Menziarahi Makam Mencandra Jalan Pulang: Soerjopranoto Dalam Sebuah Pertunjukan
Suasana senja di kompleks pemakaman Rahmat Jati, Gambiran, Kotagede, (8/12/2024) tidak seperti biasanya. Tidak ada kabar kematian, apalagi hiruk pikuk para penggali kubur untuk menyiapkan...
Suasana senja di kompleks pemakaman Rahmat Jati, Gambiran, Kotagede, (8/12/2024) tidak seperti biasanya. Tidak ada kabar kematian, apalagi hiruk pikuk para penggali kubur untuk menyiapkan pemakaman. Layaknya sebuah pemakaman, kesibukan paling dramatis adalah mengantarkan jenazah ke liang pemakaman. Namun, sore itu bukan iring-iringan para pelayat yang membuat sibuk pemakaman. Tetapi, gelaran pentas teater tampaknya akan menjadi pemandangan lain di kompleks pemakaman yang bersejarah itu.
Pada sisi Barat kompleks pemakaman yang cukup luas itu, tepat di pintu masuk sebelah Barat terdapat area makam keluarga salah satu tokoh pahlawan nasional. Adalah Soerjopranoto, seorang tokoh penting pergerakan nasional, pembela kaum buruh musuh utama kolonial bersemayam tenang di area makam itu. Lalu, di Area yang tidak begitu luas tersebut, beberapa orang mulai sibuk dengan berbagai persiapan pementasan. Sebuah tenda lengkap dengan panggung kecil berdiri menghadap ke Utara. Tidak lupa gelaran tikar memanjang seperti telah siap menyambut para tamu yang datang.
Kompleks pemakaman Rahmat Jati Gambiran, Kotagede memang diyakini sebagai kompleks pemakaman tua yang sudah ada sejak abad ke-16. Hal ini dibuktikan, di sebelah timur pemakaman ini, terdapat makam Ki Juru Kithing. Seorang arif sekaligus hakim di masa Panembahan Senopati, raja pertama yang membuka alas Mentaok menjadi pusat peradaban Mataram Islam pertama. Keberadaan pohon Nogosari, sebuah pohon yang pertumbuhannya melalui proses berabad-abad itu, bisa menjadi bukti lainnya yang menunjukan bahwa kompleks makam ini sudah memiliki sejarah panjang. Maka tidak salah, kenapa Soerjopranoto seorang pangeran dari Pakualaman itu memilih peristirahatan terakhirnya di kompleks makam ini.
Sore itu sebuah pertunjukan teater akan segera dimulai di area gerbang pintu masuk pemakaman Soerjopranoto. Iya, sebuah peristiwa pertunjukan teater akan mengambil setting tempat di halaman makam yang tidak begitu luas tersebut. Tentu, hal ini tidak seperti pertunjukan teater pada umumnya. Ketika pertunjukan teater biasa di sebuah gedung dengan tata cahaya yang memukau. Jelas dalam pertunjukan kali ini, anda tidak akan menemukan itu semua. Mengambil setting alam terbuka, menjadikan situs makam sebagai objek utamanya. Pertunjukan dengan judul “Merapal Piwulang Sampai Pulang,” yang disutradarai oleh Amalia Rizqi Fitriani ini akan segera berlangsung.
Pertunjukan tepat berada di pintu masuk Makam Rahmadjati, Gambiran, Kotagedhe (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya)
Mengambil konsep bentuk teater “site-specific” yaitu bentuk teater yang dipentaskan dalam tempat lokasi yang unik, dan adaptasi khusus. Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah. Bentuk ini dipilih sebagai tawaran baru, untuk sebuah proyek teater kepahlawanan yang disponsori Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia. Karena melalui pendekatan inilah, jejak historis para tokoh pahlawan lebih bisa dirasakan. Penonton diajak secara lebih dekat untuk terlibat menyusuri situs-situs penting jejak sang tokoh pahlawan nasional itu ada. Lalu melalui peristiwa pertunjukan teater ini juga, tokoh pahlawan dengan segala nilai-nilainya dihidupkan dan diinterpretasikan ulang.
Pertunjukan teater yang merupakan rangkaian dari 5 pertunjukan lainnya ini, bertajuk Soerjopranoto: 6 Tubuh Si Raja Mogok. Proyek teater ini, mencoba mengaktivasi biografi dan peristiwa Soerjopranoto di 6 situs di Yogyakarta dengan berbagai pendekatan artistik mulai dari partisipatoris, spekulasi fiksi, aktivasi arsip dan reenactment sejarah.
Ziarah Dalam Ritus Pertunjukan
Dalam bayang-bayang langit yang mulai mendung, pertunjukan sore itu akan segera digelar. Para penonton yang sejak dari pagi berkeliling ke situs-situs sejarah hidup Soerjopranoto, sudah memasuki gang kecil arah makam Pahlawan Nasional RM Soerjopranoto. Beberapa pemain musik, dibawah penata musik Jenar Kidjing mulai memainkan satu instrumen, tembang kinanthi. Sebuah tembang dalam metrum macapat yang mempunyai 11 taembang dengan nada berbeda, mempunyai makna perjalanan sangkan paran dumadi: dari mana manusia berasal dan akan kemana ia berpulang. Tokoh juru kunci (Abdusshomad) berpakaian Jawa lengkap, menyambut para tamu penonton yang datang dengan ramah. Mereka dipersilahkan duduk di tikar yang sudah disediakan. Mengambil konsep ziarah sebagai bentuk pertunjukan dengan artistik gelaran pengajian di kampung-kampung, dengan penonton menghadap ke Selatan dan panggung kecil ke Utara, peristiwa teater sore itu dibuka.
Abdusshomad, berperan menjadi juru kunci, sedang memberi bingkisan berupa “ijazah” kepada penonton (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Juru kunci makam kemudian menjelaskan perihal tata cara dan adab ketika ziarah ke makam. Sambil terus diiringi suara sayu gamelan, juru kunci menekankan pentingnya tujuan dan maksud kita ziarah. Lalu ia menjelaskan bahwa niat pertama kita adalah, pertama untuk merefleksikan perjuangan eyang Soerjopranoto dan mendoakan beliau. Tidak hanya itu, sang juru kunci juga menitipkan beberapa pesan khusus bagi para peziarah (penonton) yang datang. Salah satunya adalah para peziarah dimohon menata niat yang baik, bersih, murni, dan tidak diperkenankan memohon selain kepada Allah. Peziarah juga diminta melepas alas kaki ketika masuk ke makam. Tidak membuat gaduh, dan mengucapkan kata-kata kotor. Serta bagi para perempuan yang datang bulan diminta tidak masuk ke dalam makam.
Tradisi ziarah sendiri sebenarnya sudah jauh ada dalam khasanah kebudayaan masyarakat Jawa lebih luas Nusantara. Bahkan hampir agama-agama di Indonesia mempunyai tradisi ziarah dengan berbagai variasi bentuknya. Sedangkan dalam kultur Jawa-Islam, ziarah menjadi ritus daur hidup sebagai upaya menyambung konektivitas seseorang dengan leluhurnya yang sudah meninggal. Tidak hanya itu, ziarah juga dinyakini sebagai upaya untuk ngalap berkah sekaligus untuk mengingat kematian. Karena hanya dengan mengingat kematian, manusia bisa punya kesadaran bahwa hidup di dunia ada limitasi-nya. Dari kesadaran itulah diharapkan timbul pemahaman untuk tidak berlebih-lebihan. Pepatah Jawa menyebutkan, “Urip mung mampir ngombe,” artinya hidup di dunia hanya mampir minum. Karena yang abadi adalah kehidupan setelah kematian itu sendiri. Sedangkan dalam keyakinan muslim Jawa-Islam, dengan kita berdoa ke makam orang-orang suci yang sudah meninggal, kita bisa berwasilah (menggunakan orang-orang suci sebagai perantara untuk mengabulkan doa-doa kita yang dipanjatkan kepada Gusti Allah SWT). Penting dicatat, bahwa dalam kesadaran muslim Jawa ziarah adalah upaya mengingat jasa para leluhur dan tidak diperkenankan meminta kepada arwah orang yang dikuburkan. Karena satu-satunya permintaan hanya bisa ditujukan kepada Tuhan, Allah SWT.
Lalu, selepas juru kunci menjelaskan tata cara ziarah, dan rangkaian peristiwa yang akan diadakan pada sore itu. Acara berlanjut pada performer lecture atau mudahnya kita bisa sebut sebagai ceramah oleh kiai muda Yogyakarta yaitu Gus Yaser Arafat. Layaknya ceramah agama pada umumnya, Gus Yaser yang juga seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga sekaligus peneliti makam dan nisan-nisan ini, duduk bersila membelakangi pemain musik, dan menghadap penonton.
Gus Yaser Arafat memberi ceramah di panggung utama didampingi Gus Rendra Bagus Pamungkas (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Sore itu Gus Yaser menjelaskan banyak hal tentang kiprah semasa hidup Soerjopranoto. Tidak kurang hampir selama 15 menit, dalam ceramahnya, ia menjelaskan perihal keutamaan eyang Soerjopranoto. Membabar sejarah singkat, kemudian mengilustrasikan peran dan sikap kakak kandung Ki Hajar Dewantara itu semasa beliau masih ada. Ia menjelaskan bahwa Soerjopranoto adalah sosok yang memiliki rasa welas asih yang tinggi. Dengan keteguhan sikapnya, Soerjopranoto berupaya mengangkat harkat martabat wong cilik dalam belenggu kolonialisme Belanda pada saat itu. Hal itu dibuktikan dengan beberapa agenda sosial yang beliau dirikan melalui, koperasi Mardhi Kaskaya, sekolah Adhi Dharma dan peran sosialnya untuk menyuarakan protes terhadap hak-hak buruh di masa penjajahan.
Tidak hanya itu, masih dengan alunan gamelan tipis. Gus Yaser menjelaskan perihal makna “tapa mandita” yang dijalankan Soerjopranoto di masa tuanya. Layaknya orang Jawa yang arif pada umumnya, kehidupan masa tua selalu dipersiapkan dengan sebaik baiknya. Tapa mandita bisa dipahami sebagai upaya seseorang mengambil jarak dengan kenyataan dunia, dan berupaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia. Namun manusia hanya melanjutkan perjalanan selanjutnya yaitu bertamu sekaligus bertamu kepada Gustinya, yaitu Allah SWT. Manusia berganti alam, dari alam jasmani menuju alam rohani (barzah), sebagai sumber keabadian.
Biasanya seorang ketika sudah menginjak umur 50 tahun, dalam kesadaran orang Jawa, layaknya ia mempersiapkan diri untuk pulang kembali ke pangkuan Tuhan. Maka ungkapan yang muncul, jika kita mendengar siaran kematian di masjid-masjid di Jawa bahasa yang digunakan adalah “sowan marang Gusti Allah.” Dalam hal ini ungkapan “sowan” menandakan bahwa kematian seseorang bukanlah ujung dari perjalanan manusia.
Dalam lanskap kesadaran seperti itulah, Soerjopranoto seperti dijelaskan oleh Gus Yaser menghabiskan masa tuanya. Selain lebih banyak mendekatkan diri kepada Tuhan. Soerjopranoto juga lebih banyak menghabiskan waktunya di masa itu untuk memperdalam ilmu agama. Menuliskan beberapa artikel yang bernuansa sufistik (Jawa-Islam).
Lalu tiba-tiba suasana menjadi hening. Gus Rendra Bagus Pamungkas yang berada di samping Gus Yaser, tiba-tiba melantunkan salah satu teks Soerjopranoto tentang makna eksistensialisme Tuhan. Dengan teknik pembacaan “sulukan” layaknya paradalang wayang kulit Jawa, aktor kenamaan Yogyakarta itu, mengajak penonton untuk merenungi kembali eksistensi Gusti Allah dalam kehidupan.
“Allah ana opo ora?
Ana kang celathu Allah ora ono. Ana kang celathu Allah ana.
Wong-wong kang celathu Allah ora ono lan wong kang celathu Allah iku ana pada ora ngerti apa kang dimaksud Allah iku.
Becike sadurunge anggunem prakara Allah ditakoni iku apa ta.”
Begitu teks yang dibacakan Gus Rendra, dinukil dari tulisan eyang Soerjopranoto.
Selepas Gus Rendra membacakan teks tersebut, Gus Yaser menyambungnya dengan salah satu teks ayat dari Al Quran. Dengan bacaan Al Quran langgam Jawa, suara merdu Gus Yaser mengheningkan suasana.
“Jaa ajjuhan-naasu ‘buduu Rabba Kum’
Wa laa tusjrikun bihii sjai-aa
Ud ‘uunii istadjib lakum
Wasjkuruu lii wa laa takfuruun
La illaha illallah.”
(Wahai manusia, sembahlah Tuhanmu).
(Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukannya).
(Berdoalah kepadaKu, niscaya aku perkenankan bagimu, “apa yang kamu harapkan”).
(Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepadaku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku).
(Bahwa sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah).
Sosok boneke menyerupai Semar muncul mengiringi peziarah memasuki makam Soerjopranoto (Foto Dokumentasi Tim Media Sakatoya).
Dengan nada dan tensi yang mengguratkan emosi, suara tahlil menggema di area makam. Yang mengejutkan, dua sosok boneka semar muncul dari belakang panggung dan penonton. Bentuk boneka replika semar itu, berjalan ke arah panggung dengan membawa bunga setaman. Lalu dua sosok semar, membersamai Gus Yaser dan Gus Rendra diiringi para hadirin yang datang untuk berziarah ke Makam Soerjopranoto. Diiringi suara tahlil yang berbalut gamelan Jawa yang anggun, mereka mulai berjalan tanpa alas kaki menuju makam. Puluhan bunga dibungkus daun pisang sudah disiapkan. Para peserta ziarah yang lebih dari seratus orang mulai mengantri bergantian memasuki makam. Mereka diajak merasakan suasana haru mengunjungi makam eyang Soerjopranoto, lalu seketika doa-doa baik mulai dirapalkan.
Tidak lama berselang, saat para penonton bergantian memasuki makam, hujan mulai turun. Beberapa panitia mulai kelimpungan mengamankan suasana, jas hujan mulai disebar. Mendung yang sejak awal mengawal pertunjukan ini akhirnya menurunkan keberkahannya. Hebatnya tidak ada yang mengelak dari air hujan, semua tetap bertahan mengikuti pentas yang sudah memasuki adegan pungkasnya.
Selepas semua penonton memasuki makam untuk ziarah dan menabur bunga, pertunjukan usai. Tidak ada selebrasi yang mengesankan, hanya ada perkenalan kecil dan kru pertunjukan. BM Anggana sebagai produser rangkaian pertunjukan Soerjopranoto: 6 Tubuh si Raja Mogok dari Komunitas Sakatoya mengambil nafas panjang, lega. Ia memperkenalkan tim dibalik peristiwa teater kepahlawanan yang tidak biasa tersebut. “Semoga rangkaian pertunjukan selama 6 hari ini, dapat benar-benar kita ambil pelajaran dari sejarah perjuangan Soerjopranoto, hingga bisa kita teruskan kedepannya,” Tegas BM Anggana.
Penikmat kajian seni dan budaya. Aktif di Pesantren Budaya Kaliopak dan langgar.co. Dan sekarang mengembangkan homeles media Skenu. Sambil tetap mencari teman dalam beberapa festival literasi di Yogyakarta. Ia Bisa disapa via Twiter @doelrohim961 Ig: Doel_96