Kawruh Jiwa
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
erhatian terhadap sejarah (Indonesia) kontemporer diharapkan mampu memberikan sumber-sumber baru dan bukti-bukti segar yang akan memperjelas peran Suryomentaram dalam perjuangan kemerdekaan dan reformasi sosial bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme, yang dimulai dari Jawa kemudian Indonesia. Suryomentaram dapat dilihat sebagai bagian dari mereka yang termasuk aristokrat Yogya (atau Surakarta) yang selanjutnya disebut sebagai “priyayi yang terpelajar/tercerahkan”. Jika dilihat pada masanya, mereka ini merupakan orang-orang yang resah untuk memainkan peran dalam mengenalkan sebuah perilaku baru yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, dan dalam memperjuangkan tatanan sosial yang lebih fleksibel dibandingkan dengan kaumnya yang hidup di era kolonial. Mereka mencurahkan perhatian terhadap nasib petani, mengakui peran pentingnya dalam menjaga keseimbangan sosial, dan menghembuskan semangat baru dalam pepatah lama “nagara mawa tata, desa mawa cara” (negara yang mengatur, desa yang bekerja).
Mungkin kita berhutang kepada cara berpikir Jawa karena aspek-aspek yang kurang dikenal dari riwayat hidup KAS yang bersifat agak legendaris tersebut, yaitu motif-motif dan penilaian terhadap tindakan-tindakannya, dapat dipahami dengan baik. Demikianlah Pangeran Suryomentaram–Siddharta meninggalkan istananya untuk menyibak penderitaan manusia, kemudian mengawali pencarian yang berakhir pada “pencerahan” (bahkan nama yang dipilih untuk tempat peristirahatannya, Bringin, memiliki makna yang penting); Budha–Suryomentaram menunjukkan “jalan tengah”. Ada Suryomentaram yang sangat kecewa, bahkan muak, dengan kondisi-kondisi yang dia jumpai di keraton. Perilakunya sama dengan yang ditunjukkan oleh pemberontak sebelumnya, contoh-contoh yang mewarnai sejarah Mataram. Pemberontakannya (madeg kraman) seperti yang dilakukan Diponegoro,1 dipicu oleh sebuah kemerosotan moral dan perselisihan dalam keluarga, sekalipun pada kasus ini tidak menimbulkan implikasi-implikasi tertentu bagi kekuasaan keraton. Wujud pemberontakan Diponegoro ini dapat dilihat dari caranya berpakaian (bisa dilihat dari jubah dan sorbannya), caranya berlindung dalam laku spiritual, dan caranya kerap berkunjung ke tempat-tempat yang tidak terjangkau cengkeraman kekuasaan. Diponegoro juga menyepi di Goa Langse dan menyusuri Pantai Parangtritis. Perilaku seperti itu mungkin dapat dianggap sebagai tanda-tanda bagi sebuah “kebangkitan karisma”, yang dapat memancing ketakutan penguasa. Bringin, seperti halnya Tegalrejo, merupakan tempat di mana dia mampu menarik diri, yang membuatnya bisa melepaskan diri dari kontrol kekuasaan, dan selanjutnya menjadi tempat dari mana sebuah tatanan moral baru dihasilkan.
Namun, waktu telah berubah sejak Diponegoro. Bangkitnya kesadaran nasional dan pembebasan masyarakat merupakan tujuan dari jihad jenis baru. Pendidikan adalah yang terpenting. Editor edisi Indonesia karya-karya Suryomentaram memiliki alasan yang bagus untuk menyebut Krishnamurti. Apakah KAS telah membaca karya-karyanya? Nampaknya demikian.2 Di berbagai kesempatan, keduanya berbagi (menyuarakan) gagasan pendidikan yang sama. Mereka menyebut gagasan-gagasan sezamannya (melalui ungkapan): “Belajar mengenal diri sendiri,” “kebijaksanaan adalah jalan tengah di antara dua ekstrem,” “kamu adalah orang lain.” Apa yang mereka sampaikan itu tak terikat waktu alias universal.3 Selanjutnya, Suryomentaram adalah guru; seperti juga Ki Hajar. Namun, Ki Hajar telah mengasimilasikan teori-teori pendidikan Barat dan menulis untuk para intelektual di generasinya, mengarahkan tindakan-tindakannya dalam pengertian konflik kebudayaan—baginya “Pembaratan” (Westernization) bersifat problematis. Sementara hal ini tidak berlaku bagi Ki Ageng, yang tidak merasa perlu menampilkan warisan kebudayaan Jawa.
Tidak diragukan lagi bahwa khazanah kebudayaan Jawa telah begitu memengaruhinya, dan dia sepenuhnya menyadari hal tersebut. Tidak sulit menemukan elemen-elemen pokok pemikirannya dalam khazanah kesusastraan Jawa abad ke-19, yang memiliki keterkaitan dengan tradisi kebijaksanaan lama. Konsep tentang tanggung jawab individu ketika menghadapi bahaya yang muncul dalam kehidupan sehari-hari mengingatkan pada penggalan syair dalam Wulang Reh yang begitu terkenal itu, sebuah syair yang diciptakan oleh Paku Buwono IV (1788-1820):
Bener luput ala becik lawan begja
Cilaka apan saking
Ing badan priyangga
Dudu saka wong liya
Pramila den ngati-ati
(pupuh VII, durma 3)
Benar atau salah, keburukan atau kebenaran, juga kebahagiaan
Atau kemalangan, penyebabnya ditemukan
Dalam tiap-tiap diri kita
Dan bukan dalam diri orang lain
Maka dari itu kita mesti berhati-hati
Begitu juga ungkapan-ungkapan seperti “sepi ing pamrih” (tidak berpamrih), “andhap-asor” (kesopanan), dan “tepa-selira” (memahami orang lain = dimensi keempat dalam ajaran KAS), merupakan prinsip-prinsip yang juga dikenal oleh para pembaca ajaran moral abad ke-19. Mawas diri, eling lan waspada, yaitu pengendalian diri untuk memastikan tindakan-tindakan sosial yang tertib/terpuji, adalah ajaran KAS yang juga telah disinggung oleh para pujangga. Ungkapan “sapa temen tinememan” (siapa yang bersungguh-sungguh) yang berasal dari khazanah puisi (Jawa) yang mengekspresikan kebulatan tekad atau ketetapan hati dalam segala situasi sama dengan istilah tatag dalam ajaran KAS. Masih banyak lagi sumber-sumber yang dapat disebut dalam tradisi kesusastraan ini, yang (secara umum) diakui sebagai ajaran dalam kebatinan Jawa sepanjang abad ke-20.
Lalu mengapa KAS menunjukkan kesan menolak istilah tersebut sementara tidak untuk gagasannya? Pertama, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, KAS tidak ingin menganggap dirinya sebagai seorang guru dengan ajaran yang sarat akan misteri dan magis, yang membuat para muridnya terjebak dalam penipuan diri dan diliputi harapan-harapan palsu. Harus diingat, bahwa karisma dan aura kebangsawanan yang dimiliki KAS lebih disebabkan oleh hal-hal yang dia sampaikan (bukan karena dia memiliki kekuatan supranatural tertentu—penerj.).4 Alasan kedua barangkali lebih fundamental: apakah mungkin memberikan definisi kebatinan untuk ajaran-ajaran KAS jika dalam ajarannya sendiri Tuhan dianggap sekadar kebetulan/kurang penting? Mempertimbangkan rendahnya ketertarikan KAS terhadap persoalan-persoalan keagamaan, sebuah penjelasan yang memuaskan barangkali telah diberikan oleh Moh. Said; bahwa Ki Ageng ingin membatasi ajarannya sebagai filsafat “eksistensial”: “saya pribadi menganggap bahwa (pembatasan) ini dikarenakan KAS sepenuhnya sadar akan keterbatasan-keterbatasan manusia dalam memahami apa yang ada di balik realitas hidup sehari-hari (kini dan di sini) dan bukan dikarenakan penolakan a priori terhadap eksistensi sebuah realitas yang tak kasatmata.”5 Dapat juga dikatakan bahwa jika Tuhan tidak memiliki tempat dalam pemikiran para filsuf, hal itu karena Dia sendiri sudah ada di mana-mana (dalam segala hal, dalam konsep Alam Agung atau alam semesta).
Dalam cara berpikir Jawa, apakah Tuhan atau Manusia yang menempati posisi terpenting? Tentu saja Manusia. Meskipun para spiritualis telah meminjam (gagasan) dari agama Hindu atau Budha, dari mistisisme Islam atau beberapa ajaran teosofi (bahkan kadang-kadang dari ilmu kedokteran), teori-teori tersebut pada akhirnya bersumber dari sebuah dorongan psikologis tunggal: jiwa adalah korban dari sebuah kebingungan yang hebat, sasaran dari sebuah kecemasan dasar (fundamental anxiety), yang mesti diatasi sebelum keselarasan batin dan pemenuhan psikologis dapat ditemukan (atau sebuah kondisi kekosongan: sunya). Ini adalah pendekatan yang sepenuhnya bersifat individual, yang terbagi ke dalam tahapan-tahapan yang berbeda (yang sama banyaknya dalam pemikiran KAS), masing-masing di antara tahapan-tahapan itu mewakili beberapa jenis kemajuan dalam mencapai Kebenaran, yaitu suatu langkah yang lebih maju dalam upaya seseorang untuk menemukan kebebasan.6 Pada saat yang bersamaan tahapan-tahapan tersebut merupakan semacam “pemusatan psikologis” di mana tujuan utamanya adalah kedamaian spiritual. Selubung harus disibakkan, penutup7 harus disingkirkan, sebelum kebenaran itu muncul. Dan kebenaran itu adalah, sebagaimana yang disebut Suryomentaram sebagai Aku, pengalaman mistik tentang kehadiran yang ilahiah.
Hal ini barangkali adalah gambaran yang sempurna dari toleransi, toleransi Jawa yang dirayakan, kecuali jika kepicikan dogmatis terjadi… dan tidak toleran! Sayang, implikasi-implikasi politis dari pendekatan ini masih kurang diperhatikan. Pemenuhan personal (personal fulfilment) secara de facto berhubungan dengan pencapaian sosial (dalam konteks relasi antarmanusia) dan keseimbangan dalam hubungan di antara kelas-kelas sosial yang berbeda; kondisi yang oleh KAS ingin diwujudkan secara bersamaan, sebagaimana dilambangkan dengan celana pendek hitam (representasi kelas bawah) dan sarung bangsawan (kain yang dikalungkan di lehernya) yang dia pakai.
Perilaku seperti itu, yang hanyalah salah satu dari “perilaku-perilaku yang berfungsi sebagai pedoman hidup bagi orang Jawa,”8 kadang-kadang disebut dengan “priyayinisme”, atau mungkin dapat diistilahkan sebagai “tradisional”. Kecenderungan semacam ini nampaknya sulit untuk berubah. Tetapi pengertian tentang perilaku bijak juga berkembang dalam kehidupan orang Jawa secara umum, yang dalam konteks ajaran KAS lebih dipahami sebagai kesalehan atau kesederhanaan sosial (public modest). Sekalipun pemikiran KAS lahir dari alam mental terdalam (the mental depth), di mana aliran-aliran kebatinan juga berakar di situ, namun KAS hendak membersihkan mereka dari selubung-selubung takhayul dan pengertian-pengertian yang berbau mistis. Terhadap alasan inilah pemikiran KAS dalam konteks nasional kemudian sering dianggap sebagai “modern”, mengingat hanya dengan membersihkan pikiran dari selubung-selubung takhayul itulah pemenuhan psikologis (psychological fulfilment) baru dapat diwujudkan. Itulah sebabnya Ki Ageng kemudian lebih memilih menggunakan kata “kawruh” (ilmu, dalam pengertian yang rasional), ketimbang kata “ngelmu” (ilmu dalam pengertian esoteris atau mistis).
Ceramah-ceramah KAS, buku-buku atau tulisan-tulisan tentang Kawruh Jiwa yang telah diterbitkan
Dalam sumber-sumber bacaan berikut ini, yang jauh dari lengkap, buku-buku yang tidak dapat penulis dapatkan tetap penulis cantumkan dalam daftar buku-buku tentang “Kawruh Begdja” di belakang buku-buku yang sudah penulis pastikan keberadaannya.
1. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah Sedjatining Gesang (Wedjangan KAS), 1929 (?); Magelang, 1965 (Edisi keempat), 20 halaman. Dicetak stensilan.
2. Imam Moehni, Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soeήomentaram, Djokjakarta, 71 halaman. (Pengantar ditulis pada 1930).
KAS, Uran-uran Bedja, (1930?); Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi keenam), 17 halaman.
(KAS), Pangawikan prίbadi, (1930?).
KAS, Wedjangan Kawruh Bedja sawetah, 1931, Pertemuan di Surakarta; 1957 (Edisi ketujuh), 37 halaman. Dicetak Stensilan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia, Jakarta, Yayasan Idayu, 1975, 33 halaman).
Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), “Pendidikan oentoek ketentraman doenia wedjangan Toeanku Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” Poesara 1, 10 (13 Januari, 1932), hal. 79–81 (dalam bahasa Jawa).
KAS, Kawruh pamomong.
KAS, Djiwa persatuan.
KAS, Djiwa buruh.
KAS, Ilmu djiwa.
KAS, Seni Suara, 1951, Pertemuan di Magelang; 1956 (Edisi kedua), 10 halaman (dalam bahasa Indonesia).
KAS, Perang dunίa kapίng III, 1951, Pertemuan di Pati; 1956 (Edisi keempat.), 18 halaman.
KAS, Pandangan keadaan dunia.
KAS, Pembangunan djiwa warga negara, 1951, Pertemuan di Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 28 halaman (dalam bahasa Jawa).
KAS, Aku iki wong apa? 1952, Pertemuan di Yogyakarta; 1956 (Edisi keempat), 30 halaman.
KAS, Ukuran kaping sakawan, 1953, Pertemuan di Magelang; Surakarta, Windu Kentjana, 1953 (Edisi pertama), 39 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ki Oto Suastika: Ukuran Keempat, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 32 halaman).
(KAS), Sendon Djunggring Salaka Agung VII, 1953 (di Magelang).
KAS, Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (djilid I); Surakarta, Windu Kentjana, 1954 (Edisi pertama), 43 halaman.
KAS, Mawas diri, 1954, Pertemuan di Surabaya; 1956 (Edisi pertama), 54 halaman.
KAS, Kawruh laki-rabί; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 60 halaman.
KAS, Piageming gesang; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi kedua), 22 halaman. (Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia: Idjazah hidup; Jogjakarta, “Soejadi,” 12 halaman, dicetak stensilan).
KAS, Raos Pantja-Sila; Surakarta, Windu Kentjana, 1955 (Edisi ketiga), 24 halaman.
KAS, Uran-uran raos Pantja Sila.
KAS, Tata negara.
KAS, Djiwa Ngajogjakarta.
KAS, Hal kesempurnaan (Naskah berbahasa Indonesia oleh Ki Pronowidigdo); Magelang, Harapan, 1956, 20 halaman.
KAS, Sandiwara Raos Mlenet; Surakarta, Windu Kentjana, 1956 (Edisi pertama), 56 halaman.
KAS, Pilsapat raos gesang, 1956, Pertemuan di Semarang; Magelang, Harapan, 1959 (Edisi kedua), 17 halaman. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia:
1) Oleh Kjai Pronowidigdo, Pilsapat Rasa-hidup, Jogjakarta, 1957 (Edisi pertama), 30 halaman;
2) Oleh Ki Oto Suastika, Filsafat Rasa Hidup, Jakarta, Yayasan Idayu, 1974, 28 halaman.
Buku Peringatan Djunggring Salaka Agung ke XI, tgl. 21–23 Maret 1959, di Purwokerto, Panitya Dj. S. A. ke XI, Purwokerto.
Ki Djojodinomo, Ular-ular djiwa Bangsa Indonesia, Ngajogjakarta, 18 halaman.
Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kantja-kantja peladjar—Kawruh Djiwa, Jogjakarta, 1962, 18 halaman. Dicetak stensilan.
Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil Njumerepi gagasan (pasinaon Kawruh-Djiwa babon saking Suwargi Ki Ageng Surjomentaram), Magelang, “P.K.D.,” 1970, 31 halaman. Dicetak stensilan.
Moh. Said Reksohadiprodjo, “Ki Ageng Suryomentaram, 20 Mei 1892-18 Maret 1962,” Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 137–39.
Habis…
Monggo dibaca lagi:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian III
Catatan Kaki:
1. Tentang sejarah Diponegoro dan gagasan perlawanan; cf. sebuah tesis yang luar biasa ditulis oleh Peter Carey, lihat juga studinya yang lain yang berjudul The Cultural Ecology of Early Nineteenth Century Java: Pangeran Dipanegara, A Case Study (Singapura: Institute of Southeast Asian Studies, 1974), 25 halaman.
2. Menurut informasi yang disampaikan Ki Haditomo (wawancara).
3. Banyak perkataan yang sama dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan Krishnamurti dan KAS; sebagai contoh: “Jangan mendekat atau berjarak; lihatlah hanya pada fakta-fakta, dan ketika kamu telah memahami fakta-fakta itu, maka kemudian tiada kenikmatan atau penderitaan; yang ada hanyalah fakta.” Krishnamurti On Education (Bombay: Orient Longman, 1974), hal. 40.
Krishnamurti lahir pada 1885. Kedua laki-laki itu dengan demikian sezaman. Mereka juga menunjukkan kesederhanaan (yang juga bisa dilihat dalam cara berpakaian Krishnamurti) dan nasionalisme.
Tidak mungkin untuk membandingkan keduanya di sini, tetapi tidak ada salahnya disebutkan bahwa dalam pemikiran KAS tidak disebutkan secara jelas perkembangan tentang (rasa) estetika dan gagasan tentang perlunya sebuah kebudayaan baru, dua gagasan yang dikembangkan oleh Krishnamurti (Ibid., hal. 37). Namun perlu diingat, keduanya memang belum pernah bertemu, meski keduanya terhubung oleh tradisi pemikiran yang saling terkait, yakni Jawa dan India. Ambil contoh dalam pemikiran Ki Hajar, yang terpengaruh oleh Rabindranath Tagore dengan “Model India”-nya.
4. Mungkin akan membantu jika hal itu dilihat sebagai hasil dari proses pencarian yang panjang sehingga dalam makna tertentu mirip dengan wahyu.
5. Moh. Said Reksohadipodjo, “Ki Ageng Suryomentaram,” dalam Pusara 44: 4 (April 1975), hal. 138.
6. Dalam pendekatan spiritual Jawa, De Jong menyebutkan tiga komponen inti: citra tentang Raja, penjarakan, dan representasi; lihat Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1976), hal. 151. (Adaptasi dalam bahasa Indonesia atas tesis De Jong “Een Javaanse Levenshouding,” Vrije Universiteit, Amsterdam, 1973). Penulis melihat konsep emansipasi (distansi) sebagai sesuatu yang penting dalam karya-karya KAS.
7. Gagasan tentang “selubung” atau layar penutup (warana, aling-aling), yang menyembunyikan kesadaran sejati, yang secara umum terdapat dalam ajaran-ajaran kebatinan.
8. Meminjam ungkapan De Jong (ibid.).
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Kawruh Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
“Sang Pemimpin” dan Para Pengikutnya
idorong oleh perhatian yang nyata terhadap “pengajaran”, KAS merefleksikan secara panjang lebar perihal pendekatan yang perlu dipakai oleh seseorang yang mempelajari “Ilmu Jiwa”.[1] Yang pertama, dia harus menyadari bahwa ilmu ini sangat sederhana dalam ajaran-ajarannya, namun (sekaligus) sangat sulit ketika akan dipraktikkan.
Sederhana dalam hal cara dia menggambarkan pikirannya. Hal tersebut diujarkan dalam perumpamaan, di mana setiap gagasan ditampilkan melalui peristiwa sehari-hari, meski sering kali mengandung risiko, karena hal itu di hadapan kita nampak sebagai sesuatu yang remeh-temeh. “Hal pertama kali yang mesti seseorang lakukan untuk memastikan keberlanjutan keturunannya adalah memiliki mertua, istri, lalu anak, kondisi yang tidak berlaku bagi sapi-sapi, misalnya, karena mereka tak perlu memiliki mertua dan istri.”[2] Menciptakan secara konstan perumpamaan-perumpamaan seperti itu sesuai dengan gagasan bahwa pengalaman seseorang merupakan sumber utama bagi kebangkitan kesadarannya.
Elemen-elemen dari setiap pernyataan yang berbeda secara hati-hati didefinisikan dan dianalisis satu per satu. Alasan-alasan disampaikan melalui serangkaian antitesis, dirancang secara dialektis, untuk menggugah para pendengar dan pembacanya tentang citra harmoni dalam setiap argumen yang dia sampaikan.
Sangat sedikit kata-kata dalam bahasa asing, bahkan Indonesia sendiri, yang bisa ditemukan. Meski KAS menemukan sendiri istilah-istilah yang digunakannya (kramadangsa, ukuran kaping sakawan, raos sewenang-wenang, dan lain-lain), namun secara umum dia sebenarnya menggunakan kosa-kata yang sederhana untuk menghindari perangkat-perangkat literer yang baku. Jika kalimat yang dia gunakan kemudian tidak selamanya baku, hal ini tidak bisa dilepaskan dari fakta bahwa versi asli ceramah-ceramahnya bersumber dari bahasa lisan, sama halnya dengan kegemarannya menggunakan ungkapan-ungkapan yang paradoks.
Adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Pendek kata, teknik-teknik gaya bahasanya menarik perhatian penulis. Hal itu merefleksikan bagaimana sikap pengajarannya yang menunjukkan sebuah penekanan untuk merasionalkan hal-hal, sesuatu yang sangat berbeda dengan “bualan” yang dapat ditemukan di berbagai ajaran kebatinan; hal itu juga menegaskan rasa hormat Ki Ageng terhadap para pengikutnya. Hal-hal tersebut Ki Ageng sampaikan dalam bahasa krama, sambil tetap berhati-hati untuk menghindari penggunaan istilah-istilah yang berlebihan (krama inggil) yang berkonotasi feodalistik. Sebaliknya, dia menggunakan bahasa ngoko (bahasa Jawa yang dipakai sehari-hari oleh orang biasa) untuk percakapan-percakapan pendek atau komentar-komentar mendadak dalam ceramah-ceramahnya semata-mata sebagai tanda dari sebuah keakraban, sehingga menciptakan suasana santai ketika dia sedang berbicara dalam pertemuan-pertemuan tersebut.
Bagi orang Jawa, nada bicara (dalam percakapan) dan kata-kata yang digunakan sangat penting maknanya, karena hal itu berdampak secara emosional. Dalam kata pengantar edisi bahasa Indonesia, Ki Oto Suastika memberikan sejumlah peringatan: “Kesulitan-kesulitan yang dijumpai dalam penerjemahan karya ini bersumber dari banyaknya istilah-istilah pengungkapan dan bentuk-bentuk ujaran dalam bahasa Jawa yang menggunakan konsep rasa.”[3] Begitu juga dengan Ki Sangoebrangta (Ki Pronowidigdo), salah seorang yang pertama kali menyebarkan ajaran-ajaran Ki Ageng (atau nasihat-nasihatnya, yaitu wejangan), menyebutkan dalam sebuah pengantar untuk pembaca di majalah Poesara, bahwa dia tetap mempertahankan penggunaan bahasa Jawa supaya tidak terjadi kesalahpahaman terhadap wejangan-wejangan KAS “seperti yang berhubungan dengan pemahaman tentang konsep kepekaan (rasa) dan perangai”, meski dia akhirnya juga memberikan pemakluman terhadap penggunaan huruf latin ketimbang huruf Jawa.[4]
Memahami Ajaran KAS
Bagi para pengikut Kawruh Jiwa (pelajar), ajaran-ajaran KAS, baik yang terucap maupun tertulis, baru merupakan langkah pertama. Memahami ajaran-ajaran tersebut dalam kaitannya dengan situasi kehidupan nyata (setelah mampu menguasai prinsip-prinsip umumnya dan memiliki pemahaman yang mencukupi untuk mempraktikkannya selama proses belajar) itu lebih penting. Seorang pelajar harus mampu “memahami caranya memahami” (ngertos carane ngertos) agar mendapatkan inti pemahaman tentang hal-hal (nandhes), yaitu mencapai pemahaman yang kokoh (kekah pangertosanipun). Mungkin agak bermasalah jika anjuran tersebut dibakukan dalam sistem pengajaran, sebab anjuran-anjuran tersebut lebih sebagai asupan bagi pikiran. Apa yang kemudian penting bagi para pengikut Kawruh Jiwa adalah mereka perlu memperdebatkan gagasan-gagasan yang terkandung dalam ajaran-ajaran tersebut. Pelajar yang lebih berpengalaman akan membimbing para pelajar baru dalam sebuah “pertemuan” (bahkan meski hanya dilakukan oleh dua orang) yang dikenal dengan Junggring Salaka.[5] Pada hakikatnya periode pembelajaran tersebut bersifat seumur hidup; setiap kali menjumpai ketidakberuntungan (raos cilaka), kondisi ini perlu dilihat melalui sudut pandang ajaran, yang kemudian akan memungkinkan perasaan seseorang tentang dirinya menjadi lebih jernih. Namun demikian, adalah sebuah kesalahan ketika ajaran Kawruh Jiwa dianggap sebagai pendekatan yang bersifat doktriner atau sebuah “Mantra Suci”. Yang lebih penting di sini adalah ketulusan maksud dari para pembelajar, begitu juga bagi pengajarnya. KAS tidak ingin ajarannya mengebiri semangat atau menimbulkan fanatisme pada para pengikutnya; dia ingin nasihat-nasihatnya tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan dan kemampuan mental mereka. Sementara pengetahuan tentang sistem filosofi atau keyakinan dalam ajaran kebatinan justru menghambatnya.
Ada dua jenis pertemuan di antara para pelajar: pasinaon dan jawah kawruh. Yang pertama adalah kesanggupan untuk belajar (sinau) dan mengembangkan teknik-teknik analisis diri. Ketika mereka telah sampai pada tahap menguasai prinsip-prinsip dan istilah-istilah dalam ajaran, para pelajar kemudian dapat melanjutkan pada jenis pertemuan yang kedua, yaitu “kehujanan ilmu” (papanggihan jawah kawruh). Tahapan ini berupa upaya-upaya memberikan bantuan kepada mereka yang menderita akibat gangguan psikologis tertentu dengan secara teliti menganalisis penyebab-penyebab masalah mereka itu (ngudari reribed). Untuk jenis psikoterapi ini (mungkin bisa diistilahkan demikian), sangat penting untuk menguasai dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), yaitu kemampuan “merasakan apa yang orang lain rasakan” (feel what others are feeling).
Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.
Secara umum, terlepas dari pertemuan-pertemuan yang memiliki konsekuensi-konsekuensi praktis dan langsung tersebut, seorang pelajar harus mampu, melalui contoh yang dia tentukan sendiri dan dengan kemampuan yang dia miliki sendiri, memberikan pengaruh yang bermanfaat bagi lingkungan sosialnya.
Akhirnya, untuk melihat peran dari ajaran-ajaran Kawruh Jiwa, perlu juga dilihat suplemen-suplemen yang terkandung di dalamnya, yaitu syair dan drama. Ki Ageng menciptakan sendiri sejumlah tembang (uran-uran) dalam bentuk macapat dan beberapa panembrama (tembang-tembang sambutan) yang dirancang untuk membantu para pelajar mengingat bagian-bagian terpenting dari nasihat-nasihatnya.[6] Tembang-tembang itu dibaca dan disenandungkan secara bersama-sama dalam pertemuan. Sementara untuk drama, dalam sebuah pentas alegoris—Raos Mlenet (perasaan tertekan)—KAS mengulang kembali gagasan terpentingnya tentang pernikahan: bahwa seseorang harus bebas memilih siapa yang bakal dia nikahi. Diceritakan dalam sebuah keluarga terdapat tiga tokoh protagonis: ayah, ibu, dan anak perempuan, di mana masing-masing pihak telah memiliki pilihan perihal calon suami untuk si anak perempuan. Hal itu kemudian melahirkan konflik di antara mereka. Si anak mengancam akan bunuh diri jika orang tuanya tetap memaksakan pilihan mereka (perlu dicatat bahwa dorongan untuk bunuh diri adalah sebuah gangguan psikologis, seperti yang disebutkan dalam karya-karya KAS). Konflik tersebut akhirnya bisa terselesaikan berkat bantuan salah seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang membimbing mereka untuk memahami bahwa konflik tersebut terjadi semata-mata karena masing-masing pihak kurang memiliki pemahaman terhadap motivasi mereka dan memiliki egoisme di antara mereka.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa KAS menemukan sosok pendukung setia bagi gagasan-gagasannya pada diri Prawirowiworo. Ki Prono, mantan anggota Perkumpulan Selasa Kliwon, juga bisa disebut sebagai salah seorang yang pertama-tama memberikan dukungannya. Bagi Ki Haditomo, salah seorang pengikut KAS, dua orang itu bersama dengan Ki Ageng, merupakan semacam tritunggal, di mana Ki Prono mewakili pikiran (cipta), Ki Prawiro mewakili hati (manah), dan Ki Ageng adalah tubuhnya (raga).[7]
Warisan KAS Untuk Bangsa
Salah satu ceramah publik pertama KAS diterbitkan dan diberi komentar oleh M. Soedi,[8] kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda oleh R. Imam Moehni dengan judul Inwijding tot het eeuwigdurende geluk van B.R.M. Soerjomentaram (Pengantar untuk Kebahagiaan Abadi, terbit 9 Maret, 1930).[9] Penerjemah memberikan sebuah penjelasan tentang istilah-istilah Jawa yang digunakan KAS dalam sebuah pengantar panjang, serta memberikan komentar-komentar atas pernyataan-pernyataan KAS, yang waktu itu masih menyandang sebutan “Pangeran.” Dengan cara yang sama, di Surakarta pada 1931, dasar-dasar ajaran KAS juga diterbitkan namun dalam bentuk yang lebih lengkap.[10] Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa sejak saat itu KAS telah memiliki sejumlah pengikut yang menyebarkan gagasan-gagasannya.
Pada 1932 dilanjutkan dengan pertemuan yang bertajuk Junggring Salaka Agung—sebuah pertemuan tahunan untuk mempertemukan perwakilan-perwakilan dari perkumpulan pelajar di berbagai daerah.[11] Namun, KAS dan para pengikutnya menolak untuk membuat sebuah perkumpulan yang terstruktur: perkumpulan-perkumpulan tersebut tidak terbentuk secara formal, para pengikutnya tidak diwajibkan membayar iuran masuk dan dapat keluar dari perkumpulan sewaktu-waktu ketika mereka menghendakinya—perlu disebutkan bahwa kelompok belajar itu dapat diselenggarakan hanya oleh dua orang, bersifat luwes (non-directive), dan tak seorang pun diperkenankan mengklaim dirinya sebagai guru, bahkan Suryomentaram sendiri, yang oleh para pengikutnya hanya disebut sebagai “bangkokan”.[12] Meski begitu, sejenis panitia lokal tetap dibutuhkan untuk bekerja sama dan menjalin koordinasi dengan panitia umum (Panitya Umum) yang berkedudukan di Surakarta.
KAS juga menyampaikan ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Hanya sedikit organisasi atau bahkan nyaris tidak ada yang bisa dianggap sebagai wadah bagi penyebaran pemikiran-pemikiran KAS. Yang muncul di tahun 1930-an hanyalah sejenis gerakan, seperti sebuah pertemuan yang diikuti dengan pertemuan lainnya (meskipun demikian, hal ini tetap penting untuk dilihat sebagai penanda bagi perluasan gagasan-gagasan KAS waktu itu—penerj.). Pertemuan-pertemuan awal tersebut mengundang sejumlah opini bernada mengejek, meski kemudian segera lenyap. Bagaimanapun juga, setelah Junggring Salaka Agung menyelenggarakan sejumlah diskusi dan publikasi, ajaran-ajaran KAS kemudian menjadi lebih mapan. Pertemuan di Yogyakarta pada 1937 merupakan yang terakhir diselenggarakan sebelum perang. Apakah kemudian gerakan tersebut kehilangan momentum? Selama pendudukan Jepang, memang benar bahwa situasi negeri ini tidak memungkinkan bagi tumbuhnya diskusi-diskusi filosofis tentang kebahagiaan personal sebagaimana yang dilahirkan KAS. Seperti yang sudah diungkapkan, KAS yang disibukkan oleh perlawanan terhadap kekuasaan penjajah ikut terlibat dalam arena politik dan mendukung semangat perlawanan yang bisa dilihat dari keikutsertaannya dalam perlawanan terhadap kembalinya Belanda. Namun Ki Ageng tidak kekurangan pengikut. Pada 1948, setelah terjadi Peristiwa Madiun, dia menyampaikan sebuah seruan untuk persatuan kepada para pengikutnya melalui Djawah Kawruh, terbitan berkala yang dia dirikan namun hanya mampu terbit selama dua bulan. Sejak awal 1950-an, ketika suasana damai mulai terwujud, dia mulai sering berkunjung ke daerah-daerah untuk menghidupkan kembali perkumpulan-perkumpulan di daerah. Dia memberikan sejumlah kuliah di Jawa Barat (Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung) untuk mengenalkan gerakannya.[13]
Pada penyelenggaraan Junggring Salaka Agung di Megelang tahun 1953, dia menjelaskan dasar-dasar tentang dimensi keempat (ukuran kaping sekawan), sebuah gagasan yang disebarkan dalam majalah Dudu Kowe, publikasi lainnya yang juga berumur pendek.[14] Pada 1953 juga berdiri yayasan penerbitan Windu Kentjana di Surakarta, yang menerbitkan atau menerbitkan ulang ceramah-ceramah KAS. Bersamaan dengan itu, di Magelang Ki Djasoewadi juga mendirikan perusahaan dengan nama CV Harapan yang menerbitkan karya-karya KAS. Sejak saat itu, penyebarluasan gagasan-gagasan filosofis KAS semakin berkembang dan telah memberikan pemasukan rutin bagi perkumpulan. KAS sendiri kemudian berterima kasih atas penerbitan itu karena sedikit banyak dia juga menerima pemasukan darinya.[15]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru.
Dapatkah gerakan ini dikatakan sepenuhnya memisahkan diri dari kehidupan politik, sebagaimana dikehendaki oleh para pemimpinnya? Untuk menilai hal ini, kita bisa melihat misalnya melalui selebaran yang dibuat oleh Panitya Kawruh Jiwa Klaten di tahun-tahun menjelang pemilu 1955. Ternyata perkumpulan ini tidak sepenuhnya steril dari politik, karena dalam selebaran tersebut terdapat sebuah syair yang disenandungkan dengan diiringi gamelan (sendhoman) yang menyerukan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pemilu. Keterlibatan tersebut merupakan wujud sumbangsih bagi perkembangan negeri, serta sarana untuk menyampaikan tuntutan-tuntutan rakyat (wong cilik).[16] Seperti yang bisa dilihat, pada tahun-tahun itu KAS sendiri juga menyampaikan ceramah yang agak berbeda, yaitu ceramah yang beraroma nasionalistik (Raos Pantja Sila merupakan ceramah yang disampaikan pada 1955).
Selama masa kolonial dan pendudukan Jepang, beberapa kali gerakan Kawruh Jiwa menjadi sasaran kecurigaan. Ketika kemerdekaan telah diraih, pelajar disarankan untuk menunjukkan rasa hormat dan kepedulian kepada mereka yang ingin mengenal gerakan ini: semua buku yang dipelajari, di mana KAS sendiri yang sepenuhnya bertanggung jawab, harus ditunjukkan secara jujur kepada mereka yang kemungkinan akan atau ingin meneliti.[17]
Meski Ki Ageng sering kali membuat (pernyataan) serangan-serangan terhadap irasionalitas yang diajarkan dalam kebatinan, dan secara terang-terangan memisahkan dirinya dari kecenderungan tersebut, namun dia (ternyata) tidak bisa sepenuhnya menghindari penilaian yang menganggap bahwa gerakan Kawruh Jiwa juga sebuah aliran di mana dia sendiri bertindak sebagai seorang guru. Apakah hanya kesalahan penilaian yang dibuat oleh para pengamat, atau semata penilaian berdasar fakta yang nampak dari luar dan dari perilaku-perilaku tertentu yang ditunjukkan oleh para pelajar, gerakan ini bisa dibilang menunjukkan semua ciri dari sebuah “aliran kebatinan”. Dalam sebuah kesempatan, Clifford Geertz memasukkan gerakan Kawruh Jiwa ke dalam aliran kebatinan, berdasarkan pada pengamatannya dan komentar-komentar yang disampaikan oleh seorang guru Kawruh Jiwa dari Pare (sebuah kota kecamatan di Kabupaten Kediri, Jawa Timur). Namun demikian, bagi Geertz sendiri gerakan ini lebih memilih menggunakan “analisis fenomenologis” (untuk menemukan/mencapai kebenaran—penerj.) ketimbang meditasi/semedhi, sebuah teknik yang merupakan bagian terpenting dari ajaran-ajaran kebatinan.[18] Ketika Ki Ageng meninggal, sebuah tulisan yang dimuat di terbitan berkala Varia menyebutkan bahwa dia merupakan “tokoh di dalam dunia kebatinan”.[19] Dalam sebuah entri “Surya Mataram, Ki Ageng” yang tercantum dalam Ensiklopedi Umum (hal. 1270–71), disebutkan informasi: ‘Pangeran Surya Mataram yang kemudian menggunakan nama Ki Ageng adalah guru dari aliran kebatinan yang dikenal sebagai Ilmu Begdja. Pengikutnya tersebar luas dan berasal dari berbagai daerah, meski kurang ada informasi dan organisasi yang bisa menjelaskan gerakan ini. Ajarannya disampaikan melalui ceramah-ceramah di hadapan para peserta yang duduk “lesehan” (Jawa: duduk di atas lantai/tanah)….’ Namun pada 1953 gerakan Kawruh Jiwa tidak dimasukkan sebagai aliran kebatinan di Daerah Istimewa Yogyakarta.[20]
Pada pertemuan Junggring Salaka yang terakhir, digelar di Purwokerto[21] tahun 1959, dibagikan buku kecil kepada para peserta yang di dalamnya terdapat fakta-fakta menarik seputar pertemuan dan informasi berharga tentang latar belakang sosial serta asal-usul para anggota.
Pertemuan tersebut diselenggarakan oleh panitia lokal yang diketuai Ki Notoamidjojo. Setelah upacara pembukaan dan semua tamu telah menempati tempatnya, KAS memberikan sebuah ceramah. Selain itu, sebuah sandiwara dengan judul Tjipta Djiwa juga dimainkan selama dua hari saat pertemuan berlangsung. KAS memimpin debat dan memberikan tanggapan terhadap pertanyaan dan komentar yang disampaikan oleh pelajar kepada sejumlah pembicara (KAS sendiri, Ki Kartosumanto, dan Ki Prono). Para peserta kemudian diminta untuk menyampaikan kesulitan-kesulitan serta perkembangan yang telah mereka capai dalam mempelajari “Ilmu Jiwa” di perkumpulan mereka masing-masing.
Nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa).
Dalam publikasi tercatat 257 nama dan alamat anggota panitia lokal yang berasal dari lima puluh kota di Jawa, baik kota besar maupun menengah. Terdapat sejumlah kota besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertanggung jawab menyebarluaskan informasi tentang pertumbuhan gerakan ke berbagai daerah. Di Temanggung, Magelang, juga Jember, terdapat lebih banyak panitia lokal daripada di kota-kota lainnya. Kota-kota dari bagian barat Pulau Jawa juga memiliki panitia, seperti Jakarta, Bogor, dan Bandung. Dalam dokumen tersebut juga tercatat perwakilan dari Madura dan Lampung.
Kecuali untuk Suryomentaram (Ki Ageng) dan Pronowiworo (Kyahi), nama para pelajar biasanya didahului oleh partikel ki untuk laki-laki dan nyi untuk perempuan (sebagaimana juga berlaku dalam gerakan Taman Siswa); jumlah peserta perempuan jauh lebih sedikit dibanding peserta laki-laki. Disebutkan juga perihal latar belakang profesi para peserta: pegawai, guru sekolah rakyat, kepala desa, mantri pengairan, dan bahkan dalang. Meski sejumlah pegawai tinggal di kauman, sangat sedikit yang menggunakan nama-nama bernuansa Islam. Nama-nama Cina juga jarang; namun kontribusi keuangan mereka, yang bisa dilihat dari iklan-iklan yang tercantum dalam selebaran publikasi tentang sejumlah usaha yang mereka kelola (batik, percetakan, otobus, dan pusat-pusat perbelanjaan), tetap penting. Perlu juga disebut bahwa tidak ada nama yang berakhiran ningrat (sebuah indikasi kehormatan), dan berdasarkan nama serta profesi yang telah tercatat, mereka umumnya berasal dari golongan priyayi kelas menengah atau rendah.
Setelah penyelenggaraan kongres yang terakhir ini, KAS hanya menyisakan tiga tahun waktu hidupnya, dan dalam beberapa bulan dia dalam keadaan sakit. Setelah kematiannya, para pengikutnya di Yogyakarta kemudian mengumpulkan karya-karya KAS dan menerbitkannya dengan Ki Atmosutidjo sebagai pemimpin dan pemberi dukungan moral. Beberapa publikasi selanjutnya diedarkan.[22]
Hari ini (merujuk tahun ’60-an, setelah kematian Ki Ageng—penerj.), di kota tempat pemerintahan Kesultanan Yogyakarta pada zaman dulu, perkumpulan Kawruh Jiwa yang dipimpin oleh Ki Haditomo, selalu menyelenggarakan pertemuan setiap 35 hari, yaitu setiap Minggu Pon, hari di mana sang Filsuf wafat. Terlihat juga Nyi Suryomentaram, janda KAS, berperan dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran suaminya. Sementara Grangsang (putra dari pernikahan pertama KAS) dianggap sebagai pewaris ajaran spiritual sang ayah dan sosok yang akan melanjutkan gerakan tersebut. Meski tanggung jawab profesionalnya (Grangsang adalah dokter di kesatuan Angkatan Laut berpangkat letnan kolonel) sering kali membuatnya harus meninggalkan tugas memimpin perkumpulan, namun dia tetap berusaha menghidupkan gagasan-gagasan ayahnya dengan dibantu oleh Ki Oto Suastika dan Yayasan Idayu; dia juga berkomitmen untuk membangun/mengembangkan gerakan yang telah ayahnya rintis.
Bersambung…
Baca juga:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Catatan Kaki:
[1.] Bagian yang paling menjelaskan prosedur ini terdapat dalam Tandesan.
[2.] Raos Pantja Sila, hal. 5.
[3.] Cf. Filsafat Rasa Hidup, hal. 7.
[4.] Ki Sangoebrangta, “Pendidikan oentoek ketentraman doenia, wedjangan Toeankoe Pangeran Soerjamataram (Kiai Ageng Beringin),” dalam Poesara 1: 10 (Januari 1932).
[5.] Dalam wayang, Junggring Salaka dijelaskan sebagai rumah para dewa dan tempat mereka menyelenggarakan pertemuan.
[6.] Dalam bagian Uran-uran Bedja.
[7.] Dari sebuah wawancara dengan Ki Haditomo (Mei 1975).
[8.] M. Soedi, Ngelmi–Kawruh–Pitedah. Edisi keenam karya ini menyertakan sebuah pengantar tertanggal 15 April 1929. Sulit untuk menyusun kronologi terhadap publikasi-publikasi yang paling awal; seperti Uran-uran Bedja dan Pangawikan pribadi (kemungkinan ditulis oleh Prawirowiworo), kemungkinan terbit tahun-tahun itu juga.
[9.] Penulis berterima kasih kepada Mr. Tsuchiya yang telah menyediakan tulisan ini.
[10.] Wedjangan.
[11.] Junggring Salaka yang pertama diselenggarakan di Salatiga; pada 1933 diselenggarakan di Surakarta, 1934 di Kudus, 1935 di Madiun, 1936 di Wonosobo, dan 1937 di Yogyakarta. Setelah jeda selama tiga belas tahun, Junggring Salaka yang ketujuh diselenggarakan di Magelang pada 1953, kemudian di Surabaya pada 1954, di Semarang pada 1956, di Tulungagung pada 1957, dan yang terakhir di Purwokerto pada 1959. Dalam buku peringatan untuk pertemuan yang terakhir ini (21, 22, 23 Maret), sebuah tulisan Kjai Pronowidigdo menjelaskan tentang sejarah gerakan Kawruh Jiwa (“Riwajatipun Kawruh Djiwa”).
[12.] Istilah ini digunakan untuk merujuk binatang tertentu yang karena kekuatan dan usianya kemudian dianggap lebih mampu untuk memimpin kelompoknya. Istilah tersebut dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai “patriarch”.
[13.] Pada 1952 di Jakarta dia berbicara kepada Panitya Filsafat dan Kebatinan (Philosophical and Kebatinan Commitee), kepada Yayasan Hidup Bahagia (Happy Life Foundation) yang diketuai oleh Mr. Wongsonegoro, dan kepada perkumpulan masyarakat Cina, yakni Sam Kauw Hwee dan Khong Kauw Hwee.
[14.] Peristiwa tersebut juga dimuat dalam terbitan berkala Siaran.
[15.] Dari wawancara dengan Ki Haditomo.
[16.] Sendona bab Pemilihan Umum.
[17.] “Manawi Junggring Salaka kedhatengan wakiling Pamarintah ingkang gadhah tugas naliti pakempalan-pakempalan dan grombolan-grombolan kanca-kanca cekap namung nyaturaken buku-buku Kawruh Jiwa wau….” (Buku Peringatan).
[18.] Clifford Geertz, The Religion of Java, 2nd ed. (Chicago dan London: University of Chicago Press, 1976), hal. 344–345.
[19.] Varia 5: 206 (28 Maret 1962). Tulisan tersebut ditulis oleh Siauw Tik Kwie, seorang Pelajar Kawruh Jiwa yang kemudian menjadi penerjemah karya-karya KAS yang diterbitkan oleh Yayasan Idayu dengan nama Ki Oto Suastika.
[20.] Republik Indonesia: Daerah Istimewa Jogjakarta (Jakarta: Kementrian Penerangan, 1953); cf. hal. 675–82.
[21.] Lihat catatan 54.
[22.] Ki Atmosutidjo, Gandulan… ; Ki Djojodinomo, Ular-ular… ; Ki Suwardi Partosardjono, Sadjimpit Hatsil… (diterbitkan oleh Panitya Kawruh Jiwa di Magelang yang tetap aktif pada 1970).
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
Pemikiran Filosofis KAS
ama seperti hidupnya, tulisan-tulisan KAS juga dicirikan oleh gagasan tentang pencarian “kebahagiaan”, atau sebuah kondisi psikologis yang mirip dengan “kebebasan spiritual”. Pertama kali dikenal sebagai Kawruh Beja, pemikiran filosofis ini di kemudian hari lebih sering disebut dengan Kawruh Jiwa atau Ilmu Jiwa (Science of the Soul) atau Ilmu tentang Pengetahuan Diri (Science of Self-knowledge). Perubahan istilah tersebut agaknya ditujukan untuk lebih memberi penekanan makna pada pencapaian pengetahuan seperti itu, yang tidak disangsikan lagi berhubungan erat dengan refleksi-refleksi mendalam penggagasnya.1
Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang. Meski manusia juga adalah makhluk dengan kebutuhan dasar sebagaimana binatang—misalnya kebutuhan bertahan Hidup (pangupa jiwa) dan melanjutkan keturunan (lestantuning jenis)—namun kemudian manusia berbeda dengan mereka karena manusia menyadari kebutuhan-kebutuhan tersebut (raos gesang/awareness of life). Konsep kebahagiaan atau ketidakbahagiaan yang umumnya dipahami oleh manusia pada dasarnya bersumber dari kondisi terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.
Lebih lanjut, sekali kebutuhan dasar itu terpenuhi manusia kemudian menyadari kebutuhan-kebutuhan sekunder yang muncul dalam imajinasinya. KAS memberi contoh demikian: ketika manusia haus, dalam imajinasinya kemudian muncul gagasan tentang teh, kopi, atau bir, sementara ada jenis cairan lain yang sebenarnya lebih bisa menghilangkan dahaganya, yaitu air putih (kebutuhan mendasar yang dirasakan semua orang). Manusia kemudian menjadi korban dari kebutuhan-kebutuhan yang diandaikannya sendiri, yang bersumber dari hasratnya (karep). Hasrat ini memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan manusia dan sering disalahpahami sebagai eksistensi manusia itu sendiri: manusia adalah hasrat (karep punika tiyang). Ketika masih berada di dalam kandungan ibu, sudah ada hasrat, yaitu hasrat lahir. Hasrat itu abadi (karep punika langgeng), suatu waktu bisa menimbulkan kebahagiaan, sementara di lain waktu dapat menyebabkan kesengsaraan, dan dua perasaan ini akan selalu hadir dalam diri manusia sebagaimana hasratnya—keduanya adalah keabadian manusia (manusia itu abadi sebab hasratnya tidak mengenal awal atau akhir).2
Beberapa jenis hukum nampaknya mengendalikan kehidupan hasrat-hasrat ini: meski sebuah kebutuhan mungkin telah terpuaskan, namun mungkin ia akan melahirkan tuntutan baru yang mendesak untuk diwujudkan (mulur atau mengembang); sementara sebuah kebutuhan yang tak terpuaskan, meski ia masih ada, namun kurang penting/mendesak untuk diwujudkan (mungkret atau menyusut). Hasrat ini begitu berpengaruh terutama di tiga ranah yang telah terdefinisikan secara jelas: kemakmuran (semat, kecenderungan umum terhadap kenikmatan material), pengakuan publik (drajat, posisi orang dalam hierarki sosial), dan kekuatan magis (kramat). Pengalaman tidak membahagiakan yang berlangsung lebih dari tiga hari berturut-turut biasanya akan mendorong orang untuk mencari/melakukan hal-hal yang kurang bermanfaat. Ajaran penting KAS lainnya adalah sebagai berikut: “Tidak ada sesuatu pun di atas bumi dan di kolong langit ini yang pantas untuk dikehendaki dan dicari, atau sebaliknya, ditolak secara berlebihan.”3 Semua tulisan KAS dicirikan oleh contoh-contoh yang didasari oleh prinsip ini.
Sebuah contoh mungkin cukup untuk menjelaskan: seseorang yang akan menikahkan anaknya terobsesi untuk memberikan layanan terbaik kepada tamu-tamunya dengan menyuguhkan hiburan wayang kulit kepada mereka, namun dia ternyata tidak cukup punya uang sehingga diliputi kecemasan. Dia bingung harus dengan jalan seperti apa mencari pinjaman dalam jumlah sebesar itu. Jika dia tidak berhasil mendapatkan pinjaman, dia akan menemukan dirinya berada dalam situasi yang memalukan dan akan menanggung rasa malu (wirang). Namun hal ini tidak akan berlangsung lama, sebab setelah acaranya selesai, betapa dia merasa lega karena (ternyata) dia tidak perlu menanggung hutang.4
Hasrat terhadap semat–drajat–kramat terjadi apabila masing-masing di antara kita hanya dikendalikan oleh kesenangan kita sendiri, memanjakan egoisme, dan bertindak sewenang-wenang. Hal itu kemudian tidak hanya akan menjadi sumber kecemasan (sumelang) dan penyesalan (getun), tetapi juga akan menimbulkan persaingan sosial dan ketidaksetaraan. Barang siapa yang belum memiliki sesuatu maka mereka akan cemburu (meri), sementara bagi yang telah memilikinya maka mereka akan takut kehilangan apa yang dimilikinya itu. Mereka cenderung akan mencari sesuatu yang dapat menimbulkan kenyamanan diri dan menyingkirkan sesuatu yang kurang menguntungkan/menyenangkan.5
Dasar dari “Ilmu Kebahagiaan” ini adalah pengakuan terhadap eksistensi manusia sebagai sebuah simpangan (interchange) antara senang (bungah) dan susah (susah). Dimilikinya perasaan bahagia (raos beja) dan tidak bahagia (raos cilaka) seperti itulah yang kemudian membedakan antara manusia dengan binatang.
KAS menyebut “kramadangsa” untuk menjelaskan bagian dari diri kita yang mendorong kita untuk mencari kenyamanan diri sendiri tanpa mempertimbangkan atau peduli kepada orang sehingga membuat kita bertindak sewenang-wenang (mila kramadangsa punika mesthi padhos sakeca pribadi lan mboten parduli tangga inggih punika ingkang murugaken sewenang-wenang).6 Kramadangsa juga yang membuat kita memercayai kenyataan yang hanya kita kehendaki dan menghalangi kita untuk melihat dunia sebagaimana adanya ketimbang hanya kesan-kesan yang kita miliki tentangnya. Ia bersemayam dalam kesadaran seseorang dan menghalangi munculnya diri sejati (true self), diri yang bebas dari gejala-gejala. Pendek kata, “diri yang terjebak dalam gejala-gejala” (contingent-self) ini kemudian akan diseimbangkan oleh “diri yang sejati” atau “Aku” (essential-self). Hasilnya adalah manusia semakin menyadari eksistensinya serta dorongan-dorongan untuk melakukan refleksi dan menambah pengetahuannya. Dia juga mampu membuka tirai penghalang (aling-aling) yang menutupi dunia batinnya (inner being). Hasilnya, dia akan semakin tahu tentang “kesadaran diri” yang sejati (raos aku).
Kita telah melihat bagaimana suatu hari KAS berhasil menemukan diri sejatinya, sebuah penyingkapan diri yang kemudian membuatnya berujar: “Suryomentaram dudu aku” (Suryomentaram bukan saya). Untuk menjelaskan proses “menemukan diri yang baru” itu, dia mengingat sebuah kejadian yang telah mengubah hidupnya: suatu hari dalam perjalanan menuju Parangtritis dia terhadang oleh banjir di Kali Opak. Tak ada tukang perahu yang bisa menyeberangkannya. KAS memutuskan untuk berenang menuju bibir sungai di seberang, namun aliran sungai yang deras justru menyeretnya. Dalam kondisi nyaris tenggelam itu, tiba-tiba menjadi jelas dalam pikirannya bahwa kenekatannya menyeberangi sungai itu dipengaruhi oleh hasrat untuk mengakhiri hidup (karena dia baru saja kehilangan istri pertamanya). Sosok Suryomentaram yang bersemangat itu, yang berangsur-angsur hilang di dalam air, sama sekali berbeda dengan sosok yang telah muncul ke permukaan kemudian—sosok itu telah berubah menjadi “diri yang tenteram”.7 Dia pun berkata, “Ini bukan saya” (dudu aku).
Orang harus belajar dari pengalaman (piageming gesang) agar bisa membedakan momen-momen yang menyenangkan dengan momen-momen yang menyusahkan untuk mempertajam rasa-nya. Ini adalah persoalan waktu dan latihan. Pendekatan KAS ini tiada lain adalah introspeksi (pengawikan pribadi atau mawas diri).8 Pendekatan ini sepenuhnya bersifat individual, meski hal ini juga tidak menutup kemungkinan bantuan dari orang lain: untuk memastikan bantuan orang lain seseorang harus berdialog dengan dirinya sendiri terlebih dulu, menanyakan tentang penilaian-penilaian orang lain tentang dirinya, lalu melihat posisi mereka kembali, melihat “dari dampak-dampaknya, lalu penyebab-penyebabnya” (from effects to the causes).
Perasaan bahagia bukanlah antitesis dari perasaan tidak bahagia, melainkan muncul dari rasa tenteram dan bebas yang dihasilkan dari kemampuan seseorang dalam menghadapi eksistensinya sendiri. Orang mestinya lebih fokus untuk menemukan “kesadaran diri”, bukan “kebahagiaan”, sebab yang kedua hanyalah akibat dari yang pertama. Ketika kebahagiaan itu hadir dari eksistensi manusia yang terdalam (Aku), maka ia sama dengan kesadaran diri itu sendiri. Ketika orang diliputi oleh kebijaksanaan ini, maka satu-satunya kemungkinan yang dimilikinya dalam bertindak adalah sifat tangguh (tatag), nasibnya tidak akan lagi ditentukan oleh kejadian-kejadian di sekitarnya (tak lagi mempersoalkan di mana, kapan, dan bagaimana kejadian-kejadian itu terjadi). Untuk memutus jeratan siklus takut akan masa depan dan menyesali masa lalu,9 dan untuk mendapatkan hasil akhir dari perpotongan antara perasaan bahagia dan tidak bahagia, orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya). Jika Suryomentaram menginginkan kopi ketimbang teh untuk mengatasi dahaganya, maka “ego” (aku) hanya akan memerintahkan untuk mengambil segelas air putih.
Stabilitas personal merupakan syarat utama bagi keteraturan sosial. Pada kenyataannya, hasrat manusialah yang membujuk atau memaksa kehendaknya untuk memandang orang lain atau dirinya sendiri sebagai korban ketidaksetaraan. Salah satu contoh yang sering digunakan oleh KAS diambil dari konteks kehidupan keluarga: sangat sering orang-orang yang sedang bahagia akan menunjukkan rasa cintanya kepada anak-anak mereka; bisa disebut bahwa cinta mereka itu sebagian datang dari tanggung jawab terhadap keturunan-keturunan mereka dan sebagiannya lagi muncul dari perhitungan untuk mendapatkan bantuan dari si anak kelak ketika mereka menghadapi kesulitan-kesulitan di usia tua; mereka juga dapat memindahkan harapan-harapan mereka tentang kesuksesan hidup kepada anak-anak mereka.10
Contohnya adalah, jika anak mereka tidak naik kelas, maka mereka akan marah. Mereka bisa jadi mengajukan alasan macam-macam, namun alasan yang sebenarnya mendasari kemarahan mereka itu tiada lain adalah adanya rasa takut untuk melihat hancurnya harapan-harapan mereka. Orang tua semestinya menyadari tentang hakikat perasaan-perasaan mereka dan, konsekuensinya, memahami bahwa kemarahan tersebut sebenarnya bersumber dari diri mereka sendiri, dari egoisme mereka, karena tidak naik kelasnya si anak sebenarnya disebabkan oleh motif yang sepenuhnya berbeda (misalnya bukan untuk menghancurkan harapan orang tua—penerj.). Selanjutnya, kritisisme terhadap anak mereka itu tidak lagi bersumber dari kemarahan, melainkan dari perasaan damai (raos dame), dan penilaian akan diambil berdasarkan alasan-alasan bahwa si anak mungkin tidak termotivasi untuk belajar. Ini adalah cinta sejati; ia terlihat dengan jelas ketika seseorang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingannya sendiri. Cinta sejati akan menciptakan harmoni dan mengantarkan pada kedudukan yang sama antara orang tua dan anak (raos sami). Terlepas dari perbedaan-perbedaan individual yang dimiliki manusia, kaya atau miskin, raja atau kuli, naik–turunnya hidup itu memiliki cara yang sama karena dilihat secara psikologis setiap orang itu pada dasarnya setara. Untuk mengetahui dirinya sendiri, seseorang harus mengetahui orang lain, merasakan apa yang mereka rasakan (ngraosaken raosing tiyang sanes). Kepekaan sosial ini oleh KAS disebut sebagai “Ukuran Keempat” (Ukuran kaping IV). Dengan cara yang sama, ketika seseorang berpikir “dudu aku” saat dia mengetahui munculnya dorongan untuk mementingkan diri sendiri, dimensi keempat ini juga akan memberi bisikan kepadanya untuk mengatakan “dudu kowe” ketika dia melihat apa yang telah orang lain perbuat. Adanya cinta dan rasa saling hormat merupakan ciri dari sebuah masyarakat di mana dimensi keempat ini telah berlaku.11
Bukan hanya muatan dari prinsip-prinsip umum ajaran KAS yang akan disampaikan di sini, karena dalam sejumlah ceramah yang digelarnya KAS juga melihat cara-cara tertentu di mana filsafatnya itu dapat dipraktikkan. Dalam menjalani kehidupannya (lelampahing gesang),12 seorang individu akan menjumpai beragam situasi di mana dia mungkin dapat menemukan dirinya, karena dia juga memiliki beragam kepentingan, di mana setiap kepentingan itu membutuhkan sebuah tanggapan yang memadai. Kepentingan-kepentingan tersebut mengemuka dalam berbagai aspek penting kehidupan, meliputi: kepemilikan materi, pengakuan publik, kekuasaan, keluarga, kelompok, bangsa, pengetahuan, spiritualisme (kebatinan), dan kemampuan atau kapasitas (kesagedan).13
Selanjutnya, ada banyak kejadian yang akan menandai periode-periode sulit dalam hidup seseorang, di antaranya munculnya perasaan cinta di usia remaja, memilih pasangan, situasi-situasi tertentu dalam kehidupan berumah tangga, pendidikan anak, dan menjelang ajal.14 Dalam situasi-situasi tersebut sangat penting bagi manusia untuk menyadari kebutuhan-kebutuhannya dan mengetahui hal apa saja yang bakal merintangi perkembangan kepribadiannya. Hasrat seksual misalnya, harus diterima sebagai konsekuensi dari kebutuhan vital itu; ia baru bisa disalurkan secara penuh hanya melalui kehidupan perkawinan, sebuah konteks yang paling pantas untuk melahirkan keturunan. Menghargai pasangan, yakni menerima perbedaan-perbedaan yang dia miliki, harus menjadi dasar bagi cinta dalam perkawinan (di antara sekian hal, KAS menekankan pentingnya monogami dan cinta pengasuhan/parental love).15
KAS agak berhati-hati dalam menjelaskan situasi-situasi yang menguji perjalanan hidup seseorang (pengalaman pahit getir): kematian orang tua atau perceraiannya ketika muda dulu, kematian saudara atau teman, sakit, perselingkuhan, membina rumah tangga, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan lain-lain. KAS menunjukkan bahwa sebuah pelajaran/hikmah itu bisa diambil dari beragam peristiwa tersebut yang akan membantu kita menjaga atau memulihkan keseimbangan psikologis kita.16
Kekhawatiran tentang hal-hal yang terjadi di alam metafisik merupakan akibat dari pengingkaran seseorang terhadap hakikat (kehidupan) manusia. Jiwa manusia, sebagaimana orang dengan hasrat-hasratnya, tidak memiliki awal dan akhir: jiwa itu mendiami tubuh manusia untuk sementara waktu, lalu menghilang dan kembali lagi ke alam semesta (Alam Agung). Lantas mengapa kita harus mengkhawatirkan kematian? Dengan melihat lebih dekat hasrat-hasratnya, manusia menjadi lebih mampu berbuat yang terbaik, karena manusia mampu membuat jarak antara dirinya dengan apa yang sedang terjadi. Mungkin kematian sedikit perlu dikhawatirkan apabila manusia itu bereinkarnasi menjadi babi hutan (celeng); nasib babi itu berbeda dengan nasib manusia, tetapi tidak lebih baik atau lebih buruk dari nasib manusia. Oleh karena itu, mencari dan mencapai kesempurnaan (kasempurnan) merupakan tindakan yang absurd/sia-sia dalam hidup ini, jika hanya berharap mendapatkan kehidupan yang lebih baik setelah kematian. Hidup yang sempurna tidak akan pernah ada; hidup semacam itu hanya terjadi dalam imajinasi kita, imajinasi yang berupaya menutupi hasrat yang tak terpuaskan atas kebahagiaan yang abadi. Oleh karena itu, KAS melawan takhayul dan kepercayaan religius yang berupaya menghidupkan harapan-harapan tersebut (“takhayul adalah menghubung-hubungkan antara sebab-sebab dan akibat-akibat yang sebetulnya tidak memiliki hubungan”).17 KAS berpendapat ajaran guru kebatinan itu aneh, KAS juga mencela kepercayaan yang ditujukan sebagian orang terhadap dukun, dan menolak praktik-praktik puasa, pantang terhadap seks, dan seterusnya sebagai hal yang tidak alamiah.18
Orang harus bertindak berdasarkan prinsip enam “sa”: sabutuhê, saperlunê, sacukupê, sabenerê, samesthinê, sakepenakê (sebutuhnya, seperlunya, secukupnya, sebenarnya, semestinya, dan sepantasnya).
Aspek penting lain dari ajaran KAS berhubungan dengan kehidupan bangsa Indonesia. Kesanggupannya berjuang bersama para nasionalis untuk meraih kemerdekaan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari aktivitas intelektual mereka telah terlihat jelas; begitu juga dukungannya terhadap para priyayi terpelajar dalam mendorong keterlibatan para petani kesultanan dan aksi-aksi protes ketika muncul gagasan bahwa nasib negara akan ditentukan oleh penggunaan kekuatan (militer). Keyakinan-keyakinan politiknya selalu merefleksikan salah satu perhatian utamanya: hormat terhadap orang sebagai wujud dari hormat terhadap diri sendiri. Dalam menjelaskan realitas kolonial, dia begitu menekankan konsepsi tentang eksistensi individu berdasarkan titik pijak nasional. Jika orang-orang Indonesia sanggup menanggung penderitaan akibat kolonialisme dalam waktu yang lama, hal itu bukan karena kebiadaban (angkara-murka) yang dilakukan oleh Belanda, bukan pula merupakan sebuah takdir (sampuh pinasthi); kondisi itu lebih karena mereka tidak tahu siapa mereka, mereka tidak memiliki identitas sebagai bangsa. Apa itu bangsa? Bagaimana seharusnya kehidupan orang-orang yang berbagi kepentingan yang sama itu dikelola? Apa peran kelompok Kebudayaan tersebut? Apakah persatuan kelompok ditentukan oleh peran sosial masing-masing kelompok untuk saling melengkapi satu sama lain? Jawaban KAS secara meyakinkan menekankan pada pengakuan nasional atas tanggung jawab individu dalam urusan-urusan bersama, sebuah ekspresi dari sikap aku duwe negara, “saya punya negara”.19
Dalam dunia yang kacau di awal ’50-an, persatuan Indonesia haruslah kokoh untuk menghindari jebakan antara memilih kapitalisme atau komunisme, jebakan yang dibentangkan oleh dua kekuatan dunia yang tengah bersaing mencari pengaruh di negara-negara yang baru saja merdeka. Memegang keyakinan atas ajaran-ajaran filosofisnya, KAS menjelaskan kepada para pengikutnya bahwa negara-negara yang takut akan meletusnya perang dunia ketiga, yang berupaya menyelidiki tanda-tanda yang mengarah pada perang dunia, meyakini bahwa mereka dapat menolak realitas dari masalah mereka sendiri dengan menciptakan ketergantungan terhadap hal-hal di luar kendali mereka.20
Di dalam Pancasila, Indonesia memiliki sekumpulan prinsip yang mampu menyulut sikap mental yang berujung pada dukungan terhadap persatuan bangsa. Hal terpenting dari kelima sila tersebut adalah “kedaulatan rakyat” (panguwasa rakyat) yang oleh KAS dimaknai sebagai pengakuan atas hak kebebasan setiap individu atau pengutamaan semangat sosial yang melampaui dorongan instingtif yang tersembunyi dalam diri tiap manusia (“kebinatangan yang ada dalam diri manusia”). Pada titik inilah semangat luhur (raos luhur) yang mengejawantah dalam Pancasila dapat digunakan oleh manusia Indonesia: semangat kemanusiaan, semangat nasionalisme, dan keadilan sosial. Terakhir, perlu dicatat bahwa Ketuhanan yang Maha Esa tampil dalam karya KAS sebagai hasil dari empat sila yang lainnya, sebagai intisari tertinggi dari semangat keadilan sosial. Sejauh yang penulis pahami, menempatkan Tuhan sebagai sumber rujukan merupakan inti dari keseluruhan karya-karya KAS.21
Bersambung…
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian I
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Catatan Kaki:
1. Tulisan-tulisan yang paling dirujuk sebagai prinsip pokok ajaran KAS adalah Wedjangan Kawruh Bedja sawetah (diterjemahkan ke bahasa Indonesia dengan judul: Wejangan Pokok Ilmu Bahagia), Ngelmi-Kawruh-Pitedah sedjatining gesang wedjangan KAS (oleh M. Soedi), Pilsapat Raos Gesang (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul : Filsafat Rasa Hidup); Tandesan: Wedjangan Kawruh Bedja sawetah.
2. Cf. dalam Wejangan, hal. 22–24.
3. “Salumahing bumi sakurebing langit, punika boten wonten barang ingkang pantes dipun aya-aya dipun padosi utawi dipun ceri-ceri dipun tampik” (sebagai contoh: Tandesan, hal. 20).
4. Wedjangan, hal. 3–4.
5. Tentang pertanyaan atas hubungan sosial, lihat: Pilsapat Raos Gesang; Aku iki wong apa?; Ukuran kaping sakawan (diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai Ukuran Keempat).
6. Mawas diri, hal. 23.
7. Gandulan, hal. 10–11.
8. Judul-judul buku tersebut sudah menjelaskan isinya: Piageming gesang (Ujian Kehidupan); Pangawikan pribadi (Kesadaran Diri); Mawas diri (Sadar tentang Diri Sendiri).
9. “Luwar saking naraka sumelang lan manjing swarga tatag” (Wedjangan, hal. 30).
10. “…gegayuhanipun inggih punika tandon pensiun lan garan moncer” (Buku Peringatan… tulisan: “Wudjuding Kawruh Djiwa”).
11. Cf. Ukuran kaping sakawan.
12. Tentang persoalan ini lihat bagian: Aku iki wong apa?
13. Cf. Mawas diri, hal. 33–35.
14. Cf. Piageming gesang.
15. Tentang cinta suami-istri dan perkawinan, lihat: Kawruh laki-rabi; tentang pendidikan anak: Kawruh pamomong.
16. Piageming gesang.
17. “Gugon tuhon punika nyambet-nyambetan sebab lan kedadosan ingkang mboten sambet” (Wedjangan, hal. 27).
18. Hal Kesempurnaan.
19. Pembangunan djiwa warga negara.
20. Perang dunia kaping III.
21. Raos Pantja Sila.
Tulisan Marcel Bonneff ini versi aslinya berbahasa Prancis: “Ki Ageng Suryomentaram, Prince et Philosophe Javanais,” dimuat pertama kali di Archipel 16 (1978), hal. 175–203. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Susan Crossley, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince and Philoshoper,” dimuat di Indonesia 57 (April 1994).

Jiwa" width="150" height="150" /> Afthonul Afif, Peneliti Kawruh Jiwa
Versi bahasa Indonesia tulisan ini diterjemahkan oleh Afthonul Afif dari versi Inggrisnya atas izin Marcel Bonneff. Tulisan ini juga menjadi apendiks dalam buku Matahari dari Mataram, karya Afthonul Afif dan kawan-kawan. Afthonul Afif adalah seorang peneliti Kawruh Jiwa Ki Ageng Suryomentaram. Dua bukunya tentang Ki Ageng Suryomentaram yaitu: Matahari dari Mataram; Menyelami Spiritualitas Jawa Rasional Ki Ageng Suryomentaram (2012) dan Ilmu Bahagia menurut Ki Ageng Suryomentaram (2012). Ia juga aktif menulis tema psikologi kebahagiaan di berbagai media massa.
ecintaan terhadap permenungan filosofis dan religius dalam Kebudayaan Jawa dapat dilihat dengan jelas dalam berbagai kelompok, perkumpulan, dan gerakan-gerakan yang secara umum memiliki tujuan bersama, yaitu ingin mewujudkan pemenuhan spiritual tertentu. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah bahwa generalisasi yang berlebihan terhadap ajaran kelompok-kelompok tersebut hanya akan berujung pada risiko, yaitu terdistorsinya hakikat “spiritualitas Jawa” itu sendiri. Dengan demikian, beragam bentuk gagasan dan doktrin yang terdapat di dalamnya harus tetap dilihat dalam konteks keragamannya masing-masing.1 Tulisan ini akan membahas filsafat—atau disebut dengan “Ilmu Jiwa” (science of psyche)—dari seorang “pembangkang”, Ki Ageng Suryomentaram, dan akan menunjukkan bahwa, meski gagasan Ki Ageng Suryomentaram itu bersifat orisinal, namun ketika diletakkan dalam konteks sosialnya hal itu tetap dapat dilihat sebagai ekspresi dari mentalitas tertentu.
Warisan Suryomentaram
Salah seorang teman dekat Ki Ageng Suryomentaram (KAS) menceritakan bagaimana dia pernah mengusulkan kepada KAS tentang pentingnya memiliki tulisan-tulisan beliau dalam bahasa Indonesia (versi aslinya dalam bahasa Jawa) atau bahkan dalam bahasa asing, sehingga pemikiran-pemikiran filosofisnya kemungkinan akan mendapatkan pengakuan yang lebih pantas. Percakapan ini berlangsung singkat sebelum KAS meninggal dunia di salah satu rumah sakit di Yogyakarta. Sang Filsuf bereaksi keras. Apakah ada kondisi kecukupan bagi seseorang untuk mencari pengakuan publik? Untuk meyakinkan temannya itu, sang Filsuf melanjutkan pertanyaannya, bukankah mereka yang mengelilinginya (para pengikut) sekadar ingin meninggikan harga diri dan reputasi mereka? Demikian tanggapan sederhana yang disampaikan oleh KAS dengan penuh keyakinan—sebuah gaya kepemimpinan tanpa pamrih yang telah dia tunjukkan lebih dari tiga puluh tahun lamanya.2
Sekarang, lima belas tahun sejak kematiannya (merujuk pada akhir 1970-an), masih banyak orang yang mengenalnya. Sebagian di antaranya adalah mereka yang melanjutkan untuk menganggap dirinya sebagai Pelajar Kawruh Jiwa,3 para pengikut “Ilmu Jiwa”, sebutan yang oleh KAS sendiri tak henti-hentinya dia sematkan untuk ajaran-ajarannya, dari satu pertemuan ke pertemuan berikutnya. Definisi tersebut telah tercatat dalam banyak tulisan pendek, yang kadang-kadang masih dapat ditemukan di rak-rak buku di rumah-rumah orang kebanyakan dan di toko-toko buku bekas. Belakangan (merujuk pada tahun 1978) Yayasan Idayu memprakarsai penerbitan tulisan-tulisan tersebut dalam bahasa Indonesia, sehingga pembaca secara luas (terutama mereka yang bukan penutur bahasa Jawa) memiliki akses terhadap gagasan-gagasan sang Filsuf. Editor buku tersebut membandingkan gagasan KAS dengan gagasan para filsuf besar dunia, seperti Socrates, Zarathustra, dan Khrisnamurti. Namun untuk mengenalkan dimensi internasional karya KAS tersebut, bagaimanapun juga, tidak harus dengan menyembunyikan fakta bahwa penerbitan ini bersumber dari naskah aslinya (yang berbahasa Jawa), sehingga pesan utama dari karya tersebut tetap dapat dipahami, yakni hendak menampilkan wawasan tentang eksistensi (manusia) yang diilhami oleh tradisi Jawa (Javanism). Anak tertua sang Filsuf, Dr. Grangsang Suryomentaram, memutuskan untuk melanjutkan memimpin gerakan Kawruh Jiwa (atau Kawruh Beja, “Ilmu Kebahagiaan”) dengan didasari oleh alasan-alasan di atas, meski alasan utamanya adalah untuk menjaga ingatan masyarakat tentang peninggalan (pemikiran) ayahnya. Akhir-akhir ini (merujuk pada tahun 1978-an—penerj.) sejumlah artikel yang ditulis olehnya dan oleh teman-teman ayahnya di masa-masa akhir hidup KAS yang mengisahkan hidup dan karya beliau telah diterbitkan oleh penerbit. Namun dalam tulisan-tulisan ini, peringatan KAS tentang bahaya dari “hagiografi” nampaknya belum sepenuhnya dipahami.4 Untuk mengingat kembali gagasan-gagasan filosofis KAS, dicantumkan pula tulisan-tulisan yang merujuk pada peran penting KAS sebagai seorang nasionalis, disebutkan secara jelas keterlibatannya dalam Paguyuban Selasa Kliwon—sebuah perkumpulan patriotik yang kemudian menginspirasi lahirnya gerakan pendidikan Taman Siswa—begitu juga perannya sebagai pendiri PETA dan ceramah-ceramahnya dalam mendukung nasionalisme seperti yang dia sampaikan setelah kemerdekaan RI. Ketertarikan baru terhadap sosok ini, yang telah melalui sejarah masa kini (merujuk pada paruh pertama abad ke-20—penerj.) tanpa pernah menampilkan diri di baris terdepan panggung politik, nampaknya mengisyaratkan bahwa dia memiliki pengaruh moral yang patut diperhitungkan.5
Kekecewaan Sang Pangeran
Dalam upaya untuk menampilkan riwayat hidup KAS serta menjelaskan perannya secara bersamaan, seseorang akan dihadapkan pada keterbatasan dan ketidakjelasan sumber informasinya, sebab cerita kehidupannya sering kali ditampilkan dengan penuh kiasan-kiasan.6 Lahir pada 20 Mei 1892 di Keraton Yogyakarta, KAS adalah anak ke-55 dari total 79 anak Sultan Hamengku Buwono VII. Ibunya, B.R.A. Retnomandoyo, adalah istri dari golongan kedua (garwo ampéyan) Sultan, anak perempuan Patih Danurejo VI. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Sekolah Keraton Srimenganti, dia kemudian mengikuti ujian untuk Klein Ambtenaar (pegawai sipil junior), yang kemudian mengantarkannya menjadi tenaga administratif di Residen Yogyakarta—untuk mengisi posisi tersebut dia harus belajar bahasa Belanda selama dua tahun. Dia juga belajar bahasa Arab untuk kelas pelajaran agamanya, dan kemudian bahasa Inggris untuk menutupi kekurangan dalam pendidikan formalnya. Dia menunjukkan hasrat belajar yang sungguh luar biasa.
Pada usia 18 tahun dia diangkat menjadi seorang pangeran, sehingga kemudian mengubah namanya dari Bendoro Raden Mas Kudiarmaji menjadi Bendara Pengéran Harya Suryomentaram.
Hanya sedikit sumber yang diketahui tentang masa-masa awal kehidupannya. Suatu hari dia menceritakan betapa dirinya terperangah menyaksikan lewat jendela kereta api jenis pekerjaan yang dapat menyebabkan sakit punggung yang dilakukan oleh para petani sewaktu dia akan menghadiri upacara perkawinan di Keraton Surakarta. Sementara orang lain mengalami penderitaan yang begitu berat, dia dan orang-orang sepertinya malah menikmati kemewahan hidup tanpa perlu bersusah-payah mendapatkannya karena telah membawa keistimewaan-keistimewaan tertentu semenjak lahir. Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Prawirowiworo, teman terdekat sang Pangeran, apakah para petani tersebut tidak lebih bahagia ketimbang sang Pangeran, yang hanya bisa meratapi dirinya sendiri ketimbang mengasihani mereka, karena setidaknya para petani tersebut sudah merasa puas dengan sawah yang mereka miliki. Prawirowiworo (meninggal pada 1960) adalah teman karib sang Pangeran, teman tertua dan terdekat yang dia miliki. Keduanya merupakan saudara sepupu, tetapi status Prawirowiworo jauh lebih rendah dibanding dirinya. Dia hanyalah abdi dalem yang dipekerjakan sebagai pelayan di istana Sultan.
Di satu sisi ada seorang pangeran yang berkelimpahan kehormatan dan kekayaan, sementara di sisi lain ada abdi dalem yang menerima gaji begitu rendah, yang baru saja mengajukan diri untuk dibebaskan dari tugas-tugasnya. Kedua laki-laki itu sedang dirundung ketidakpuasan hidup karena sampai sekarang mereka merasa belum pernah “bertemu dengan orang” (saprana-saprene aku kok durung tau pethuk wong); sang Pangeran hanya tahu tentang tuan-tuannya dan kekecewaan-kekecewaan mereka. Hidup yang terkungkung itulah yang dia rasakan sebagai penyebab utama mengapa dia merasakan ketidakpuasan hidup. Untuk mengatasi kondisi tersebut, dia kemudian sering pergi meninggalkan keraton untuk mengembara mengunjungi sejumlah tempat yang dia yakini dapat membawa keberuntungan (seperti Goa Langse atau Goa Cermin, Pantai Parangtritis, dan makam-makam keramat). Prawiro, yang tugas-tugasnya telah banyak berkurang, juga mengawali pengembaraan serupa. Mereka berdua kemudian saling berbagi cerita satu sama lain tentang pengalaman-pengalaman menarik yang mereka peroleh. Kadang-kadang mereka menenggelamkan diri dalam doa-doa, dan di lain waktu mereka mengunjungi para pemimpin agama untuk membicarakan dan belajar tentang hal-hal yang terkait dengan hakikat agama dan (pengalaman) mistik.
Pengawal sang Pangeran menjadi khawatir, sebab sang Pangeran mulai meyakini bahwa kepemilikan materi dapat menjadi penghambat untuk mencapai kebahagiaan. Dia kemudian memberikan cuma-cuma semua kekayaan pribadinya. Salah seorang pangeran yang paling kaya di Yogyakarta tiba-tiba memberikan mobilnya kepada sopirnya dan memberikan kudanya kepada tukang kudanya. … Selanjutnya, suatu hari dia meninggalkan keraton. Dengan mengenakan pakaian layaknya seorang pedagang dan menggunakan nama Notodongso, dia pergi ke Cilacap untuk berjualan batik. Ayahnya, Sultan Hamengku Buwono VII, mengutus orang untuk mencarinya. Para utusan itu kemudian menemukan sang Pangeran di daerah Kroya dan berhasil membujuknya untuk kembali ke keraton.
Peristiwa-peristiwa tersebut terjadi ketika sang Pangeran menginjak usia 20 tahun, menjelang tahun 1920, tahun ketika Residen Jonquiere mengirim surat resmi kepada Gubernur Jenderal bersamaan dengan sebuah salinan untuk Suryomentaram agar dia segera mengumumkan gelar pangerannya. Namun dia meminta ayahnya untuk membatalkan pengangkatan tersebut, meski oleh sang ayah permintaan tersebut ditolak, seperti permintaan sebelumnya ketika dia ingin menunaikan ibadah haji ke Mekkah.7 Di tahun-tahun itu, sebagaimana dituturkan oleh penulis biografinya, Suryomentaram benar-benar sedang dirundung kebingungan: beberapa bulan dia terlihat di rumah kakeknya, Patih Danurejo, yang baru saja diberhentikan dari tugas-tugasnya, sementara ibunya juga diceraikan oleh Hamengku Buwono VII, dan akhirnya peristiwa yang paling menggetarkan adalah ketika istrinya meninggal dunia tepat setelah melahirkan anak laki-laki mereka.
Pada 1921 Sultan Hamengku Buwono VII turun tahta dan penerusnya, Hamengku Buwono VIII, mengizinkan Suryomentaram untuk meninggalkan istana. Sang Pangeran menolak menerima tunjangan hidup yang ditawarkan oleh Belanda dan malah menerima tunjangan pensiun yang jumlahnya jauh lebih kecil yang diberikan oleh keraton kepadanya. Dengan hanya memiliki sedikit kekayaan, dia lantas meninggalkan keraton dan memilih tinggal di Desa Bringin, dekat Salatiga, di mana dia kemudian membeli tanah. Dia memulai hidup sebagai seorang petani, seperti (umumnya) para penduduk asli yang dia lihat sedang bekerja di sawah mereka. Pada 1925 dia menikah lagi dan reputasinya mulai tumbuh. Ki Gedhe (atau Ageng) Bringin8 adalah pribadi yang eksentrik. Beberapa orang memercayainya sebagai dukun dan mereka datang kepadanya untuk meminta nasihat atau bantuan. Telah lama dia menanggalkan jubah kebesarannya dan memilih menggunakan celana pendek dan sabuk kulit yang umum dipakai oleh petani waktu itu. Dia bepergian dengan telanjang kaki dan di lehernya melingkar sepotong kain batik dengan motif parang rusak barong, motif yang juga masih dipakai oleh para penguasa atau bangsawan. Bahasa tubuhnya mengindikasikan ketidakpuasan tertentu; mirip dengan semangat yang ditunjukkan Suwardi Suryaningrat di tahun-tahun awal ketika dia dan pembantunya juga mengenakan jenis kain yang sama ketika pergi ke kota.9 Suryomentaram lagi-lagi dipandang sebagai sosok yang telah memicu penasaran orang lain karena baju yang dia pakai dan perilaku aneh yang dia tunjukkan ketika mengunjungi makam ayahnya di Imogiri (1931). Sewaktu acara berlangsung, mantan anggota keluarga dan juga teman-temannya menduga bahwa dia gila; mereka kemudian menyingkir darinya, tetapi Suryomentaram malah menakut-nakuti mereka.
Suatu hari, dengan memakai celana pendek dan telanjang kaki, ketika dia hendak naik ke dalam bus, dia (tiba-tiba) dimintai tolong (oleh penumpang lain) karena dianggap sebagai seorang kuli panggul: seorang penumpang memberikan kopernya kepada Suryomentaram, lalu Suryomentaram mengambilnya dan dengan hati-hati membawakan koper itu…. Itulah awal pencariannya atas rasa takut terhadap hal-hal yang (dianggap) memalukan dari seorang pengembara yang jujur. Begitulah Suryomentaram, atau begitulah kisah-kisah yang diceritakan orang tentangnya:10 sosok laki-laki yang lebih perhatian kepada orang lain dibanding kepada dirinya sendiri. Dia senantiasa memiliki kesadaran tentang dirinya, bahwa dia dapat melihat tindakannya yang memalukan itu dari ketidaknyamanan orang lain.
Namun pada kenyataannya, Ki Ageng tidak pernah putus asa dalam mencari sosok ‘Manusia’ yang sejati. Suatu malam pada 1927 dia membangunkan istrinya dan berkata, “Aku telah menemukan apa yang aku cari… adalah Suryomentaram yang kecewa; dia adalah seorang pangeran yang kecewa, pedagang yang tidak pernah puas, dan petani yang selalu kecewa; dia adalah sumber dari ketidakpuasan (tukang ora puas). Namun dia telah ketahuan (konangan). Mulai sekarang, aku akan selalu menemukan orang yang memakai nama Suryomentaram.” Jika keterangan Dr. Grangsang dipercaya, hal inilah yang kurang lebih Ki Ageng katakan kepada istrinya yang tertidur di sampingnya. KAS telah menemukan sumber-sumber masalahnya: kebingungan antara diri yang aktif dan diri yang pasif. Dalam diri yang pasif inilah seseorang menjadi mampu, dengan sekian risiko, mengakui dan merawat sesuatu dalam dirinya sendiri sehingga dapat mengatasi cobaan-cobaan atau godaan-godaan yang bersumber dari kehidupan sehari-hari, dan dapat meraih “kebahagiaan sejati”. “Apa yang telah aku cari, dan gagal aku temukan, adalah konsep tentang orang (gagasan wong) yang hanya eksis dalam angan-anganku.”11 Ilmu Kebahagiaan (Kawruh Beja) telah lahir. KAS kemudian menceritakan kepada sahabatnya, Ki Prawiro, orang pertama yang menerima kebenaran tersebut, dan kemudian diikuti oleh para pengikut lainnya, yang dari waktu ke waktu jumlahnya semakin bertambah.
Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).
Nampaknya relevan sekarang untuk mempertimbangkan aspek-aspek karier KAS dalam kegiatan politik. Namun untuk melakukannya, kita terlebih dulu perlu menengok kembali ke tahun-tahun 1921–1922. Pada waktu itu dia adalah pemimpin Paguyuban Selasa Kliwon, perkumpulan yang mengambil nama dari hari di mana pertemuan mereka diselenggarakan. Sudah umum diketahui bahwa kelompok ini merupakan penggagas berdirinya Gerakan Taman Siswa.12 Terdapat sembilan priyayi (dalam perkumpulan tersebut), masing-masing di antara mereka yang mesti disebut adalah Suwardi (Ki Hajar Dewantoro), Prawirowiworo, B.R.M. Subono (saudara termuda KAS), dan Pronowidigdo. Beberapa di antara mereka, seperti Ki Hajar atau Pronowidigdo,13 kemudian memiliki kesempatan untuk mengumumkan nasionalisme mereka, misalnya melalui partisipasi mereka dalam Budi Utomo. Meski paguyuban tersebut berjalan di jalur “masyarakat kebatinan”,14 namun tujuan mereka secara jelas sudah terdefinisikan, yakni pembebasan, dalam pengertian memenangkan kemerdekaan RI. Namun pada tahun 1922, kelompok ini dibubarkan setelah dicapai kesepakatan bahwa pembebasan (yang sesungguhnya) baru dapat diraih melalui pengembangan di berbagai aspek pendidikan dan menumbuhkan kesadaran nasional di kalangan orang-orang Indonesia. Menyelenggarakan pendidikan formal merupakan salah satu yang terpenting. Ki Hajar Dewantoro kemudian mendirikan Taman Siswa dan menyelenggarakan pengajaran untuk pertama kalinya pada 3 Juli 1922. Namun, perhatian Taman Siswa lebih ditujukan kepada generasi muda. Sementara KAS sendiri kemudian mendapat bagian untuk melakukan bimbingan dan pembinaan kepada orang-orang dewasa.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada 1930, KAS bersama sejumlah temannya mendirikan Pakempalan Kawula Ngajogjakarto yang diketuai oleh Pangeran Suryodiningrat. Perkumpulan ini merupakan sebuah gerakan yang kepentingan sosial dan kemanusiaannya lebih besar ketimbang tujuan-tujuan politiknya. Perkumpulan ini, yang dikomandoi oleh Pangeran Suryodiningrat dan sejumlah priyayi terpelajar, setelah mendapat restu dari Hamengku Buwono VIII, merumuskan sebuah tujuan untuk meningkatkan standar hidup para petani yang bekerja untuk kesultanan. Hingga pecah Perang Pasifik, PKN dan sejumlah organisasi yang lahir saat itu—yang juga melakukan pendampingan untuk menciptakan otonomi dan demokratisasi pada administrasi kesultanan—mengambil inisiatif-inisiatif yang sangat populer waktu itu dengan membela kepentingan para petani miskin di berbagai tingkatannya,15 misalnya dengan mendirikan koperasi-koperasi pertanian dan pabrik-pabrik lurik, mengusulkan perubahan sistem perpajakan, dan mengurangi angka buta huruf. Pada 1931, PKN bergabung dengan organisasi-organisasi seperti PPPPA dan PPII untuk melawan praktik-praktik kekerasan dan perdagangan perempuan dan anak-anak. Pada 1932 bersama sejumlah kelompok, seperti Budi Utomo, Taman Siswa, dan Muhammadiyah, PKN memprotes kebijakan Wilde Scholen Ordonnantie.16 Pada pertemuan yang diadakan tahun 1932, Ki Hajar Dewantoro melontarkan gagasannya tentang pendidikan dan Ki Ageng menyampaikan prinsip-prinsip “Ilmu Kebahagiaan”, ajaran yang memberi penekanan pada fakta bahwa semua manusia pada dasarnya mencari kesejahteraan psikologis yang sama, di mana dampak dari pengalaman tersebut kemudian akan membuat mereka mampu melihat semua orang dalam kedudukan yang sama.
Ketika Jepang terlibat dalam perang KAS dan 13 nasionalis, yang kemudian dikenal dengan Manggala 13,17 merencanakan tindakan-tindakan tertentu andaikata pecah pertempuran antara Belanda dan Jepang (Pembebas Asia) di bumi Indonesia. Tetapi ternyata Jepang dengan mudah menaklukkan Jawa tanpa perlawanan berarti dari pihak Belanda. Pendudukan Jepang ini menarik perhatian KAS dan memengaruhi aktivitas-aktivitas (politik) KAS, yang kemudian berujung pada kecurigaan Belanda terhadapnya. Perwakilan Jepang segera menemuinya melalui Asano (anggota Dinas Rahasia) dan KAS menyampaikan ucapan terima kasih karena tentara Jepang telah membebaskan rakyat Indonesia dari kolonialisme Belanda. KAS kemudian mengusulkan agar dia dan teman-temannya diberi pelatihan militer yang memadai sebagai bekal untuk berperang bersama Jepang. KAS juga merumuskan prinsip-prinsip ilmu perang yang kemudian dia sebut sebagai “Jimat Perang”, sebuah keberanian kemiliteran atau tidak dimilikinya rasa takut untuk menghadapi kematian dalam peperangan. Dia diundang ke Jakarta untuk berbicara di radio dan diberi kewenangan untuk menyelenggarakan pertemuan serta menyebarkan gagasannya tersebut. Melalui bantuan Mr. Sudjono, pada 1943 di Jakarta dia bertemu dengan para nasionalis yang dipercaya oleh Jepang, yakni Soekarno, Hatta, K.H. Mas Mansur, dan Ki Hajar Dewantoro, yang juga dikenal sebagai “Empat Serangkai”. Dalam pertemuan tersebut KAS menganjurkan Soekarno untuk mengadopsi gagasan Jimat Perangnya itu, dan dalam berbagai kesempatan mereka (para pemimpin nasionalis itu) bersedia mempopulerkannya.
Namun Jepang belum yakin dengan kemampuan rakyat Indonesia dalam membentuk semacam kesatuan militer—penolakan resmi disampaikan langsung oleh Gubernur Militer Jepang untuk Yogyakarta, Kolonel Yamanuchi, terhadap permintaan KAS dan kawan-kawannya untuk membentuk kesatuan tersebut. Dalam situasi seperti ini, Asano kemudian bersedia membantu, namun KAS dan kawan-kawan harus membuat permohonan kepada Kaisar Jepang, baru kemudian Asano sendiri yang akan menyampaikan secara langsung permohonan tersebut kepada sang Kaisar. KAS kemudian mengajak delapan kawannya (Ki Suwarjono, Ki Sakirdanarli, Ki Atmosutidjo, Ki Pronowidigdo, Ki Prawirowiworo, Ki Darmosugito, Ki Asrar Wiryowinoto, dan Ki Atmokusumo (disebut dengan “Manggala Sembilan”—penerj.) untuk membuat petisi yang ditandatangani dengan darah mereka. Di luar dugaan mereka, otoritas Jepang di Tokyo segera menyetujui permohonan tersebut. Ki Ageng segera bergabung sebagai tenaga sukarela, namun pemerintah militer dengan cepat mengambil alih perekrutan dan pelatihan serdadu yang kemudian melahirkan apa yang kita kenal sebagai PETA (Pembela Tanah Air).
Versi tentang asal-usul berdirinya PETA ini (sebuah organisasi yang telah memainkan peran penting dalam perjuangan mencapai kemerdekaan RI dan merupakan tulang punggung bagi terbentuknya Tentara Nasional Indonesia) disampaikan oleh Dr. Grangsang.18 Pendapat senada juga disampaikan oleh Ki Prono dan Ki Asrar Wiryowinoto, dua orang yang juga menandatangani petisi.19 Namun, sekalipun konsep tentang Jimat Perang itu pada kenyataannya diinspirasi oleh KAS, masih sering muncul keraguan tentang pengaruhnya terhadap peristiwa-peristiwa penting di negeri ini dan peran petisi tersebut; di berbagai kesempatan kesimpulan ini disampaikan oleh S. Wirjosoedojo—salah seorang teman lama KAS—yang mempertanyakan versi ini karena dia tidak dapat memperoleh konfirmasi langsung dari Hatta tentang apakah pertemuan antara KAS dengan empat sekawan itu20 memang benar-benar pernah terjadi. Kebenaran informasi tersebut masih menjadi tanda tanya meski sudah banyak tulisan tentang persoalan ini, baik yang ditulis oleh sejarawan maupun orang yang menyaksikannya langsung; salah satunya adalah kesaksian yang disampaikan oleh Gatot Mangkupraja, tokoh yang juga sering disebut sebagai penggagas berdirinya organisasi tersebut.21 Namun seperti apa kebenarannya, hal ini masih menimbulkan perdebatan terbuka.
Meskipun informasi yang disampaikan oleh Dr. Grangsang tersebut masih bisa diperdebatkan, namun tetap penting kiranya melihat peran dan sosok KAS dalam perjuangan meraih kemerdekaan RI dan sebagai seorang nasionalis yang gigih. Salah satu informasi yang telah umum diketahui adalah keikutsertaannya dalam sebuah kesatuan pasukan yang bernama “Kesatuan Rakyat Jelata” dalam pertempuran melawan Belanda di dekat Yogyakarta selama periode 1947–1949.
Untuk mencapai kedamaian, KAS meninggalkan rumah dan sawahnya di Bringin dan memutuskan kembali lagi ke Yogyakarta, tempat di mana dia kemudian mengabdikan hidup sepenuhnya untuk mengembangkan ajaran-ajaran filosofisnya hingga kematian menjemputnya pada usia ke-70. Melalui sebuah telegram, Presiden Soekarno mengirim ucapan belasungkawa, dan atas nama negara memberikan penghargaan yang setulus-tulusnya untuk semua jasa Ki Ageng semasa hidupnya.22
Bersambung…
Baca juga:
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian II
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892-1962) Bagian III
Ki Ageng Suryomentaram: Pangeran dan Filsuf dari Jawa (1892–1962) Bagian IV – Habis
Sumber foto: Foto keluarga Ki Ageng Suryomentaram, Falsafah Hidup Bahagia Wejangan Ki Ageng Suyomentaram, 2017.
Catatan Kaki:
1. Dalam kajian ini, Archipel 4 (1972) telah memuat sebuah studi tentang Gerakan Pangestu (Pangestu Movement) yang ditulis oleh Indrakusuma.
2. S. Wirjosedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975), hal. 13–14.
3. Kata-kata atau kutipan dalam tulisan ini menggunakan bentuk baru dalam sistem ejaan, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Jawa. Dalam bahasa Jawa penggunaan huruf ganda dh dan th merujuk pada penggunaan lama. Meski begitu, untuk nama-nama dan judul-judul buku tertentu masih menggunakan sistem ejaan lama. Hanya dalam konteks penyebutan nama KAS, penulis menggunakan sistem ejaan baru, yaitu Suryomentaram, dari Soerjomentaram dalam ejaan lamanya.
4. Sumber-sumber untuk tulisan ini dibuat ketika peristiwa-peristiwa yang dijelaskannya tengah terjadi. Karya lengkap KAS dapat ditemukan di akhir tulisan ini.
5. Sebagai contoh B. R. O. G. Anderson dalam sebuah studinya yang begitu detil tentang peristiwa-peristiwa politik pada periode 1945–1946, yang mengambil latar di sebagian besar wilayah Yogyakarta, sama sekali tidak menyebut Suryomentaram (Ithaca: Cornell University Press, 1972).
6. Sebagian dapat dilihat dalam tulisan Dr. Grangsang Suryomentaram yang dimuat di sebuah surat kabar Jakarta, Berita Buana, “Riwayat Singkat Ki Ageng Suryomentaram” (24 dan 25 Juli 1975) dan “Rahasia di Balik Pembentukan Tentara Pembela Tanah Air (PETA)” (19 Juli 1975); karya-karya Ki Atmosutidjo, Gandulan kangge kontja-kontja peladjar Kawruh-djiwa; tulisan Kiai Pronowidigdo, “Riwajatipun Kawruh Djiwa,” dimuat di Buku Peringatan…. (cf. bibliografi). Ada juga sebuah biografi yang ditulis oleh Ki Djojodinomo, tetapi belum digunakan dalam tulisan ini. M. Agus Suwito dan Dr. Grangsang Suryomentaram dengan ramah mengizinkan penulis menggunakan sejumlah dokumen, untuk itu terima kasih kepada Dr. Grangsang dan Ki Haditomo atas informasi yang mereka berikan kepada penulis (wawancara Mei 1975).
7. Dokumen tertanggal 21 Agustus dan surat KAS 14 Agustus 1921 (Mailrapport No. 948 Geheim/1920; verbaal date 6-1-21, No. 18). Dalam suratnya, Residen menyebut bahwa KAS menolak pengangkatannya sebagai pangeran. Penulis juga berhutang kepada Mr. Kenji Tsuchiya yang membuat dokumen tersebut tersedia baginya. Dokumen ini juga relevan dengan penelitian Mr. Tsuchiya tentang sejarah gerakan Taman Siswa; lihat: “The Taman Siswa Movement: Its Early Years and Javanese Background,” dalam Journal of Southeast Asian Studies 6: 2 (1975), hal. 164–77.
8. Suryomentaram bermakna “Matahari dari Mataram”. Ki adalah istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki yang sudah tua dari kelas pekerja/bawah dan juga atas kebijaksanaan yang dimiliknya (nyi digunakan untuk perempuan; seperti kiai dan nyi, dua kata yang memiliki konotasi Islam). Gedhe atau Ageng bermakna “Besar”. Beberapa orang (nyata atau legenda) dalam sejarah Jawa memiliki sebutan serupa: Ki Ageng Sela, Ki Ageng Pamenahan, dan lain-lain.
9. Cf. Pranata, Ki Hajar Dewantara Perintis Perdjuangan Kemerdekaan Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1959), hal. 36.
10. Wawancara dengan Ki Haditomo.
11. Cf. tulisan Grangsang S. dan Ki Atmosutidjo.
12. Pada titik ini, lihat: Suratman, “Masalah Kelahiran Taman Siswa,” dalam Pusara 25: 1–2 (1964); Kenji Tsuchiya, “The Taman Siswa Movement,” hal. 166–177.
13. Ki Pronowidigdo (Prono) meninggal dunia di Yogyakarta pada usia 96 tahun (lihat Mekar Sari 1, 1976). Seorang guru terlatih dan nasionalis yang gigih, dia adalah salah seorang di antara anggota Budi Utomo dan juru bicaranya di Yogyakarta sekitar 1920-an. Dia secara dekat dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan KAS dan Ki Hajar Dewantoro; dia juga adalah salah seorang pendiri Taman Siswa; sampai akhir hidupnya dia adalah sosok penasihat yang begitu dihormati. Perlu juga disebut bahwa Ki Prawirowiworo merupakan anggota dari panitia pembentukan Taman Siswa.
14. Kebatinan dapat diterjemahkan sebagai “kehidupan spiritual”. Banyak masyarakat dan kelompok kebatinan yang eksis di Jawa dengan anggota yang dianggap memiliki pengetahuan tentang “diri sejati”, elemen mendasar dalam pencarian terhadap yang Absolut. Secara umum, gagasan filosofisnya dipinjam dari sejumlah prinsip dari agama-agama India dan atau mistisisme Islam, yang sering diekspresikan dalam istilah-istilah yang bersifat esoteris. Aspek praktisnya meliputi meditasi dan latihan-latihan kontemplatif, bahkan asketisme. Tetapi, konsep kebatinan (atau Kejawen sebagaimana disebut dalam bahasa Jawa) mungkin merujuk pada berbagai pendekatan, beberapa di antaranya mengklaim bersifat ilmiah. Namun umumnya setiap pendekatan kebatinan tersebut menekankan pada konsep utama yang sama, yakni tentang keutuhan psikologis.
15. Pada 1938 PKN memiliki anggota 253.218 (30.471 adalah perempuan), hampir semua anggotanya adalah petani (90%). Organisasi lainnya adalah Pakempalan Kawula Surakarta (berdiri 1932), Pakempalan Kawula Mangkunegaran (1933), dan Pakempalan Kawula Pakualaman; lihat Ensiklopedi Indonesia, hal. 926–27.
16. Sebuah keputusan pemerintah kolonial yang memperkuat kontrol terhadap sekolah-sekolah lokal dan membatasi jumlahnya. Untuk melihat aktivitas PKN, lihat buku yang diterbitkan untuk merayakan delapan tahun kelahirannya (satu windu): Boekoe Pengetan Windon Pakempalan Kawoela Ngayoegyakarta (PKN), 1930–1938, (ed. PKN: 1938), 103 halaman. Selama pendudukan Jepang dan setelah kemerdekaan, pendiri organisasi ini, Pangeran Suryodiningrat, muncul sebagai seorang guru spiritual yang sangat disegani di mana setiap pertemuan yang diselenggarakannya selalu diikuti oleh pengikut dalam jumlah besar. Namun PKN kembali menjadi sebuah kekuatan politik pada 1951, menjelma menjadi Partai Gerinda, yang menurut Selosoemardjan (1955) adalah partai yang “mengikuti jalan mistisisme, yaitu kesatuan antara manusia dan Tuhan, yang menjelma di dunia ini dalam bentuk kesatuan antara kawula dengan Raja, yang dalam konteks Gerinda adalah kesatuan antara anggota partai dengan presiden partai.” Social Changes in Jogjakarta (Ithaca: Cornell University Press, 1962), hal. 188–89.
17. Manggala adalah doa di permulaan sebuah syair. Kata ini juga memiliki konotasi “garda depan”. Di antara 13 anggotanya, menarik untuk disebut kembali sosok Ki Hajar, Ki Prono, dan Suryodiningrat, bersama dengan Radjiman Wediyodiningrat, Sutopo Wonoboyo (salah seorang pendiri Taman Siswa), dan lain-lain (Berita Buana, 25 Juli 1975).
18. Berita Buana, 19 Juli 1975.
19. “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 15 (1 Oktober 1975).
20. Wirjosoedojo, “Sapa kang ngedegake PETA?” dalam Mekar Sari 19: 17 (1 November 1975).
21. Lihat: Nugroho Notosusanto, The Peta-Army in Indonesia, 1943–1945 (Departemen Pertahanan dan Keamanan, Centre for the Armed Forced History, 1971), 23 halaman; Raden Gatot Mangkupradja, “The Peta and My Relationship with the Japanese: A Correction of Soekarno’s Autobiography,” dalam Indonesia 5 (April 1968). Menarik juga untuk dicatat bahwa Gatot (meninggal pada 1968) mengklaim telah diminta untuk membubuhkan tanda tangan darah juga.
22. Lihat: Kus Sudyarsana, “Kawruh Bedja,” dalam Mekar Sari 6: 3 (1 April 1962). KAS dikebumikan di samping makam ibunya di pemakaman trah Nitinegaran, di Kanggotan (sekitar 7 km ke arah selatan dari Yogyakarta, dekat dengan Kerto, kota kuno yang menjadi ibu kota kerajaan di era Sultan Agung).