DONASI

Di Pelabuhan Benoa

Saya teringat matanya, matanya yang dingin dan kelabu, yang paling berdebu. Mata Makatenga. Kuli pelabuhan Benoa. Ia berusia sekitar tiga puluh. Ia sering melamunkan tahun-tahun...

LEMBAR | MONDAY, 13 MAY 2019 | 17:13 WIB

Saya teringat matanya, matanya yang dingin dan kelabu, yang paling berdebu. Mata Makatenga. Kuli pelabuhan Benoa. Ia berusia sekitar tiga puluh. Ia sering melamunkan tahun-tahun lampau. Tempat tinggalnya yang jauh, di antara cahaya basah yang runtuh: Pambusuang.

Sore itu, di Pelabuhan Benoa ia berkisah kepada saya tentang hari-harinya, ia bertutur perihal mimpi-mimpinya, yang disusun susah payah dari asap dan batu.

“Saya selalu memiliki hasrat besar untuk berlayar. Meski saya juga tahu, begitu kapal lepas dari bandar, waktu orang menarik jangkar, seorang sering lupa menerka-nerka: Apakah ia akan kembali dengan selamat. Atau ringsek dihantam topan yang dahsyat? Nasib, memang kita tak pernah tahu. Tidak siapa pun. Tidak satu pun. Yang saya tahu, hidup terlampau singkat, waktu berlalu begitu cepat. Mengejarku, mengejarmu,” kata Makatenga.

Meski saya juga tahu, begitu kapal lepas dari bandar, waktu orang menarik jangkar, seorang sering lupa menerka-nerka: Apakah ia akan kembali dengan selamat. Atau ringsek dihantam topan yang dahsyat? Nasib, memang kita tak pernah tahu. Tidak siapa pun.

Saya hanya diam. Mendengarkan. Melihat ke langit yang semakin gelap, tambah kelam. Lalu ia mulai mengoceh lagi, seolah tak ingin menyembunyikan perasaan.

“Empat belas tahun lalu, saya nekat meninggalkan Mandar. Waktu itu saya merasa seperti burung biru, bukan laut biru yang menghampar,” jawabnya.

“Kenapa kau memutuskan pergi dari kampung halaman,” tanyaku singkat sambil memejamkan mata menunggu jawaban. Waktu angin kuat berembus dari sela-sela galangan. “Kau bosan?”

“Saya laki-laki dan berhak berbuat apa yang paling saya sukai –berlayar seorang diri, menghirup udara laut dalam-dalam, di mana tak terlihat sebuah rumah dan tak satu manusia. Hanya suara pecahan ombak yang memanjang dalam jarak yang cukup jauh. Dan orang dapat tinggal di sana bertahun-tahun, berlabuh pada napas air yang tenang dan biru. Saat saya meninggalkan pelabuhan, berada jauh dari daratan, itu bukanlah keputusasaan. Sebab dihadapan laut yang luas, yang tak terbatas, semua kesedihanku diredakan, dibenamkan. Dan sebuah perahu jadi begitu kecil, begitu terpencil.”

“Dan kau menjadi lebih tenang sesudah itu?” saya berusaha menyimpulkan.

Laki-laki dewasa itu mengangguk. “Ya,” jawabnya. “Saya tak perlu disibukkan dengan daftar barang yang akan diangkut –mana yang mesti kupanggul dan dipindah ke truk, mana yang dimasukkan ke dalam bargas, mana yang harus diangkat dengan kerekan dan katrol. Di taruh dalam gudang-gudang.”

Dalam gelap itu, seekor burung kecil tampak terbang menuju perahu lalu hinggap pada tali.

Lihatlah burung itu begitu lembut, tetapi suaranya yang digiring angin, merdu dan basah, terlalu lembut untuk laut, untuk semua ribut-ribut. Tapi manusia tak bisa jadi burung. Ia menyerah kepada nasib masing-masing

“Lihatlah burung itu begitu lembut, tetapi suaranya yang digiring angin, merdu dan basah, terlalu lembut untuk laut, untuk semua ribut-ribut. Tapi manusia tak bisa jadi burung. Ia menyerah kepada nasib masing-masing,” katanya.

Kemudian saya bangkit, berdiri membelakangi, pergi ke dinding menara yang putih, melihat kabut tebal membumbung dari laut dan mengurung kami. Ketika air memukul ramah sisi kapal yang tertambat di dermaga.

“Benoa. Di sini air tak pernah berubah. Dermaga yang selalu terbuka ke laut, cerah dan tak pernah menyerah. Tapi saya rindu Mandar –teluk yang penuh dengan kesunyian,” teriak Makatenga.[]

 

433

Agus Rois

Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.

Comments are closed.