DONASI

Nusantara Berkaca: Priyayi, Mandarin dan Samurai

Semua tahu, amnesia sejarah adalah suatu penyakit yang amat mematikan. Ibarat peradaban punya tangga yang harus dilalui untuk mencapai puncak, suatu bangsa butuh berpijak dari...

ESAI | TUESDAY, 26 OCTOBER 2021 | 13:50 WIB

Semua tahu, amnesia sejarah adalah suatu penyakit yang amat mematikan. Ibarat peradaban punya tangga yang harus dilalui untuk mencapai puncak, suatu bangsa butuh berpijak dari tangga sebelumnya untuk bisa beranjak lebih maju atau lebih tinggi. Maka, bangsa yang mengalami amnesia sejarah artinya tidak punya pijakan sehingga kejatuhan adalah keniscayaan.

Tangga peradaban itu biasanya disebut pengetahuan. Proses manusia untuk berpengetahuan itu lalu dilembagakan, yang saat ini kita kenal dengan sekolah. Sebelumnya, pada masa silam Nusantara, kita mengenal namanya padepokan yang berada di tanah perdikan di mana para murid digembleng oleh guru untuk menjadi aktor-aktor penentu jalannya kerajaan. Padepokan itu kemudian berlanjut menjadi pesantren ketika Nusantara kemasukan model pengetahuan baru, sebagaimana pesantren Gebang Tinatar yang menjadi kancah bagi calon-calon pujangga atau ksatria yang menjadi inti kepemimpinan kerajaan Mataram.

Namun, ketika Mataram perlahan terdesak ke dalam dan lumpuh oleh kolonial Belanda usai kekalahan dalam perang Jawa, pesantren kemudian tercerai dengan pusat kerajaan. Selanjutnya, rezim kolonial membentuk model sekolahnya sendiri sesuai dengan kepentingannya yakni regenerasi perangkat kolonial, yang dikenal dalam paket politik balas budi itu. Dari sini lahir priyayi. Jadi, priyayi adalah kelas sosial tersendiri yang kehadirannya menjadi “penjajah perantara” dalam kekuasaan kolonial.

Ketika Indonesia diproklamirkan, rakyat jajahan bertekad bulat untuk terlahir jadi manusia baru, manusia merdeka, menjadi warga negara Indonesia. Di Surabaya, tekad itu menjadi sumpah “merdeka atau mati,” dan menegaskan garis perang pada penjajah yang hendak merebut (kembali) wilayah jajahannya. Sehingga meletuslah pertempuran November, di mana warga yang bergerak dalam kelaskaran menghalau pasukan Sekutu yang menduduki kota itu dengan dalih pelucutan pasukan Jepang. Sementara rakyat berjibaku dengan peperangan, para priyayi produk kolonial rebutan kekuasaan, dan demi kadar kepantasan, perebutan itu mengatasnamakan aneka ideologi. Ada Islam, nasionalisme, marxisme, dan sebagainya. Sehingga bayi republik yang baru lahir sudah harus disibukkan dengan aneka peristiwa melelahkan, seperti Madiun 1948, DI TII, Oktober 52, PRRI/Permesta, dan seterusnya, hingga ditutup dengan tumpes kelor 1965.

Sementara rakyat berjibaku dengan peperangan, para priyayi produk kolonial rebutan kekuasaan, dan demi kadar kepantasan, perebutan itu mengatasnamakan aneka ideologi. Ada Islam, nasionalisme, marxisme, dan sebagainya. Sehingga bayi republik yang baru lahir sudah harus disibukkan dengan aneka peristiwa melelahkan, seperti Madiun 1948, DI TII, Oktober 52, PRRI/Permesta, dan seterusnya, hingga ditutup dengan tumpes kelor 1965.

Orde Baru kemudian menjadi fase kolonialisasi ulang secara internal dengan pengembalian struktur warisan kolonial, yang sebelumnya sempat digoncang dalam masa revolusi (1945-1949) dan masa “revolusi belum selesai”, di mana para priyayi yang menjadi penjajah perantara baik yang militer maupun teknokrat kemudian menjadi warga kelas satu, sementara rakyat tetaplah rakyat jelata sebagaimana zaman Hindia Belanda.

Mengulang negara kolonial yang begitu berkuasa terhadap rakyat jelata tapi lemah terhadap dunia luar, seperti penyerahan begitu saja tanpa perlawanan pada pasukan Jepang; rezim Orde Baru yang juga begitu gagah perkasa terhadap rakyat rupanya begitu rapuh sehingga harus roboh dihempas badai finansial global. Kejatuhan Orde Baru kemudian dinamai reformasi 1998, yang isinya adalah negara semakin tergerogoti oleh privatisasi dan desentralisasi, yang semakin membuat dirinya tak punya daya apapun selain menjadi suatu alat belaka bagi dunia usaha. Di titik ini kita bisa melihat, negara yang idealnya adalah suatu representasi dari publik ala res publica, menjadi alat belaka bagi modal untuk melanggengkan dirinya. Mengapa itu bisa terjadi?

Saya hendak menawarkan suatu pembacaan atas dunia luar, khususnya Jepang dan Tiongkok. Keduanya adalah negara Asia yang mampu menaiki tangga peradaban meskipun harus melalui proses yang berdarah-darah, sehingga saat ini mampu berdiri tegak pada abad ini, sebagai bangsa yang bermartabat. Ini semacam kaca untuk bercermin, siapa tahu kita bisa melihat diri kita.

Jepang

Titik krusial dalam sejarah Jepang dalam kemajuan negaranya itu adalah Restorasi Meiji (1866-1969). Pemantiknya adalah ketika kapal Amerika Serikat Matthew C. Perry yang memaksa Jepang membuka diri, membuat Jepang menyadari betapa politik isolasionis yang diterapkan Keshogunan Tokugawa sebagai penguasa de facto, membuat negeri Sakura itu begitu tertinggal. Maka atas dukungan aliansi Sat-cho yang dicetuskan Sakamoto Ryoma, kemudian berhasil menggusur Keshogunan Tokugawa (1603-1876) dan mengembalikan wewenang penuh pada kaisar.

Modernisasi Jepang kemudian dilangsungkan dalam berbagai aspek, salah satunya dalam ranah pendidikan misalnya misi Iwakura (1871) yang mengirim para pelajar Jepang untuk menimba ilmu dan pulang membangun Jepang. Maka saat itu pendidikan dengan kurikulum kebarat-baratan merebak, namun pada 1890, ajaran konfusianisme dan Shinto tradisional kembali ditekankan, sebagaimana kemunculan jargon “etika Jepang, ilmu Barat”. Adapun nilai-nilai bushido warisan samurai yang salah satunya yang berupa kepatuhan kaum samurai pada para daimyo (kaum feodal) dibawah keshogunan, kemudian digeser pada negara/kaisar.

Maka saat itu pendidikan dengan kurikulum kebarat-baratan merebak, namun pada 1890, ajaran konfusianisme dan Shinto tradisional kembali ditekankan, sebagaimana kemunculan jargon “etika Jepang, ilmu Barat”.

Kelas samurai, sejak itu, secara formal memang dihapus, terutama seiring kaisar membentuk tentara modern profesional. Namun, para samurai muda khususnya, karena mereka memang kelas terdidik, banyak beralih profesi menjadi bisnisman, penulis, wartawan, pejabat pemerintah, dan sebagainya. Berbagai perusahaan mereka dirikan, seperti surat kabar, atau otomotif. Mitsubishi, misalnya, adalah perusahaan yang didirikan samurai. Sehingga, menurut riset tahun 1929, 35% dari bisnisman besar negara itu adalah dari keluarga samurai.

Keberhasilan Restorasi Meiji membuat Jepang menjadi negara Asia yang setara dengan Barat. Bahkan, ketika pada 1930an Barat diguncang krisis yang dikenal dengan malaise atau di Jawa disebut jaman meleset, Jepang dengan keiretsu-nya, semakin kokoh sebagai negara industri pertama di Asia. Suatu kemajuan itu membuat Jepang adigang adigung adiguna dan hendak mencaplok benua Asia pada pertengahan abad ke-20.

Politik kolonialisasi militer Jepang dalam waktu singkat dihentikan usai kekalahannya dalam perang Dunia ke-2. Jepang yang remuk redam akibat kalah perang dengan menyedihkan setelah banyak rakyatnya tewas dijatuhi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, di bawah pimpinan kaisar melakukan konsolidasi ulang demi kebangkitan negaranya. Dan, hanya dalam waktu 20 tahunan yakni tahun 1970an, Jepang mampu menjadi penguasa otomotif dunia, menggeser posisi Amerika Serikat.

Di Indonesia, penetrasi modal (dan produk) Jepang yang sebelumnya memang sudah dirintis pengusaha Yakuza pada era Orde Lama dengan memanfaatkan seorang geisha Naoko Nemoto yang kemudian diperistri Soekarno dan namanya menjadi Ratna Sari Dewi, pada tahun 1970an berhasil membuat geger negara ini sebab berlangsung perebutan “wilayah kekuasaan” dengan Amerika Serikat, yang menjadi partner awal Orde Baru. Di jalanan, peristiwa itu dikenal dengan Malari 1974. Sejak itulah, Soeharto yang memang sempat besar dalam alam kolonial Jepang (1942-1945) ketika dalam barisan PETA, mencoba meniru sistem keiretsu yang ujudnya malah jadi kapitalisme kroni.

Tiongkok

Abad ini, Tiongkok adalah negara yang mampu menggetarkan dunia yang sebentar lagi bakal menggeser kedudukan Amerika Serikat sebagai negara adikuasa. Suatu yang tak terbayangkan pada 40an tahun yang lalu, ketika Deng Xiaoping memulai gerakan reformasi dan keterbukaan yang dikenal dengan Gaige Kaifang (1978).

Pada 1980 GDP perkapita Tiongkok hanya $ 196.44, setara dengan Malawi, negara miskin di Afrika pada waktu yang sama. Sementara waktu itu, GDP perkapita Indonesia $ 491.44, alias tiga kali lipat negeri panda itu, sehingga saat itu Indonesia dijuluki sebagai the tiger of Asia.

Namun, 40 tahun kemudian, sementara pada tahun 2020 GDP perkapita Indonesia hanya naik kurang dari 8 kali lipat dibanding tahun 1980, yakni $3.869,59, Tiongkok naik drastis menjadi $ 12,263.471 alias 62 kali lipat! Bisa saja orang mengelak bahwa GDP perkapita tak menunjukkan kesejahteraan seluruh warganya. Namun, bagi negara sosialis, kesenjangan adalah sesuatu yang “tabu”, sehingga Xi Jinping yang memimpin Tiongkok sejak 2012, pada acara  peringatan 100 tahun PKT pada 2021, menegaskan, “Kemakmuran bersama adalah kemakmuran seluruh warga, bukan kemakmuran segelintir orang.” Selain itu, “kemiskinan Tiongkok harus sudah terhapus pada 2022.”

Di titik itu, Indonesia yang tercengang dengan kemajuan Tiongkok, sementara sebagian kaum inteleknya bermimpi di siang bolong Indonesia bisa seperti Tiongkok (sebagian berharap mendapat cipratan beasiswa dan belajar sambil melancong di negara itu), pemimpin politiknya dengan tidak tahu malu sibuk cari utang pada negara itu. Persis mengulang yang dialami Orde Baru!

Mimpi menjadi maju seperti Tiongkok tentu tidak salah.  Namun, Tiongkok bisa seperti itu karena proses sejarah yang panjang dan berdarah-darah, yang punya perbedaan mendasar dengan yang tidak dialami Indonesia.

Tiongkok adalah negara yang dengan sejarah 5000 tahun silam sejak dinasti Xia. Pada era dinasti Zhou 2500 tahun yang lalu, “falsafah” Tiongkok berkembang pesat dengan penyusunan ajaran-ajaran Konfusius dan dijadikan nilai-nilai masyarakat, juga menjadi kebijakan kenegaraan. Salah satu yang diterapkan kerajaan adalah ajaran dimana “hanya mereka yang ahli yang berhak memegang jabatan pemerintahan, tak peduli asalnya dari keluarga petani, pedagang, atau yang lainnya.” Suatu gagasan progresif pada zamannya, yang kini dikenal dengan meritokrasi.

Tiongkok adalah negara yang dengan sejarah 5000 tahun silam sejak dinasti Xia. Pada era dinasti Zhou 2500 tahun yang lalu, “falsafah” Tiongkok berkembang pesat dengan penyusunan ajaran-ajaran Konfusius dan dijadikan nilai-nilai masyarakat, juga menjadi kebijakan kenegaraan

Hasil dari meritokrasi adalah para birokrat yang dikenal dengan kelas mandarin. Para mandarin inilah yang menjadi tulang punggung kekaisaran sehingga bisa relatif stabil, sebab mobilitas sosial vertikal dimungkinkan. Pada era dinasti Ming, misalnya, kita mengenal Laksamana Cheng Ho yang melakukan ekspedisi perdamaian di dunia termasuk di Nusantara, sosok yang bukan berasal dari kelas bangsawan tapi menduduki posisi yang sangat tinggi. Meritokrasi itu pula yang membuat sosok seperti Xi Jinping harus melalui fase yang panjang yakni berproses selama 38 tahun dari kader muda yang ditugaskan mengentaskan kemiskinan di desa paling miskin, hingga menjabat jabatan tertinggi Tiongkok.

Meritokrasi itu tentu saja bukan mulus tanpa menemui kebuntuan dan pembusukan. Ujung dinasti Qing adalah wajah busuk itu. Sehingga, revolusi yang dipimpin Sun Yat Sen yang mampu menggalang berbagai kekuatan baik kalangan terpelajar modern, berbagai perguruan beladiri (misalnya murid-murid Huo Yuan Jia), para borjuis lokal dan tuan tanah yang merasa diperas kerajaan lewat kebijakan pajak, para diaspora Tionghoa, dan sebagainya, di bawah panji-panji San Min Chu-i dan kibaran bendera Kuomintang, menggulingkan kekaisaran dan mendirikan republik Tiongkok pada 1911.

Namun, negara Republik Tiongkok rupanya masih kental dengan warisan kebusukan masa silam sehingga menjadi negara yang lemah. Terbukti dengan hadirnya Jepang yang mampu mengiris-iris negara itu, yang hingga kini menimbulkan trauma tak berkesudahan. Maka, Mao Zedong dengan PKT-nya menggelorakan revolusi sosial dengan menggusur pemerintahan Kuomintang yang dipimpin Chiang Kai Shek, yang harus terdesak ke pulau Taiwan.

Masih belum cukup, Tiongkok setelah hampir 20 tahun di bawah pimpinan PKT Tiongkok tak kunjung sejahtera melainkan kesejahteraan itu hanya dinikmati segelintir penguasa yang adalah para petinggi PKT sendiri, Mao Zedong mencanangkan Revolusi Kebudayaan, dimana ia mengajak rakyat Tiongkok membentuk lasykar-lasykar dan menyeret para elit-elit yang mulai mapan itu kembali terjun ke tengah-tengah rakyat jelata. Tiongkok harus dibersihkan dari unsur-unsur borjuistik dan feodalistik, yang efek sampingnya adalah penghancuran pada tradisi leluhur dimana kuil-kuil ditutup atau dibakar. Selain itu, kampus-kampus juga terpaksa tutup. Para profesor dipaksa mencangkul dalam pertanian kolektif bersama rakyat jelata. Orang-orang kaya dimiskinkan. Para pejabat yang mulai mapan diseret di jalanan dan dipaksa bekerja bersama rakyat jelata.

Cerita Revolusi Kebudayaan kemudian menjadi horor di mana hasilnya adalah pemerataan kemelaratan, kelaparan dan tewasnya jutaan nyawa kemudian dituduhkan pada Ketua Mao sebagai biang keroknya. Suatu cerita yang biasanya akan lebih didramatisir lagi bagi orang yang menderita fobia komunisme, bahwa komunisme hanya membawa malapetaka bagi umat manusia, sebagaimana di Uni Soviet dengan Gulag-nya, dan Mao dengan pertanian kolektifnya.

Namun, berkat Revolusi Kebudayaan, sepeninggal Ketua Mao (1976), penerusnya akan lebih mudah dalam membangun negara sebab bahannya sudah “matang”. Ajaran konfusianisme khususnya meritokrasi kembali digalakkan, dan hasilnya adalah para pemimpin Tiongkok sekarang adalah para mandarin baru yang tersaring dari yang lainnya. Sehingga tercipta kepemimpinan yang kuat dan solid, yang membawa negara itu menjadi negara yang bermartabat dan sangat menentukan di pentas global.

Nusantara

Kalau kita menengok Jepang dan Tiongkok di atas, yang kita dapati adalah suatu bentangan sejarah dengan garis lurus, sebagaimana “huruf” kanji yang masih digunakan hingga sekarang, meski mengalami modifikasi (Tiongkok), atau penambahan jenis aksara baru (Jepang). Bedanya hanya kaisar Jepang yang sekarang adalah keturunan kaisar Jepang awal. Sementara itu, Tiongkok mengalami pergantian berbagai dinasti, namun karakter tiap dinasti itu relatif tetap, bahkan sampai Tiongkok modern sekarang.

Maka ketika Barat mengalami “modernisasi” yang meluap sampai ke Timur, Jepang relatif mudah untuk segera berinisiatif mengambil modernisme Barat untuk dipadukan dengan Jepang, sementara Tiongkok butuh proses berdarah-darah laiknya pergantian dinasti. Namun toh keduanya berhasil memadukan modernisme dengan warisan leluhurnya sehingga kedua negara itu mampu berdiri tegak dengan sepenuh martabat.

Sementara itu, sejarah Nusantara membentangkan suatu kompleksitas yang luar biasa. Sehingga begitu mudah kita terjerembab dalam amnesia sejarah. Orang Indonesia akan kesulitan mengenali masa lalunya sebab berbagai hambatan langsung menghadang.

Sementara itu, sejarah Nusantara membentangkan suatu kompleksitas yang luar biasa. Sehingga begitu mudah kita terjerembab dalam amnesia sejarah. Orang Indonesia akan kesulitan mengenali masa lalunya sebab berbagai hambatan langsung menghadang. Misalnya dalam perangkat kebahasaan seperti perbedaan huruf/aksara, Latin (Hindia Belanda), Jawi dan Hanacaraka (Mataram, Demak), Kawi (Majapahit, Singhasari), dan seterusnya. Belum lagi formulasinya, Hindia (esai, prosa), Mataram dan Demak (suluk, serat, wirid), Majapahit dan Singhasari (kakawin), dan seterusnya. Belum lagi hambatan “politik pengetahuan” sebagaimana yang dimainkan rezim kolonial lewat para indolog dan kaki tangannya. Hal tersebut membuat kita mengalami kesakitan luar biasa dalam upaya mengenali diri/kenyataan, sehingga langkah termudahnya adalah melakukan outsourcing pengetahuan, atau loncat pagar dengan membiakkan mitos baik yang lama maupun kontemporer, sebab disiplin keilmuan yang hendak ditempuh itu pada tahap nyaris mustahil.

Melihat model pendidikan kita yang memang bukan berangkat dari kebutuhan bangsa kita sendiri (sebagaimana Jepang dan Tiongkok di atas dalam rangka menaiki tangga peradaban), melainkan demi mencetak kader-kader yang menjadi perangkat penjajahan, selain itu juga sulit dicari sambungannya dengan warisan pendidikan masa silam, maka menjadi wajar jika seluruh kemelut yang dialami bangsa Indonesia, oleh kaum terdidiknya dicarikan solusinya dari dunia luar sana, seperti liberalisme, marxisme, dan sebagainya, yang ujungnya juga adalah malapetaka sebagaimana tragedi 1965. Juga, ketika badai finansial global turut menyapu republic ujung abad XX, para “priyayi” kita juga mencari jalan penyelamatannya dari uluran tangan IMF, yang membuat bangsa Indonesia begitu tertatih-tatih dalam mengarungi abad XXI sekarang. Ini terbukti, ketika wabah Covid-19 turut merebak di Indonesia, dunia pendidikan yang mencetak para priyayi cerdik pandai ahli kesehatan, seperti tidak berguna sama sekali dalam mengatasi keadaan, sementara para elit politik sibuk mencari solusi dari dunia luar, dan tanpa rasa malu sama sekali, kemudian sibuk foto-foto petentang-petentang seolah dewa penyelamat yang nyatanya malah mengembat dana bantuan sosial. Sungguh memalukan.

Sejarah kita memang tidak sebagaimana dialami Jepang dan Tiongkok, yang mana kaum samurai dan kaum mandarinnya berhasil mengkombinasi modernisme dan warisan leluhur dalam satu paket untuk perjalanan negara menaiki tangga peradaban.

Sejarah kita memang tidak sebagaimana dialami Jepang dan Tiongkok, yang mana kaum samurai dan kaum mandarinnya berhasil mengkombinasi modernisme dan warisan leluhur dalam satu paket untuk perjalanan negara menaiki tangga peradaban. Sejarah kita titik persilangan dari aneka peradaban lain, yang mengendap di Nusantara sejak awal-awal kerajaan kita didirikan. Namun, pada masa silam, dengan caranya sendiri, leluhur kita mampu merangkai semua itu, dan menjadikannya sebagai suatu tumpuan untuk tegak berdiri dan bukan malah terhanyut dalam hempasannya. Misalnya, hempasan peradaban dari India dan Tiongkok yang dipadukan Majapahit sebagaimana tercermin dalam gagasan “Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa” dalam kakawin Sutasoma. Lalu hempasan dari Timur Tengah yang diolah oleh para Walisanga, yang dilanjutkan Sultan Agung sebagaimana tercermin dalam Suluk Sastra Gending.

Sayangnya, cerita itu seperti terkubur begitu saja dalam sejarah, dan kita, dengan kurang ajarnya, melupakannya begitu saja. Dan kalau pun toh mencoba menengoknya, baik artefak yang berupa bangunan candi-candi maupun yang tersimpan dalam serat-serat, semangatnya adalah mirip para turis yang melancong di situs-situs dan menikmatinya sebatas sebagai objek wisata, yang kemudian melakukan foto-foto untuk dipamerkan, yang dalam bahasa kekinian disebut personal branding. Menyedihkan.

826

Taufiq Ahmad

Redaktur langgar.co. Penulis lepas.

Comments are closed.