Menyibak Malamatiyah dari Lubuk Peradaban

Abu ‘Abdurrahman al-Sulami dan Nur Kholik Ridwan. 2023. Tarekat dan Etika Malamatiyah. Yogyakarta: NDiko Publishing. 225 halaman.

Kehadiran Malamatiyah di Nusantara memang seperti bayangan: ada tapi tak jelas bentuk rupanya. Ia banyak dibicarakan sebagai sejenis tarekat yang paling awal memasuki tanah Jawa, lalu disusul Akmaliyah, baru kemudian marak tarekat-tarekat yang lain seperti Sattariyah, Naqsabandiyah, Qadiriyah dan sebagainya. Namun, sampai saat ini belum ada buku yang membahas secara khusus tentang tarekat ini, apalagi yang secara historis berkaitan dengan penyebaran Islam di Indonesia.

Oleh sebab itu, maka buku Tarekat dan Etika Malamatiyah yang disusun oleh Nur Kholik Ridwan ini ibarat babat hutan, menyibak Malamatiyah dari pertapaannya. Dalam hal ini, Nur Kholik mengambil karya Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami (937-1021 M) yang berjudul Risalah ‘an Malamatiyah, dan kemudian membahasnya menjadi lebih membumi untuk khalayak Indonesia. Oleh Nur Khalik, Risalah ‘an Malamatiyah dianggap sebagai kitab induk, “satu-satunya kitab yang secara panjang menjelaskan Malamatiyah, sementara kitab-kitab lain menjelaskannya dalam uraian yang pendek.” (hlm. iii).

Oleh Nur Khalik, Risalah ‘an Malamatiyah dianggap sebagai kitab induk, “satu-satunya kitab yang secara panjang menjelaskan Malamatiyah, sementara kitab-kitab lain menjelaskannya dalam uraian yang pendek.” (hlm. iii).

Nur Kholik Ridwan sendiri secara lahiriah adalah seorang penulis dan pengajar. Sebagai penulis, sudah puluhan buku yang sudah beliau terbitkan. Ketika muda, Nur Kholik banyak menulis buku perihal pemikiran, filsafat dan dunia pergerakan. Tentu saja ia bukan semata menulis sebagai pengamat. Nur Kholik muda adalah aktivis pergerakan yang terjun di jalanan dalam mendorong dan mengawal Indonesia dalam transisi reformasi. Namun, proses reformasi yang tidak mulus itulah yang menimbulkan kekecewaan yang sangat mendalam bagi banyak aktivis termasuk dirinya. Suatu momen yang membuatnya tenggelam dalam perenungan yang kian dalam, sehingga butuh upaya yang keras bertahun-tahun untuk mentas kembali.

Saat ini, ketika reformasi yang telah berlangsung lebih dua dekade rupanya tidak segera menampakkan fajar perbaikan bagi bangsa Indonesia, Nur Kholik semakin giat menulis dan berpergerakan dengan cara yang berbeda, istilah kerennya: ri’ayatul ummah. Ia juga seringkali menjadi “kawan” sekaligus guru bagi pemuda-pemuda yang masih aktif di dunia pergerakan dan kepenulisan. Anda juga bisa  ikut mengaji online rutinan di Youtube, NKR Channel. Di tengah kesibukannya itu, rupanya tidak membuat Nur Kholik berhenti dari kebiasaan menulis, selain malah semakin produktif. Berbagai buku “babon” beliau hasilkan, khususnya yang berkaitan dengan sejarah Islam dan tasawuf. Sehingga, dengan membaca buku ini Anda bisa merasakan pendar ilmu dari Nur Kholik Ridwan sebagai “Kiai Kholik”.

Risalah Malamatiyah

Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama adalah Risalah ‘an Malamatiyah karya Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami. Sementara bagian kedua, ketiga dan keempat berisi pembahasan Kiai Kholik secara khusus tentang Syekh al-Sulami dan Risalah-nya dalam kecendekiaan tasawuf, lalu lebih luas tentang Malamatiyah dan terakhir upaya pembumian nilai-nilai Malamatiyah dalam masyarakat secara lebih luas.

Penerjemahan Risalah an Malamatiyah dilakukan oleh Imam Nawawi, pemuda yang banyak terlibat dalam penerjemahan kitab-kitab penting. Penerjemahan kitab ini juga sangat penting karena memang belum ada yang menerjemahkan buku induk Malamatiyah dalam konteks pembaca Indonesia.

Risalah ‘an Malamatiyah secara ringkas berisi pembagian tiga kelompok pengampu ahwal batin, lalu perkataan para syekh terkait Malamatiyah, dan terakhir wasiat-wasiat menempuh jalan Malamatiyah yang berjumlah 45 butir. Guru-guru Malamatiyah di situ disebutkan seperti Abu Hafs al-Nisaburi, Hamdun al-Qashar, Abdullah bin Mubarak, Yahya bin Mu’adz, Abu Yazid al-Busthomi, Abdullah bin Khayyat, dan seterusnya.

Dalam wasiat-wasiat menempuh jalan Malamatiyah, nampak jelas bahwa itu adalah jalan yang keras nan sulit dilalui. Misalnya, dalam wasiat ke-1, bahwa berbangga sedikit saja atas ibadah lahiriyah disebut sebagai kesyirikan, sementara berbangga atas ahwal batin adalah kemurtadan, maksudnya keluar dari jalan Malamatiyah. (hal. 24). Wasiat-wasiat selanjutnya sampai butir ke-45 juga tidak kalah kerasnya, seperti pantang meminta kemuliaan, selalu mawas diri terhadap nafsu, kesadaran bahwa setiap mukmin tak pernah memiliki dirinya sendiri, mengingat kematian sebagai rumah sejati, khawatir ketika doanya selalu dikabulkan Allah, menutup aib orang lain, tidak suka dilayani dan dihormati, dan seterusnya.

Dalam wasiat ke-1, bahwa berbangga sedikit saja atas ibadah lahiriyah disebut sebagai kesyirikan, sementara berbangga atas ahwal batin adalah kemurtadan…

Adapun tiga bagian selebihnya adalah tulisan Kiai Kholik yang membahas Malamatiyah dalam konteks lebih luas. Dimulai dari pembahasan tentang Risalah, telaah historis tentang kemunculan Malamatiyah khususnya di wilayah Nisabur, Khurasan, hingga bagaimana Malamatiyah bisa dijadikan suatu inspirasi untuk mendorong tatanan masyarakat yang sehat dan seimbang.

Menyibak Malamatiyah

Penyematan istilah Malamatiyah atau Malamiyah berasal dari upaya malamatun-nafs atau mencela atau mengecam nafsu. (hal. 91). Maksud kecaman atau celaan terhadap nafsu ini adalah upaya pembersihan dari perangai yang kotor, ilmu-ilmu yang kotor, “sehingga kecaman itu pada dasarnya adalah mengasah, kemudian nafs perlu diasuh-diasihi.” (hal. 91). Pada praktiknya, untuk tetap terus menjalin hubungan khusus dengan Allah, pelaku Malamatiyah mensituasikan diri agar jangan sampai nampak mulia di mata manusia.

Namun, sebagaimana dikupas dalam buku ini, penggunaan Malamatiyah atau Malamiyah rupanya berbeda-beda. Ada yang menyebut sebagai suatu tarekat, sebagian lagi sebagai suatu madzhab dalam jalan spiritual, sebagian lagi merujuk pada suatu akhlak tertentu, dan ada yang menyebutnya sebagai suatu tertentu dalam tasawuf. (hal. 93-94). Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada lagi maqam di atasnya kecuali kenabian. Salah satu tandanya, menurut Ibn Arabi, adalah mereka tidak dikenal khalayak sebagai ahli ibadah, tapi tak pernah melanggar hal-hal yang diharamkan Allah. (hal. 94).

Ibn Arabi misalnya, dalam al-Futuhat al-Makkiyah, menyebutnya sebagai maqam qurbah, maqam tertinggi dalam kewalian yang mana tiada lagi maqam di atasnya kecuali kenabian.

Malamatiyah sejauh ini dianggap berkembang di Nisabur, Khurasan, khususnya pada era dinasti Abbasiyah. Khurasan-Nisabur adalah suatu wilayah Islam bagian Timur yang terus mengalami pergolakan. Selain itu, wilayah ini juga mengalami persinggungan budaya yang kuat dengan tradisi kebatinan setempat karena memang, meminjam istilah James Matisoff, merupakan wilayah Indosphere di mana tradisi kebatinan Hindu-Buddha pernah bergumul dengan Zoroaster. Di wilayah ini pulalah yang menjadi tempat Syekh Abu Abdurrahman al-Sulami tinggal.

Sementara itu, banyak teori tentang masuknya Islam di Nusantara lewat jalur Persia-Khurasan-Gujarat. Beberapa jejaknya bisa kita kenali, misalnya dari karya-karya ulama Nusantara klasik yang mengutip Bahasa Persia tentang ungkapan-ungkapan sufistik, misalnya yang dilakukan Hamzah Fansuri dalam kitab Syarabul ‘Asyiqin. Selain itu, pengajaran huruf Hijaiyah dengan ungkapan “alif zabar ‘a’, alif jer ‘i’, alif pes ‘u’” masih dikenali pada era nenek saya sendiri ketika mengaji waktu kecil.

Jadi, bagaimana pun Nusantara termasuk Indosphere, di mana pengaruh indianisasi sangat kuat pada masa silam bahkan bisa kita kenali jejaknya hingga sekarang, baik arkeologis atau kultural. Ini persis sebagaimana wilayah Khurasan yang juga tak kalah kuat dalam mengalami indianisasi. Sehingga wajar saja jika suatu jenis tarekat atau laku beragama yang berkembang di Khurasan kemudian masuk ke Nusantara karena kemiripan kultural.

Sayangnya, buku ini kurang memberi ruang telaah historis mengenai perkembangan Malamatiyah hingga bagaimana memasuki wilayah Nusantara. Padahal, banyak cerita tentang laku keberagamaan para wali di Nusantara seperti menunjukkan kemiripan dengan laku Malamatiyah sebagaimana dijelaskan dalam buku ini. Mungkin saja Kiai Kholik hendak menulis buku kelanjutannya.

Meski begitu, buku ini menjadi sangat penting bagi para pengkaji dan pegiat tasawuf sebab langsung membahas Malamatiyah dari kitab induknya. Jadi, misteri tentang tarekat Malamatiyah relatif tersibak dari rimba desas-desus yang menyelimutinya selama ini.