DONASI

Pak Kunto yang Saya Kenal

Secara khusus saya tidak pernah diajar oleh guru yang kami banggakan itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo, MA. Mulanya, saya mengenalnya secara lamat-lamat sewaktu Aliyah dulu melalui...

OBITUARI | FRIDAY, 30 MAY 2025 | 22:21 WIB

Secara khusus saya tidak pernah diajar oleh guru yang kami banggakan itu, Prof. Dr. Kuntowijoyo, MA. Mulanya, saya mengenalnya secara lamat-lamat sewaktu Aliyah dulu melalui bukunya, Identitas Politik Umat Islam. Sebagai mahasiswa Sejarah ndadakan, karena sebelumnya saya menekuni pelajaran-pelajaran agama langsung dalam bahasa arabnya, nama Kuntowijoyo lebih saya kenal sebagai budayawan, tepatnya pemikir Islam dan sastrawan ketimbang sejarawan.

Tanggal 19 September 2000, sembilan hari setelah saya masuk ke kampus Sastra Universitas Gadjah Mada, saya menghadiahi diri dengan buku beliau berjudul Khotbah di atas Bukit. Tokoh Barman dan Popi, mewakili dua dunia yang sangat berbeda pada awalnya, menginspirasi saya menulis semacam cerpen yang dimaksudkan sebagai surat lamaran menjadi anggota redaksi Balairung. Sayangnya, saya tidak diterima oleh lembaga tersebut. Entah alasan apa. Barman dengan realitas kotanya bagi saya adalah masa lalu, seperti halnya yang saya bayangkan dengan masa Aliyah saya, dan pengembaraan bersama Popi menuju puncak bukit dengan lilitan birahinya adalah for the college soul.

Lantas “perkenalan” saya dengan beliau semakin intens, baik secara literer berhadapan dengan teks-teks beliau, maupun kenal dalam ruang-ruang pergunjingan, antara mitos dan pencitraan, di pembicaraan-pembicaraan ringan mahasiswa. Kadangkala membahas tulisan beliau, mengkroscekkan cerita tentang AOI di novel Lingkar Tanah Lingkar Air-nya Ahmad Tohari dengan tulisan beliau di Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi, dan menggunjingkan bahwa konon Pak Kunto sakit gara-gara diracun oleh Amerika setelah kunjungan beliau ke luar negeri. Yang terakhir ini, tidak bisa dipercaya kebenarannya.

Pada semester 1 saya dibekali matakuliah Pengantar Ilmu Sejarah. Pengetahuan ini yang segera saya rasakan membedakan antara sejarah di sekolah dengan sejarah di kuliahan. Buku beliau Pengantar Ilmu Sejarah terbitan Bentang Yogyakarta itulah yang kami pelajari. Pada gilirannya, buku ini tidak saja menemani saya pada semester itu saja, namun semester-semester berikutnya sampai ketika saya menyusun skripsi, meski saya tidak menggunakannya sebaga referensi, namun satu bukunya yang lain yakni Metodologi Sejarah. (Saya jadi teringat, bahwa Prof. Dr. Bambang Purwanto sewaktu mengajar matakuliah Seminar Sejarah selalu menekankan untuk tidak malu membaca buku pengantar ilmu sejarah tersebut. Bahkan ia mengaku sampai 3 kali membacanya sewaktu menulis disertasi—mungkin saya yang lupa, apakah benar disertasi. Sebab buku tersebut baru diterbitkan pada tahun 1995).

Praktis, sampai dengan semester 5 saya tidak berkesempatan diajar oleh Pak Kunto. Pada semester 6, jurusan Sejarah menawarkan matakuliah Kapita Selekta Sejarah Sosial Politik yang dikoordinatori oleh beliau. Saya segera mengambilnya, berharap setidaknya sekali pertemuan saya bisa diajar oleh beliau. Namun, lagi-lagi beliau berhalangan. Sebab kesehatannya sangat tidak memungkinkan untuk mengajar. Saya mendengar bahwa beliau secara rutin berobat pada hari rabu, hari—seperti yang pernah saya pelajari dari ta’limul muta’allim—adalah hari baik untuk memulai kegiatan belajar-mengajar. Meski demikian, beliau sangat serius membuat silabus matakuliah tersebut, menunjukkan buku-buku referensi, memberi saran-saran praktis, dan kesediaan untuk melakukan komunikasi melalui surat-menyurat tentang perkuliahan itu. Meski sangat singkat, saya merasa tidak kehilangan “rasa tulisan” yang khas beliau itu. Yakni suatu tulisan yang direktif, memberi pemetaan, namun sangat hati-hati.

Setelah membaca silabus itu, pada pertemuan kedua saya masih berharap beliau bisa mengajar. Saya telah mempersiapkan sekitar lima pertanyaan yang berhubungan dengan sejarah sosial, tepatnya sejarah “orang kecil”, dan prosophography. Seperti yang diumumkan bahwa beliau berusaha menerima pertanyaan-pertanyaan mahasiswa pada hari Sabtu, dan jawabannya sudah akan tersedia pada hari Sabtu berikutnya yang akan diantar oleh istrinya ke jurusan Sejarah. Namun itulah, hanya menjadi saksi dari niat baik Pak Kunto. Meski sangat antusias, kami sadar bahwa beliau dalam keadaan sakit dan tidak mungkin dibebani dengan pertanyaan-pertanyaan yang barangkali jawabannya sudah bisa ditemukan di buku-buku beliau. Matakuliah itu dalam prakteknya tidak berjalan sama sekali. Sampai dengan ujian akhir, kami tidak mendapatkan kejelasan apakah matakuliah tersebut dianggap ada, artinya diujikan, ataukah tidak. Sampai saat ini, di final transkripsi nilai saya, matakuliah tersebut masih terpampang tanpa ada nilai!

**********

Tepatnya kapan kami tidak ingat pasti. Yang jelas terjadi pada bulan-bulan awal tahun 2004. Saya, Anna Mariana (2000), Uji Nugroho dan Husni Thamrin (2001), dan Mohammad (2003) sowan ke rumah Prof. Dr. Kuntowijoyo MA. Selain untuk mengurus peluncuran buku beliau yang berjudul Raja, Priyayi, dan Kawula, niat utama kami adalah bersilaturrahmi. Pada pagi harinya Husni telah menelpon Bu Susilaningsih untuk memohon izin kedatangan kami. Ba’da Isya kami menuju rumah beliau, pelan-pelan menelusuri jalan Lingkar Utara, untuk menemukan papan nama bertuliskan Apotik di dekat UPN Veteran. Rumah beliau di samping toko obat itu.

Di depan rumah, kami dibukakan pintu oleh anak beliau yang alumni Fakultas Teknik. Kami dipersilahkan masuk oleh Bu Susilaningsih, dan kemudian menyusul Pak Kunto yang dipapah oleh istrinya itu. Kami berempat memperkenalkan diri dan sekadar berbasa-basi. Pembicaraan lantas berkisar tentang beliau semasa mahasiswa, beberapa kawan beliau, Prof. Dr. Djoko Suryo salah satunya, dan lain-lain.

Kami sebagaimana layaknya seorang anak didik, berkeluh kesah tentang dunia perkuliahan. Beliau menimpali bahwa kondisinya sangat jauh lebih baik dibanding dahulu, masa beliau. Saya juga sempat curhat kepada beliau; bahwa di tengah jalan saat mengerjakan skripsi, timbul krisis eksistensi menyangkut studi sejarah (capturing the past, apa yang sedang ditangkap?), dan—seperti umumnya—masa depan lulusan Sejarah. Dalam puncak krisis terbersit pikiran untuk mutung, tidak melanjutkan kuliah.

Pak Kunto lebih tertarik memberi komentar (tepatnya menasehati) untuk persoalan pertama. Sambil bercerita (meski suaranya seperti tertelan kembali, beliau memaksakan untuk berbicara sendiri, tidak melalui penjelasan istrinya) beliau menasehati; bahwa mereka berdua (Pak Kunto dan istrinya) dulu mempunyai seorang kawan yang sangat idealis, tidak setuju dengan sistem-sistem yang ada, dan akhirnya memutuskan diri untuk tidak lulus. Kawannya yang sangat pintar itu bernama Taufik Rahzen. Kebetulan saya pernah mendengar dan membaca nama itu sebagai moderator dalam acara “Pram dan Kita” di UC Universitas Gadjah Mada pada 14-02-2003, dan di buku Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia karya Claire Holt, sebagai editor buku tersebut. Saya mencoba mengingat-ingat wajahnya pada acara yang saya ikuti itu. Tidak berhasil.

Namun bukan itu yang penting. Pak Kunto ingin menunjukkan bahwa kawannya itu sempat lama kesulitan mencari tempat. Meski pintar dan banyak pergaulan, kesempatan untuk mendapatkan peluang yang lebih baik sering terganjal karena persoalan kesarjanaan. “Tapi sekarang dia sudah mapan”, demikian jelas beliau.

Pak Kunto lebih lanjut menasehati kami: “Bagaimanapun dan apapun hasilnya, baik atau buruk, kalian harus lulus”. Kalian harus lulus. Ini yang masih terngingang di telinga saya. Apapun hasilnya, saya harus lulus.

Tidak terasa bagi kami bahwa pembicaraan telah berlangsung sekitar satu setengah jam. Sebelumnya, berkali-kali istrinya mengingatkan Pak Kunto untuk istirahat. “Bapak kalau mau istirahat”, “belum, belum”, tahan beliau sambil geleng-geleng kepala. Kami yakin bahwa Pak Kunto adalah orang yang tidak enakan, untuk segera masuk kamar meninggalkan kami yang waktu itu jarum jam belum menunjuk angka 9. Dan sebaliknya, kami agak keras kepala untuk cepat-cepat mohon diri. Bukan karena apa-apa, kami masih ingin berbincang lebih lama. Untunglah, masih setengah gelas teh di atas meja. Segera kami menghabiskannya untuk memberi tanda kekalahan, dan akhirnya kami segera undur diri.

Mengenai bukunya yang diterbitkan penerbit Ombak itu, beliau menyerahkan royaltinya kepada BKMS (Badan Keluarga Mahasiswa Sejarah). Kami kaget karena beliau masih ingat BKMS. Kami, di BKMS, bukan lagi “adik angkatan” yang sedang mendapat sumbangan dari “kakak angkatan” yang jaraknya kurang lebih 35 tahun itu. Tetapi kami adalah mahasiswa-mahasiswa beliau (yang konon mewakili BKMS), mahasiswa-mahasiswa yang tidak dikenal dan mengenal baik beliau. Barangkali, selain untuk masa depannya, sumbangan itu lebih untuk masa lalunya, demikian pikir kami. Oleh penerbit Ombak, BKMS diberi royalti beliau dalam bentuk buku cetakan yang harus dijual sendiri.

Kami merasa mendapat tiga karunia sekaligus; bisa bertemu dan berbincang dengan beliau, mendapat pengetahuan baru dengan terbitnya buku tersebut, dan mendapat royalti yang seharusnya beliau terima. Oleh kawan Husni dan Uji Nugroho, buku-buku tersebut digunakan untuk mengongkosi sebagian biaya perjalanan ke Medan dalam pertemuan Munas IKAHIMSI (Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia) di Universitas Sumatera Utara.

Pak Kunto, yang sekilas saya kenal dan tentu saja tidak mengenal saya itu kini telah tiada. Pak Kunto, yang setiap kali kami mahasiswa sejarah keluar kota selalu ada yang menanyakan kabarnya itu, kini telah pergi. Pergi, untuk perjalanan yang lebih jauh. Pak Kunto, yang pernah saya sesalkan dalam melakukan periodisasi kesadaran keagamaan umat; dari periode mitos, periode ideologi, dan terakhir periode ilmu itu kini telah secara ikhlas masuk pada periode yang diinginkannya.

Saya pernah menganggap bahwa periodisasi itu bias modernisme Pak Kunto, atau bahkan secara naif saya menyangka itu bias muhammadiyah Pak Kunto. Kini beliau memasuki alam yang tidak mengenal Muhammadiyah-NU, mitos, ideologi, ataukah ilmu. Yang ada adalah alam keabadian. Dan bagi saya, yang abadi adalah pahala yang beliau dapatkan dari ilmu yang beliau amalkan.

Selamat jalan Pak Kunto…

Klebengan, 23 Februari 2005 (beberapa jam sepulang dari takziah meninggalnya beliau)


*Tulisan ini pernah dimuat pada laman Facebook Ahmad Nashih Luthfi pada 20 Juli 2011

1101

Ahmad Nashih Luthfi Luthfi

Sejarawan, mengajar di Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Yogyakarta.

Comments are closed.