Ya, negeri yang indah itu disebut Balkan. Semenanjung yang menjadi penghubung bagi dunia barat dan timur. Di sanalah bagian terpenting bagi sejarah peradaban Asia dan Eropa lahir. Daerah yang selama ribuan tahun telah menjadi tempat perebutan dinasti‐dinasti besar. Naasnya, meskipun tampak indah, ia tak pernah surut dari gejolak peperangan.
Selama beratus hingga ribuan tahun, peperangan seolah menjadi sahabat karib bagi negeri yang amat luas itu. Selama ratusan tahun pula, Balkan menjadi wilayah kekaisaran Ottoman sebelum akhirnya direbut oleh Kekaisaran Austro Hungaria. Namun, negeri yang indah itu tak dapat lepas dari bayang‐bayang Ottoman, di mana sampai hari ini masyarakatnya selalu bernyanyi dalam lagu‐lagu klasik yang menceritakan tentang kejayaan masa lalu. Dan hari ini, kita mengenal wilayah tersebut sebagai seorang kakek tua Slavia Raya yang termangu‐mangu menyaksikan dirinya menjadi puing‐puing kecil yang berserakan di mana‐mana.
Pada awal dekade 40an, seorang lelaki bernama Josip Bros Tito menaikkan satu bendera sebagai tanda era baru Balkan dalam satu nama yaitu Yugoslavia. Lelaki pemimpi itu mengumpulkan puing‐puing yang berserakan, lalu menyusunnya menjadi sebuah negara meski tak sesempurna seperti sediakala. Terbukti setengah abad kemudian, negeri bernama Yugoslavia itu hancur tanpa sisa karena dibangun dari puing‐puing yang retak dan sekarat.
Tito yang menua tak sanggup lagi mempertahankan kedaulatan Yugoslavia di mata dunia, sebagaimana masa mudanya mempersatukan negeri tersebut di bawah panji‐panji sosialisme. Di satu sisi, kekuatan oposan yang dipimpin oleh Slobodan Milosevic, dimana ia dipersenjatai habis‐habisan oleh Amerika untuk membentuk kekuatan militer yang ditujukan untuk mengobarkan peperangan atas nama kemerdekaan masing‐masing suku. Suku‐bangsa yang selama ratusan tahun tersebut hidup dalam komuni‐komuni
sosialnya masing‐masing, berdasarkan klan.
Lelaki pemimpi itu mengumpulkan puing‐puing yang berserakan, lalu menyusunnya menjadi sebuah negara meski tak sesempurna seperti sediakala. Terbukti setengah abad kemudian, negeri bernama Yugoslavia itu hancur tanpa sisa karena dibangun dari puing‐puing yang retak dan sekarat.
Rupanya perjuangan atas nama sosialisme Josip Bros Tito yang digaungkan sejak lama tak mampu diterima oleh masing‐masing suku tersebut. Bangsa‐bangsa selain Slavia pun tidak menerima kekuasaan atas nama nasionalisme yang berdasar asas kesukuan. Maka, masyarakat Croat, Sephardic, Serbia, Bosnia, dan lain suku bangsa memilih untuk melepaskan diri kemudian memilih untuk menjadi negara‐negara yang memiliki kedaulatannya masing‐masing.
Pada sisi yang paling dalam, kehancuran Yugoslavia yang dipicu oleh isu keagamaan (religion) dan menyebabkan sebuah perang sipil ini menciptakan ceruk luka paling dalam, di mana perang telah menelan jutaan penduduk negeri tersebut. Dalam perang sipil yang berkepanjangan, sebuah negeri yang sangat romantik bernama Bosnia Herzegovina menjadi korban politik sekaligus menjadi salah satu negeri yang paling menderita dalam perang sipil yang berkepanjangan itu.
Negeri bernama Bosnia Herzegovina itu serupa nyonya tua yang tak berdaya melihat ribuan anak‐anaknya kehilangan nyawa. Selepas masa perang, tak ada yang tersisa kecuali puing‐puing bangunan dan peninggalan kebudayaan ratusan tahun lalu yang berserakan di mana‐mana. Luka dan penderitaan seolah menjelma gaung panjang dalam nyanyian‐nyanyian sendu. Di sanalah, Bosnia yang malang terbangun untuk menyusun dan membangun kembali negerinya. Kota‐kota yang hancur mulai ditata kembali. Rakyat Bosnia yang kehilangan tempat tinggal mulai membangun rumahnya masing‐masing dan sebagian mereka berjalan menjadi orang terbuang di negeri‐negeri asing.
Namun, pada suatu ketika nyanyian dari tanah kelahiran pun memanggil jiwa rakyat Bosnia yang terpencar. Lembah‐lembah yang hijau, kebun melon yang menanti dipanen, perayaan‐perayaan musim panas yang diiringi Bouzouki, serta puisi‐puisi cinta adalah ikatan magis yang memanggil kembali mereka yang terpencar di negeri‐negeri jauh. Nada‐nada magis dan irama ajaib tersebut bernama Sevdalinka, sebuah tradisi istana berupa puisi yang dinyanyikan lebih dari 400 tahun lalu dimana berisi mengenai cinta, luka, hasrat, serta kepedihan. Tepat pada satu abad, kini Sevdalinka menjelma sebagai sebuah musik khas yang dinyanyikan oleh rakyat Balkan hingga hari ini.
Nada‐nada magis dan irama ajaib tersebut bernama Sevdalinka, sebuah tradisi istana berupa puisi yang dinyanyikan lebih dari 400 tahun lalu dimana berisi mengenai cinta, luka, hasrat, serta kepedihan.
Puisi Cinta dari Kota yang Terlupakan
Tak dapat dipisahkan bahwa nyanyian tua yang menjelma sebagai musik rakyat itu pun lahir di sebuah kota yang sama tuanya, yaitu Mostar. Kota yang dikenal sebagai warisan raja‐raja Ottoman pada masa lalu sekaligus berperan dalam menghubungkan dunia barat dan timur. Dalam catatan masa lalu, dunia barat dan timur tersebut dipisahkan oleh sungai Neretva yang menjadi lalu lintas ekonomi, pemerintahan, dan kebudayaan pada era Byzantine. Namun era panjang Byzantine pun kemudian surut dan digantikan oleh Dinasti Ottoman di
bawah pemerintahan orang‐orang Turk.
Pada masa kekuasaan Ottoman, orang‐orang Turk tersebut membangun sebuah jembatan penghubung antara Mostar Barat dan Timur yang bernama Stari Most. Jembatan inilah yang menjadi penanda terbukanya sebuah era baru. Tetapi, jembatan yang penuh sejarah itu telah hancur oleh tembakan mortar semasa perang sipil yang bertepatan pada 9 November 1993. Selain itu, perang sipil yang berkecamuk pun ikut pula membumihanguskan kota indah yang menjadi jantung sejarah bagi negeri Bosnia.
Bagi rakyat Bosnia, melihat kehancuran jembatan Stari Most adalah kesedihan yang sangat mendalam. Pasalnya, jembatan tersebut memiliki arti penting bagi tiap‐tiap batin penduduknya, dimana mereka menyimpan rekaman kenangan di bangunan masa lalu itu.
Bagi rakyat Bosnia, melihat kehancuran jembatan Stari Most adalah kesedihan yang sangat mendalam. Pasalnya, jembatan tersebut memiliki arti penting bagi tiap‐tiap batin penduduknya, dimana mereka menyimpan rekaman kenangan di bangunan masa lalu itu. Melihat kepedihan rakyat Bosnia yang mendalam, seorang lelaki bernama Dragi Sestic menyatukan kenangan akan jembatan Stari Most dalam satu bentuk berupa gerakan kebudayaan yang disebutnya sebagai Mostar Sevdah Reunion. Ia memanggil dan menemui teman‐temannya, para musisi Mostar yang telah lama terpisah akibat perang untuk terlibat dalam satu visi yaitu mengangkat martabat kemanusiaan Mostar secara khusus dan terlebih lagi rakyat Bosnia. Hanya ada satu alasan bagi para seniman‐seniman ini yaitu Sevdah.
Apa itu Sevdah? Bagi Dragi Sestic, Sevdah adalah wibawa yang hadir antara pikiran dan jiwa yang dibangkitkan dengan cara memainkan Sevdalinka. Ia adalah kekuatan‐kekuatan yang muncul dari Sevdalinka. Ia juga bisa menyamar menjadi getir yang menggetarkan. Sevdah hadir untuk menggambarkan cinta yang pedih, atau seperti lelaki yang ditinggalkan kekasihnya. Bagi seorang bocah, Sevdah seperti seorang ayah yang bernyanyi dan menangis pada saat yang sama. Intinya, Sevdah tak semata ditafsirkan sebagai suatu nyanyian, namun ia tak lain adalah nyawa bagi rakyat Bosnia itu sendiri.
Sevdah adalah wibawa yang hadir antara pikiran dan jiwa yang dibangkitkan dengan cara memainkan Sevdalinka. Ia adalah kekuatan‐kekuatan yang muncul dari Sevdalinka. Ia juga bisa menyamar menjadi getir yang menggetarkan.
Lahirnya Mostar Sevdah Reunion
Notabene Dragi Sestic telah meninggalkan tanah kelahirannya selama kurang lebih dua puluh tahun yang dilatarbelakangi karena suasana politik Bosnia yang tak menentu. Dari negeri asing, Dragi Sestic melihat negerinya yang porak poranda. Lewat media televisi dan surat kabar, ia pun semakin khawatir memikirkan sanak saudara dan teman‐temannya di kota kelahirannya, Mostar. Berbagai macam upaya ia lakukan untuk mendapatkan informasi terkait keadaan sanak saudara dan teman‐temannya tersebut. Satu demi satu, ia pun memperoleh kabar terkait orang‐orang yang dicintainya. Sebagian dari mereka selamat semasa perang, dan sebagian dari mereka pula gugur dan tiada.
Beberapa tahun kemudian, Dragi Sestic akhirnya bertemu dengan sahabat‐sahabatnya di salah satu kafe yang berada di Kota Mostar, di mana tempat tersebut menjadi ruang pertemuan para musisi dan seniman kota itu. Dragi Sestic bertemu kembali dengan sahabatnya yang telah lama tak dijumpainya. Singkat cerita, bersama sahabat‐sahabatnya yaitu Mišo Petrović, Sandi Duraković, Nermin Alukić Čerkez, Marko Jakovljević, Gabrijel Prusina, Senad Trnovac, dan Vanja Radoja mendirikan sebuah kelompok musik bernama Mostar Sevdah Reunion. Tak ketinggalan pula dua harta karun legendaris yang telah lama hilang yaitu Ljiljana Butler dan Saban Bajramovic, dua orang legenda Gipsy turut serta sebagai bagian tak terpisahkan dari Mostar Sevdah Reunion.
Mostar Sevdah Reunion bukan semata sebagai sebuah kelompok musik. Namun, ia hadir sebagai jembatan seperti halnya jembatan Stari Most yang menghubungkan tiap‐tiap kenangan warga Mostar dan Bosnia. Lewat Mostar Sevdah Reunion itu pula, seluruh ingatan kolektif rakyat Mostar dan Bosnia dibangkitkan, di mana pernah suatu ketika kelompok tersebut menyelenggarakan sebuah perhelatan musik untuk mengenang kembali cerita‐cerita manis dan mengenang sejarah tentang jembatan Stari Most.
Mostar Sevdah Reunion bukan semata sebagai sebuah kelompok musik. Namun, ia hadir sebagai jembatan seperti halnya jembatan Stari Most yang menghubungkan tiap‐tiap kenangan warga Mostar dan Bosnia.
Diselenggarakannya perhelatan musik tersebut juga bertepatan dengan dibukanya kembali Stari Most setelah tiga tahun mengalami masa pemugaran selama tiga tahun oleh UNESCO. Mereka bernyanyi dan saling bertukar kenangannya, lalu membawakan lagi nomor‐nomor klasik dari para pendahulu mereka. Di antaranya beberapa lagu karya Zaim Imamovic dan Himzo Polovina dimainkan oleh kelompok musik tersebut.
Sebagaimana Sevdalinka yang selalu menyuarakan kerinduan, cinta, hasrat, sekaligus kepedihan pada saat yang sama, maka sebuah lagu yang begitu lekat dengan masyarakat Mostar yaitu Cudna Jada Od Mostara Grada tak luput dimainkan oleh Mostar Sevdah Reunion. Semua orang bernyanyi dan hanyut bersama cinta, hasrat, dan kerinduan dalam arus sungai Neretva.
Jauh dari panggung‐panggung megah, dan jauh pula dari popularitas yang di‐branding oleh industri rekaman, Mostar Sevdah Reunion hadir dari kafe ke kafe, jalan ke jalan, taman ke taman, serta dari panggung‐panggung kecil mengajak mereka untuk bernyanyi bersama. Barangkali, mereka meyakini musik adalah hidup mereka sendiri yang penuh dengan rasa kecewa, kepahitan, kegembiraan, tawa, luka, dan sebagainya, di mana musik menjadi ritme, melodi, serta refrain dari tiap‐tiap tarikan nafasnya.
Tentu saja, berbagai macam penghargaan pernah disabet oleh kelompok musik ini. Namun, yang paling fenomenal dan mengherankan adalah penghargaan spektakuler dari MTV Europe Music Award untuk kategori World Music yang bahkan saat itu Mostar Sevdah Reunion sendiri tak pernah memiliki video klip sama sekali. Suara itu menggema dan pada akhirnya seluruh dunia mendengarnya. Mostar Sevdah Reunion hadir serupa jembatan Stari Most yang boleh dikatakan tak lagi menghubungkan dunia barat dan timur, namun ia menghubungkan rindu, cinta, hasrat, dan kepedihan, juga kisah‐kisah dari kota yang terlupakan dari Bosnia kepada dunia.