DONASI

Kisah dari Balkan: Getir yang Menggetarkan

Ya,  negeri  yang  indah  itu  disebut  Balkan.  Semenanjung  yang  menjadi  penghubung  bagi dunia barat dan timur. Di sanalah bagian terpenting bagi sejarah peradaban Asia dan...

LEMBAR | FRIDAY, 15 MAY 2020 | 10:55 WIB

Ya,  negeri  yang  indah  itu  disebut  Balkan.  Semenanjung  yang  menjadi  penghubung  bagi dunia barat dan timur. Di sanalah bagian terpenting bagi sejarah peradaban Asia dan Eropa lahir.  Daerah  yang  selama  ribuan  tahun  telah  menjadi  tempat  perebutan  dinasti‐dinasti besar. Naasnya, meskipun tampak indah, ia tak pernah surut dari gejolak peperangan.

Selama beratus hingga ribuan tahun, peperangan seolah menjadi sahabat karib bagi negeri yang amat luas itu. Selama ratusan tahun pula, Balkan menjadi wilayah kekaisaran Ottoman sebelum  akhirnya  direbut  oleh  Kekaisaran  Austro  Hungaria.  Namun,  negeri  yang  indah  itu tak dapat lepas dari bayang‐bayang Ottoman, di mana sampai hari ini masyarakatnya selalu bernyanyi  dalam  lagu‐lagu  klasik  yang  menceritakan  tentang kejayaan masa lalu.  Dan  hari ini, kita mengenal wilayah tersebut sebagai seorang kakek tua Slavia Raya yang termangu‐mangu menyaksikan dirinya menjadi puing‐puing kecil yang berserakan di mana‐mana.

Pada  awal  dekade  40an,  seorang  lelaki  bernama  Josip  Bros  Tito  menaikkan  satu  bendera sebagai  tanda  era  baru  Balkan  dalam  satu  nama  yaitu  Yugoslavia.  Lelaki  pemimpi  itu mengumpulkan  puing‐puing  yang  berserakan,  lalu  menyusunnya  menjadi  sebuah  negara meski tak sesempurna seperti sediakala. Terbukti setengah abad kemudian, negeri bernama Yugoslavia itu hancur tanpa sisa karena dibangun dari puing‐puing yang retak dan sekarat.

Tito  yang  menua  tak  sanggup  lagi  mempertahankan  kedaulatan  Yugoslavia  di  mata  dunia, sebagaimana  masa  mudanya  mempersatukan  negeri  tersebut  di  bawah  panji‐panji sosialisme. Di satu sisi, kekuatan oposan yang dipimpin oleh Slobodan Milosevic, dimana ia dipersenjatai  habis‐habisan  oleh  Amerika  untuk  membentuk  kekuatan  militer  yang ditujukan  untuk  mengobarkan  peperangan  atas  nama  kemerdekaan  masing‐masing  suku. Suku‐bangsa  yang  selama  ratusan  tahun  tersebut  hidup  dalam  komuni‐komuni
sosialnya masing‐masing, berdasarkan klan.

Lelaki  pemimpi  itu mengumpulkan  puing‐puing  yang  berserakan,  lalu  menyusunnya  menjadi  sebuah  negara meski tak sesempurna seperti sediakala. Terbukti setengah abad kemudian, negeri bernama Yugoslavia itu hancur tanpa sisa karena dibangun dari puing‐puing yang retak dan sekarat.

Rupanya  perjuangan  atas  nama  sosialisme  Josip  Bros  Tito  yang  digaungkan  sejak  lama  tak mampu diterima oleh masing‐masing suku tersebut. Bangsa‐bangsa selain Slavia pun tidak menerima  kekuasaan  atas  nama  nasionalisme  yang  berdasar  asas  kesukuan.  Maka, masyarakat  Croat,  Sephardic,  Serbia,  Bosnia,  dan  lain  suku  bangsa  memilih  untuk melepaskan  diri  kemudian  memilih  untuk  menjadi  negara‐negara  yang  memiliki kedaulatannya masing‐masing.

Pada  sisi  yang  paling  dalam,  kehancuran  Yugoslavia  yang  dipicu  oleh  isu  keagamaan (religion)  dan  menyebabkan  sebuah  perang  sipil  ini  menciptakan  ceruk  luka  paling dalam, di mana  perang  telah  menelan  jutaan  penduduk  negeri  tersebut.  Dalam  perang  sipil yang  berkepanjangan,  sebuah  negeri  yang  sangat  romantik  bernama  Bosnia  Herzegovina menjadi  korban  politik  sekaligus  menjadi  salah  satu  negeri  yang  paling  menderita  dalam perang sipil yang berkepanjangan itu.

Negeri bernama Bosnia Herzegovina itu serupa nyonya tua yang tak berdaya melihat ribuan anak‐anaknya kehilangan nyawa. Selepas masa perang, tak ada yang tersisa kecuali puing‐puing bangunan dan peninggalan kebudayaan ratusan tahun lalu yang berserakan di mana‐mana.  Luka  dan  penderitaan  seolah  menjelma  gaung  panjang  dalam  nyanyian‐nyanyian sendu. Di sanalah, Bosnia yang malang terbangun untuk menyusun dan membangun kembali negerinya.  Kota‐kota  yang  hancur  mulai  ditata  kembali.  Rakyat  Bosnia  yang  kehilangan tempat tinggal mulai membangun rumahnya masing‐masing dan sebagian mereka berjalan menjadi orang terbuang di negeri‐negeri asing.

Namun, pada suatu ketika nyanyian dari tanah kelahiran pun memanggil  jiwa rakyat Bosnia yang terpencar. Lembah‐lembah yang hijau, kebun melon yang menanti dipanen, perayaan‐perayaan  musim  panas  yang  diiringi  Bouzouki,  serta  puisi‐puisi  cinta  adalah  ikatan  magis yang  memanggil  kembali  mereka  yang  terpencar  di  negeri‐negeri  jauh.  Nada‐nada  magis dan  irama  ajaib  tersebut  bernama  Sevdalinka,  sebuah  tradisi  istana  berupa  puisi  yang dinyanyikan  lebih  dari  400  tahun  lalu  dimana  berisi  mengenai  cinta,  luka,  hasrat,  serta kepedihan. Tepat pada satu abad, kini Sevdalinka menjelma sebagai sebuah musik khas yang dinyanyikan oleh rakyat Balkan hingga hari ini.

Nada‐nada  magis dan  irama  ajaib  tersebut  bernama  Sevdalinka,  sebuah  tradisi  istana  berupa  puisi  yang dinyanyikan  lebih  dari  400  tahun  lalu  dimana  berisi  mengenai  cinta,  luka,  hasrat,  serta kepedihan.

Puisi Cinta dari Kota yang Terlupakan

Tak dapat dipisahkan bahwa nyanyian tua yang menjelma sebagai musik rakyat itu pun lahir di sebuah kota yang sama tuanya, yaitu Mostar. Kota yang dikenal sebagai warisan raja‐raja Ottoman pada masa lalu sekaligus berperan dalam menghubungkan dunia barat dan timur. Dalam  catatan  masa  lalu,  dunia  barat  dan  timur  tersebut  dipisahkan  oleh  sungai  Neretva yang  menjadi  lalu  lintas  ekonomi,  pemerintahan,  dan  kebudayaan  pada  era  Byzantine. Namun era panjang Byzantine pun kemudian surut dan digantikan oleh Dinasti Ottoman di
bawah pemerintahan orang‐orang Turk.

Pada  masa  kekuasaan  Ottoman,  orang‐orang  Turk  tersebut  membangun  sebuah  jembatan penghubung antara Mostar Barat dan Timur yang bernama Stari Most. Jembatan inilah yang menjadi  penanda  terbukanya  sebuah  era  baru.  Tetapi,  jembatan  yang  penuh  sejarah  itu telah hancur oleh tembakan mortar semasa perang sipil yang bertepatan pada 9 November 1993.  Selain  itu,  perang  sipil  yang  berkecamuk  pun  ikut  pula  membumihanguskan  kota indah yang menjadi jantung sejarah bagi negeri Bosnia.

Bagi rakyat Bosnia, melihat kehancuran jembatan Stari Most adalah kesedihan yang sangat mendalam.  Pasalnya,  jembatan  tersebut  memiliki  arti  penting  bagi  tiap‐tiap  batin penduduknya,  dimana  mereka  menyimpan  rekaman  kenangan  di  bangunan  masa  lalu  itu.

Bagi rakyat Bosnia, melihat kehancuran jembatan Stari Most adalah kesedihan yang sangat mendalam.  Pasalnya,  jembatan  tersebut  memiliki  arti  penting  bagi  tiap‐tiap  batin penduduknya,  dimana  mereka  menyimpan  rekaman  kenangan  di  bangunan  masa  lalu  itu. Melihat  kepedihan  rakyat  Bosnia  yang  mendalam,  seorang  lelaki  bernama  Dragi  Sestic menyatukan  kenangan  akan  jembatan  Stari  Most  dalam  satu  bentuk  berupa  gerakan kebudayaan yang disebutnya sebagai Mostar Sevdah Reunion. Ia memanggil dan menemui teman‐temannya, para musisi Mostar yang telah lama terpisah akibat perang untuk terlibat dalam satu visi yaitu mengangkat martabat kemanusiaan Mostar secara khusus dan terlebih lagi rakyat Bosnia. Hanya ada satu alasan bagi para seniman‐seniman ini yaitu Sevdah.

Apa itu Sevdah? Bagi Dragi Sestic, Sevdah adalah wibawa yang hadir antara pikiran dan jiwa yang  dibangkitkan  dengan  cara  memainkan  Sevdalinka.  Ia  adalah  kekuatan‐kekuatan  yang muncul  dari  Sevdalinka.  Ia  juga  bisa  menyamar  menjadi  getir  yang  menggetarkan.  Sevdah hadir  untuk  menggambarkan  cinta  yang  pedih,  atau  seperti  lelaki  yang  ditinggalkan kekasihnya. Bagi seorang bocah, Sevdah seperti seorang ayah yang bernyanyi dan menangis pada saat yang sama. Intinya, Sevdah tak semata ditafsirkan sebagai suatu nyanyian, namun ia tak lain adalah nyawa bagi rakyat Bosnia itu sendiri.

Sevdah adalah wibawa yang hadir antara pikiran dan jiwa yang  dibangkitkan  dengan  cara  memainkan  Sevdalinka.  Ia  adalah  kekuatan‐kekuatan  yang muncul  dari  Sevdalinka.  Ia  juga  bisa  menyamar  menjadi  getir  yang  menggetarkan.

Lahirnya Mostar Sevdah Reunion

Notabene  Dragi  Sestic  telah  meninggalkan  tanah  kelahirannya  selama  kurang  lebih  dua puluh  tahun  yang  dilatarbelakangi  karena  suasana  politik  Bosnia  yang  tak  menentu.  Dari negeri asing, Dragi Sestic melihat negerinya yang porak poranda. Lewat media televisi dan surat  kabar,  ia  pun  semakin  khawatir  memikirkan  sanak  saudara  dan  teman‐temannya  di kota kelahirannya, Mostar. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mendapatkan informasi terkait  keadaan  sanak  saudara  dan  teman‐temannya  tersebut.  Satu  demi  satu,  ia  pun memperoleh  kabar  terkait  orang‐orang  yang  dicintainya.  Sebagian  dari  mereka  selamat semasa perang, dan sebagian dari mereka pula gugur dan tiada.

Beberapa  tahun  kemudian,  Dragi  Sestic  akhirnya  bertemu  dengan  sahabat‐sahabatnya  di salah  satu  kafe  yang  berada  di  Kota  Mostar,  di mana  tempat  tersebut  menjadi  ruang pertemuan  para  musisi  dan  seniman  kota  itu.  Dragi  Sestic  bertemu  kembali  dengan sahabatnya  yang  telah  lama  tak  dijumpainya.  Singkat  cerita,  bersama  sahabat‐sahabatnya yaitu  Mišo  Petrović,  Sandi  Duraković,  Nermin  Alukić  Čerkez,  Marko  Jakovljević,  Gabrijel Prusina,  Senad  Trnovac,  dan  Vanja  Radoja  mendirikan  sebuah  kelompok  musik  bernama Mostar Sevdah Reunion. Tak  ketinggalan pula dua harta karun legendaris yang telah lama hilang  yaitu  Ljiljana  Butler  dan  Saban  Bajramovic,  dua  orang  legenda  Gipsy  turut  serta sebagai bagian tak terpisahkan dari Mostar Sevdah Reunion.

Mostar  Sevdah  Reunion  bukan  semata  sebagai  sebuah  kelompok  musik.  Namun,  ia  hadir sebagai  jembatan  seperti  halnya  jembatan  Stari  Most  yang  menghubungkan  tiap‐tiap kenangan warga Mostar dan Bosnia. Lewat Mostar Sevdah Reunion itu pula, seluruh ingatan kolektif  rakyat  Mostar  dan  Bosnia  dibangkitkan,  di mana  pernah  suatu  ketika  kelompok tersebut  menyelenggarakan  sebuah  perhelatan  musik  untuk  mengenang  kembali  cerita‐cerita manis dan mengenang sejarah tentang jembatan Stari Most.

Mostar  Sevdah  Reunion  bukan  semata  sebagai  sebuah  kelompok  musik.  Namun,  ia  hadir sebagai  jembatan  seperti  halnya  jembatan  Stari  Most  yang menghubungkan  tiap‐tiap kenangan warga Mostar dan Bosnia.

Diselenggarakannya perhelatan musik tersebut juga bertepatan dengan dibukanya kembali Stari Most setelah tiga tahun mengalami masa pemugaran selama tiga tahun oleh UNESCO. Mereka  bernyanyi  dan  saling  bertukar  kenangannya,  lalu  membawakan  lagi  nomor‐nomor klasik  dari  para  pendahulu  mereka.  Di  antaranya  beberapa  lagu  karya  Zaim  Imamovic  dan Himzo Polovina dimainkan oleh kelompok musik tersebut.

Sebagaimana  Sevdalinka  yang  selalu  menyuarakan  kerinduan,  cinta,  hasrat,  sekaligus kepedihan  pada  saat  yang  sama,  maka  sebuah  lagu  yang  begitu  lekat  dengan  masyarakat Mostar  yaitu  Cudna  Jada  Od  Mostara  Grada  tak  luput  dimainkan  oleh  Mostar  Sevdah Reunion.  Semua  orang  bernyanyi  dan  hanyut  bersama  cinta,  hasrat,  dan  kerinduan  dalam arus sungai Neretva.

Jauh dari panggung‐panggung megah, dan jauh pula dari popularitas yang di‐branding oleh industri rekaman, Mostar Sevdah Reunion hadir dari kafe ke kafe, jalan ke  jalan, taman ke taman,  serta  dari  panggung‐panggung  kecil  mengajak  mereka  untuk  bernyanyi  bersama. Barangkali,  mereka  meyakini  musik  adalah  hidup  mereka  sendiri  yang  penuh  dengan  rasa kecewa, kepahitan, kegembiraan, tawa,  luka, dan sebagainya, di mana musik menjadi ritme, melodi, serta refrain dari tiap‐tiap tarikan nafasnya.

Tentu saja, berbagai macam penghargaan pernah disabet oleh kelompok musik ini. Namun, yang  paling  fenomenal  dan  mengherankan  adalah  penghargaan  spektakuler  dari  MTV Europe  Music  Award  untuk  kategori  World  Music  yang  bahkan  saat  itu  Mostar  Sevdah Reunion sendiri tak pernah memiliki video klip sama sekali. Suara itu menggema dan pada akhirnya seluruh dunia mendengarnya. Mostar Sevdah Reunion hadir serupa jembatan Stari Most  yang  boleh  dikatakan  tak  lagi  menghubungkan  dunia  barat  dan  timur,  namun  ia menghubungkan  rindu,  cinta,  hasrat,  dan  kepedihan,  juga  kisah‐kisah  dari  kota  yang terlupakan dari Bosnia kepada dunia.

682

Aditya Danu Iswara

Pujangga. Tinggal di Lamongan.

Comments are closed.