Wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW berupa ayat 1-5 al ‘Alaq mengandung serangkaian inkonsistensi, kecuali jika kita membacanya dengan cermat. Sesungguhnya, perintah literasi ini sangatlah gemilang.
Pertama, Nabi Muhammad SAW dipahami secara literer sebagai orang yang tidak bisa membaca-menulis, ummiyy. “Maa ana bi qoori in”, jawab beliau tatkala Jibril memintanya, “Iqro yaa Muhammad!”. Lantas, mengapa Muhammad diminta untuk membaca? Oleh karena itu, janggal jika menganggap Muhammad sebagai buta-huruf.
Kedua, kata yang digunakan dalam perintah membaca itu adalah iqra, fiil amr dari qara a, yang sejatinya adalah fi’il muta’addi (kata kerja transitif) yang membutuhkan obyek. Namun, kita tidak menjumpainya. Yang ada, kita disodori langsung dengan kata adverbial, bi ismi rabbika, atas nama Tuhanmu.
Oleh karena itu, dalam inkonsistensi ketiga, serangkaian ayat dalam surat ini bahkan hingga akhir, sama sekali tidak menunjukkan kaitan langsung dengan dunia tulis-menulis, literasi berupa material buku-buku. Kecuali kata qolam, yang lazimnya diartikan sebagai pena. Dalam bentuk kata kerja, qallama, ia bisa digunakan untuk arti memotong, menutuh atau meranting, dan menggaris. Menggaris/menggores pada kayu untuk membuat tanda atau keterangan. Lalu kita mengenal istilah goresan pena, untuk maksud tertentu.
Tentu ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar anjuran mengenai pentingnya budaya baca (buku) sebagaimana yang dipahami selama ini. Lantas dimana letak kegemilangannya?
Allah melalui Jibril tidak menunjukkan secara definitif apa yang harus dibaca atau dipelajari, sebab demikian luas realitas alamiah yang telah dihamparkan di muka bumi ini untuk dapat ditafakkuri.
Kita dapat memahami bahwa perintah membaca itu tidak terbatas pada obye dk tertentu. Allah melalui Jibril tidak menunjukkan secara definitif apa yang harus dibaca atau dipelajari, sebab demikian luas realitas alamiah yang telah dihamparkan di muka bumi ini untuk dapat ditafakkuri; realitas diri yang harus dita’rif, dan realitas langit yang bisa ditadzakkuri.
Melalui redaksi alquran yang sangat sophisticated itu, kita diperintahkan untuk memahami jagad alit (dunia kecil) dan jagad gede (dunia besar) tempat dimana kita hidup di dalamnya. Memahami problem eksistensi diri sebagai eksistensi keilahiaan. Inilah nanti yang dinayatakan langsung oleh Nabi, sebagai man ‘arofa nafsah, faqod ‘arofa rabbah.
Apa yang diajarkan oleh Allah, melalui pengalaman wahyu pertama pada Muhammad saat berkhalwat di gua Hira’ itu tidak saja peristiwa epiphany, namun teophany, tatkala Muhammad dalam kematangan rata-rata usia manusia dibuka segenap inderanya untuk bisa menangkap realitas bumi dan realitas langit.
Renungkanlah bagaimana manusia diciptakan dari segumpal darah, suatu kenyataan yang sangat dekat dengan keberadaan diri yang maujud. Diri yang diciptakan. Mulailah dari situ. Bacalah, dan betapa Maha Pemurahnya Ia yang telah menciptakan itu semua. Membacanya, menyampaikannya kepada umat agar nantinya dapat dicatat, sebagai kebenaran yang terus menerus terwariskan. Alam raya adalah representasi (tajalli) dari Kebenaran itu sendiri (al Haqq).
Memahami diri sendiri adalah kunci memahami Tuhan yang maha mulia (al akram).
Memahami diri sendiri adalah kunci memahami Tuhan yang maha mulia (al akram). Diri manusia sebagai wadag (fisik) berupa segumpal darah dan manusia sebagai makhluk ruh yang mewadahi segenap jiwa: ada jiwa kebinatangan di dalamnya, jiwa iblis, dan jiwa malaikat. Perjalanan manusia menuju Tuhannya adalah dialektika tak berkesudahan di antara jiwa-jiwa itu. Hingga pada akhirnya menjadi diri yang lembut (aniiis, insaan) yang mampu mengontrol dan memenangkan pertarungan jiwa-jiwa itu sehingga menjadi jumeneng (muthmainnah) saat kembali kepada Sang Wujud.
Jadi, yang terpenting dari ajaran “membaca” dalam ayat-ayat di atas terletak pada motif pembacaan (aksiologi) yang diarahkan pada tujuan akhir keilahian. Oleh karena itu tidak perlu ragu mendalami apa(saja) yang bisa dibaca (ontologi) sepanjang semuanya ditundukkan pada motif mulia tersebut.
Alat yang digunakan untuk mencatat hasil bacaan tersebut juga tidak harus qolam, pena di atas kertas. Bahkan tidak harus tulisan itu sendiri, scripta, namun dapat melalui berbagai macam medium dan penciptaan. Salah satunya yang diajarkan adalah melalui laku atau tindakan, yakni akhlaq yang merupakan seakar kata dengan khalaqa: mencipta. Mencipta tatanan yang baik di Bumi Manusia. Ilmu dengan kandungan visi transformatif.
Pada gilirannya, dari pemahaman tersebut kita tidak lagi relevan membedakan adanya kategori ilmu agama dan ilmu umum, sakral dan profan. Sebab, semua dapat berdimensi agama sekaligus semua bisa pula sama sekali bukan agama. Ilmu pengetahuan yang diabdikan untuk menciptakan kedamaian, keadilan, pemuliaan pada segala makhluk dengan segenap keseimbangannya, betapa itu semua memiliki karakter agama yang nyata. Sebaliknya, sabda-sabda yang diambil dari kitab suci maupun aforisma dari perpustakaan akademia, tatkala ia disampaikan dan dimaksudkan untuk keangkuhan dan pembenaran diri, maka betapa jauhnya ia dari nilai agama dan keislaman.
Makna Literasi yang dikandung dalam firman di atas sebenarnya sangatlah luas, meski dengan penyajian yang padat. Rangkaian produksi-reproduksi antara keberlisanan, keterbacaan, ketertulisan, dan aksi atau akhlaq. Semuanya menjadi manunggal, sebentuk ilmu-amaliyah atau amal yang ilmiyah.
Orang Jawa menyebutnya, ilmu kalakune kanti laku. Literasi Khuluqiyyah.