Abad ke-19 akhir dan 20-an awal menjadi role and mode baru di Surakarta mengenai perniagaan, terutama perniagaan batik. Banyak orang yang menjadi saudagar batik karena mengikuti perkembangan zaman. Sebut saja kelompok Tionghoa, pribumi, dan para ulama. Mereka tumbuh sebagai orang kaya baru di ruang kota dengan mengandalkan hidup pada sektor perniagan yang berpusat di pasar-pasar besar dan tradisional.
Ternyata, perniagaan yang mereka lakukan berdampak secara signifikan, bukan hanya sektor ekonomi saja melainkan juga dalam sektor politik. Kita lihat misalnya tokoh Sarekat Dagang Islam (SDI), Haji Samanhudi (1868-1956). Haji Samanhudi menggunakan perniagaan sebagai propanganda politik untuk melawan kaum kolonial dan bekerjasama dengan H.O.S Cokroaminoto (1882-1934). Selain Haji Samanhudi di Surakarta juga terdapat tokoh ulama kharismatik sekaligus saudagar batik yang dermawan, kiai Ahmad Shofawi namanya.
Kiai Ahmad Shofawi, ulama alim yang kharismatik lebih populer dikenal sebagai saudagar batik yang dermawan. Lahir di Surakarta pada tahun 1879 M. Berasal dari keluarga ulama yang berpengaruh di Laweyan, nama ayahnya Akram bin Moh Ikram bin Thohir yang sanadnya sampai kepada kiai Mohammad Besari dari Tegalsari, Ponorogo. Kiai Shofawi kecil mendapatkan pendidikan ilmu agama dari sang ayah sendiri. Setelah dianggap cukup umur kiai Shofawi pergi nyantri di Pondok Termas Pacitan dan Klaten.
Jejaring Tarekat Syadziliyah
Mengenai pondok pesantren yang terakhir ini, diasuh oleh Syekh Ahmad salah satu ulama terkemuka sekaligus mursyid tarekat Syadziliyah. Di pesantren ini pula kiai Shofawi menjalin persahabatan dengan kiai Abdul Manan seorang santri putra hartawan sholeh yang kelak mereka berdua sama-sama mendirikan Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Solo. Pertemanan mereka berdua bisa dianggap sebagai suatu pertemanan dunia dan akhirat, pasalnya yang satu sebagai hartawan ulung yang alim dan yang satu sebagai ulama khos.
Melalui jaringan tarekat Syadziliyah yang lain, kiai Shofawi murid KH. Muid bin Muhammad Thohir Tempusari, seorang mursyid tarekat Syadziliyah sekaligus pengasuh pondok pesantren Tempusari, Klaten. Selama nyantri di Tempusari, kiai Shofawi tidak hanya mendalami ilmu suluk, melainkan juga mendalami kitab-kitab populer pesantren antara lain: I’anah at-Tholibin, Kitab ad-Dasuqi, Ihya Ulumuddin dan Tafsir al-Jalalain.
Selain kiai Shofawi, banyak santri yang berguru kepada kiai Abdul Mu’id, baik dari daerah Solo Raya maupun dari luar yang dikemudian hari akan membangun jaringan tarekat Syadziliyah secara kuat. Santri-santri itu diantaranya: kiai Ahmad Shodiq Pasiraja Purwokerto, kiai Nawawi Banyuwangi, kiai Mudatsir Klaten, kiai Ma’ruf Solo, kiai Ali Syuhadi Klaten, kiai Abu Su’ud Klaten, kiai Ahmad Hilal Klaten, kiai Masyhudi Madiun, dan kiai Muhammad Idris Boyolali.
Sebagai seorang tokoh yang alim kiai Shofawi menjadi sosok yang benar-benar konsisten menjaga prinsip berupa Quu anfusahum wa ahlikum naaran dan wa ta’awanu ala birri wat taqwa. Kedua prinisp ini yang dijadikan pedoman hidup oleh kiai Shofawi dalam berdakwah hingga akhir hayatnya. Selain seorang ulama kharismtaik, kiai Shofawi juga menekuni bidang perniagaan sebagai jalan yang ditempuh untuk menyampaikan pesan-pesan Islam.
Menjadi Saudagar dan Menyampaikan Pesan Ketuhanan
Ketertarikan dan ketekunannya dalam dunia perniagaan dimulai sejak kiai Shofawi selesai nyantri di pesantren yang diasuh oleh kiai Ahmad Kadirejo Klaten. Usaha yang ia tekuni yaitu kain batik. Ini bukan tanpa alasan karena Surakarta khusunya desa Laweyan menjadi komoditi indutsri batik terbesar di Asia, bahkan dunia. Keuletannya dalam menekuni dunia bisnis membawa kiai Shofawi menjadi salah seorang hartawan yang terpandang di Surakarta.
Ayah kiai Shofawi, Akram bin Moh, Ikram bin Thohir dan mertuanya sebagai juragan batik terpandang di Laweyan. Pada waktu itu, Shofawi muda ikut mendirikan perusahan yang berasal dari keturunan keluarganya, meskipun tempatnya masih menjadi satu dengan perusahaan batik milik mertuanya. Setelah berkembang kemudian kiai Shofawi perpindah ke wilayah Projo dan memberi nama “Kurma” pada perusahaan batik miliknya.
Penamaan ini bukannya tanpa alasan, menurut kiai Idris Shofawi, mengambil nama “Kurma”, karena buah kurma dianggap memiliki rasa cita yang manis sehingga kiai Shofawi sangat menyukai buah tersebut. Di sisi yang lain buah kurma salah satu buah yang tumbuh di beberapa wilayah Timur Tengah seperti Arab Saudi, Tunisai, Iran, Aljazair, dan Mesir. Di mana wilayah-wilayah tersebut identik dengan corak Islam yang beragam dan corak Islam yang beragam itulah kemudian diilustrasikan dalam setiap batik yang dibuat oleh kiai Shofawi.
Kiai Shofawi melihat corak keberislaman yang berkembang di negara-negara di atas beragam, tidak sama. Hal itu yang menginspirasi kiai Shofawi dalam memilih nama batik tersebut. Ia berharap dakwahnya yang disalurkan dengan membatik bisa membuat dirinya dan masyarakat secara luas mengerti akan nilai-nilai Islam yang bersifat universal. Karena pada hakikatnya menggunakan kain batik bertujuan untuk menanamkan kesadaran kepada masyarakat akan kandungan nilai religius yang terdapat pada setiap motif batik.
Desain batik selalau mempertimbangkan tujuan nilai yang berlaku pada kaum tertentu, dengan selalu mengaitkan sistem ekonomi, sosial dan religiusitas (Pujiyanto, 2013:72). Kiai Shofawi melihat, masyarakat Laweyan yang masyoritas penduduknya Muslim, pemilihan nama “Kurma” adalah hal yang tepat. Ditambah tujuan dari batik Kurma untuk semua lapisan masyarakat bukan hanya golongan tertentu.
Motif batik Kurma, atau batik tradisional yang ada di Surakarta bisa menjadi basis implementasi ajaran Islam. Al-Quran berperan sebagai giding line bagi proses akulturasi terhadap adat istiadat yang berjalan. Dengan hadirnya batik Kurma, kiai Shofawi berharap masyarakat dapat menjalankan nilai-nilai Islam tanpa harus menghilangkan tradisi kebudayaan setempat. Di sinilah letak keontetikan Islam, pemeluknya tidak perlu menghilangkan budayanya dalam menjalankan ajaran Islam.
Batik pada hakikatnya juga memiliki makna simbolis sebagai doa dan harapan yang dipakai dalam peristiwa-peristiwa tertentu (Rizali Nanang, 2015: 82). Hadirnya batik Kurma diharapkan sebagai doa serta harapan bagi semua kalangan masyarakat yang mengenakannya. Harapan agar hidup lebih baik dan tetap teguh memegang prinsip-prinsip ajaran agama Islam.
Disinilah letak keunikan batik Kurma yang dilukis oleh kiai Shofawi yang penuh akan makna filosofis yang jarang khalayak umum ketahui. Membatik dengan corak seperti ini adalah salah satu dakwah kiai Shofawi dalam mensyiarkan agama Islam. Dakwah seperti ini disebut dakwah bil hal, yakni dakwah yang dilakukan dengan kemampuan duniawi bukan dakwah melalui lisan. Meskipun kita tau bahwa secara lisan ia tidak mengajarkan, namun secara langsung ia mempraktekannya dalam kehidupan sehari-hari.
Walaupun sebagai saudagar batik yang terpandang, kiai Shofawi selalu mengajarkan sifat zuhud terhadap anak dan cucu-cucunya. Ia selalu mencontohkan kepada anak dan cucu-cucunya untuk tidak memiliki atau menyimpan lebih dari tiga lembar baju yang ada di dalam lemari mereka. Sifat ini adalah sifat seorang sufi yang sulit dilakukan oleh masyarakat Islam secara luas.
Sebagai seorang ulama sekaligus saudagar, kiai Shofawi mengajarkan kepada kita banyak hal mengenai suatu makna kehidupan salah satunya bersifat zuhud. Zuhud yang dilakukan oleh kiai Shofawi adalah sifat sufi dari tarekat Syadziliyah. Salah satu ciri dari tarekat Syadziliyah adalah melaksanakan tugas dan kewajiban yang penyampaiannya kepada kebahagaian hidupnya. Hal itu yang diimplementasikan kiai Shofawi sebagai ulama sekaligus sebagai saudagar batik.