Menu

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II

Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Afthonul Afif, Peneliti Kawruh <a href=

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa

Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.


Pemikiran Filosofis KAS

ama seperti hidupnya, tulisan-tulisan KAS juga dicirikan oleh gagasan tentang pencarian “kebahagiaan”, atau sebuah kondisi psikologis yang mirip dengan “kebebasan spiritual”. Pertama kali dikenal sebagai Kawruh Beja, pemikiran filosofis ini di kemudian hari lebih sering disebut dengan Kawruh Jiwa atau Ilmu Jiwa (Science of the Soul) atau Ilmu tentang Pengetahuan Diri (Science of Self-knowledge). Perubahan istilah tersebut agaknya ditujukan untuk lebih memberi penekanan makna pada pencapaian pengetahuan seperti itu, yang tidak disangsikan lagi berhubungan erat dengan refleksi-refleksi mendalam penggagasnya.1

Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang. Meski manusia juga adalah makhluk dengan kebutuhan dasar sebagaimana binatang—misalnya kebutuhan bertahan Hidup (pangupa jiwa) dan melanjutkan keturunan (lestantuning jenis)—namun kemudian manusia berbeda dengan mereka karena manusia menyadari kebutuhan-kebutuhan tersebut (raos gesang/awareness of life). Konsep kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang umumnya dipahami oleh manusia pada dasarnya bersumber dari kondisi terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.

Lebih lanjut, sekali kebutuhan dasar itu terpenuhi manusia kemudian menyadari kebutuhan-kebutuhan sekunder yang muncul dalam imajinasinya. KAS memberi contoh demikian: ketika manusia haus, dalam imajinasinya kemudian muncul gagasan tentang teh, kopi, atau bir, sementara ada jenis cairan lain yang sebenarnya lebih bisa menghilangkan dahaganya, yaitu air putih (kebutuhan mendasar yang dirasakan semua orang). Manusia kemudian menjadi korban dari kebutuhan-kebutuhan yang diandaikannya sendiri, yang bersumber dari hasratnya (karep). Hasrat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia dan sering disalahpahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri: manusia adalah hasrat (karep punika tiyang). Ketika masih berada di dalam kandungan ibu, sudah ada hasrat, yaitu hasrat lahir. Hasrat itu abadi (karep punika langgeng), suatu waktu bisa menimbulkan kebahagiaan, sementara di lain waktu dapat menyebabkan kesengsaraan, dan dua perasaan ini akan selalu hadir dalam diri manusia sebagaimana hasratnya—keduanya adalah keabadian manusia (manusia itu abadi sebab hasratnya tidak mengenal awal atau akhir).2

Beberapa jenis hukum nampaknya mengendalikan kehidupan hasrat-hasrat ini: meski sebuah kebutuhan mungkin telah terpuaskan, namun mungkin ia akan melahirkan tuntutan baru yang mendesak untuk diwujudkan (mulur atau mengembang); sementara sebuah kebutuhan yang tak terpuaskan, meski ia masih ada, namun kurang penting/mendesak untuk diwujudkan (mungkret atau menyusut). Hasrat ini begitu berpengaruh terutama di tiga ranah yang telah terdefinisikan secara jelas: kemakmuran (semat, kecenderungan umum terhadap kenikmatan material), pengakuan publik (drajat, posisi orang dalam hierarki sosial), dan kekuatan magis (kramat). Pengalaman tidak membahagiakan yang berlangsung lebih dari tiga hari berturut-turut biasanya akan mendorong orang untuk mencari/melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Ajaran penting KAS lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”3 Semua tulisan KAS dicirikan oleh contoh-contoh yang didasari oleh prinsip ini.

Sebuah contoh mungkin cukup untuk menjelaskan: seseorang yang akan menikahkan anaknya terobsesi untuk memberikan layanan terbaik kepada tamu-tamunya dengan menyuguhkan hiburan wayang kulit kepada mereka, namun dia ternyata tidak cukup punya uang sehingga diliputi kecemasan. Dia bingung harus dengan jalan seperti apa mencari pinjaman dalam jumlah sebesar itu. Jika dia tidak berhasil mendapatkan pinjaman, dia akan menemukan dirinya berada dalam situasi yang memalukan dan akan menanggung rasa malu (wirang). Namun hal ini tidak akan berlangsung lama, sebab setelah acaranya selesai, betapa dia merasa lega karena (ternyata) dia tidak perlu menanggung hutang.4

Hasrat terhadap semat–drajat–kramat terjadi apabila masing-masing di antara kita hanya dikendalikan oleh kesenangan kita sendiri, memanjakan egoisme, dan bertindak sewenang-wenang. Hal itu kemudian tidak hanya akan menjadi sumber kecemasan (sumelang) dan penyesalan (getun), tetapi juga akan menimbulkan persaingan sosial dan ketidaksetaraan. Barang siapa yang belum memiliki sesuatu maka mereka akan cemburu (meri), sementara bagi yang telah memilikinya maka mereka akan takut kehilangan apa yang dimilikinya itu. Mereka cenderung akan mencari sesuatu yang dapat menimbulkan kenyamanan diri dan menyingkirkan sesuatu yang kurang menguntungkan/menyenangkan.5

Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang.

KAS menyebut “kramadangsa” untuk menjelaskan bagian dari diri kita yang mendorong kita untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang sehingga membuat kita bertindak sewenang-wenang (mila kramadangsa punika mesthi padhos sakeca pribadi lan mboten parduli tangga inggih punika ingkang murugaken sewenang-wenang).6 Kramadangsa juga yang membuat kita memercayai kenyataan yang hanya kita kehendaki dan menghalangi kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya ketimbang hanya kesan-kesan yang kita miliki tentangnya. Ia bersemayam dalam kesadaran seseorang dan menghalangi munculnya diri sejati (true self), diri yang bebas dari gejala-gejala. Pendek kata, “diri yang terjebak dalam gejala-gejala” (contingent-self) ini kemudian akan diseimbangkan oleh “diri yang sejati” atau “Aku” (essential-self). Hasilnya adalah manusia semakin menyadari eksistensinya serta dorongan-dorongan untuk melakukan refleksi dan menambah pengetahuannya. Dia juga mampu membuka tirai penghalang (aling-aling) yang menutupi dunia batinnya (inner being). Hasilnya, dia akan semakin tahu tentang “kesadaran diri” yang sejati (raos aku).

Kita telah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: “Suryomentaram dudu aku” (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses “menemukan diri yang baru” itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Tak ada tukang perahu yang bisa menyeberangkannya. KAS memutuskan untuk berenang menuju bibir sungai di seberang, namun aliran sungai yang deras justru menyeretnya. Dalam kondisi nyaris tenggelam itu, tiba-tiba menjadi jelas dalam pikirannya bahwa kenekatannya menyeberangi sungai itu dipengaruhi oleh hasrat untuk mengakhiri hidup (karena dia baru saja kehilangan istri pertamanya). Sosok Suryomentaram yang bersemangat itu, yang berangsur-angsur hilang di dalam air, sama sekali berbeda dengan sosok yang telah muncul ke permukaan kemudian—sosok itu telah berubah menjadi “diri yang tenteram”.7 Dia pun berkata, “Ini bukan saya” (dudu aku).

Orang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang) agar bisa membedakan momen-momen yang menyenangkan dengan momen-momen yang menyusahkan untuk mempertajam rasa-nya. Ini adalah persoalan waktu dan latihan. Pendekatan KAS ini tiada lain adalah introspeksi (pengawikan pribadi atau mawas diri).8 Pendekatan ini sepenuhnya bersifat individual, meski hal ini juga tidak menutup kemungkinan bantuan dari orang lain: untuk memastikan bantuan orang lain seseorang harus berdialog dengan dirinya sendiri terlebih dulu, menanyakan tentang penilaian-penilaian orang lain tentang dirinya, lalu melihat posisi mereka kembali, melihat “dari dampak-dampaknya, lalu penyebab-penyebabnya” (from effects to the causes).

Perasaan bahagia bukanlah antitesis dari perasaan tidak bahagia, melainkan muncul dari rasa tenteram dan bebas yang dihasilkan dari kemampuan seseorang dalam menghadapi eksistensinya sendiri. Orang mestinya lebih fokus untuk menemukan “kesadaran diri”, bukan “kebahagiaan”, sebab yang kedua hanyalah akibat dari yang pertama. Ketika kebahagiaan itu hadir dari eksistensi manusia yang terdalam (Aku), maka ia sama dengan kesadaran diri itu sendiri. Ketika orang diliputi oleh kebijaksanaan ini, maka satu-satunya kemungkinan yang dimilikinya dalam bertindak adalah sifat tangguh (tatag), nasibnya tidak akan lagi ditentukan oleh kejadian-kejadian di sekitarnya (tak lagi mempersoalkan di mana, kapan, dan bagaimana kejadian-kejadian itu terjadi). Untuk memutus jeratan siklus takut akan masa depan dan menyesali masa lalu,9 dan untuk mendapatkan hasil akhir dari perpotongan antara perasaan bahagia dan tidak bahagia, orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya). Jika Suryomentaram menginginkan kopi ketimbang teh untuk mengatasi dahaganya, maka “ego” (aku) hanya akan memerintahkan untuk mengambil segelas air putih.

Stabilitas personal merupakan syarat utama bagi keteraturan sosial. Pada kenyataannya, hasrat manusialah yang membujuk atau memaksa kehendaknya untuk memandang orang lain atau dirinya sendiri sebagai korban ketidaksetaraan. Salah satu contoh yang sering digunakan oleh KAS diambil dari konteks kehidupan keluarga: sangat sering orang-orang yang sedang bahagia akan menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anak mereka; bisa disebut bahwa cinta mereka itu sebagian datang dari tanggung jawab terhadap keturunan-keturunan mereka dan sebagiannya lagi muncul dari perhitungan untuk mendapatkan bantuan dari si anak kelak ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan di usia tua; mereka juga dapat memindahkan harapan-harapan mereka tentang kesuksesan hidup kepada anak-anak mereka.10

Contohnya adalah, jika anak mereka tidak naik kelas, maka mereka akan marah. Mereka bisa jadi mengajukan alasan macam-macam, namun alasan yang sebenarnya mendasari kemarahan mereka itu tiada lain adalah adanya rasa takut untuk melihat hancurnya harapan-harapan mereka. Orang tua semestinya menyadari tentang hakikat perasaan-perasaan mereka dan, konsekuensinya, memahami bahwa kemarahan tersebut sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri, dari egoisme mereka, karena tidak naik kelasnya si anak sebenarnya disebabkan oleh motif yang sepenuhnya berbeda (misalnya bukan untuk menghancurkan harapan orang tua—penerj.). Selanjutnya, kritisisme terhadap anak mereka itu tidak lagi bersumber dari kemarahan, melainkan dari perasaan damai (raos dame), dan penilaian akan diambil berdasarkan alasan-alasan bahwa si anak mungkin tidak termotivasi untuk belajar. Ini adalah cinta sejati; ia terlihat dengan jelas ketika seseorang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri. Cinta sejati akan menciptakan harmoni dan mengantarkan pada kedudukan yang sama antara orang tua dan anak (raos sami). Terlepas dari perbedaan-perbedaan individual yang dimiliki manusia, kaya atau miskin, raja atau kuli, naik–turunnya hidup itu memiliki cara yang sama karena dilihat secara psikologis setiap orang itu pada dasarnya setara. Untuk mengetahui dirinya sendiri, seseorang harus mengetahui orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan (ngraosaken raosing tiyang sanes). Kepekaan sosial ini oleh KAS disebut sebagai “Ukuran Keempat” (Ukuran kaping IV). Dengan cara yang sama, ketika seseorang berpikir “dudu aku” saat dia mengetahui munculnya dorongan untuk mementingkan diri sendiri, dimensi keempat ini juga akan memberi bisikan kepadanya untuk mengatakan “dudu kowe” ketika dia melihat apa yang telah orang lain perbuat. Adanya cinta dan rasa saling hormat merupakan ciri dari sebuah masyarakat di mana dimensi keempat ini telah berlaku.11

Bukan hanya muatan dari prinsip-prinsip umum ajaran KAS yang akan disampaikan di sini, karena dalam sejumlah ceramah yang digelarnya KAS juga melihat cara-cara tertentu di mana filsafatnya itu dapat dipraktikkan. Dalam menjalani kehidupannya (lelampahing gesang),12 seorang individu akan menjumpai beragam situasi di mana dia mungkin dapat menemukan dirinya, karena dia juga memiliki beragam kepentingan, di mana setiap kepentingan itu membutuhkan sebuah tanggapan yang memadai. Kepentingan-kepentingan tersebut mengemuka dalam berbagai aspek penting kehidupan, meliputi: kepemilikan materi, pengakuan publik, kekuasaan, keluarga, kelompok, bangsa, pengetahuan, spiritualisme (kebatinan), dan kemampuan atau kapasitas (kesagedan).13

Selanjutnya, ada banyak kejadian yang akan menandai periode-periode sulit dalam hidup seseorang, di antaranya munculnya perasaan cinta di usia remaja, memilih pasangan, situasi-situasi tertentu dalam kehidupan berumah tangga, pendidikan anak, dan menjelang ajal.14 Dalam situasi-situasi tersebut sangat penting bagi manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhannya dan mengetahui hal apa saja yang bakal merintangi perkembangan kepribadiannya. Hasrat seksual misalnya, harus diterima sebagai konsekuensi dari kebutuhan vital itu; ia baru bisa disalurkan secara penuh hanya melalui kehidupan perkawinan, sebuah konteks yang paling pantas untuk melahirkan keturunan. Menghargai pasangan, yakni menerima perbedaan-perbedaan yang dia miliki, harus menjadi dasar bagi cinta dalam perkawinan (di antara sekian hal, KAS menekankan pentingnya monogami dan cinta pengasuhan/parental love).15

KAS agak berhati-hati dalam menjelaskan situasi-situasi yang menguji perjalanan hidup seseorang (pengalaman pahit getir): kematian orang tua atau perceraiannya ketika muda dulu, kematian saudara atau teman, sakit, perselingkuhan, membina rumah tangga, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan lain-lain. KAS menunjukkan bahwa sebuah pelajaran/hikmah itu bisa diambil dari beragam peristiwa tersebut yang akan membantu kita menjaga atau memulihkan keseimbangan psikologis kita.16

Kekhawatiran tentang hal-hal yang terjadi di alam metafisik merupakan akibat dari pengingkaran seseorang terhadap hakikat (kehidupan) manusia. Jiwa manusia, sebagaimana orang dengan hasrat-hasratnya, tidak memiliki awal dan akhir: jiwa itu mendiami tubuh manusia untuk sementara waktu, lalu menghilang dan kembali lagi ke alam semesta (Alam Agung). Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan kematian? Dengan melihat lebih dekat hasrat-hasratnya, manusia menjadi lebih mampu berbuat yang terbaik, karena manusia mampu membuat jarak antara dirinya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin kematian sedikit perlu dikhawatirkan apabila manusia itu bereinkarnasi menjadi babi hutan (celeng); nasib babi itu berbeda dengan nasib manusia, tetapi tidak lebih baik atau lebih buruk dari nasib manusia. Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, KAS melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).17 KAS berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, KAS juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.18

Orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya).

Aspek penting lain dari ajaran KAS berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kesanggupannya berjuang bersama para nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas intelektual mereka telah terlihat jelas; begitu juga dukungannya terhadap para priyayi terpelajar dalam mendorong keterlibatan para petani kesultanan dan aksi-aksi protes ketika muncul gagasan bahwa nasib negara akan ditentukan oleh penggunaan kekuatan (militer). Keyakinan-keyakinan politiknya selalu merefleksikan salah satu perhatian utamanya: hormat terhadap orang sebagai wujud dari hormat terhadap diri sendiri. Dalam menjelaskan realitas kolonial, dia begitu menekankan konsepsi tentang eksistensi individu berdasarkan titik pijak nasional. Jika orang-orang Indonesia sanggup menanggung penderitaan akibat kolonialisme dalam waktu yang lama, hal itu bukan karena kebiadaban (angkara-murka) yang dilakukan oleh Belanda, bukan pula merupakan sebuah takdir (sampuh pinasthi); kondisi itu lebih karena mereka tidak tahu siapa mereka, mereka tidak memiliki identitas sebagai bangsa. Apa itu bangsa? Bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang yang berbagi kepentingan yang sama itu dikelola? Apa peran kelompok Kebudayaan tersebut? Apakah persatuan kelompok ditentukan oleh peran sosial masing-masing kelompok untuk saling melengkapi satu sama lain? Jawaban KAS secara meyakinkan menekankan pada pengakuan nasional atas tanggung jawab individu dalam urusan-urusan bersama, sebuah ekspresi dari sikap aku duwe negara, “saya punya negara”.19

Dalam dunia yang kacau di awal ’50-an, persatuan Indonesia haruslah kokoh untuk menghindari jebakan antara memilih kapitalisme atau komunisme, jebakan yang dibentangkan oleh dua kekuatan dunia yang tengah bersaing mencari pengaruh di negara-negara yang baru saja merdeka. Memegang keyakinan atas ajaran-ajaran filosofisnya, KAS menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa negara-negara yang takut akan meletusnya perang dunia ketiga, yang berupaya menyelidiki tanda-tanda yang mengarah pada perang dunia, meyakini bahwa mereka dapat menolak realitas dari masalah mereka sendiri dengan menciptakan ketergantungan terhadap hal-hal di luar kendali mereka.20

Di dalam Pancasila, Indonesia memiliki sekumpulan prinsip yang mampu menyulut sikap mental yang berujung pada dukungan terhadap persatuan bangsa. Hal terpenting dari kelima sila tersebut adalah “kedaulatan rakyat” (panguwasa rakyat) yang oleh KAS dimaknai sebagai pengakuan atas hak kebebasan setiap individu atau pengutamaan semangat sosial yang melampaui dorongan instingtif yang tersembunyi dalam diri tiap manusia (“kebinatangan yang ada dalam diri manusia”). Pada titik inilah semangat luhur (raos luhur) yang mengejawantah dalam Pancasila dapat digunakan oleh manusia Indonesia: semangat kemanusiaan, semangat nasionalisme, dan keadilan sosial. Terakhir, perlu dicatat bahwa Ketuhanan yang Maha Esa tampil dalam karya KAS sebagai hasil dari empat sila yang lainnya, sebagai intisari tertinggi dari semangat keadilan sosial. Sejauh yang penulis pahami, menempatkan Tuhan sebagai sumber rujukan merupakan inti dari keseluruhan karya-karya KAS.21

Bersambung…

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian I

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III

Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis


Catatan Kaki:

1. Tulisan-tulisan yang paling dirujuk sebagai prinsip pokok ajaran KAS adalah Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), Ngelmi-Kawruh-Pitedah sedjatining gesang wedjangan KAS (oleh M. Soedi), Pilsapat Raos Gesang (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Filsafat Rasa Hidup); Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah.

2. Cf. dalam Wejangan, hal. 22–24.

3. “Salumahing bumi sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (sebagai contoh: Tandesan, hal. 20).

4. Wedjangan, hal. 3–4.

5. Tentang pertanyaan atas hubungan sosial, lihat: Pilsapat Raos Gesang; Aku iki wong apa?; Ukuran kaping sakawan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Ukuran Keempat).

6. Mawas diri, hal. 23.

7. Gandulan, hal. 10–11.

8. Judul-judul buku tersebut sudah menjelaskan isinya: Piageming gesang (Ujian Kehidupan); Pangawikan pribadi (Kesadaran Diri); Mawas diri (Sadar tentang Diri Sendiri).

9. “Luwar saking naraka sumelang lan manjing swarga tatag” (Wedjangan, hal. 30).

10. “…gegayuhanipun inggih punika tandon pensiun lan garan moncer” (Buku Peringatan… tulisan: “Wudjuding Kawruh Djiwa”).

11. Cf. Ukuran kaping sakawan.

12. Tentang persoalan ini lihat bagian: Aku iki wong apa?

13. Cf. Mawas diri, hal. 33–35.

14. Cf. Piageming gesang.

15. Tentang cinta suami-istri dan perkawinan, lihat: Kawruh laki-rabi; tentang pendidikan anak: Kawruh pamomong.

16. Piageming gesang.

17. “Gugon tuhon punika nyambet-nyambetan sebab lan kedadosan ingkang mboten sambet” (Wedjangan, hal. 27).

18. Hal Kesempurnaan.

19. Pembangunan djiwa warga negara.

20. Perang dunia kaping III.

21. Raos Pantja Sila.

0
1408
Buku Langgar

Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru – Sebuah Pengantar

Izinkan pada awal tulisan ini, saya membuat disclaimer bahwa seluruh isi tulisan pengantar ini, anggap saja sejenis sendau-gurau juga sebuah racauan. Dan oleh karena itu, para pembaca tak perlu menganggapnya terlalu serius, apalagi membatinkannya dalam sebuah permenungan yang menyendiri.

Karena hal ini berkait dengan seorang sosok dan juga terkait sebuah ajaran yang begitu luhur, wingit, serta lungid, yakni sosok bernama Ki Ageng Suryomentaram dengan ajaran “Kawruh Jiwa”-nya, dimana dari sejak dini pada saripati-inti ajaran tokoh ini sendiri, mewanti-wanti para pembacanya untuk tak menjadikannya sebagai semata ‘diskursus’: bahan permenungan, alih-alih intellectual exercise yang tanpa ujung. Ia, Ki Ageng Suryomentaram, semata menyodorkan aksioma-aksioma [baca: sebuah ajakan] sebagai pelecut yang bisa membantu seseorang untuk segera masuk mengenali dan mengawasi realitas kediriannya sendiri. Tak lebih dari itu.

Karena, jika anda telah menyambut ajakannya ini, hati-hati, bukan saja Anda akan tergetar dan terkesima menyaksikan realitas diri Anda sendiri yang begitu mengagumkan, namun Anda juga akan mengalami transformasi diri yang tanpa terkatakan [tan kena kinira ngapa], yakni sebuah perubahan diri yang tidak memiliki capaian presedennya sebelumnya. Bagi Anda yang belum siap membaca tulisan ini, awas, urat Anda bisa putus.

****

Lepas dari kaidah “Kawruh Jiwa” [baca: ajaran Ki Ageng] yang akan segera diuraikan secara melimpah dalam buku ini, saya akan menyingggung sedikit terkait pijkan dasar spiritualitas [dasar bentangan ilmu ruhani], yang sayangnya bahkan sering dibaikan oleh para pelajar Kawruh Jiwa sendiri [baca: para pengikut Ki Ageng], yakni terutama persis seperti telah dijelaskan dalam dokumen surat-surat “pra-Kawruh Jiwanya” Ki Ageng yang berjudul “Buku Langgar 1920-1928” [belum diterbitkan].

Dengan menyinggung ulang dokumen awal tulisan Ki Ageng Suryomentaram ini, bukan saja kita bisa memblejeti dasar-pijakan spiritual macam apa yang membuat Ki Ageng bisa merumuskan Kawruh Jiwa-nya, melainkan juga kita bisa merunut cadangan kultural macam apa yang memungkinkan sosok agung ini muncul dan hadir, sekaligus bagaimana prasyarat cadangan-cadangan tersebut memungkinkan ajaran Kawruh Jiwa-nya bisa melampaui kelemahan ajaran spiritual-ruhani sebelumnya, serta pada saat bersamaan, juga sekaligus bisa menemukan signifikansi orisionalitas gagasannya sendiri.

Saking wingit dan sakralnya, Ki Ageng Suryomentaram berusaha memeras pijakan kawruhnya [rumusan pengetahuannya] dalam Buku Langgar—sebagaimana tertera dalam salah satu tulisan ‘surat’-nya yang berjudul “Pedagogie”—dengan rumusan yang agak berani sekaligus simbolik. Ia mengatakan bahwa basis pijakan pengetahuan yang ia rumuskan, adalah semata merupakan “pijakan atau bekal manusia untuk menjalankan unsur-unsur kedewataan dalam dirinya” [sanguning manungsa supados anetepi Kadewatanipun].

Rumusan ini berangkaat dari asumsi sederhana bahwa di dalam diri manusia terdapat dua unsur yang saling berperang yakni,

[1] unsur ke-buto-an atau sifat raksasa [atau katakanlah unsur kehewanan dalam diri, diri kecil, dan nafsu], sedangkan yang kedua,

[2] unsur ke-dewa-an atau unsur ‘ketuhanan’ atau ‘kemalaikatan’ di dalam diri terdalam manusia. Ini adalah unsur fitrah jiwa terdalam manusia, hati nurani [pancaran cahaya Tuhan yang bersemayam dalam diri: Nur Muhammad].

Nah ilmu mengenali diri atau sering disebut ilmu ‘mawas diri’ ini sejatinya —sebagai langkah mendasar sekaligus puncak untuk mengenali hakikat kenyataan dan hidup ini—adalah ilmu untuk mengenali hakikat sejati terdalam dari diri, plus usaha mengeluarkan, merealisasikan, dan menegakkan pancaran unsur kedewataan yang bersemayam dalam diri manusia itu sendiri [baca: ilmu ruhani, khalifatullah}.

Kendaraan atau wahana untuk mencapai derajat pengenalan diri ini [plus realisasinya] oleh Ki Ageng dinamai dengan apa yang diistilahkannya sebagai Sih atau rasa welas asih atau cinta. Yakni sebuah daya yang sebenarnya berasal atau masih berada dalam area kuasa yang memancar dari Kraton Surga [inggih punika Sih ingkang kabawani Kraton Swarga]. Alias, sebuah daya untuk menundukkan dan ‘menguasai bumi seisinya’ [smarabumi]. Meminjam kalimat Suryomentaram sendiri,

“Apakah kalian sudah tahu, jika pada alam semesta-keseluruhan ini tidak ada daya yang bisa mengunguli ketinggian daya dibanding rasa cinta-sejati?”

[Punapa sampeyan sampun mangertos yen ing jagad sawegung punika mboten wonten daya ingkang nglangkungi luhuripun katimbang raos sih sejati?]

Karena, menurutnya, pada dasarnya kebutuhan manusia di dunia ini selain makan tak lain hanya rasa cinta. Berjuta-juta orang dengan susah payah mencari harta benda [semat], kehormatan-pangkat [drajat] dan kuasa-jabatan [pangkat] agar dikasihi dan mendapat cinta dari yang lain. Namun ternyata apa yang didapatinya justru sebaliknya: perselisihan, iri-hati, sombong, rasa benci atas jalan hidupnya sendiri, juga rasa benci terhadap orang lain karena tidak mencintai dan mengasihinya. Model pencarian kebahagian yang seperti inilah yang akan mengantarkannya kepada ‘neraka kesengsaraan’.   

Sungguh ini dikarenakan ketidakmengertian akan hakikat gerakan hidup, alias ketiadaan pengetahuan dan ilmu, dimana gerakan kodrati hidup tadi dipaksa tunduk pada keinginan dan kehendak sewenang pribadinya sendiri [kehendak-nafsu]; tanpa ilmu nyata. Oleh karenanya Ki Ageng menyarankan, untuk sampai kepada pengetahuan terkait hakikat hidup [meruhi dat-ing dumadi: Ilmu hakikat], seseorang harus mengambil jalan lurus siratalmustaqim bernama pengetahuan “mengenali dirinya sendiri” [ilmu ma’rifat], karena sumber segala kesengsaraan kita adalah ketidakmengertian akan realitas diri ini.

Dalam bahasa pasemon pewayangan, apa yang ingin dikerjakan oleh Ki Ageng Suryomentaram adalah mengajarkan ilmu kedewataan [baca: ilmu ruhani] supaya tergelar di alam dunia mayapada ini, alias alam semesta dunia ini. Atau dalam bahasa yang lebih simbolis, ia mendapat mandat dari Bathara Guru, yakni melalui penasehatnya Bathara Narada, penguasa kayangan Dewata, untuk mendirikan Univeritas Kagungan Dalem Bathara Guru, yakni sebuah universitas yang akan mengajarkan ilmu kedewataan atau ilmu ruhani, supaya tegak dan berdiri di alam mayapada dunia ini [angadekaken unipersitit kaagungan dalem jumeneng wonten ngarcapada].

Sebuah ilmu yang menuntun para mahasiswanya untuk mengenali realitas hakikat kediriannya sendiri [baca: man arafa nafsahu] yang belakangan akan dinamai oleh Ki Ageng Suryomentaram sendiri dengan nama “mawas diri” atau “pangawikan pribadi” [alias ilmu tentang mengawasi dan mengenali diri sendiri]. Siapa yang telah mengenali diri sejatinya akan sampai kepada unsur atau pancaran hakikat kedewataan yang bersemayam dalam diri ini [jumeneng pribadi]. Di belakang hari, penamaan ilmu ini berganti lagi menjadi bernama “Kawruh Jiwa” untuk mengeliminasi konotasi dan jebakan mistifikasinya.

Dalam konteks ini pula, perlu kita dicatat bahwa usaha Ki Ageng Suryomentaram menelurkan “Kawruh Jiwa” ini oleh karenanya juga harus dibaca dalam rentang rangkaian tradisi keilmuan ruhani sebelumnya [baca: surat wiridan], yakni sebagai sebentuk cadangan kultural ke-Jawa-an yang memungkinkan sosok ini menelurkan gagasan orisionalnya, yang secara bersamaan juga telah terolah secara matang bahkan melampaui tradisi spiritual sebelumnya sekaligus. Dalam hal ini, Ki Ageng Suryomentaram bisa juga kita anggap merupakan rantai kristalisasi puncak dari bentang rangkaian ajaran keruhanian Jawa sebelumnya tersebut.

Dan hanya di tangannya sematalah, yakni melalui metode rasional-objektifnya, ia bisa menepis aspek mistifikasi ajaran keruhanian maupun spiritualitas lama yang pekat dengan jebakan irrasionalitas dan normativitas sendiri yang melenakan. Pada Kawruh Jiwa-lah ajaran keruhanian lama mencapai kematangan rasional objektifnya, sebut saja begitu, sehingga bisa menjadi suguhan makanan ruhani [pengetahuan obyektif, alih-alih normatif] yang dapat diambil oleh siapapun tanpa membedakan baju tempelan identitas suku, kelompok, agama, maupun kebangsaan apapun. Alias telah menjangkau aspek universalitasnya bagi kemanusiaan seluruhnya.

Namun begitu, ajaran yang ditelurkannnya, sekali lagi tak boleh dilupa, masih merupakan rangkaian benang yang sama dari ajaran spiritual-ruhaniyah kemanusiaan sebelumnya [Jawa-Islam]. Dalam jalur pengatahuan “mawas diri” atau “pangawikan pribadi”-nya misalnya [baca: ilmu pengenalan akan dirinya sendiri], tema ini hampir ditemukan merata dalam tradisi spiritual-ruhani sebelumnya.

Bahkan dalam ulasan yang lebih eksplisit serta padat pada ajaran Bangkokan Kawruh Jiwa-nya bernama “Buku Langgar”, Ki Ageng sendiri dengan sadar berusaha menilik ulang dan me-review saripati ajaran-ajaran tradisi sebelumnya ini, yakni dimulai dari ajaran sejak zaman akhir Prabu Brawijaya, zaman Demak akhir, masa Sultan Agung beserta Sastra Gendhing-nya, masa Mataram Akhir, Kartasura Akhir, serta pada zaman Giyanti, hingga zaman Penjajahan Belanda pada masa ia hidup. Ia menunjukkan kelebihan ajaran-ajaran yang terselenggara pada setiap masa-masa tersebut, plus menunjukkan jebakan-jebakannya.

Bahkan tokoh agung ini juga mengulas secara terpisah saripati ajaran pada masa “Sekolahan Gaib Zaman Islam” [jaman kuwalen: zaman para wali], yang sering dikenal sebagai masa dimana para wali tanah Jawi menyebarkan ajaran ruhaninya, yang relatif ia beri porsi ulasan yang cukup padat, untuk sekali lagi menimbang kelebihan serta potensi jebakannya. Tak hanya itu, ia juga membandingkan dengan tradisi ajaran Budhisme, serta memberi tambahan ulasan kritik terkait kecenderungan kultifikasi benda-benda gaib [kultus benda] seperti dilakukan oleh para pelaku dan penganut Theosofi, yang memang pada saat itu, awal abad 20, mulai menyebar di tanah jajahan Hindia Belanda.

Hal ini, bagi saya, bukan sesuatu yang mencengangkan. Karena, dalam dokumen Primbon 9 jilid yang dikeluarkan Keraton Surakarta, bernama “Kitab Primbon seri-Adam Makna” yang telah banyak beredar, dimana dikatakan pada pengantar pendahuluannya, bahwa Ki Ageng Suryomentaram merupakan cucu dari seseroang pangeran pemilik berjubel-jubel kitab dan manuskrip kuno tinggalan warisan kesusateran Kraton Jawa Mataram Islam: Pangeran Harjo Tjakraningrat. Dan Suryomentaram, konon mendapat limpahan kepustakaan ini dari kakeknya tersebut. Juga dari koleksi manuskrip milik kakeknya ini pulalah, 9 jilid Kitab Primbon yang telah disebut, akhirnya bisa diterbitkan dalam edisi latin dan tersebar di kalangan masyarakat.

Signifikansi informasi barusan sebenarnya hanya ingin meletakkan kesadaraan terkait satu hal: Ki Ageng Suryomentaram bukan hidup dalam ruang vakum dalam menelurkan gagasan-gagasannya. Plus hal ini terkait ide mendasar, bahwa Ki Ageng benar-benar berinteraksi dengan gagasan dan ajaran ruhani zamannya.

Bahkan, dalam riwayat hidupnya, ia pernah terseret secara kuat dalam laku “lelana-brata” [baca: santri lelana], dalam pengelanaan ruhani dan tirakat ke makam dan petilasan-petilasan keramat di banyak tempat pada masanya [gua langse, dll]. Juga terkait keputusannya ‘keluar’ [melarikan diri] dari kenyamanan keraton dalam lelaku asketiknya: seperti menjadi penggali sumur, kuli angkut koper, berdagang kain keliling di daerah Banyumas, menanggalkan gelar resmi kepangeranannya, mendesak pemerintah kolonial untuk menuruti permintaan berhajinya ke Makkah, menyerahkan sebagian besar harta bendanya kepada pelayannya, hingga menjadi petani biasa sampai umur tuanya di Desa Bringin, Salatiga. Laku-laku inilah, latar penting yang memungkinkan sosok ini melahirkan gagasan-gagasan ‘orisionil’ Kawruh Jiwanya di belakang hari.

Dari cadangan kultural kejawaan inilah yang mumungkinkan sosok Ki Ageng bisa menyandingkan dan menukil secara enak pengetahuan-pengetahuan lama-lama tersebut. Juga dalam konteks ilmu pengenalan diri sendiri, Ki Ageng dengan enak bisa memeras dan mengambil saripati ajaran-ajaran lama Jawa-Islam dengan pengetahuan pangawikan pribadi-nya sendiri, yakni dengan cara mengeluarkan signifikansi mistis makna selubung ‘rahasia’ tokoh semacam Siti Jenar dengan kisah cacingnya, maupun Kanjeng Kyai Kopek sang sosok macan-nya Sultan Agung, maupun signifikansi mistik-simbolis jembatan kayu melintang [wot galinggang] yang dipakai Sunan Kalijaga saat bertapa di Pulau Upih.

Semua simbol ini mengacu pada perjalanan atau dalam bahasa lamanya disebut ‘lelaku’ ruhani dalam rangka mengenali dan menemui diri sejatinya sendiri. Persis seperti perjalanan ruhani sosok Bima dalam pewayangan dalam usahanya menemui ‘dirinya sendiri’ dalam wujud sosok kecilnya [baca: Dewa Ruci]. Sebuah perjalanan ruhani untuk menemui Diri-nya sendiri atau sering disebut ‘suluk’ [dimana istilah tasawuf ini telah diserap dalam bahasa Jawa untuk menamai genre tembang alit macapat dalam tradisi Jawa—baca kesusateraan Suluk].

Dan dalam galur bentangan keilmuan ruhani inilah Kawruh Jiwa ini harus ditempatkan sebagai masih dalam rangkaian kontinum keilmuan lama untuk mengenali jiwa terdalam diri manusia [baca: mulat sarira]. Yakni tentu dengan kebaruan sodoran metodologi obyektifnya, alias alih-alih normatif dan mistis seperti tradisi ruhani sebelumnya, dan oleh karenanya, Kawruh Jiwa dengan begitu bisa dikatakan merupakan pematangan gagasan-gagasan objektif dari tradisi ilmu ruhani sebelumnya.

Hal ini sekaligus memberi arti dan signifikansi baru kenapa Ki Ageng lebih memilih kata ‘kawruh’ yang lebih berkononotasi obyektif-empiris, daripada kata ‘ngilmu’ yang lebih berkonotasi mistik dan normatif misalnya. Alias secara ringkas ia berhasil menelurkan prinsip-prinsip objektif keilmuan, dengan maksud memperluas pengandaian cakupan universalitasnya, terkait perangkat pengetahuan akan pengenalan realitas diri yang bisa membantu manusia Jawa juga Indonesia atau bahkan dunia secara luas, dengan sodoran metode barunya.

Juga penting ditilik, bahkan sejak pertalian erat juga relasi persaudaranya dengan Ki Hajar Dewantara, yakni jauh sebelum pertemuan rutin “Selasa Kliwon” pada tahun-tahun yang mendahului dalam menelurkan pendirian Taman Siswa dimana ia terlibat, Ki Ageng Suryomentaram telah berinteraksi secara intens dengan gagasan-gagasan filsafat Barat zamannya. Dalam sebuah suratnya ia menyinggung hal ini secara implisit:

Aku kelingan dek Paman Ajar isih sekolah. Sok Bengkat barang, mungsuhe Nabi Kilir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kali. Nek Lud-ludan Pei karo Batara Narada lan Sidarta Kapilawastu. Jing Ngloco Pitagoras utawa Plato. Nek Bas-basan janji karo Prabu Brawijaya, betah sawengi. Nek mul-mulan adate mungsuhe Laose dibut loro karo Konghuchu. Jing tukang mungsuhake Aristoteles karo Kant.”

Artinya,

“Aku masih ingat saat paman Ajar [Ki Hajar Dewantara; pen.] masih sekolah, kadang bermain pedang-pedangan juga. Musuhnya Nabi Khidir, Kanjeng Sultan Agung, Kanjeng Sunan Kalijaga. Kalau bermain kartu bersama Bathara Narada dan Sidarta Kapilawastu. Yang mengocok Pitagoras dan Plato. Jika bermain bas-basan, janjian sama Prabu Brawijaya. Tahan semalaman. Kalau bermain gulat biasanya musuhnya Laotse, dikeroyok bareng Konfusius. Yang menjadi tukang adunya Aristoteles bersama Immanuel Kant.”

Kutipan di atas ingin menyodorkan keterangan implisit, bahwa Ki Ageng bukan saja tidak mengisolasi diri dari gagasan-gagasan besar dunia zamannya—seperti dugaan banyak orang—dan malah ia sebenarnya berada tepat pada pusaran aliraan deras gagasan-gagasan besar zamannya tersebut, namun ia memilih tak larut dan melarutkan diri. Bahkan ia malah membentuk pusarannya sendiri. Karena seturut perkataannya sendiri, jika hanya terseret arus dalam relasi perhubungan yang semakin meningkat antar-bangsa, bangsa yang tidak dapat memberi sumbangan gagasannya kepada dunia [alias cuma mengunyah teori dari luar] akan sirna tanpa guna [dene bangsa ingkan mboten saged urun bade sirna].

***

Buku Trilogi Ki Ageng Suryomentaram yang ditulis oleh Muhaji Fikriono ini adalah rangkaian panjang lelaku sang penulis dalam menyajikan suguhan makanan ruhani “Kawruh Jiwa”-nya Ki Ageng Suryomentaram, agar dapat dicicipi siapapun dalam merasakan buah penerapan Kawruh Jiwanya Ki Ageng. Konon Muhaji Fikriono katanya dalam usaha menuliskan karyanya ini perlu menunggu umur kematangan ruhani di usia 50. Juga, Trilogi buku ini juga semacam elaborasi terkait cadangan kultural ilmu ruhani ke-Jawa-an, seperti yang telah disebut, yang membentuk dan memungkinkan Ki Ageng Suryomentaram menelurkan Kawruh Jiwanya yang begitu orisinil, namun juga masih merupakan jejak bentangan benang tradisi keilmuan ruhani yang berturutan sebelumnya.

Pembacaan rentang tradisi pengetahuan ruhani kejawaan ini sangat diperlukan bukan semata untuk mendudukkan latar kultural yang memungkinkan sosok agung Suryomentaram lahir, namun juga dalam bahasa tokoh ini sendiri, agar bangsa Jawa pada khususnya, mampu, tentu dengan cadangan-cadangan kulturalnya yang kaya tersebut, untuk merumuskan tata-sosial baru yang lebih mulia [saged tata bebrayan enggal ingkang langkung mulyo].

Karena, bagaimanapun, usaha menyelenggarakan keilmuan ruhani dari mandat kayangan Dewata, punya kendala dan rintangannya sendiri, meski tradisi keilmuan ruhani ini merupakan warisan kaya yang dimiliki bangsa Jawa juga Indonesia secara umum. Namun begitu, bangunan Universitas Keilmuan Diri-Ruhani di masa yang lama, menurut Ki Ageng, atapnya sudah banyak yang retak, patah, dan rompal di sana-sini [unipersitit kina ingkang pager-payonipun sampun sami popol].

Banyak para maha-guru dan professornya yang ikut merawat dan menjaga universitas ruhani tersebut telah banyak yang terserang oleh ‘cacing kebencian’ [kremi gething], serta banyak papan dan dinding kayu universitasnya telah tergerogoti oleh rayap ‘merasa unggul sendiri’, serta telah dihinggapi kesombongan dan rasa jumawa [ama pambegan], sehingga urgensi pendirian universitas pengetahuan diri yang baru [baca: Universitas Kagungan Dalem Bathara Guru] perlu disegerakan. Dan dalam latar seperti itulah Ki Ageng Suryomentaram hadir.

Karena, penghalang terbesar untuk mengenali kenyataan diri—yang akan membawa pada keadaan bahagia bersama [baca: zaman windukencana]—adalah sebuah rasa “merasa lebih dari yang lain”, rasa sombong, rasa ‘lebih unggul dari yang lain’, juga rasa iri. Rasa-rasa ini muncul dikarenakan sebagai penanda akan betapa tidak tahunya dia akan kenyataan dirinya sendiri maupun terhadap orang lain.

Dan melihat diri melalui ‘pangawikan pribadi’-nya Ki Ageng berguna untuk membedol rasa-rasa ini sampai kepada akar-akarnya, yang akan mengantarkan seseorang masuk kepada surga ‘rasa-tentram’ dan kedamaian. Karena tercapainya rasa tentram diri ini pulalah yang membuatnya akan bisa menyaksikan dan rajin mengawasi rasanya orang lain, sehingga menemukan cermin ‘rasa yang sama’ terhadap yang lain.

Juga dari jalur pengenalan diri inilah, orang mulai bisa mendeteksi asal sumber kesengsaraan manusia, alias rasa tak pernah cukup dari keinginannya [karep/karsa]. Dikarenakan sifat keinginan ini memang memiliki kondisi kekukarangan, celaka, dan sengsara terus-menerus [dat-ing karep punika cilaka]. Setiap kali melihat orang miskin, orang kaya, orang rendahan, orang berpangkat, orang pandai, orang bodoh, seseorang bisa merasakan kesengsaraan yang sama yang diderita mereka, karena telah menyatu dengan keinginan yang membuatnya memasuki kondisi rasa kekurangan tanpa ujung.

Dalam penglihatan diri ini, ia mulai bisa menyaksikan bahwa terpenuhinya keinginaan tidak akan membuat orang bahagia, karena segera akan mengingini sesuatu yang lebih, tak puas [baca: mulur]. Dan memang begitulah keinginan. Namun, dari jalur ini pula, seseorang akan mulai bisa memilah antara “Aku” sebagai pengawas-keinginan dengan keinginan dan rasa-rasa yang ditimbulkannya sebagai objek awasannya. Aku yang mengawasi keinginan, ternyata mandiri dan terbebas dari kesengsaraan yang dimunculkannya [aku dudu karep].

Akhirnya sang-Aku bisa mengawasi keinginan [karep] se-enaaknya [tanpa perlu mengubahnya], alias tidak khawatir lagi, karena terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan tersebut, tidak akan menyebabkan kebahagian seterusnya maupun kesusasahan seterusnya: senang sebentar, lalu susah lagi [karena keinginannya mengembang; mulur], atau jika tidak terpenuhi susah, lalu senang kembali [karena keinginannya mengempis: mungkret].  

Kesadaran sang-Aku pengawas [Diri besar] yang tak lagi terbelit dengan gerakan keinginaan subyektifnya akhinya muncul ke permukaan. Ia sekarang bisa mengawasi keinginannya sendiri, yang secara alami memang memiliki sifat “sewenang-wenang” serta “tak mau bersusah payah” dalam pemenuhannya [alias tak bisa diubah], yang ini jelas melawan prinsip alamiah kenyataan hidup itu sendiri.

Ketika, sang rasa “Aku” telah muncul ke permukaan [sampun medal saking korining pikiran] ia bisa merasakan rasa tentram yang tanpa kira, yakni sejenis rasa damai yang bukan dikarenakan terpenuhinya keinginan, melainkan rasa Aku yang telah terbebas, dan telah bisa menerima sifat kinginaan yang ‘maha lucu’ itu [tanpa perlu lagi mengubahnya], yang pada dasarnya tidak bisa lagi membuat Aku sengsara [karena aku hanya mengawasi].

Pada saat inilah akan muncul rasa tangguh [raos tatag], serta telah bisa menerima keadaan dan kejadian yang telah terjadi di masa lalu [musnahnya rasa sesal—getun], serta telah siap menghadapi apa yang akan berlangsung di masa mendatang [rasa khawatir hilang—sumelang], karena baik terpenuhi maupun tidak terpenuhinya keinginan, tidak akan membuat kebahagiaan yang bersifat terus-menerus [dalam arti rasa senang terus-terusan] maupun kesengsaraan yang terus-menerus [sedih yang terus-terusan]: karena rasa senang dan susah ini pada dasarnya terus-menerus bergantian seiring gerakan keinginan yang bersifat mengembang-mengempis [mulur-mungkret].

Kondisi inilah yang akan mengantarkan kita pada terpilahnya watak-watak kehewanan atau ke-buto-an yang telah berpisah dengan watak kedewataannya [andadosaken sigaring pilahipun wateg-wateg kahewanan lan wateg-wateg kadewatan].

Seseorang akhirnya berdiri tegak dalam berpengetahuan sebagai pribadi [baca: madeg pribadi kawruh] dalam mengawasi kenyataan. Pengetahuan dan proses mengetahuinya tidak lagi digunakan semata sebagai perabot yang tunduk pada pemenuhan keinginannya [penilaian subyektifnya], yang sayangnya jika dibiarkan bisa menyuburkan pengetahuan “kata-katanya” [katanya kitab, katanya buku, katanya teori, katanya orang, dll] maupun pengetahuan “pantas-pantasnya’, alias pengetahuan berdasar kebiasaan dari yang apa dinyakininya [gugon-tuhon], melainkan telah bergerak kepada pengetahuan yang sudah terlepas dari unsur subyektivitas keinginan dan kehendaknya, alias Kawruh Nyata [Ilmu Nyata]. Yakni sejenis ilmu pengetahuan yang telah dimengerti, diketahui, dan dirasakannya sendiri berdasar prinsip obyektif kenyataan hidup yang telah teralami [baca: kasunyatan, hakikat, kahanan jati].

Dalam amsal pewayangan, orang yang telah menegakkan sang Aku ini akan manunggal dengan Batara Wisnu [tetep sarira Bethara Wisnu], memakai mahkota “merasa benar sendiri” [ngrasuk makutha rumaos leres], alias sudah mengerti, mengetahui, dan merasakan sendiri, karena telah duduk di singgasana Kawruh Nyata atau Ilmu Nyata [lenggah ing dampar kawruh nyata], serta kemudian menjadi sang Aku yang maha serba tahu [semuanya kuketahui, bahkan termasuk yang tidak kuketahuipun, aku tahu].

Namun setiap kali sang Aku melihat yang lain, ia ternyata melihat orang lain seperti bayangannya sendiri yang juga “merasa benar sendiri’ [tiap orang pasti begitu], meskipun dasar penyangga pengetahuan “merasa benar sendiri”-nya tersebut adalah pengetahuan yang “kata-katanya” [jare-jare] atau “menurut ini-menurut itu” [biridan], maupun “pengetahuan pantas-pantasnya berdasar semata kebiasaan yang dinyakininya” [gugon tuhon].

Ia melihat orang lain juga ‘merasa benar sendiri’ meskipun belepotan di sana-sini. Padahal, siapapun yang bersikeras memaksa orang lain untuk supaya “merasa keliru” tanpa didampingi suguhan sajen Dewi Sinta bernama ‘rasa welas asih’ yang sempurna, tentu pasti akan kwalat” [pramila tiyang ingkang ngogek-ngogek dating tiyang sanes, ingkang supados rumaos klentu mboten mawi Dewi Sinta, Sih ingkang sampurna, tamtu kwalat].

Rasa Aku-mengawasi yang telah muncul dalam diri seseorang inilah yang dikatakan oleh “Kawruh Jiwa” bisa menjadi pandu dalam mengawasi dan menimang gerak naik-turunnya rasa-rasa beragam dalam hati yang terus berseliweran, plus untuk membedol dan mencabuti rasa-rasa ruwet yang telah berurat akar di dalamnya. Rasa tentram akhirnya akan bersemayam, karena telah bisa menerima dan mengawasi rasa-rasa yang berwarna tadi, yang memang berlangsung seturut hukum kejadian dan sifat keinginan.

Jika rasa tentram ini semakin bertambah dan mengakar dalam diri, ia bisa berdiri sebagai pribadi [jumeneng pribadi], alias tidak membutuhkan ‘rasa-welas-asih’ dari orang lain, karena dalam hatinya telah berlimpah dan kelebihan rasa cinta [sugih sih-kaya cinta], yakni sebagai hasil buah tanaman pengetahuan yang tumbuh dari pengenalan kenyataan dirinya sendiri. Jika buah ini telah matang, ia bahkan bisa membagikannya sebagai suguhan makanan bagi setiap makhluk di bumi untuk memetiknya.

Sang Maha-Kaya-“Cinta” ini [orang yang telah berkecukupan cinta, karena saking melimpahnya di dalam hatinya] kemudian juga bisa mulai bertani, menanamkan benih pengetahuan [kawruh] ke dalam hati orang lain dengan cara membajaknya dengan simpati, melembutkan tanah pertaniannya dengan alat garu bernama sabar, dan menyiangi gulmanya dengan rasa welas-asih.

Sabar dikarenakan berasal dari terang penglihatannya, bahwa menanam padi pasti akan menumbuhkan padi. Sedangkan simpati adalah penglihatan jiwanya dalam memandang orang lain, tidak ada lagi sekat-pemisah yang tidak mungkin bisa ditembus oleh kekuatan simpati. Jika anak panah simpati telah dilepaskan, semua yang berkerlipan akan termurnikan; sebuah senjata prabu Niwatakawaca dalam pewayangan, dimana saat sang Arjuna telah bisa mengalahkan sosok ini, ia disebut “lelananing jagad’ [sang pria sejatinya jagad raya].

Mungkin dalam rangka menjelaskan ajaran mulya pengenalan diri-ruhani inilah, penulis buku Trilogi Suryomentaram ini: Muhaji fikriono, bertungkus-lumus menuliskannya dalam tiga jilid tebal yang serba melingkupi sehingga memudahkan para pembaca. Dan, seperti sering dikatakan penulis buku ini kepada saya, bahwa ‘sudah saatnya’ ajaran ini perlu diwedar dan dijelentrehkan tanpa harus ditutup-tutupi lagi karena kekhawatiran akan efek getarnya bagi tradisi pengetahuan normatif ruhani sebelumnya.

***

Pesan Seri Buku Ki Ageng Suryomentaram Karya Muhaji Fikriono [Klik Link]

Namun, sebelum beranjak mengatamkan rangkaian buku trilogi ini, saya ingin mengingatkan kepada para pembaca, bahwa rangkaian ajaran yang akan Anda dapatkan dari hasil ‘membaca’ buku Suryomentaram ini, pada akhirnya adalah baru semata ‘katanya’ Suryomentaram [ilmu jare-jare dan biridan]. Alias Anda belum mengetahui dan merasakannya sendiri [mengerti, mengetahui, atau merasakan sendiri—Kawruh Nyata].

Maka, setelah selesei, segeralah lupakan ‘katanya’ Suryomentaram, tepislah pengetahuan ‘menurut’ Suryomentaram. Segeralah, mulai saat ini, di sini, dan dalam keadaan seperti ini [saiki, kene, ngene] mengenali dan mengawasi realitas diri Anda sendiri. Karena tak ada siapapun, makhluk bumi manapun, yang bisa mengajari Anda–tidak guru manapun, tidak kitab, tidak buku, tidak tulisan, atau tidak siapapun—dalam usaha mengenali realitas diri anda sendiri.

Wejangan Suryomentaram di bawah ini barangkali tepat untuk memungkasi paragraf pengantar tulisan ini:

Saya mengingatkan kepada semua yang mendengar

[Kulo pepenget dateng sedaya ingkang mirengaken],

Jangan pernah menjalankan ajaran-ajaran di atas

[sampun ngantos anglampahi wulangan punika],

Malah akan mendapat kesusahan yang tak terkira

[mindak angsal kesusahan ingkang tanpa upami].

Ajaran-ajaran di atas hanya untuk tiang-sandaran saat duduk semata

[wulangan punika namung kangge cagak lenggahan kemawon],

Atau semata sebagai suguhan pengiring saat wedangan

[utawi pacitan wedangan],

Jangan sampai dibaca saat sendiri

[sampun dipun waos ijen-ijenan],

Sebab nanti kalau ada setan yang lewat, juga akan ikut tertarik untuk mengamalkannya

[sabab mangke yen wonten setan langkung lajeng kapingin nglampahi],

Akhirnya bisa membahayakan, rusak dunia-akhiratnya

[wasana kadrawasan, risak donya-ngakeratipun].

Akhir kata selamat membaca. Langeng bungah-susah!

Klandungan, Malang. 26 Januari 2024

Irfan Afifi

Pelajar Kawruh Jiwa, ngiras-ngirus Tukang Sapu Langgar.co

*** Tulisan pengantar ini ditulis untuk mengenang momen ‘kasendal-mayang’ rasa gemetar diri yang tak terkira karena membolak-balik “Buku Langgar 1920-1928” [belum terbit] selama masa tiga tahun.

Bocah Cilik Gambar Jagad – Catatan Etnografi Biografi Slamet Gundono

Rp 120.000

Jika Proses keberislaman adalah proses berkebudayaan itu sendiri dalam arti upaya peyempurnaan manusia dalam keempat fakultas dirinya yakni cipta, karsa, jiwa dan rasa, maka proses yang seperti itu dalam kenyataan konkrit dapat disimak dalam kisah hidup Slamet Gundono yang ditulis secara etnografis oleh Yusuf Efendi dalam buku ini.
Karya yang bercerita kisah perjalanan Ki Slamet Gundono ini, akan mengajak kita manyusuri lika-liku kehidupan seorang seniman dari latar belakangnya yang rinci dan pelik, hingga gagasan-gagasannya yang asik, renyah lagi dalam. Kompleksitas tersebut disusun dalam alur metrum macapat dalam kesusastraan Jawa yang saling terkait satu sama lain. Sinom, Kinanthi, Asmaradana, Gambuh, Dhandanggula, Durma, Pangkur, Megatruh, Pocung dan Sekar dijadikan penanda oleh penulis untuk menceritakan fase-fase perjalanan tokoh tersebut.
Penerbitan buku ini bagi kami adalah usaha untuk memotret suluk kehidupan seorang seniman yang mempunyai ciri khas kuat lagi berkarakter. karya-karya yang diciptakan berakar di jantung tradisi masyarakat bernafaskan spritualitas Islam, di sisi lain tak kehilangan relevansinya dengan sepirit zaman kontemporer. Dan menurut kami sosok ki Slamet Gundono adalah prototipe utama seorang seniman dalam galur Islam Berkebudayaan. Dan besar harapan kami kedepan dengan adanya buku ini bisa memberi gambaran sekaligus inspirasi bagi seniman-seniman lebih muda.

Penulis : Yusuf Efendi
Editor : Taufik Ahmad
Tata letak : Mugi Pengki
Penerbit : Buku Langgar
Tahun terbit : April, 2022

Spesifikasi Buku

Ukuran : 13 X 19 cm
Halaman : 420 hlm

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI

Rp 200000 Rp 175.000

Kecendekiaan Jawa – Pesantren, Kitab dan Tarekat Abad XV-XVI – Nur Khalik Ridwan

Sinopsis:

Aspek penting yang menggerakkan para wali di Jawa abad XV-XVI adalah batin-tasawuf-tarekat, tetapi sering luput dalam analisis para Orientalis. Dengan aspek tasawuf-tarekat itu, para wali penyebar Islam di Jawa abad XV-XVI melakukan berbagai upaya pribumisasi islam, pembacaan atas Jawa, dan memformulasikan Jawa dengan tetap memelihara apa-apa yang yang diperlukan dari masa lalu.

Aspek batin itu diolah dari tarekat-tarekat mereka, yang buahnya adalah mendidik kader, menggerakkan perubahan, mengacu-menyusun karya-karya, menyuburkan amal-amal baik, mem-bangun jejaring dan mengolah dzikir-dzikir untuk ke-mashlahatan manusia Jawa.