Di Jakarta? Apa Kelaparan Bisa Muncul Di Mana Saja?

Pagi. 1 November 2018, Luh mengirim pesan singkat, ia mengabarkan sudah sampai Jakarta. “Saya di Jakarta, Mas,” katanya. Tapi saat itu, saya lagi di atas...

LATAR | WEDNESDAY, 28 NOVEMBER 2018 | 21:04 WIB

Agus Rois

Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.

Pagi. 1 November 2018, Luh mengirim pesan singkat, ia mengabarkan sudah sampai Jakarta. “Saya di Jakarta, Mas,” katanya. Tapi saat itu, saya lagi di atas kereta arah Rangkas. Dan sudah separoh perjalanan. “Kemarin di Jakarta, tapi pagi ini saya sedang menuju Ujung Kulon,” tukas saya ringkas.

“Yaaaa, selalu begitu, ngilang-ngilang terus. Lain kali kalau ke Bali, atau pas di Jakarta, kirim kabar, jangan diam-diam mulu,” katanya, sengit.

“Mungkin lusa, Sabtu, saya balik Jakarta, kita bisa ketemu,” jawab saya, saya coba meyakinkannya.

Ketika saya mengatakan itu, Luh balik berseru, “Jangan bohong, sebab ucap manusia pendek tapi ingatan panjang.”

“Ya, Sabtu, jam dua belas siang. Kita ketemu di sekitaran Setiabudi, saya janji,” saya buru-buru menjawab.

Sabtu. Pada waktu yang ditunggu. Setelah empat tahun berlalu. Itu pertama kali kami bertemu. Luh berangkat dari Pancoran, saya dari Palmerah.

Siang itu angin bertiup kencang, bertiup kencang, tiang dan pohon bergetaran lama sekali. Tiba-tiba saya teringat baris-baris sajak “Apa Ada Angin di Jakarta” yang ditulis Umbu Landu Paranggi.

Apa ada angin di Jakarta

Seperti dilepas Desa Melati

Apa cintaku bisa lagi cari

Akar bukit Wonosari

 

Yang diam di dasar jiwaku

Terlontar jauh ke sudut kota

Kenangkanlah jua yang celaka

Orang usiran kota raya

 

Pulanglah ke desa

Membangun esok hari

Kembali ke huma berhati

Mengingatnya: kepala terasa sepi. Dan saya tidak sedang di Melati atau bukit Wonosari. Tapi “yang jantungnya menjanjikan segala pertarungan” kota yang sedih. Dan barangkali tak ada kebaikan sama sekali. Jakarta.

“Sudah lama menunggu?” tanya Luh, sambil tersenyum dan mengulurkan tangan di depan pintu masuk resto. Dia mengenakan celana kain panjang dan baju krem motif bunga-bunga siang itu.

“Tebak sudah berapa lama?”

“Sepuluh menit,” katanya.

“Bukan. Tiga puluh menit. Tapi lupakan itu, tidak penting, mari masuk, saya sudah pesan meja nomor tiga belas.”

Lalu kami menyusuri lorong lebar, melewati meja panjang berisi makanan dan sayur, di ujung tampak lelaki tua sibuk memainkan kecapi. Kami duduk dekatnya. Memandangnya, sementara orang datang dan pergi.

Ketika kemudian muncul pelayan dengan menunya, Luh berkata: “Saya mau es lidah buaya.”

“Saya es tape, dan mendoan, untuk sementara itu dulu,” kata saya.

Setelah pelayan pergi, Luh bertanya, “Kapan ke Bali lagi? Apakah kamu tidak ingin kembali, main ke Sudaji? Kau harus lihat kampungku, Busungbiu, menuliskan untukku. Bukit yang berkilo-kilometer jauhnya, langit yang rendah, doa-doa yang terucap waktu lampu padam, sampai jauh malam.”

Saya mengangguk, menatap matanya. Saya ingin sekali menyetujui apa yang diucapkannya.

“Bali? Saya menyukainya, saya tak bisa melarikan diri, terbentang cinta yang panjang dan cerah…”

“Kenapa?” tanya Luh.

“Entah. Mungkin di kehidupan lampau saya pernah tinggal di Bali. Atau saya pernah hidup bersamamu berpuluh-puluh tahun lamanya di Sudaji.”

“Hanya itu?” tanyanya.

Saya menatap Luh langsung ke matanya.

“Maksudmu, sekarang kita dilahirkan kembali, kini kita mencari jalan sendiri-sendiri. Kau terlahir Islam, aku masih tetap Hindu,” katanya.

Untuk beberapa lama, saya kembali menatapnya. Wajahnya merah. “Bisa saja seperti itu…”

Satu menit, dua menit, tiga menit… Kemudian saya bangkit, saya mengajaknya ke meja prasmanan. Di sana ada banyak sekali makanan. Berderet-deret. Beberapa tergolong makanan lezat. Dari ayam, ikan, daging, udang, cumi, kepiting, kerang, sampai telur. Saya tak tahu resto itu menyajikan berapa ragam hidangan utama tiap minggunya.

“Lihatlah, hanya karena manusia bisa makan apa saja, hanya karena kita selalu ingin menguasai bumi dan seisinya, manusia tak ingin menyumbat mulutnya,” kata Luh.

Saya mundur, lalu berbisik di telinganya, “Saya sudah berhenti makan daging dan telur, saya tak makan nasi lagi untuk beberapa waktu lamanya.”

“Kenapa?” tanyanya. “Bukankah vegetarianisme hanya ada di Hindu, bukan Islam?”

“Tak ada keraguan tentang itu. Juga tak ada alasan soal itu,” jawab saya. “Saya bukan Shelley, Tolstoy, atau Shaw, para pesohor yang begitu dogmatik dalam penolakan terhadap daging. ‘Seorang yang punya kesungguhan batin tak akan makan bangkai. Tak akan. Makan daging itu akar dari perbudakan, perbudakan manusia pada hewan. Juga gembala, tukang rumput, jagal, pemerah, dan seterusnya,’ begitu kata Shaw.”

“Banyak orang Hindu berpantang daging. Dan bagi yang makan daging, mereka lebih suka babi atau kambing. Mereka percaya itu bikin umur panjang,” ungkap Luh. “Sekarang, ‘kurasa aku telah menemukan teman, aku pun tak lagi makan daging dan ikan. Lalu kita pesan apa? Batu dan garpu?”

Saya tersenyum. “Masih ada tempe, tahu, kita bisa pilih itu. Juga oseng jamur.”

“Juga nasi uduk, saya mau, setengah,” seru Luh.

Lalu Luh dan saya bicara pada seorang koki. Kami menjelaskan padanya bahwa makan di resto adalah kenikmatan tersendiri, sebuah kemegahan. Kami bisa duduk menghadapi santapan lezat yang laiknya dihidangkan kepada tamu-tamu hotel atau bahkan lebih mewah daripada yang pernah dicicipi raja. Ia tersenyum. “Bagiku cukup mengetahui bahwa tak banyak piring dan gelas yang kembali utuh,” kata sang koki. “Itulah kebanggaan juru masak.”

“Kami percaya masakanmu, Tuan,” kata saya.

Setelah mengucapkan itu, kami kembali ke meja, menunggu. Tak beberapa lama datang pelayan membawakannya. Satu jam lewat, kami masih tak bisa menghabiskan semua pesanan tadi. “Mungkin juru masak barusan akan marah bila melihat ini,” kata Luh.

“Di tempat lain, di sisi jembatan Manggarai yang jauhnya dua kilometer dari sini, bisa saja seorang sedang kelaparan, perut bocah gemetaran.”

“Dan di abad ke-21, seperti awal sejarah manusia, masalah manusia masih sama: Lapar!” katanya.

“Tiap tahun 100 juta anak dilahirkan, 90 juta mulut harus diberi makan,” katanya.

“Dan kelaparan bisa muncul di mana saja?” tanya saya. “Dan ada bencana lain tak kalah gawatnya: banyak orang merusak kesehatannya dengan makan terlalu rakus, bangga akan timbunan lemak, seperti Santa Klaus atau “Si Gendut” Falstaff dalam drama Shakespeare.”

Saya menatapnya, menunggu jawabannya. Tapi ia malah menggerakkan tangannya, “Hari menjelang senja, mari kita pindah ke taman, hanya ada suara burung dan kita,” katanya pelan.[AR]