Menu

Islam Nusantara, Negosiasi, dan Pribumisasi Islam

Islam Nusantara adalah Islam yang bersumber dari Kanjeng Nabi Muhammad, yang dipraktikkan, dipahami, dan dikembangkan oleh para pendakwah Islam generasi awal di Nusantara, yang diteruskan hingga hari ini oleh generasi mereka. Islam Nusantara ini, adalah Islam yang memberi tempat kepada “Pribumisasi Islam”, atau Islam yang memberi tempat kepada ekspresi kebutuhan-kebutuhan lokal (dan ditambah nasional untuk keadaan sekarang, dan internasional) dalam perjumpaan dengan para pendakwah sebagai kreator dan penafsir, untuk mengimplementasikan nilai-nilai Islam itu sendiri. Dalam konteks demikian, Islam Nusantara bisa bermakna Islamisasi dengan jalan “Pribumisasi Islam” atau mengembangkan Islam melalui Pribumisasi Islam.

Islam Nusantara, dengan demikian, berusaha mempertahankan fondasi tetapnya sebagai Islam, dalam prinsip-prinsipnya, nilai-nilainya dan ritual-ritualnya, sehingga memiliki ruang-ruang tertutupnya, atau ruang tetapnya. Selain itu, ada dimensi perjumpaan Islam dengan konteks lokal (nasional-internasional untuk keadaan saat ini) di masyarakat Nusantara. Perjumpaan ini memengaruhi kerja dan praktik budaya, politik-kenegaraan, ekonomi, dan berbagai kreatifitas  untuk membangun peradaban masyarakat, sebagai ruang tertutup dan terbuka sekaligus, dalam kerja Pribumisasi Islam. Perjumpaan ini dihadapi dan disikapi melalui kreativitas-kreativitas Pribumisasi Islam, dalam menempatkan, menyikapi, dan menerjemahkan, juga mengembangkan antara ruang tetutup dan terbuka itu, sehingga kerja-kerja kreativitas itu menghasilkan “Khoshoish” tertentu.

Pribumisasi Islam sebagai konsep dalam ilmu sosial, berhutang budi kepada KH. Abdurrahman Wahid (Allahu yarhamhu), dalam beberapa tulisannya. Dalam pandangan KH. Abdurrahman Wahid ini, Pribumsiasi Islam bermakna “Dinamisasi Islam”, sekaligus mempertahankan nilai dan tradisi lama yang  masih baik dan relevan, tetapi berarti juga penggantian atas nilai lama yang dianggap tidak relevan lagi. Dinamisasi berarti menjawab kebutuhan lokal (dan nasional-internasional saat ini) dengan tetap memanfaatkan ilmu-ilmu dalam tradisi Islam, sehingga tetap menggunakan ushul fiqh, kaidah fiqh, ilmu tafsir seperti asbabun nuzul, asbabul wurud hadits-hadits Nabi, dan semua ilmu perangkat yang berkaitan dengan itu.

Saya menyimpulkan, Islam Nusantara yang notabene adalah praktik pengembangan dan Islamisasi dengan jalan Pribumisasi Islam, dengan melihat beberapa bukti dan model di bawah ini:

 

Bungkus Lokal dengan Isi Islam Sunni

Model Kropak Ferrara. Pribumisasi Islam yang pertama dilihat di sini, dicontohkan oleh Kropak Ferrara, yaitu naskah yang menjelaskan etika Islam dalam bahasa Jawa Kuno, memuat sebagian ajaran Maulana Malik Ibrahim. Kropak Ferrara, yang diterjemahkan oleh GWJ Drewes menjadi An Early Javanese Code of Muslim Ethics. Karya ini adalah karya yang menurut penelitian GWJ dan memuat ajaran Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M), merupakan karya (bukan nisan) yang bisa dibilang paling tua yang ditemukan hingga saat ini di kalangan para wali Jawa. Kropak Ferrara ini ditulis menggunakan media tulisan Jawa, dan dibunyikan juga bunyi Jawa. Naskahnya bersumber dari Jawa Timur, dan sudah ada di Universitas Leiden  pada tahun 1597 (sementara Maulana Malik Ibrahim wafat tahun 1419), yang berarti naskah itu sudah ada sebelum itu dan beredar di Jawa Timur. Dalam karya itu, Maulana Malik Ibrahim mengungkap aturan etika masyarakat Islam yang dibangun, dengan menggunakan media tulisan Jawa, dan dibunyikan juga bunyi Jawa.

Dari sudut isi, Kropak Ferrara dan wejangan Maulana Malik Ibrahim yang ada, sepenuhnya, etika Sunni Islam yang dipahami dari kitab-kitab Sunni (sebagian kitab ini disebutkan di dalam karya itu). Lalu dijelaskan menurut cara yang bisa dipahami dan digunakan sebagai pedoman para pendakwah Islam awal. Isinya, memuat etika yang memadukan akhlaq yang dikembangkan oleh para ahli tasawuf, tauhid, dan fiqh sekaligus, sebagai bentuk pengamalan penyempurnaan dan permulaan seseorang menjadi dan berlaku tasawuf. Tidak ada dalam karya itu menyinggung rujukan-rujukan khazanah Hindu Budha atau dari khazanah masyarakat Jawa yang berkembang pada saat itu. Maulana Malik Ibrahim, juga berusaha memasukkan kosakata dan diksi Arab yang penting, seperti ma‘rifatullah, sholat, inabat, masyayikh, dan beberapa yang lain, tetapi dominasi bahasa Jawa lama sangat kuat.

Variasi dari model ini, adalah cara terbaik mempertahankan cara hidup Islami Sunni moderat di dalam perkampungan muslim, di kantong-kantong muslim, yang kalau dalam kajian Tan Ta Sen (Ceng Ho, 2010), mereka ini hidup di tengah-tengah mayoritas non Islam. Mereka, para pendakwah Islam itu, yang diwakili di sini oleh Maulana Malik Ibrahim dan Bong Swie Hoo (Sunan Ampel), menerima Jawa sebagai bahasa, tetapi ide-ide, nilai-nilai, paradigmanya, adalah Islam Sunni yang berakar pada Islam wasathiyah. Asimilasinya menggunakan tutur bahasa Jawa, dan gerakannya adalah kultural (bukan politik). Namun tidak buta relasi dengan kraton dan kerajaan yang ada pada saat itu.

Awalnya Bong Swe Hoo (Sunan Ampel) dan komunitas China Muslim Hui-Hui yang diarsiteki Ceng Hoo menganut madzhab Hanafi, tetapi seiring dengan putusnya perantau China Muslim Hui-Hui dan pergolakan politik di China, kemudian banyak para perantau China kembali mengikuti Konfusianisme dan masjid-masjid yang ada diubah menjadi Klentheng. Bong Swe Hoo sendiri kemudian setuju mengembangkan madzhab Syafii.

Hal ini juga bisa dibaca, bahwa para pendakwah Islam ini adalah para ahli yang menguasai bahasa Arab, tauhid, fiqh, dan tasawuf sekaligus, sehingga seperti dalam karya Maulana Malik Ibrahim itu, beliau mengutip kitab-kitab Sunni yang menjadi rujukan imam-imam Sunni di dunia Islam. Kelenturan dalam menyampaikan isi Islam kepada masyarakat, juga dapat dikenali bukan hanya melalui karya itu, tetapi juga melalui penyematan nama-nama kepada para wali di Jawa: Sunan Ampel (untuk Bong Swee Hoo atau Raden Rahmat) dan sunan-sunan lain. Penerimaan atas sebutan ini, adalah menyangkut faktor yang lebih dalam, yaitu diterimanya  kebudayaan masyarakat untuk diserap dan berperan ke dalam tatanan Islam yang dibangun.

Karena mereka ini para ahli dalam membaca kitab Arab (lalu belajar bahasa Jawa, menggunakan tutur Jawa dan nama Jawa), dapatlah disimpulkan bahwa mereka tetap mempertahankan bahasa Arab dalam lingkungan kecil atau terbatas. Mungkin pendidikan yang diberikan kepada murid-murid khusus itu terjadi. Hanya yang sudah nyata, penamaan Maulana Malik Ibrahim, dalam bahasa Arab, menunjukkan diterima dan digunakannya bahasa Arab ini, dalam batas-batas tertentu.  Makam Fathimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan bahasa Arab Kufi, juga menunjukkan diterimanya atau dipakainya bahasa Arab oleh orang Islam saat itu, tanpa dioposisikan dengan masyarakat di sekitarnya. Nama-nama Arab itu tentu tidak memberi gambaran sepenuh hidup mereka, menggunakan bahasa Arab atau cara hidup Arab dipertahankan seluruhnya.  Yang paling masuk akal, mereka, seperti Maulana Malik Ibrahim menggunakannya sebagai bahasa membaca kitab, tetapi hasil bacaannya diolah seperti yang terlihat dalam Kropak Ferrara itu.

Dalam ekspresi diksi-diksi kitab Sunni dan Pribumisasi Islam model ini, kemudian diperbaiki dengan berkembangnya tulisan Pegon (tulisannya Arab, bunyinya Jawa); atau tulisan Jawi (tulisannya Arab, bunyinya Melayu), yang menurut Uka Tjandrasasmita (2009) sudah ada sejak abad ke-14; dan adanya pengenalan bahasa Arab pelan-pelan, atau disisipkan di sana-sini. Mereka memperkenalkan Islam di pengajian-pengajian dalam bahasa bunyi, menggunakan bahasa Jawa, tetapi isinya berasal dari kitab-kitab Sunni, dan pemahaman-pemahaman yang dicoba diterapkan adalah Islam Sunni. Menurut Tan Ta Sen, awalnya Bong Swe Hoo (Sunan Ampel) dan komunitas China Muslim Hui-Hui yang diarsiteki Ceng Hoo menganut madzhab Hanafi, tetapi seiring dengan putusnya perantau China Muslim Hui-Hui dan pergolakan politik di China, kemudian banyak para perantau China kembali mengikuti Konfusianisme dan masjid-masjid yang ada diubah menjadi Klentheng. Bong Swe Hoo sendiri kemudian setuju mengembangkan madzhab Syafii.

Ekspresi Kontemporernya, di kalangan generasi Islam Nusantara, model di atas diperkaya dengan kemampuan bahasa Arab yang dikembangkan di pusat-pusat pendidikan  pesantren, dan sekaligus penggunaan Pegon atau tulisan Jawi, jauh sebelum Nahdlatul Ulama berdiri. Tutur bahasa Jawa tetap dipertahankan di tengah interaksi dengan masyarakat, sehingga Islam Sunni yang berporos pada tauhid, akhlak dan hukum fiqh, diperkenalkan dan dikembangkan di tengah masyarakat.

Setelah  kemunculan Nahdlatul Ulama, model demikian dipertahankan. Yang hilang dari tradisi ini, adalah tulisan Jawa, seiring dengan berdirinya Republik Indonesia dan kemerosotan kraton Jawa, dan hubungan langsung generasi Islam Nusantara dengan pusat-pusat pendidikan Islam di Mekkah. Akhirnya mereka tidak mengenal karya-karya Islam Sunni dari pendahulunya yang menggunakan bahasa Jawa.

Nahdlatul Ulama (lahir 1926), lahir dari tatanan Pribumisasi Islam yang telah dikembangkan para pendakwah Islam awal dengan model demikian. Para pendiri dan pejuang Nahdlatul Ulama, memberikan sentuhan Pribumisasi Islam, menjadi semakin kokoh mengakar, karena mereka berkesempatan bisa melacak sumber asal khazanah Islam, di dalam bahasa Arab langsung ke Mekkah dan dari kitab-kitab yang bisa diakses, sesuatu yang zaman para wali tidak semudah pada masa pendiri Nahdlatul Ulama. Setelah itu mereka mendirikan pesantren: “ke dalam” mereka menguasai bahasa Arab dan Pegon sekaligus; “ke luar lingkungan pesantren”, mereka berinteraksi dengan berbahasa Jawa atau bahasa lokal, dan sekarang juga bahasa Indonesia.

Cita-cita mereka adalah bagaimana mewujudkan masyarakat Ahlussunnah Waljamaah, dengan tidak meninggalkan tradisi Sunni yang telah berkembang, dan menganggap tradisi-tradisi di kalangan masyarakat, selagi tidak bertentangan dengan rujukan Islam, tetap sah dan bisa dipertahankan, bahkan diteruskan. Selain itu, mereka memberikan tempat pada kebutuhan lokal (nasional dan internasional), dan inisiatif-inisiatif bersama masyarakat lain, dengan tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam dan tradisi Islam. Kepada tradisi lama, mereka mempertahankan yang baik; kepada hal-hal baru yang lebih baik, tidak apriori, tetapi ditimbang dan disikapi dengan menerima; dan kepada apa yang belum ada dan perlu, tetapi maslahah, juga tidak apriori, sehingga mereka menerima al-ijad, bukan hanya al-akhdzu.

 

Tentang Model Sunan Kalijaga

Sunan Kalijaga juga menggunakan bahasa tutur Jawa, sekaligus tulisan Jawa, dan memasukkan kosakata penting Jawa untuk memahami Islam, tetapi juga memasukkan sebagian kosakata Arab ke dalam karyanya. Hal ini terlihat dari karya Sunan Kalijaga, dalam Kidung Rumekso Ing Wengi, yang menggunakan bahasa Jawa, tulisan Jawa, dan kosakata penting bahasa Jawa  seperti Sang Hyang Tunggal dan kata-kata lainnya, tetapi juga menggunakan kata Allah, untuk merujuk kepada Tuhan yang disembah orang Islam; memperkenalkan kata tuwajjuh jroning ati (paduan Arab dan Jawa), bergandengan dengan kata-kata lain dalam bahasa Jawa.

Jadi, Sunan Kalijaga tidak berbeda dengan wali lain dalam soal itu, sehingga ilmunya diwarisi oleh generasi Islam berikutnya, bahkan dalam lafal-lafal doa, memamadukan antara bunyi bahasa Jawa dan bahasa Arab. Kecuali dalam ritual sholat lima waktu; tatacara tetap sesuai dengan apa yang ada dalam tradisi Sunni, tentang gerakan dan bacaannya; dan di luar sholat lima waktu, Sunan Kalijaga  menyebut laku hidup sholat daim, yang kemudian sangat terkenal di dalam khazanah muslim Jawa. Soal ini disebutkan dalam Suluk Linglung (versi B. Soelarto, 1974: 63), begini:

~~

“Saparipurnaning amadeg salat mukayat, kaki saben-saben tumuli, madego shalat daim, sholat langgeng, sholat wustho sesucinira datanpa warih. Anging mawa tirta-marta perwita suci. Lakuniro datanpa rukuk sujud. Anging sarwa ngrepepeh ngabyantaraning Hyang Widhi ing kalaniro meneng, mobah mosik, makarya sadengah opo (Anak cucu, setiap engkau selesai shalat lima waktu, segeralah melakukan sholat daim, sholat kekal, sholat wustho. Bersucinya tanpa air, tetapi dengan istighfar yang senilai air suci; caranya tanpa rukuk dan sujud, melainkan dengan serba diri menghadap, mengabdi kepada Alloh di kala engkau sedang diam, bergerak, dan bekerja apa saja).

“Saratiro mung sajugo. Sedya ngawulo sampurna mring Ilahi, sarana asung kabecikan marang liyan. Iya iku kaki margining murud ing Kasidan Jati, makoleh tutug ing urip utomo, rinahmatan Ilahi (Syaratnya hanya satu, menghambakan diri secara sempurna kepada Alloh. Itulah anak cucu, jalan mencapai kematian sejati, memperoleh akhir hidup yang sempurna mendapat rahmat Ilahi).

~~

Kutipan di atas menjelaskan bahwa menurut Sunan Kalijaga, sholat daim itu berbeda dengan sholat lima waktu. Sholat lima waktu, dibedakan dengan sholat daim, dalam hal, sesucinya, geraknya, niatnya, dan yang berhubungan dengan itu. Maka menjadi jelas, di sini Pribumisasi Islam itu bukan bermakna, menghapus sholat dengan tradisi rakyat, tetapi sholat tetap dijalankan menurut apa yang dituntunkan, dan bagian dari laku yang tetap harus dijalankan. Para penerus Pribumisasi Islam setelah Sunan Kalijaga, mengonstruksi ini sebagai bagian dari laku syariat, yang dibedakan dengan, tarekat, dan ma’rifat, di mana syariat tetap dijalankan dan harus diugemi.  Misalnya, hal ini dapat dilihat dalam Wedhatama, dan beberapa suluk yang lain. Sementara dalam dimensi dan ruang lain, seperti wayang, pakaian, doa-doa, tembang-tembang – Sunan Kalijaga dapat dilihat sebagai sedang melukan al-ijad, dengan memberi tempat  khazanah Jawa, lalu diisi dengan nilai-nilai Islam.

Model Sunan Kalijaga ini kemudian mendominasi Islamisasi Pribumisasi Islam di daerah pedalaman Jawa, sampai zaman Mataram, bahkan diorganisir oleh, awalnya Demak, kemudian Kraton Pajang dan Mataram. Dan penulisan dengan cara tulisan Jawa, tutur Jawa, dan pemaduan Arab-Jawa dalam batas-batas tertentu, mengalami interupsi setelah Republik Indonesia berdiri, dengan munculnya huruf latin, dan kekalahan Kerajaan Mataram dari Belanda, serta munculnya gerakan pemurnian.

Masyarakat di luar pesantren dan masyarakat pesantren, sejatinya adalah satu kesatuan, untuk mencapai dalam bahasa Sunan Kalijaga tadi, memperoleh Rinahmatan Ilahi.

Variasi jenis ini, adalah menggambarkan upaya generasi baru pendakwah Islam pasca Sunan Ampel, yang diwakili Sunan Kalijaga, dengan cara menggarap masyarakat Jawa, di kalangan yang lebih luas, tidak hanya di perkampungan Islam, seperti di Ngampel. Dalam tradisi dakwah jenis ini, maka jelas, memakai bahasa qaum yang ada (dalam hal Sunan kalijaga, adalah bahasa Jawa), dan diksi-diksi yang dipakai mereka dan sesekali menyelipkan diksi Arab,  adalah kebutuhan dalam dakwah. Dakwah jenis ini, tidak lagi mengacu dengan kekakuan untuk menggunakan bahasa Arab semata, karena hal itu tidak mungkin; dan Islam dimasukkan sebagai nilai-nilai dan inti, dengan menggunakan ungkapan-ungkapan Jawa.

Jalan mengembangkan Islam melalui Pribumisasi Islam, seperti Sunan Kalijaga dan Maulana Malik Ibrahim, adalah kesadaran untuk mengembangkan misi risalah Islam rahmatan lilalamin, tanpa ada paksaan kekuasaan politik. Bahkan ada kekuatan politik kraton yang bisa digunakan untuk mengorganisir Pribumsiasi Islam jenis itu, adalah hal berikutnya.

Hal ini berbeda dengan temuan Tan Ta Sen (2010) soal asimilasi di China terhadap para pendatang muslim yang dibawa pasukan Mongol, melahirkan komunitas Hui-Hui (atau disebut juga Dashi), yang asimilasinya melalui kebijakan inisiasi total oleh penguasa Dinasti Ming, dengan melarang pakaian orang asing, larangan menggunakan nama asing, larangan bahasa Asing, meskipun mereka tetap dibiarkan beragama Islam. Akibatnya mereka membentuk marga sendiri yang menyatu dengan China dan tidak dikenali lagi, bahwa mereka adalah berasal dari Asia Tengah atau Timur Tengah, misalnya Muhammad menjadi marga Ma, Abu menjadi Pu, Syamsuddin menjadi Ding, Nasuladin menjadi Marga Na, Su, La, dan Ding. Di Nusantara, kerja-kerja Islamisasi melalui Pribumisasi Islam, menjadi kesadaran sebagai pendakwah, dan melihatnya sebagai yang paling mungkin dan mashlahah untuk menghidupkan Islam di tanah Jawa.

Ekspresi kontemporernya.  Masyarakat yang mewarisi jalan Islamisasi melalui Pribumisasi Islam yang dipelopori Sunan Kalijaga dan wali-wali lain ini, di kalangan masyarakat di luar pesantren, mewujud dalam tatanan masyarakat yang diorganisir Kraton Demak, Pajang dan Mataram, dimana pesantren dibiarkan sebagai entitas yang mengembangkan sebagai pilar masyarakat Islam yang independen. Kebanyakan mereka memiliki status perdikan. Mereka, masyarakat di luar pesantren dan masyarakat pesantren, sejatinya adalah satu kesatuan, untuk mencapai dalam bahasa Sunan Kalijaga tadi, memperoleh Rinahmatan Ilahi.

Interupsi kolonialisme Belanda menyebabkan kemandekan regenerasi yang dulu dimotori para wali, dan diteruskan oleh mesin kraton, menyebabkan: keterputusan dengan sumber bahasa Arab atas khazanah-khazanah Islam di satu sisi, karena sulitnya perjalanan ke Timur Tengah dan pemberangusan karya-karya para ulama yang dianggap berpotensi mengancam dan anti-kolonial;  dan dimulainya upaya memisahkan Jawa dengan Islam, oleh aparat intelektual Belanda. Hal ini menjadikan, sebagian masyarakat Islam Jawa menjauh dari Islam. Bahkan, dalam ekspresi kontemporernya, kemudian menemukan rujukannya dalam sebagian kelompok baru penghayat yang lepas dari Islam, melalui guru-guru yang baru  muncul pada zaman-zaman pergerakan; serta adanya misi membawa orang Jawa kepada agama yang diajarkan para Missionaris Eropa.

Sementara, sebagian besarnya, tetap menjadi muslim Jawa, dan menjadi basis kultural yang kuat, di mana beragama Islam, tidak identik dengan cita-cita Islam politik; dan bahasa Arab selalu bisa disandingkan dengan bahasa Jawa; di mana ungkapan-ungkapan Jawa dapat disandingkan dengan isi dan inti dari ajaran Islam. Hanya saja, kemudian terjadi stagnasi intelektual dalam interpretasi Islam dari sudut Pribumisasi Islam dari kalangan Islam Jawa ini setelah Republik Indonesia berdiri, dan setelah penundukan kraton oleh mesin-mesin kolonial. Legitimasi Islam dalam praktik Islam Jawa, kemudian dilakukan para intelektual dan pekerja-pekerja kebudayaan dari kalangan pesantren, di antaranya oleh KH. Abdurrahman Wahid melalui konsep Pribumisasi Islam itu. Sementara generasi-generasi Muslim Jawa di luar lingkungan pesantren dan di luar pengaruh pesantren, yang dulu diorganisir oleh kraton dan aparat intelektualnya, lebih sibuk berurusan dengan pergerakan politik dan birokrasi kolonial, setelah penundukan kraton oleh Belanda.

 

Munculnya Perlawanan Pemurnian Islam dan Kolonialisme

Perlawanan dan interupsi terhadap pengembangan Islam melalui Pribumisasi Islam, dilakukan oleh dua poros, dalam satu fase yang hampir bersamaan: Kolonialisme dan Pemurnian Islam. Kolonialisme, mengambil bentuk pematian regenerasi intelektual Islam Jawa, melalui pematian kraton secara sitematis dan perlahan (dan memutus hubungan kraton dengan pesantren-pesantren yang dicurigai sebagai agen-agen pemberontak dalam Perang Jawa), menjadi terserap ke dalam birokrasi kolonial; pemisahan Jawa dengan Islam melalui kajian-kajian Jawa dan Islam, untuk menemukan Jawa pra-Islam; pengejaran tidak terbatas kepada pemimpin-pemimpin dari kalangan pesantren yang menebarkan Islamisasi melalui Pribumisasi Islam, dengan dalih mengejar pemberontak, atau yang membahayakan eksistensi penjajah, sebagai efek dari sikap anti-kolonial mereka dalam Perang Jawa yang dipimpin Diponegoro.

Sementara pemurnian Islam mengambil bentuk seruan kembali kepada Al-Qur’an-hadits, tidak terikat dengan madzhab, tidak mau berpegang pada ijma dan qiyas (sesuatu yang menjadi rujukan kalangan Pribumisasi Islam); dan memompa diksi tajdid dengan memberantas bidah dholalah” dalam hubungan Islam dan tradisi, dan mengecapnya sebagai TBC (takhyul, bidah, dan khurafat). Maka Pribumisasi Islam pada keadaan yang demikian menghadapi dua perlawanan sekaligus: satu dari kalangan muslim sendiri dan dari kalangan kolonial Belanda.

Jalan Pemurnian Islam itu, selalu berbenturan di tengah-tengah kultur masyarakat yang banyak bersentuhan dengan kreativitas kebudayaan. Mereka melalukan pendekatan shock therapy agama dengan membidahdholalahkan tradisi-tradisi yang dikreasi oleh jalan Pribumisasi Islam. Di mata kolonialisme, perpecahan ini menguntungkan, sehingga mereka bisa mengontrol arus Islam yang anti-kolonial dari pesantren, dengan memisahkannya dari pemurnian, sehingga melemahkan kekuatan Islam untuk bermusuhan dengan penjajah.

Gabungan dari interupsi keduanya menghasilkan dinamika di kalangan muslim yang sulit disatukan. Di kalangan Islam, relasi kalangan Pribumsiasi Islam dan Pemurnian Islam, meski kadang tampak ada saat rukun dan bersatu, juga banyak menghadapi ketegangan kultural dan politik. Aktualisasi kenyataan ini tercermin dari rekaman-rekaman perdebatan itu di Jawa Barat, misalnya, yang telah dikaji dalam buku Para Pengemban Amanah; dan perdebatan mereka di acara-acara Kongres Umat Islam yang salah satunya direkam oleh Deliar Noer dalam buku Gerakan Moderen dalam Islam; dan perpisahan NU-Syarikat Islam dari Masyumi.

Jalan Pemurnian Islam itu, selalu berbenturan di tengah-tengah kultur masyarakat yang banyak bersentuhan dengan kreativitas kebudayaan. Mereka melalukan pendekatan shock therapy agama dengan membidahdholalahkan tradisi-tradisi yang dikreasi oleh jalan Pribumisasi Islam. Di mata kolonialisme, perpecahan ini menguntungkan, sehingga mereka bisa mengontrol arus Islam yang anti-kolonial dari pesantren, dengan memisahkannya dari pemurnian, sehingga melemahkan kekuatan Islam untuk bermusuhan dengan penjajah. Hanya saja, peninggalan dan jejak-jejak kolonialisme setelah mereka pergi, tidak bisa hilang, dan tidak sepenuhnya kemudian dihapus, bahkan ketika tentara mereka sudah tidak ada di Indonesia. Dari sudut ini, ada hal-hal yang ternyata diakui bisa diteruskan, menurut dan sesuai jalan Republik Indonesia yang baru berdiri; seperti adanya sekolah-sekolah, adanya Undang-Undang, dan lain-lain peninggalan kolonial.

Manifestasi kontemporer dari arus ini adalah: penerimaan dan pemilihan jalan yang mengemukakan simbol-simbol Islam, dan kekakuannya dalam melihat hubungan Islam dan budaya, serta kadang di antara mereka ada yang menggunakan untuk tujuan politik, karena agenda untuk memperjuangkan Islamisme. Mereka menuntaskan ini dengan memusuhi tarekat, yang oleh generasi barunya, ini dianggap sebagai hal yang kebablasan, dengan cara sebagian mereka sendiri kemudian beralih mengikuti tarekat. Pada sisi yang lain, generasi Pemurian Islam itu lebih cepat beradaptasi dengan birokrasi modern karena mereka banyak terdiri dari kalangan menengah muslim dan berpendidikan Barat; dan pendidikan umum. Hanya dalam politik, masa depan mereka mengalami kehancuran setelah sebagian besar pimpinan politiknya terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.  Dari pemberontakan ini, dilihat kekakuan sikap dan watak Islamismenya yang membahayakan kehidupan masyarakat secara keseluruhan, suatu sikap dan gaya yang relevan bagi tipe shock therapy pemurnian; tetapi tidak cocok bagi kebanyakan masyarakat di Nusantara.

Sebagian generasi pemurnian, setelah mempelajari kesalahan-kesalahan pendahulunya, kemudian melakukan revisi dan merintis jalan baru, suatu jalan yang tidak popular di lingkungan kultur Pemurnian. Jalan baru itu titik kanalnya ada pada sosok dan proyek Nurcholish Madjid, Djohan Efendi, Dawam Raharjo, dan tokoh-tokoh lain, dengan menginterupsi kecenderungan Islamisme Pemurnian, diganti menjadi: Islam Yes-Politik Islam No. Sementara di kalangan generasi santri di kalangan Pribumisasi Islam, tidak diperlukan merintis jalan baru bagi mereka,  karena Pribumisasi Islam tidak menjadi persoalan yang kompoleks, atau terlalu sukar untuk dipahami.  Generasi pesantren lebih memerlukan teoretisiasi praktik Pribumsiasi Islam itu di hadapan publik dan intelektual. Gus Dur menjadi titik kanal yang memberi rasionalisasi dari sudut teoretik ini, dengan menyebut dan mengerangkakan jalan dakwah para wali itu dengan Pribumisasi Islam.

 

Mendirikan Republik Indonesia: Diterimanya Pribumisasi oleh Mayoritas Umat

Pendirian Republik Indonesia adalah diterimanya jalan Pribumisasi Islam oleh para pemimpin Islam. Para pemimpin Islam mengakui adanya negara nasional, yang tidak didasarkan pada dasar Islam dan syariah di dalam konstitusi, tetapi memberikan peluang aturan Islam bisa diterapkan kalau ia memenangkan dalam permusyawaratan di tingkat legistlatif. Hal ini, merupakan hasil dari sebuah kreativitas Pribumisasi Islam di kalangan para pemimpin Islam, dengan terlebih dahulu mencari dalil-dalil, dan mempertimbangikan aspek kemaslahatan, serta kekuatan-kekuatan politik di masyarakat. Meminjam bahasa Kyai Masykur yang membahasakan penerimaan Pancasila oleh KH. Abdul Wachid Hasyim, digunakanlah istilah untuk membedakan: Islam sebagai al-Ismu dan Islam sebagai al-musamma –sebagaimana disebutkan Andre Feillard dalam buku NU vis a vis Negara. Jalan Pribumisasi Islam, dalam soal penerimaan Pancasila itu, menegaskan diterimanya Islam sebagai al-musamma (yang dinamai, yaitu nilai-nilainya), dan bukan al-ismu (Islam sebagai nama, simbolnya), dan itu adalah diterimanya jalan Pribumisasi Islam oleh para pemimpin Islam sendiri.

Diterimanya pendirian Republik Indonesia itu, dengan begitu diakui keragaman dan eksistensi kebudayaan di Indonesia, atau di antara masyarakat di Indonesia, tetapi pada saat yang sama keragamaan itu harus diorientasikan untuk tetap bersatu menjaga kehidupan bersama di dalam masyarakat, untuk mencapai tujuan bersama Republik Indonesia. Hal ini, bagi kalangan Islam, mengharuskan adanya kerja-kerja Pribumisasi Islam dalam penafsiran dalil-dalil agama, atau interpretasi untuk bisa sah menerima bentuk negara nasional dan keanekaragaman kebudayaan di Indonesia, tanpa mematikan independensi umat dalam menyebarkan amar maruf nahi munkar, melalui jalan bil maruf, dan perjuangan aspirasi melalui legislasi wakil-wakil rakyat.

Pendirian Republik Indonesia ini, juga menjadikan sebagian pemimpin Islam yang memiliki latar belakang pemurnian, harus siap berkompromi dan bekerjasama dengan kelompok lain, di dalam mengupayakan konsensus kenegaraan, sehingga mereka ditarik ke tengah; dan mereka membatasi permusuhannya terhadap cara kerja Pribumisasi Islam di dalam kultur masyarakat, terbatas pada wilayah kebudayaan dan dakwah yang diemban di tengah masyarakat. Kenyataan ini menjadi positif, tetapi juga tidak sederhana menjelaskan itu ke dalam kader-kader pemurnian yang lebih baru, dan memiliki semangat Islam Politik atau Islamismenya kuat. Metamorfosis paling kontemporer dalam soal ini, adalah tumpang tindihnya antara jalan yang ditempuh kelompok Tarbiyah di dalam persyarikatan Muhammadiyah, sampai-sampai pimpinan Persyarikatan harus mengeluarkan keputusan tegas soal Gerakan Tarbiyah ini dalam buku tipisnya.

Dengan adanya Republik Indonesia, umat Islam harus bersedia melakukan Dinamisasi meninjau kembali tradisi dan pemahaman mereka tentang bentuk negara dari sudut Islam; meninjau pemahaman mereka tentang khilafah dan kewajiban umat mengangkat imam; dan keharusan pengungkapan prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai menjadi lebih penting dan dominan, di tengah relasi publik dan masyarakat; serta masalah-masalah nasional dan kebudayaan, yang memerlukan jawaban dari sudut spirit dan tradisi Islam, untuk menjadi etos yang harus terus diperjuangkan.

Kenyataan ini menimbulkan simalakama bagi generasi baru pemurnian, karena rujukan kembali ke Al-Qur’an dan hadits semata, satu sisi, mengharuskan adanya kecanggihan dan pemahaman yang mumpuni untuk membedakan, nilai-nilai, prinsip, dan martabat wadah-wadah dalam implementasi, yang memerlukan ilmu-ilmu. Maka ini diperluakan ilmu berinteraksi dengan Al-Qur’an dan sunnah yang tidak sederhana. Keharusan kecanggihan itu, jelas mengharuskan kreativitas luar biasa, dengan tidak terjebak  pada kejumudan literalis kompleks tanpa penalaran, karena Al-Qur’an dan hadits menyediakan sebegitu banyak bahan yang bisa ditafsirkan dan diolah.

Masalahnya adalah ketakutan akan adanya ketidakmauan tunduk pada aspek literalisme yang berlebihan, sebagai bentuk yang tidak Islami, merupakan simalakama pertama yang dihadapi generasi pemurnian. Hal ini akan dapat diselesaikan manakala pemurnian itu mampu melahirkan ilmu-ilmu berinteraksi dengan Al-Qur’an dengan rumusan-rumusan baru, sebagi bagian dari kerja berkesinambungan mereka yang tidak mau bermadzhab kepada madzhab empat. Yang terjadi dan lahir masih berupa tumpukan kumpulan fatwa-fatwa semata, tetapi ilmu-ilmu berinteraksinya belum banyak lahir: misalnya bagaimana ushul fiqh mereka, bagaimana ilmu tafsir mereka, bagaimana kaidah fiqh yang dipakai mereka.

Simalakama berikutnya, kenyataan hidup di Republik Indonesia ini, akan menjadi rumit dan menyulitkan, manakala jargon kembali kepada Al-Qur’an-hadits dan tidak mau tradisi itu,  mewujud menjadi pemuja literalisme kaku kembali ke Al-Qur’an dan hadits. Maka yang terjadi adalah dominasi jumudisme literal dalam pemikiran, dengan tidak mengapresiasi penalaran. Sebab untuk bisa menerima negara nasional dari sudut Islam adalah butuh ilmu-ilmu berinteraksi tentang Al-Qu’ran dan hadits, bukan hanya teks-teksnya saja, bukan hanya yastamiunal qoula, tetapi wayattabiuna ahsanahu. Hal itu juga berlaku, bagi hubungan dengan kebudayaan, dan hal-hal lain. Kegagalan merumuskan ilmu-ilmu interaksi terhadap Al-Qur’an dan hadits di luar sudut ilmu-ilmu para imam madzhab, dan hanya puas dengan hasil-hasil fatwa, akan berdampak pada pensalafian (atau sejenisnya) dari generasi-generasi baru, yang mereka dekat dengan kekakuan literal teks; dan berdampak pada penggunaan teori-teori yang dikembangkan di Barat tanpa menoleh dengan akar tradisi khazanah Islam sendiri, yaitu bagi mereka yang ingin keluar dari jebakan kekakuan literal teks.

Tantangan bagi generasi Pemurnian Lama dan juga Islam Jawa, dan generasi pesantren yang memilih jalan Pribumisasi Islam, justru datang  dari generasi baru Islam di Indonesia yang menginduk kepada Islam politik di Timur tengah.

Bagi generasi Pribumisasi Islam dari kalangan pesantren, didirikannya Republik Indonesia tidak lagi menimbulkan perdebatan bentuk negara nasional dari sudut Islam, hubungan-hubungan kebudayaan rakyat dari sudut Islam, serumit di kalangan pemurnian. Karena ilmu-ilmu yang digelutinya menyediakan secara melimpah ruang untuk berinteraksi dengannya. Penguasaan mereka terhadap bahasa Arab, khazanah ilmu-ilmu klasik, dan pendapat-pendapat mujtahid masa lalu, membantu jalan bagi perumusan kerja-kerja Pribumisasi Islam, dalam menerima kebutuhan-kebutuhan lokal dan nasional.

Hanya saja, meski mereka penting dari sudut kekuatan kultural masyarakat Nusantara, tetapi karena konsentrasi mereka yang teramat lama di pinggiran, yang sejarahnya diberangus oleh kolonial melalui pemberangusan pesantren-pesantren yang terlibat perang Jawa, dan ada dalam sistem sosial kelompok menengah ke bawah, mereka tidak menjadi pemain penting dalam penentu kebijakan dan mesin birokrasi negara. Ilmu-ilmu agama mereka masih terbatas pada ilmu-ilmu penafsiran dalam wilayah fiqh, tasawuf, tauhid, dan wilayah sosial, tetapi belum sampai menyentuh kepada sains terapan, yang digali dari Al-Qur’an dan khazanah klasik. Gus Dur, KH. Achmad Shidiq, KH Ali Ma’shum, KH. MA Sahal Mahfduh, kemudian menjadi kanal otoritas yang menyediakan ruang itu bagi generasi pesantren, untuk melanjutkan gerak dari dinamisasi Pribumisasi Islam itu sendiri.

Sementara elit-elit dari kalangan muslim Jawa di luar pengaruh pesantren, yang dulu diorganisir kraton dan bagian dari kraton, yang juga adalah hasil dari kerja-kerja Pribumisasi Islam warisan Sunan Kalijaga dan wali-wali lain, sudah banyak yang dididik dengan ilmu-ilmu Barat untuk menjadi penyuplai dalam birokrasi kolonial dan Republik Indonesia yang baru berdiri.  Kecimpung dan kesibukan mereka tidak bisa menjadi jembatan dengan kalangan massa Islam Jawa, karena mereka tidak mengolah interperetasi-interpretasi Islam dari sudut mereka, sehingga dari sudut penguasaan interpretasi Islam, mereka tidak memiliki banyak cantelan intelektual yang handal, dibanding jumlah massa Islam Jawa (di luar pesantren), yang sangat banyak itu.

Sebagian justru semakin menjauh dari Islam dengan mendaras pemisahan Jawa dan Islam, dan sebagian beralih menjadi ikut agama para misionaris. Sementara yang bertahan dengan Islam Jawanya, belum bergairah, dan masih menjadi konsumen pembaca naskah-naskah lama dari para pendahulunya, yang hanya berkembang di lingkungan kecil istana dan kampus sebagai prosedur kelulusan atau ritual akademik. Kerja-kerja yang dilakukan sebagaimana Sunan Kalijaga yang mengorganisir Pribumisasi Islam, di dalam masa saat sekarang ini dan dengan cara saat ini, masih belum begitu diminati. Padahal di kalangan massa Islam Jawa, kultural mereka menjadi ajang santapan TBC dari pemuja pemurnian; dan peninggalan oleh generasi baru yang berjingkrak dengan gemerlap material modernitas. Sementara para elitnya yang ada di birokrasi, canggung untuk memberikan interpretasi Pribumsiasi Islam itu dari sudut Islam Jawa.

Tantangan bagi generasi Pemurnian Lama dan juga Islam Jawa, dan generasi pesantren yang memilih jalan Pribumisasi Islam, justru datang  dari generasi baru Islam di Indonesia yang menginduk kepada Islam politik di Timur tengah, dan kelompok kultural salafi yang menginduk kepada wahhabi, dan pemuja khilafah dari kalangan HT, serta regenerasi generasi-generasi NII. Generasi Pemurnian yang tersalafikan akan mendekat dengan salafi, dan yang ter-HT-kan mendekat kepada HTI; dan yang ter-NII-kan menjadi dekat dengan generasi baru NII. Para generasi baru pemurnian itu, memiliki hubungan yang sama dengan konsep Pemurnian Islam: tetap mau memurnikan kebudayaan dan tradisi dengan memuja konsep bidah dholalah untuk menyingkirkan tradisi dari hasil kerja-kerja Pribumisasi Islam; yang HTI ingin menegaskan Islam politik dengan khilafah menggantikan negara nasional; dan yang Tarbiyah ingin menegaskan Islam Politik melalui jalan parlemen; yang NII mau mengganti negara nasional menjadi Negara Islam, yaitu pemurnian di level negara. Maka, kerja-kerja mereka akan berbenturan dan menjadi membahayakan bagi kultur dan masyarakat yang memilih jalan Pribumisasi Islam dari kalangan presantren tradisi.

 

Ruang dan Negosisasi

Melihat perjalanan Pribumisasi Islam di Nusantara dan tantangannya itu, menjelaskan ada ruang-ruang tertutup, sebagai batas-batas yang tidak dimasuki oleh Pribumisasi Islam oleh kalangan pesantren dan juga kalangan Islam Jawa, sekaligus ada ruang terbukanya. Ruang ini adalah tauhid, dimana Allah itu Esa dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, diimani dengan kuat. Memperhatikan karya-karya di dalam tradisi Islam Jawa dan pesantren, semua mengafirmasi ini. Hanya saja, dalam ruang tertutup ini, pengungkapan dan penamaan terhadap Allah di luar pelaksanaan ritual (seperti sholat lima waktu), dalam praktiknya bisa menggunakan bahasa penambahan bahasa Jawa atau lokal, seperti penggunaan istilah Gusti Alloh, atau kalau Nabi Muhammad menjadi Kanjeng Nabi Muhammad.

Batas-batas yang lain adalah ruang tertutup juga, yaitu pengakuan tentang kewajiban-kewajiban ritual elementer, seperti pengakuan bahwa sholat itu wajib, juga zakat, puasa dan haji. Tidak ada pengingkaran dalam soal kewajiban sholat lima waktu dan bentuk-bentuk rukuk, sujud dan lain-lain. Bahwa ada yang belum melaksanakan kewajiban itu, adalah soal lain. Akan tetapi mereka tetap mengakui kewajiban itu sebagai kewajiban yang dibebankan kepada seorang muslim, adalah jelas. Maka kita tidak pernah mendengar dan menemukan seruan untuk menentang kewajiban sholat dari kalangan muslim Jawa. Muslim Jawa kemudian membedakan antara sholat lima waktu dan Sholat Daim, yang semuanya menurut ajaran Sunan Kalijaga dalam Suluk Linglung, harus dijalankan. Penafsiran-penafsiran yang dilakukan Gatholoco adalah hal lain, yang perlu dibaca dengan cara lain, di tengah narasi kolonial yang ingin dan sedang memisahkan Islam dan Jawa. Sementara dalam implementasi bentuk-bentuk  zakat, bisa menjadi ruang terbuka bila ada alasannya yang bisa diterima. Sebagai contoh, zakat gandum bisa diganti dengan padi, karena jenis Qutul Balad di Indonesia adalah padi atau jagung.

Hanya saja, ketiadaan ruang terbuka bagi pengakuan akan kewajiban elementer Islam itu, dibangun melalui kesadaran dimana orang menjadi muslim itu melalui proses, sehingga kadangkala pengakuan adanya kewajiban itu belum langsung dengan  amalan praktiknya; atau belum bisanya seseorang untuk membaca surat-surat selain Al-Fatihah di dalam sholat; atau ketika bacaan al-Fatihah-nya belum fasih –adalah proses yang terus menerus dan perlu diusahakan menjadi baik. Juga belum sholatnya seseorang adalah proses seorang beragama, yang harus ada upaya di kalangan pendakwah untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat, bukan justru dengan dicela dan dimusuhi. Prinsipnya, innaka la tahdi man ahbabta walakinnalloh yahdi man yasya; dan man qola lailaha illaloh Muhammad Rosulullah dakholal jannah, sehingga pendekatan dalam Pribumisasi Islam, juga menyangkut cara dakwah yang baik.

Ruang  lain  dalam Pribumisasi Islam adalah wilayah publik yang dibatasi melalui musyawarah mufakat atau konsensus para ulama dan pemimpin masyarakat, sampai ada kondisi dan keadaan yang memungkinkan dinegosiasi ulang atau diperbincangkan kembali. Ruang ini menghasilkan keterikatan hukum publik yang harus dilakukan seseorang kepada Ulil Amri, ketika ia dinaikkan menjadi keputusan Undang-Undang Negara atau kerajaan. Contohnya dalam soal ini adalah keputusan musyawarah mufakat soal bentuk Negara Republik Indonesia dan ketaatan kepada Ulil Amri, tanpa menafikan adanya kritik-kritik yang harus tetap ada. Keluar dari ketaatan kepada Ulil Amri dan melakukan pengorganisasian permufakatan jahat-makar atau memberontak mengganti negara nasional, adalah  ruang tertutup yang tidak ditoleransi dalam jalan Pribumisasi Islam.

Berbeda dengan itu, justru ruang ini, dianggap paling aktual dan terbuka bagi gerakan Islam politik, seperti HT dan NII. Sementara gerakan Pemurnian Islam yang tidak lagi menjadikan bentuk negara nasional sebagai persoalan, ruang terbukanya dengan sesama pemurnian justru terletak pada koalisi-koalisi sipilnya untuk membentuk dan membangun dan mempengaruhi keputusan parlemen, isu-isu dan keputusan-keputusan publik, terutama bila berkaitan dengan isu-isu pemurnian kebudayaan. Hal ini lebih memungkinkan mempertemukan mereka dengan kelompok Pemurnian Islam lain, dalam argumen-argumen dan narasi-narasinya,  karena kedekatan jargon kembali ke Al-Qur’an dan hadits. Kecuali mereka sudah bisa keluar dari kekakuan pemujaan literalisme dalam urusan kebudayaan dan tradisi-tradisi di masyarakat, maka akan bisa menjelaskan hal lain.

Ruang tertutup dalam Pribumisasi Islam juga dibatasi oleh norma yang dipegang dimana dakwah Islam harus disampaikan melalui hikmah, kebijaksanaan, perkataan baik, dan jadal yang membuka pikiran. Maka implementasinya, penyampaian Islam dan kebaikan-kebaikan  harus bilmaruf, dan pencegahan kemungkaran harus bilmaruf. Kekerasan dan penggunaan pemaksaan hanya diberikan wewenangnya kepada otoritas Ulil Amri, bukan orang per-orang, yang ditujukan kepada orang lain.

Islam Nusantara adalah implemementasi dari seruan Al-Quran untuk mewujudkan misi wayattabi`una ahsanah sebagai bagian dari Islam rahmatan lilalamin; dan dalam bahasa Sunan Kalijaga disebut untuk memperoleh rinahmatan Ilahi di tanah Nusantara.

Ruang terbuka Pribumisasi Islam adalah negosiasi ditemukannya alasan untuk menerima kebutuhan-kebutuhan lokal-nasional dan internasional, di mana relasi Islam-Muslimin dengan kebudayaan, ekonomi, politik, dan hal-hal lain, mengharuskan adanya penemuan prinsip-prinsip dan nilai-nilai Islam, dan penerapan maqoshid syariah di dalam masalah-masalah itu; dan kebutuhan-kebutuhan yang mengharuskan ditempuh jalan itu. Hal ini menyadarkan bahwa kerja-kerja Pribumisasi Islam itu, di wilayah publik menyangkut kerja-kerja kultural, kebijakan politik dan politik kebijakan publik melalui pemastian nilai-nilai Islam Nusantara dalam jalan Pribumisasi Islam itu diterima, seperti dalam kasus diterimanya Pancasila. Sementara dalam hubungan antara personal, atau dalam internal komunitas-komunitas, maka kerja-kerja Pribumisasi Islam adalah memperkokoh dan mengembangkan tradisi-tradisi, nilai-nilai, dan pengetahuan Pribumisasi Islam  yang dibangun untuk ditanamkan kepada masyarakat, bahkan termasuk ketika harus menghadapi gempuran Pemurnian.

Dalam ruang-ruang di atas, negosiasi adalah upaya yang terus menerus, yang menuntut kerja semesta Jihad Pribumisasi Islam di wilayah pengetahuan masyarakat, kehidupan sosial-politik, akademik, dan kultur masyarakat, yang berakar dari penafsiran ayat Al-Qur’an: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah Ulul Albab” (QS. AZ-Zumar [39]: 18). Maka, bagi generasi-generasi Islam yang melakukan Islamisasi melalui jalan Pribumisasi Islam, harus memiliki kecanggihan untuk bisa memilih yang ahsan, di antara pilihan-pilihan baik yang ada. Dan hal itulah mereka memerlukan ilmu-ilmu yang cukup, kearifan yang cukup, dan olah batin yang cukup, sebagaimana para pendahulu Islam.

Dengan demikian menjadi jelas dan terang benderang,  Islam Nusantara sebagai Islamisasi melalui jalan Pribumisasi Islam adalah implemementasi dari seruan Al-Quran untuk mewujudkan misi wayattabi`una ahsanah sebagai bagian dari Islam rahmatan lilalamin; dan dalam bahasa Sunan Kalijaga disebut untuk memperoleh rinahmatan Ilahi di tanah Nusantara.

Wallohu a’lam.

0
689
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.