Ketika saya tengah bergelut dengan berbagai literatur penelitian tentang ludruk untuk kepentingan tesis saya, tanpa sengaja saya menemukan tiga artikel menarik yang masing- masing ditulis oleh John Henry Hutton (1946), James Hornell (1934), dan A. M. Jones (1960). Ketiganya menawarkan hipotesis yang hampir sama, yakni; adanya kemiripan “material culture” (atau saya menerjemahkannya menjadi produk budaya) antara Afrika dengan Indonesia. Indonesia yang dimaksud disini adalah sebuah wilayah Indonesia sekarang.
Saya akan memulai dengan artikel dari A. M. Jones, seorang musikologis asal Inggris yang cukup lama meneliti tradisional musik di Afrika. Dalam artikelnya yang berjudul „Indonesia and Africa: The Xylophone as A Culture-Indicator”, dia mengamati bahwa xylophone di Afrika memiliki kemiripan dengan yang ada di Jawa (dalam gamelan disebut gambang). Kemiripan ini tidak hanya dari segi bentuk, namun dia juga menganalisis iramanya, yakni dengan membandingkan musik tradisional Afrika dengan irama slendro dan pelog dalam gamelan. Dari penelitiannya dia mengambil kesimpulan bahwa Jawa kemungkinan telah mempengaruhi irama xylophone di Afrika. Hipotesisnya ini dikuatkan dengan bukti- bukti produk budaya lain yakni alat musik kemanak, beberapa kata dalam bahasa Ghana dan Jawa, pola dekorasi alat musik, permainan “Board Game” yang ada di Afrika (permainan yang dia maksud mirip seperti dakon di Jawa), hingga peta agrikultur distribusi padi yang ada di Afrika. Dia pun mengambil kesimpulan bahwa budaya- budaya ini dibawa oleh Indonesia (kemungkinan besar Jawa) ke Afrika kemungkinan sudah sejak tahun 222- 77 Masehi. Kesimpulan itu berdasarkan catatan Cina, yakni ketika masa dinasti Wu ( 222- 77 Masehi) rombongan dari Asia Tenggara, atau mereka menyebutnya po atau k’un-lun-po, datang ke Cina untuk berdagang dengan membawa budak berkulit hitam. Juga catatan berbahasa Arab yang menyebutkan bahwa orang- orang ini kemungkinan tidak memiliki kesulitan untuk melalui Samudra Hindia. (Jones, p. 40- 47) Itu artinya, orang- orang ini sudah terbiasa berlalu-lalang Afrika, India, Indonesia dan hingga Cina.
Namun tidak berhenti disitu, Jones masih terus menguji hipotesisnya, terlepas dari jarak yang terbentang antara Indonesia dan Afrika, padahal ada India di tengahnya, bagaimana mungkin kemiripan produk budaya terkonsentrasi pada Afrika dan Indonesia? Apakah hanya sebuah kebetulan? Ataukah faktor lingkungan? Ataukah tumbuh dengan sendirinya dari pemikiran bawah sadar manusianya? Atau memang ada pertemuan antara keduanya sehingga saling mempengaruhi? Alasan yang terakhir menurutnya lebih masuk akal. Dia pun menemukan kesamaan pada produk budaya yang lain. Satu aspek yang menarik adalah ketika dia membandingkan kata klama di suku Adangme di Ghana dan krama di Jawa. (Jones, A. M., p. 42) Dia mengambil contoh ini karena keduanya berhubungan dengan syair lagu, baik di Ghana maupun di Jawa. Meskipun dalam analisisnya sepertinya cukup “dipaksakan” tetapi menjadi menarik bagi saya karena dia telah jeli menemukan istilah- istilah yang mirip di Afrika dan Jawa.
Artikel selanjutnya yang tidak kalah menarik adalah dari Prof. J. H. Hutton, seorang antropolog asal Inggris yang telah mengabdikan dirinya untuk penelitian di Assam (daerah India) dan beberapa daerah Asia disekitarnya. Artikelnya yang berjudul „West Africa and Indonesia: A problem In Distribution” memiliki kesimpulan yang mirip dengan artikel sebelumnya: Jawa pernah berlayar hingga ke Afrika. Hutton, selain mengambil salah satu produk budaya antara untuk diperbandingkan, dia juga mengambil salah satu ritual untuk diperbandingkan. Dan kesamaan itu, rupanya justru ada ditemukan di Nigeria, yang notabene merupakan Afrika bagian Barat dengan suku Naga di Jawa. Selain juga mengambil contoh xylophone, dia juga membadingkan upacara “head-hunting”, dan upacara pemakaman antara kedua suku tersebut. Setelah menyimpulkan kesamaan antara keduanya, dia kembali menguji hipotesisnya, apakah yang membuat keduanya mirip? Seperti halnya Jones, dia mencurigai faktor psychologis dan keadaan alam. Namun dia tetap melihat ada kelemahan dalam hipotesis ini, dan lagi- lagi kita akan dikembalikan pada problem difusi. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah, dari mana proses difusi tersebut? Apakah Afrika yang telah mempengaruhi Indonesia atau sebaliknya. Dia menelusuri bahwa tidak ditemukan adanya sejarah pelayaran di Afrika Barat. Tidak ada tanda- tanda mereka telah melakukan pelayaran. Sementara Indonesia, dia menyebutnya The Malays, adalah seorang pelayar yang tangguh, sehingga besar kemungkinan mereka ini dapat menjangkau Afrika, “The Malays have been great voyagers, and the cultures of Madagascar come primarily from Indonesia.” (Hutton, p. 11). Meskipun saya setuju dengan pernyataannya ini, namun tetap sebagai peneliti dibutuhkan data penguat, sayangnya dia tidak memberikan bukti- bukti lanjut mengenai hipotesis ini. Dan rupanya, pada artikel berikutnya saya mendapatkan jawaban atas pernyataan ini.
Sementara Indonesia, dia menyebutnya The Malays, adalah seorang pelayar yang tangguh, sehingga besar kemungkinan mereka ini dapat menjangkau Afrika, “The Malays have been great voyagers, and the cultures of Madagascar come primarily from Indonesia.” (Hutton, p. 11).
Umi Maisaroh
Yakni artikel yang ditulis tahun 1934 oleh seorang zoologis asal Inggris yang jatuh cinta dengan dunia “perlautan”, James Hornell, yang berjudul, “Indonesia Influence on East African Culture“. Fokusnya adalah bahasa Malagasy di Madagaskar yang masih golongan Melayu-Polynesian yang dekat dengan bahasa Kawi. Penutur bahasa Malagasy adalah suku Bantu di Madagaskar. Dari bahasa ini ada hipotesis bahwa Sumatra pernah menduduki Madagaskar, “linguistic reasons for the inference that Sumatrans first colonized Madagascar as early as the second to fourth centuries of our era, possibly even earlier.” (Hornell, James., p. 31) Selain itu, dia juga memperhatikan bukti budaya lain, yakni perahu. Dia mengamati bentuk hingga ornamen perahu di Afrika Timur yang mirip dengan perahu- perahu di Sumatra dan Jawa. Mengapa dia menduga bahwa Jawa yang membawa pengaruh itu ke Afrika? Rupanya, selain melihat catatan- catatan dari Arab dan Cina yang menjelaskan bahwa “Sriwijaya” pernah ke Afrika melalui India. Hipotesis ini dia kuatkan dengan relief di Candi Borobudur. Dalam candi itu terukir kapal kayu dengan layar, yang dengannya sangat mungkin orang dapat berlayar jauh. Tidak sampai di sini, dia pun menambahkan bukti- bukti lain yakni ornamen rumah, alat musik, dan alat- alat untuk berburu. Dari catatan Cina dia mendapatkan, “we have the first records of African slaves being sent from Sumatra and Java as part of the tribute paid to the Chinese suzerains-from Sumatra in A.D. 724 and from Java in A.D. 813,” (Hornell, James, p. 330) sehingga dia menyimpulkan bahwa orang- orang ini benar dari Indonesia, atau tepatnya mereka adalah Sriwijaya. Dia pun mengaitkan bahwa collapsnya pengaruh Sriwijaya di Afrika bersamaan dengan collapsnya Sriwijaya, “That so little positive evidence of Indonesian influence survives in Africa is paralleled by the fall into utter oblivion of the once mighty Srivijayan empire of Sumatra, an empire of which all knowledge was lost and forgotten until the decipherment of a few old and widely scattered inscriptions and search’ in Chinese annals revealed something of its importance and of the wide extent of its dominion prior to its fall in the thirteenth century in conflict with the Javanese empire of Majapahit.” (Hornell, James, p. 331) 331) Maka terjawablah kebingungan saya sebelumnya, relief di candi Borobudur seakan berbicara, tanpa kompas (atau mungkin mereka telah punya teknologi lain) mereka telah mencapai Afrika.
Ketiga artikel itu mengusik pikiran saya. Pertama ketiganya ditulis telah cukup lama, bahkan sebelum Indonesia merdeka. Artinya kemungkinan kejayaan kerajaan Jawa dulu telah tercium bahkan sejak awal- awal Eropa mulai menyentuh Asia, pun meskipun penelitian ini bersifat spekulatif, hipotesis yang mereka kemukakan dapat membuka jalan untuk penelitian selanjutnya. Jika kita telah menemukan berita ini sejak awal mula dahulu, bukan tidak mungkin (jika kesadaran itu ada) peneliti Indonesia tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Maka akan banyak serat, relief, atau produk budaya lain yang dipelajari lebih dalam lagi. Karena saya melihat ada sedikit kelemahan dalam artikel- artikel tersebut, yakni keterbatasan sumber- sumber budaya yang diteliti. Walaupun, mereka beranggapan bahwa hal tersebut terbentur dengan collapsnya Sriwijaya yang disertai hilangnya arsip-arsip kerajaan tersebut.
Kedua, meskipun penelitian ini ditulis dari kacamata Barat, saya melihat perspektif mereka cukup netral, terutama jika melihat biodata dari penelitinya yang cukup “ngeri” dalam kontribusinya untuk ilmu pengetahuan. Tanpa untuk merendahkan atau meninggikan pihak manapun, berdasarkan bukti yang dapat mereka temukan, mereka menyimpulkan bahwa Indonesia lah, (atau Sriwijaya) yang telah mencapai Afrika.
Ketiga, artikel ini membuat saya berpikir ulang tentang Indonesia, bahwa mungkin, “nenek moyangku seorang pelaut “, bukanlah slogan semata. Bahkan jauh sebelum Eropa mendarat di Afrika dan Indonesia, kapal pinisi atau kapal “tradisional” lain dari Indonesia telah memiliki cukup teknologi untuk mengarungi samudra-samudra dunia. Mungkin juga tidak hanya suku Naga, ada suku Bajo yang mungkin juga telah berumur tua dan pernah mengarungi dunia. Dan relief Borobudur yang entah seberapa luasnya jika dibentangkan menjadi lembaran- lembaran kertas, tak akan ada habisnya kita membaca, menginterpresi, menganalisis. Belum peninggalan benda budaya lain; serat, manuskrip, tembang, ritual, prasasti, yangmana nenek moyang kita telah berinvestasi waktu dan tenaga untuk membuatnya, yang menunggu untuk dibaca, agar kita masih bisa berkomunikasi dengan mereka.
Ketiga artikel tersebut mengguncang kesadarana saya, bahwa semangkin saya menelusuri asal- usul saya sebagai Jawa, Indonesia, semangkin banyak yang tidak saya ketahui. Dan jika saya tidak mengetahui diri saya, bagaimana saya bisa menentukan tujuan saya?
Umi Maisaroh
Ketiga artikel tersebut mengguncang kesadarana saya, bahwa semangkin saya menelusuri asal- usul saya sebagai Jawa, Indonesia, semangkin banyak yang tidak saya ketahui. Dan jika saya tidak mengetahui diri saya, bagaimana saya bisa menentukan tujuan saya? Mengutip A. M. Jones, saya tercenung mengerjakan tesis saya, “Perhaps all this mere coincidence: but if so, will someone tell us what has to be its coefficient of frequency before chance coincidence changes overnight to become positive evidence?” (Jones, p. 46).
Sumber Artikel:
Jones, A. M. (1960). Indonesia and Africa: The Xylophone as a Culture-Indicator. African Music, 2(3), 36-47. Retrieved January 27, 2021, from http://www.jstor.org/stable/30249933
Hornell, J. (1934). Indonesian Influence on East African Culture. The Journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, 64, 305-332. doi:10.2307/2843812
Hutton, J. (1946). West Africa and Indonesia: A Problem in Distribution. The Journal of the Royal Anthropological Institute of Great Britain and Ireland, 76(1), 5-12. doi:10.2307/2844305
Foto sumber: dari James Hornell Indonesian Influence on East African Culture