DONASI

Khotbah Kepada Burung-Burung dan Serigala

Teruntuk Franz Magnis-Suseno Romo mengapa kau begitu mencintai Indonesia Padahal banyak yang menyebutmu kafir, musuh negara?   Ini tanah kita, sawah kita Aku akan tinggal dan...

LATAR | SUNDAY, 16 DECEMBER 2018 | 13:44 WIB

Agus Rois

Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.

Teruntuk Franz Magnis-Suseno

Romo mengapa kau begitu mencintai Indonesia

Padahal banyak yang menyebutmu kafir, musuh negara?

 

Ini tanah kita, sawah kita

Aku akan tinggal dan mati di sini

Di tanah yang dicintai

***

 

Dan ketika hari itu…

Dengan kaki telanjang, dalam sejuk udara pagi dan bau ladang, di bawah pohon penuh burung. Seorang lelaki berkata pada temannya. “Tunggu. Aku akan berkhotbah kepada saudara-saudara kita, burung-burung itu.”

“Mereka bisu tuli, tak mengerti satu kata pun,” kata temannya. “Burung-burung tidak tuli. Kau tak tahu burung paham arti derita, gemetar tiap sepi. Aku tetap akan kesana. Khotbahku tak lama.”

Lalu lelaki itu berjalan perlahan mendekati pohon. Dengan gembira, dengan kata-kata lebih lembut dari cahaya, ia mulai bicara, burung-burung mengelilinginya.

 

Foto: Franz Magnis Suseno

“Saudara-saudara kecilku, banyak yang sudah diberikan Tuhan kepadamu. Ia telah anugerahkan kebebasan dan keindahan, Ia sisipkan sayap dan suara merdu. Lebih dari itu: di simpan-Nya telur kalian di bahtera Nuh agar keturunanmu tak punah. Memberimu bulu untuk menghangatkan tubuh. Juga udara juga langit luas tempat kalian terbang tiada terkira. Di atas semua itu, kalian tak menanam tak menuai, Ia memberi makan kalian, gandum dan biji-biji. Mencipta sungai dan mata air sebagai sumber minum, gunung-gunung dan lembah, tempat untuk berlindung, dan pohon tinggi tempat bersarang, rumah mungil buat pulang. Sungguh, Ia menyayangi kalian. Ia memberkati dengan banyak cinta dan rindu. Jadi berdoalah, belajarlah agar selalu berlaku sederhana, selalu memuji-Nya.”

Dan waktu lelaki itu henti bicara, burung-burung membuka paruhnya. Burung-burung mengibaskan seribu bulu halusnya, mulai membangun tempat ibadat kecil, mengangkut ranting-ranting, embun pagi pada daun-daun. Lalu dengan suara jernih, burung-burung berkata lirih: “Kepada diri sendiri, kami akan lurus hati.”

***

Itulah khotbah Santo Fransiskus Assisi –seorang tua penuh kasih yang pernah melarikan diri dari perang yang keji, jika ini dianggap penting– pada burung-burung di kota Alviano. Sebagaimana ditulis dalam kumpulan cerita Fioretti, Little Flowers of St. Francis (1476), ketika menara dan atap di puncak Subasio tampak berkilau. Ketika mega-mega di atas Umbria membangkitkan rasa haru. Ketika lonceng di San Giorgio berdentang keras memecah waktu.

Kebesaran nama Fransiskus dan kecintaannya kepada burung, yang digambarkan sedang memberi makan, yang menyentuh hati banyak orang, diabadikan dalam lukisan Giotto. Orang-orang berkata Fransiskus –yang tumbuh di masa perang antara kaum aristokrat dan kelompok villeins, para budak tuan tanah– hidup dengan perut lapar dan tubuh gemetar. Tapi menerimanya dengan tabah, bahkan penuh suka, meski harus mengetuk pintu. Sepanjang San Damiano dan Foligno.

Seorang teman Katolik saya pernah berkata: “Kotbah-kotbah Fransiskus, siapa pun bisa merasakan, memberi kekuatan, kalau ada batu jatuh ke dalamnya niscaya berubah jadi bunga-bunga, bahkan serigala bisa dibuatnya tersenyum…”

***

Syahdan, ketika Fransiskus, santo yang pernah dianggap gila, berkotbah di Gubbio. Ia mendengar kabar seekor serigala di kota Timur Laut Perugia itu telah memangsa sejumlah orang. “Aku akan pergi, bicara dengan serigala itu,” kata Fransiskus pada karib seperjalanan, Masseo. “Dengarkan, Fransiskus,” kata Masseo, “Kau cari mati!” “Tak usah khawatir, tuan, selama Kau hidup bagaimana mungkin aku mati. Toh hidup atau mati, sama saja…” jawab Fransiskus.

Sementara penduduk kota memanjat atap-atap rumah dan benteng untuk menyaksikan Fransiskus –seorang yang kesetiaannya terhadap gereja tak pernah goyah, meski ia tahu gereja amat busuk kala itu. Dengan lembut, dengan jubah tua yang tampak bekas robekannya, Fransiskus menyapa serigala yang berlari ke arahnya. “Tungggu, tunggu sebentar, saudaraku, aku melarangmu melukaiku atau siapa pun.” Seketika serigala berhenti, menundukkan kepala, dan mulai mendengarkan kata-katanya.

“Serigala,” lanjut Fransiskus, “Hingga hari ini, di sini, kau tak hanya membunuh ternak-ternak, juga manusia. Itu sebabnya orang marah padamu, mengangkat pedang dan tombak, menginginkan kematianmu. Aku tidak. Aku tak membencimu. Tapi ingin membuatmu dicintai. Aku ingin kau berdamai, dan berjanji tak lagi melukai. Aku ingin melihat matamu tetap jernih…”

Konon, sebagai tanda menaati perintah, serigala merebahkan diri di kaki Fransiskus –bekas anak ningrat yang sampai umur 25 tahun menghabiskan waktu dengan sia-sia. Seperti dicatat Thomas dari Celano, penulis pertama biografi Fransiskus.

Kemudian Fransiskus, sosok yang mengenalkan Palungan Greccio pada tiap Desember, kembali berkata-kata, “Serigala, bila kau mau berjanji, aku pastikan dirimu tak menderita, kau tak disakiti. Tak pernah kelaparan lagi. Penduduk Gubbio akan memberimu makan tiap hari. Sekarang, ulurkan kakimu sebagai tanda setuju.”

Untuk beberapa saat serigala diam, dan tiba-tiba mengulurkan kakinya dan meletakkannya pada tangan lelaki itu. Lalu, keduanya berjalan bersama memasuki alun-alun kota. Di sana ia memberikan khotbah yang indah, sementara serigala berbaring di kakinya.

Ketika khotbah selesai, orang pulang ke rumah lewat hutan sambil bernyanyi, burung lintas dan menggambarkan lagi doa yang baru saja keluar dari mulut Fransiskus di langit putih.

 

Tuhan, di saat ada benci, biarkan aku menabur kasih; saat terluka, kirimkan ampunan; saat muncul keraguan, tumbuhkan iman; saat timbul keputusasaan, sisipkan harapan; saat terlanda kesedihan, ingatkan aku tentang kegembiraan; dan saat ada kegelapan, timpakan cahaya yang datang kemudian. Keabadian, keabadian, keabadian…[]

 

A.R.