Feminisme istilah dari luar Nusantara yang mungkin diimport sejak kasus Kartini di masa penjajahan. Kartini, seorang perempuan bangsawan Jawa dari Jepara yang merasa keluarganya memperlakukannya dengan tidak adil. Dia merasa harus menuruti keinginan keluarga karena harus mengikuti tradisi dan tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan potensinya. Tradisi kemudian “dikoreksi” sehingga perempuan Jawa tidak lagi hanya terkurung masalah domestik saja tapi melebarkan sayapnya dengan dapat bekerja di luar. Perempuan tidak keluar dari “tugasnya” dalam rumah tangga namun boleh bekarya di luar.
Dalam banyak sejarah di Barat, perempuan dibatasi dalam pekerjaan rumah, sementara “dunia luar” merupakan urusan laki- laki. Di abad pertengahan, perempuan di Eropa tidak boleh memiliki propertinya sendiri, belajar, atau bergabung dalam urusan “dunia luar”. Sehingga mereka menuntut kesejajaran perempuan dengan laki- laki. Maka muncullah gerakan feminisme, tujuan gerakan ini yang saya tangkap, adalah menuntut kesejajaran dengan laki- laki, atau menuntut keadilan, bukan sekedar kebebasan, atau bukan untuk menyaingi laki- laki. Entah kenapa sampai di Nusantara, mungkin ini hanya dipahami sebagai “pembebasan” perempuan. Adil bukan berarti bebas, dan bebas juga bukan berarti adil. Jika perempuan lebih memilih mengurus rumah tangga namun segala kebutuhannya tercukupi dan dia bahagia, apakah dia harus juga bekerja? Atau kalau perempuan sudah bekerja di luar rumah, tapi urusan rumah tangga juga harus dia yang selesaikan sendiri apakah ini adil?
Adil bukan berarti bebas, dan bebas juga bukan berarti adil. Jika perempuan lebih memilih mengurus rumah tangga namun segala kebutuhannya tercukupi dan dia bahagia, apakah dia harus juga bekerja?
Saya sangat setuju jika feminisme ala Barat tidak serta- merta diaplikasikan di Indonesia. Mohanty, peneliti India, dalam artikelnya “Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses,” merupakan salah satu contoh begaimana feminisme ala Barat yang meleset diterapkan dalam konteks masyarakat India. Sehingga wacana yang muncul, Barat seolah menjadi “penolong” bagi perempuan India yang tertindas. Keadilan memang harus ditegakkan entah dalam bingkai feminisme atau apa pun itu, namun apa yang saya lihat disini, gagalnya pengkontekstualisasian itu dan justru menjadikan generalisasi keadaan yang pada akhirnya malah menimbulkan masalah baru. Ibaratnya, karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena kesalahan satu kasus, seolah semua perempuan di dunia merasakan ketertindasan yang sama seperti di Barat. Pun Nusantara tak luput dari “nilai yang setitik“ ini, misalnya pada kasus Kartini yang membuat seolah seluruh perempuan di Nusantara pada saat itu merasa tertindas dan budaya yang dikambing-hitamkan. Kemudian muncullah semacam “resistensi” budaya lokal dengan dilema: seolah-olah budaya lokal perlu mengkoreksi dirinya dengan perspektif feminisme ala Barat hingga (terkadang terlalu dipaksakan) perlu mengkolaborasikan ide feminism ala Barat ini dengan menghasilkan rumusan yang menggeneralisir: “perempuan Jawa boleh berkarir di luar asal tidak meninggalkan akarnya di rumah tangga.” Rumusan yang saya rasa, belum diikuti dengan kontekstualisasi dan pengujian yang cukup. Akhirnya keputusan yang cenderung “saklek” dan menggeneralisir ini malah menimbulkan masalah baru: perempuan seolah identik dengan urusan rumah tangga dan menjadi dobel pekerjaannya, rumah tangga dan berkarir.1 Kemudian jika ternyata perempuan protes karena pekerjaannya menjadi lebih banyak, perlukah rumusan baru lagi? Bolehkan perempuan hanya memilih salah satu? Lalu bagaimana dengan peran laki- laki? Apakah kemudian akan ada rasa ketakutan tradisi hilang hanya karena perempuan ternyata memilih tidak lagi mengurus rumah tangga karena semuanya sudah diurus oleh asisten, rumah tangga?
Dari rumusan ini saya membaca sebuah pola pikir bahwa: tradisi tidak boleh ditinggalkan, tapi kita juga harus maju (dengan mengelaborasi ide dari luar). Apakah mengurus rumah tangga berarti menjaga tradisi? Apakah memasak, mencuci baju, membersihkan rumah berarti melestarikan tradisi? Apa hubungan membereskan urusan rumah tangga dengan menjaga tradisi? Apakah akar tradisi terletak dan hanya terletak pada urusan rumah tangga? Lalu apakah bekerja di luar berarti menjadi lebih maju? Apakah ide dari luar (baca Barat) selalu membawa kemajuan? Saya sangat setuju jika tradisi tidak boleh ditinggalkan, namun saya pikir masalahnya tidak sesedarhana itu.
Untuk mengurai jebakan yang sungguh kompleks ini, saya mencoba meraba konteks yang terjadi pada kasus Kartini. Saya curiga, Kartini menjadi objek atau korban di masa penjajahan. Kartini merasa orang tuanya mengekangnya, tidak memberikan dia kebebasan untuk belajar ke Eropa, malah menyuruhnya menikah. Perkenalannya dengan sahabat penanya di luar Nusantara hingga bertulis surat yang berarti dia dapat menulis latin adalah tentu suatu hal yang luar biasa. Kartini sudah tersentuh pendidikan baca dan tulis menunjukkan dia sudah mendapatkan “privilige“ pada masa itu yakni bisa mendapatkan pendidikan ala Barat. Kemudian, setelah mendapat sedikit pendidikan itu, Kartini merasa dia masih perlu belajar lebih banyak lagi, dia ingin belajar hingga ke Eropa. Namun rupanya keinginan itu tidak tercapai. Dia merasa keluarganya kolot, sehingga berpikir bahwa pengekangan ini tidak menjadikannya maju, namun disisi lain dia juga tahu betapa tidak adilnya penjajah terhadap bangsanya. Hal itu membuatnya berkeinginan agar semua orang harus diperlakukan adil, harus terdidik (sepertinya), bisa bebas dan tidak terbelenggu (sepertinya). Pertanyaannya, tradisi manakah yang dia lawan, samakah tradisi keluarganya dengan tradisi bangsawan Jawa lain? Bagaimana dengan tradisi Jawa di luar lingkungan bangsawan pada masa itu? Bagaimana dengan tradisi Jawa sebelum masa kolonial? Bagaimana dengan tradisi di luar pulau Jawa pada masa itu? Apakah sama seperti yang dirasakan Kartini yang sangat spesifik itu? Mungkin perempuan di luar bangsawan malah lebih bebas dari Kartini, dan bisa jadi pembagian tugas rumah tangga-bekerja lebih “luwes” di setiap rumah tangga rakyat biasa. Lalu kenapa harus distandarisasikan seperti itu? Saya curiga pandangan Jawa terhadap perempuan justru berubah setelah masa kolonial. Saya kembali curiga (maaf banyak sekali yang saya curigai di sini) Kartini merupakan korban pembentukan paradigma bahwa kebudayaan Jawa itu berlaku tidak adil pada perempuan (padahal itu baru kasus di Jepara), lalu kemudian menjadi paradigma tradisi Jawa seluruhnya. Saya merasa perlu mengaitkan dengan per-gundik-an di jaman penjajahan dimana para perempuan pribumi dieksploitasi penjajah, dan malah dianggap naik derajat jika menjadi gundik penjajah, siapakah disini yang berlaku tidak adil terhadap perempuan?
Saya merasa perlu mengaitkan dengan per-gundik-an di jaman penjajahan dimana para perempuan pribumi dieksploitasi penjajah, dan malah dianggap naik derajat jika menjadi gundik penjajah, siapakah disini yang berlaku tidak adil terhadap perempuan?
Untuk menguji konteks lain, dari konteks perempuan bangsawan Jawa lain ada peran penting yakni Ratu Pakubuwana di abad 18, juga ada Cut Meutia, ada Cut Nya Dhien, yang kita kenal sebagai pahlawan perempuan, hidup di masa penjajahan, namun di Aceh. Apakah yang diperjuangkan Cut Nya Dien dan Cut Meutia? Saya tidak melihat perempuan tangguh dari Aceh ini berkeinginan untuk melanjutkan sekolah ke Eropa. Mereka menjadi bagian dari pasukan melawan penjajah. Bahkan tanpa perlu istilah feminisme, perempuan ini telah bebas, bahkan ikut berjuang. Saya tidak bilang Kartini tidak berjuang, tidak sama sekali, keduanya sama- sama tidak setuju atas penjajahan, atas nama apa pun, dan mereka memiliki musuh yang sama: ketidak-adilan. Jadi jelas bahwa bukan tradisi secara umum yang salah, melainkan ketidak-adilan yang terjadi pada lingkungan Kartini pada saat itu yang perlu diperbaiki. Apakah kemudian artinya seluruh tradisi Jawa menjadi salah? Dan apakah kemudian Jawa merasa perlu mengimport feminisme ala Barat dengan menyesuaikan, mengkolaborasi, menyatukan, atau apa pun untuk “mengkoreksi” tradisinya? Maka diperlukan pembacaan konteks yang jeli di sini.
Jadi jelas bahwa bukan tradisi secara umum yang salah, melainkan ketidak-adilan yang terjadi pada lingkungan Kartini pada saat itu yang perlu diperbaiki. Apakah kemudian artinya seluruh tradisi Jawa menjadi salah? Dan apakah kemudian Jawa merasa perlu mengimport feminisme ala Barat dengan menyesuaikan, mengkolaborasi, menyatukan, atau apa pun untuk “mengkoreksi” tradisinya? Maka diperlukan pembacaan konteks yang jeli di sini.
Terlepas dari itu, Jawa sudah terlanjur menjadi “gegeran”, hingga dilabeli kolot, kuno, mengekang, dan sebagainya. Dan terpatrilah dalam pemikiran bahwa seolah Jawa harus terus-menerus dikoreksi ala penjajah yang menamakan diri “Barat”. Yang saya utarakan disini bukan berarti bahwa feminisme ala Barat itu salah. Saya sangat setuju bahwa keadilan harus ditegakkan di seluruh penjuru dunia, namun apakah harus dengan cara Barat? Dan apakah harus menunggu inisiatif dari Barat?
Saya sama sekali tidak anti Barat atau anti mana pun. Pun saya tidak ingin meninggikan Jawa pada khususnya dan Nusantara pada umumnya. Saya hanya berusaha mengurai “kebundetan” yang terus- menerus menyerang pemikiran saya, karena seolah kok budaya saya ini bolong di sana sini, dan penjajahan itu, yang dikenal kejam, tapi seolah- olah masih juga dianggap membawa jasa atas nama “kemodernan”. Kenapa praktek pergundikan, yang mengorbankan betapa banyak perempuan Jawa biasa, bisa tertutupi karena kasus Kartini? Lebih herannya lagi, kenapa praktek gundik, yang menjadi “simpanan“ penjajah justru dianggap meningkatkan “derajat” semu perempuan pribumi? Dari kasus ini rupanya, masih banyak yang harus saya pelajari dengan melacak sejarah semampu yang saya bisa, juga berwaspada dengan berpikir kritis, agar tidak lagi terjebak pada kesimpulan-kesimplan sesaat yang cenderung menggeneralisir, memukul rata, tanpa melihat dari berbagai perspektif dan data. Saya tidak merendahkan Barat, tapi saya juga harus jeli dan kritis, karena satu doktrin yang tidak benar jika seringkali diulang bisa terpantri, bisa terlanjur dipercaya menjadi kebenaran. Dialektika ini mengantarkan saya pada sebuah persimpangan: terseok- seok membaca kembali, menganalisis, dan meneruskan pesan-pesan nenek moyang meskipun jalannya “sukar dan curam” dengan tetap berpikir adil dan kritis. []
1 Saya tidak yakin Kartini harus memasak, membersihkan rumah atau mencuci baju, bukankah dia seorang bangsawan?
Sumber bacaan;
Mohanty, C. (1988). Under Western Eyes: Feminist Scholarship and Colonial Discourses. Feminist Review, (30), 61-88. doi:10.2307/1395054
Baay, Reggie. (2010). Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda. Jakarta: Komunitas Bambu.