Mencari Sarang Angin di Bawah Pohon Sawo: Mengenang Obrolan Bersama Iman Budhi Santosa

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 02.00 WIB. Hari sudah berganti tentu saja. Dini hari itu pria di depanku belum menunjukkan tanda-tanda akan mengakhiri pembicaraanya. Satu batang rokok terakhirnya ia ambil dan nyalakan lagi. Wis, tekan subuh iki. Sudahlah pasti bablas sampai subuh, pikirku.

Sastrawan Jawa ora mung saderma “pengarang” utawa “tukang ndongeng”. Nanging uga bisa madeg kayadene filsuf, guru, juru warta, talange kawruh, bocah angon, wong tani, abdi tumrap masarakat Jawa ing sadhengah papan,” ucapnya sambil menyemburkan asap rokoknya.

Beliau berkata kalau sastrawan Jawa bukan semata-mata “pengarang” atau “tukang dongeng”, tapi juga bisa berdiri seperti filsuf, guru, juru warta, talangnya pengetahuan, bocah penggembala, petani, abdi masyarakat di berbagai tempat. Pernyataan itu muncul untuk menjawab pertanyaanku, “Sebenarnya sastrawan Jawa itu yang bagaimana?”

Aku tentu saja punya alasan bertanya seperti itu. Entahlah walau sering menulis cerita berbahasa Jawa aku belum nyaman dipanggil sastrawan Jawa, julukan yang sering dilontarkan oleh teman-temanku. Bagiku itu sebutan yang berat. Aku merasa tirakatku belum sampai ke sana. Disebut penulis saja sudah cukup. Alasan kedua, aku merasa yang kutulis adalah cerita-cerita modern walau narasinya tetap menggunakan Bahasa Jawa, ditambah aku bukan lulusan Sastra Jawa atau Pendidikan Bahasa Jawa. Jawaban beliau menegaskan kalau sastrawan Jawa tidak terbatas sebagai profesi tunggal, aku menangkapnya begitu.

“He wong Jawa, golekana susuh angin galihe kangkung,” aduh apa lagi gini, Pak. Mencari susuh angin? Sarang angin? Galihe kangkung? Galih itu hati. Hatinya kangkung? Apakah hati itu biji? Inti? Bagaimana mencarinya? Aku menyembunyikan kebingunganku dengan melihat pohon sawo di halaman. Apakah di sana ada sarang? Tapi tentu saja kalaupun ada sarang ya sarang burung, bukan sarang angin. Terus angin sendiri bagaimana mencari sarangnya, orang ia sendiri tidak kasat mata begitu.

“Ya memang tak kasat mata, tapi tidak mustahil diwujudkan,” seperti membaca pikiranku, beliau berkata begitu. Beliau menerangkan untuk mencari galih kangkung diperlukan lelaku sampai pada suasana suwung (kosong) sehingga bisa mencapai dunung (mengerti dan merasakan). Kalau sedang kosong akan ada isi yang bertempat di situ, hanya tak kasat mata. Dalam hal sastra Jawa, sastrawan Jawa harus bisa mewujudkan yang tak kasat mata itu sehingga tetap bisa dinikmati oleh pembaca. Seperti rasa enaknya daging sapi, enaknya buah mangga, enaknya bayam, hanya bisa dirasakan oleh lidah, tapi bisa digambarkan melalui strategi adaptasi, transformasi, atau kolaborasi dalam karya sastra.

Penulis memang harus peka menjadi pengamat. Harus punya lelaku lebih. Beliau mencontohkan bedanya turis mancanegara dan turis domestik yang datang ke Yogya dengan tujuan yang berbeda. Turis domestik hanya ke Yogya untuk sekedar plesir, menyenangkan hati saja. Jalan-jalan ke kraton, Malioboro, Parangtritis, jajan bakso, bakpia atau souvenir bergambar ikon Yogya.  Niatnya memang hanya dolan, menyenangkan hati. Mereka tidak kepikiran untuk berkunjung ke museum, pameran seni, atau berkunjung ke kampung wisata yang menyelenggarakan event kebudayaan. Beda dengan turis mancanegara yang untuk ke Yogya saja butuh biaya yang tidak sedikit, jadi mereka memanfaatkan untuk mencari ilmu sebanyak-banyaknya tentang kebudayaan Jawa (Yogya). Mereka mempunyai tujuan lain selain plesir. Dua hal ini tidak ada yang salah. Ini seperti pilihan untuk sastrawan Jawa dalam menyajikan karyanya, apa mengajak merasakan dan belajar kebudayaan Jawa seperti yang dilakukan turis mancanegara atau hanya membuat karya turistik yang menyenangkan hati seperti yang dicari turis domestik. Tapi kembali lagi pada bahasan awal bahwa sastrawan Jawa bukan hanya juru dongeng, tapi bisa berdiri sebagai apa saja.

Dua hal ini tidak ada yang salah. Ini seperti pilihan untuk sastrawan Jawa dalam menyajikan karyanya, apa mengajak merasakan dan belajar kebudayaan Jawa seperti yang dilakukan turis mancanegara atau hanya membuat karya turistik yang menyenangkan hati seperti yang dicari turis domestik. Tapi kembali lagi pada bahasan awal bahwa sastrawan Jawa bukan hanya juru dongeng, tapi bisa berdiri sebagai apa saja.

Aku teringat satu cerita cekak-ku yang berjudul “Mbokmenawa Sliramu Lali”. Aku menulis tentang perempuan patah hati yang dikhianati kekasihnya (sebagian besar ceritaku memang begitu). Di situ aku membuat pasemon (ciri khas ceritaku memang hampir selalu mengandung pasemon dan othak-athik gathuk) tentang buah markisa dan burung. Khusus burung, hal ini terinspirasi dari ceritanya beliau. Cerita ini sudah dibukukan dalam bukunya berjudul “Pulung Gantung” yang beliau tulis bersama Wage Daksinarga. Beliau bercerita tentang kalong yang melakukan bunuh diri dengan mencakar-cakar dirinya sendiri. Sayap kalong tersebut terluka dan tentu saja ketika sembuh pun juga tidak bisa membuatnya terbang. Harga diri kalong ada di sayapnya, buat apa kalau tidak punya sayap, lebih baik mati. Cerita itu masih terekam dalam memoriku. Aku sering melihat burung yang ada di dalam sangkar. Ia masih punya sayap, tapi tetap tidak bisa terbang karena terkurung sangkar. Sepertinya tidak beda dengan manusia yang terkurung apa saja, bisa kekuasaan, pengaruh, aturan, atau apa saja yang membuatnya tidak bebas atau kehilangan harga diri. Dalam cerkakku aku menggambarkan burung yang ditembak orang, sayapnya terluka, si tokoh dalam cerita itu menolong burung itu dan mengobatinya. Tidak lupa untuk menghibur burung itu, mungkin ia tidak punya sayap lagi, tapi bukannya masih punya kaki? Ia masih bisa berjalan walau tidak bisa terbang. Hidup terkadang memang harus kompromi, tidak bisa selalu mengandalkan gengsi.

Dalam beberapa hal menurutku beliau seperti kalong atau burung itu. Gengsi dalam hal prinsip. Bahkan menurutku lumayan wangkal (keras kepala). Malam itu juga beliau “membantai” tulisan seorang sastrawan Jawa senior yang menurut beliau strukturnya masih seperti Bahasa Indonesia. Entah berapa jam dihabiskan untuk membedah satu paragraf saja. Aku nyengir dalam hati. Lha yang senior saja dibantai, apa kabar karyaku? Padahal beliau sudah membaca buku kumpulan cerkakku. Aku merasa bahwa sebenarnya beliau ingin nyemoni diriku tapi tidak langsung. Mungkin itu bentuk kompromi beliau dalam berkomunikasi denganku. Aku pun juga gengsi mengakui secara langsung bahwa tulisanku masih mawut walau dalam hati tetap mengamini kritikan beliau. Haha ternyata kami memang punya “sayap” masing-masing sebagai bentuk harga diri.

Mungkin itu bentuk kompromi beliau dalam berkomunikasi denganku. Aku pun juga gengsi mengakui secara langsung bahwa tulisanku masih mawut walau dalam hati tetap mengamini kritikan beliau. Haha ternyata kami memang punya “sayap” masing-masing sebagai bentuk harga diri.

Hari ini masih mendung dan berangin. Angin yang tidak tahu akan bersarang ke mana. Kutulis ceritaku ini setelah menyelesaikan tugasku “methiki” kangkung yang tak kutahu di mana intinya. Sejatinya mencari “susuh angin” dan “galih kangkung” memang dilakukan seumur hidup, diselami sepanjang hayat. Tidak cukup semalam saja di bawah pohon sawo yang tidak ada sarang burungnya.

“Saadoh-adohe anggonmu saba, aja lali marang susuhmu,” kalimat yang sering kutulis sebagai quote di halaman depan bukuku sebagai kenang-kenangan untuk teman. Sejauh-jauhnya kita berkelana pada akhirnya juga akan kembali ke sarang kita sendiri. Ah pengembaranmu sudah selesai, Rama Begawan, damailah dalam sarangmu.

Gondangrejo, 12 Desember 2020


Foto Dokumentasi PP Budaya Kaliopak

Impian Nopitasari
Pernah suka menulis yang ambyar-ambyar. Sebagian cerita ambyarnya bisa dibaca di kumpulan cerita cekaknya, Kembang Pasren (2017). Sekarang sedang menikmati kelahiran buku barunya, Si Jlitheng: Dongeng Bocah Abasa Jawa (2020).