Wayang Kulit
Sesajen; Kudapan Mistis
Di setiap pagelaran wayang, tidak mungkin diselenggarakan tanpa sesajen. Keberadaan sesajen ini penting sebagai bagian ritual yang bertujuan memohon keselamatan kepada penguasa semesta, agar pertunjukan yang akan berlangsung nantinya tidak mendapat celaka apapun. Maka, di sebelas malam pagelaran wayang Sunan Kalijaga pun diletakkan enam tampah (wadah) sesajen di atas panggung. Satu di antaranya diletakkan di dekat gong, lima lainnya di depan dekat layar, sebelah kanan tempat duduk dalang. Kendi air diletakkan pula di sisi lima tampah sesajen itu.
Dua tampah sesajen berisikan buah-buahan (dua sisir pisang, jambu, kedondong, dua butir kelapa), menyan, gula jawa, wadah kecil berisikan telur di atas beras, jajanan warung, kembang tujuh rupa, dan uang lima ribu yang diselipkan di dalam daun pisangnya, dll. Tampah besar lainnya mewadahi nasi tumpeng yang berjumlah tujuh: tumpeng di tengah, polos tidak berisikan apa-apa. Tumpeng tersebut dikelilingi oleh enam tumpeng lainnya: tumpeng yang di atasnya ditancapkan telur rebus; tumpeng yang ditancapkan cabe; tumpeng yang dililitkan kol; tumpeng yang dilingkari sumbu di ujungnya; tumpeng yang berisikan jeroan atau daging ayam; dan tumpeng yang berisikan sayuran.
Selain tujuh tumpeng besar, ada pula tumpeng-tumpeng kecil di tampah lain yang berukuran lebih kecil. Berbeda dengan tumpeng besar yang sebelumnya, tumpeng kecil ini hanya berjumlah lima. Namun peletakannya hampir serupa, yakni satu tumpeng dikelilingi oleh empat tumpeng lainnya. Tumpeng yang di tengah berwarna putih, sama, dengan tumpeng yang berada di sebelah kanan (timur)-nya; tumpeng di sebelah kiri (barat) diwarnai kuning; tumpeng di utara berwarna hitam; dan tumpeng di selatan berwarna merah. Kemudian selain tampah tumpeng, ada pula tampah yang berisikan satu ayam kampung utuh yang sudah direbus. Ayam ini dinamakan ingkung. Lalu ada pula wadah lainnya yang berisikan empat mangkok bubur. Bubur pertama disajikan polos berwarna putih. Bubur kedua disajikan berwarna merah, karena dicampur dengan gula merah. Bubur ketiga berwarna putih, namun di atasnya ditaburi irisan-irisan gula merah. Dan bubur keempat berwarna setengah putih, dan setengah merah.
Makna Simbolik Sesajen
Sesajen untuk wayang yang aku pikir sudah begitu banyak ragamnya, ternyata menurut Ibu Jumiati, istri dari dalang senior Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo yang bertugas membuat semua sesajen untuk keperluan pertunjukan wayang sebelas malam, ini belum seberapa. Untuk ruwatan perkawinan atau kelahiran malah lebih banyak lagi jenisnya. Isi dari beraneka macam sesajen itu memiliki maknanya masing-masing.
Ayam ingkung itu disimbolkan seperti manusia yang telanjang. Manusia yang pada waktu lahir dari rahim ibunya berwujud ketelanjangan dan ketika meninggal pun dikuburkan dalam keadaan telanjang. Ketelanjangan ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki apapun di dalam kehidupan ini. Maka sudah sepantasnya kalau manusia harus selalu mengingat bahwa ia bukanlah siapa-siapa, dan apapun yang ia miliki hanyalah milik Tuhan, Sang Maha Pencipta yang menguasai langit dan bumi beserta isinya. Manusia harus terus eling (ingat), ia hanyalah bagian kecil dari ciptaan Tuhan, sehingga perlu bersikap rendah hati dan bersyukur atas apa yang dinikmatinya di dunia. Selain itu, ketelanjangan juga bermakna kemurnian. Manusia perlu memiliki niat yang murni dan tulus atas segala tindak-tanduk dan perilakunya di dalam hidupnya, karena kemurnian dan ketulusan mengantarkan diri kita lebih dekat pada Tuhan.
Manusia harus terus eling (ingat), ia hanya bagian kecil dari ciptaan Tuhan, sehingga perlu bersikap rendah hati dan bersyukur atas apa yang dinikmatinya di dunia. Selain itu, ketelanjangan juga bermakna kemurnian. Manusia perlu memiliki niat yang murni dan tulus atas segala tindak-tanduk dan perilakunya di dalam hidupnya, karena kemurnian dan ketulusan mengantarkan diri kita lebih dekat pada Tuhan.
Tumpeng besar yang berjumlah tujuh, memiliki makna tertentu pula. Tujuh di sini menyimbolkan jumlah hari yang berjumlah tujuh. Tumpeng sendiri, yang berbentuk gunungan itu merupakan simbol dari gunung. Di bumi ini, tiada kehidupan yang akan tercipta bila tidak ada gunung. Kemunculannya yang megah di atas tanah, menandakan asal mula kehidupan. Bagaimana kemudian siklus kehidupan terbentuk dan makhluk hidup lahir sebagai pengisi ruang di semesta kecil ini. Maka tumpeng menggambarkan dirinya sebagai semesta kehidupan dalam wujud gunung.
Tumpeng yang berada di tengah, yang putih polos tidak diisi atau ditancapkan apapun di atasnya, memiliki makna kemurnian. Sama halnya dengan kemurnian pada ketelanjangan ayam ingkung, kemurnian di tumpeng ini pun mengajarkan pada manusia bahwa di dalam hati dan jiwa kita harus senantiasa murni dan tulus ketika melakukan suatu hal. Tidak bersikap buruk dan tercela, karena sikap yang buruk menandakan bahwa hati kita tidak bersih, tidak murni dalam beritikad. Hidup yang bijak yang disenangi Sang Pencipta adalah hidup yang selalu menjunjung tinggi kemurnian dan ketulusan di dalam niat. Dengan sendirinya aktualisasi perilaku pun tidak melenceng pada kekhilafan.
Tumpeng lain yang mencuat tegak di bagian tepi tumpeng polos, salah satunya adalah tumpeng yang di puncaknya ditancapkan sebutir telur rebus. Telur rebus itu masih dengan cangkangnya. Tumpeng jenis ini bermakna bahwa, niat atau tekad baik yang dimiliki manusia haruslah bulat. Niat dan tekad yang bulat menandakan kemantapan yang utuh. Manusia tidak akan sedikitpun berpaling dari niat yang bulat tersebut, karena begitu kuat, tak goyah diguncang pengaruh dari luar. Telur diibaratkan niat manusia. Putih menggambarkan kebersihan dari niat tersebut. Cangkangnya menyimbolkan kuatnya niat yang membungkus kemurnian itu. Bulat, merupakan wujud dari kebulatan dan keutuhan niat manusia. Jika itu semua dimiliki oleh manusia, tidak perlu ada keraguan dalam keluhuran pikiran dan perilakunya.
Telur diibaratkan niat manusia. Putih menggambarkan kebersihan dari niat tersebut. Cangkangnya menyimbolkan kuatnya niat yang membungkus kemurnian itu. Bulat, merupakan wujud dari kebulatan dan keutuhan niat manusia. Jika itu semua dimiliki oleh manusia, tidak perlu ada keraguan dalam keluhuran pikiran dan perilakunya.
Puncak tumpeng lain, yang ditancapkan cabe dan bawang, menggambarkan gunung berapi. Cabe-cabe itu diibaratkan lahar yang dimuntahkan dari dalam perut gunung berapi. Semua ini menyimbolkan bahwa gunung berapi, meskipun ia mengakibatkan banyak kerugian lewat muntahan api dan lahar yang meluluh-lantakan apapun yang diterjangnya, namun kesudahannya membawa banyak manfaat berupa tanah yang subur, juga pasir dan bebatuan yang melimpah bagi keperluan pembangunan infrastruktur (gedung, rumah, jalanan, dsb). Makna yang dapat kita tarik dari gunung berapi tersebut ialah bahwa setiap bencana dan kesusahan yang menimpa diri manusia, cepat atau lambat, sedikit atau banyak, tentulah membawa berkah tersendiri. Ada pelajaran berharga yang dapat dipetik agar manusia senantiasa bersyukur kepada Tuhan, baik atas nikmat yang dilimpahkan, maupun bencana yang diujikan padanya. Karena keduanya semata-mata sebagai cobaan yang diberikan Tuhan, cobaan yang mampu menempa kebijaksanaan dalam diri manusia. Dan hanya bagi orang-orang yang bertawakal lah, semua peristiwa yang dialami oleh setiap manusia ini dapat dipahami.
Di sisi lain, ada tumpeng yang di sekeliling puncaknya dilapisi dengan kol rebus. Ini menyimbolkan sesuatu yang harus saling melingkupi. Proses saling melingkupi atau memayungi (encompassment) akan semakin menguatkan satu dengan yang lainnya. Seperti misalkan manusia yang berniat untuk selalu berbuat baik atau mengamalkan kebajikan, niat akan kuat, tekadnya akan semakin bulat bila ia juga didukung oleh teman-teman atau orang-orang di sekelilingnya yang juga memiliki tujuan luhur yang sama. Mereka saling menopang, melindungi, dan merangkul satu sama lain, sehingga niat dan tujuan luhurnya tersebut dapat tercapai.
Tumpeng yang lainnya, dihiasi oleh sumbu. Sumbu itu terikat di kedua ujungnya, sehingga membentuk lingkaran. Karena berbentuk lingkaran itulah, ia dapat disematkan di bagian puncak tumpeng. Maknanya, sumbu itu sebagai ikatan yang kuat. Jika dikaitkan dalam pola hidup manusia, sumbu yang bermakna ikatan itu, harus dimiliki oleh manusia di dalam niatnya. Ikatan yang memperkuat niat, tentu berasal dari faktor-faktor tertentu yang dimiliki oleh si manusia sendiri. Mungkin di sini dapat diibaratkan sebagai tujuan dari niat itu sendiri. Misalkan, ketika seorang anak memiliki niat untuk menjadi pintar, maka hal yang menjadi pengikat agar niat itu tetap bulat dan kuat adalah berasal dari tujuannya. Tujuan dari anak itu untuk menjadi pintar, karena ingin membahagiakan orang tuanya. Maka tujuan untuk membahagiakan orang tuanya itulah yang berfungsi sebagai sumbu (ikatan) di dalam niatnya, sehingga jika ia terus-menerus mengingat tujuannya itu, niscaya apa yang dicita-citakannya akan

Doc Pesantren Kaliopak, foto bersama 11 dalang sebelum acara 500 tahun Sunan Kalijga dimulai
Selain tumpeng polos, tumpeng cabe, tumpeng telur rebus, tumpeng kol, tumpeng sumbu, ada pula tumpeng yang berisikan daging dan sayuran. Tumpeng yang berisikan daging (biasanya hanya berupa jeroan ayam atau sapi), bermakna hewan. Sebagai makhluk hidup, hewan menjadi bagian ciptaan Tuhan. Ia masuk ke dalam siklus kehidupan di bumi. Begitu pula dengan tumpeng yang berisikan sayuran. Sayuran ini menyimbolkan tumbuhan, yang juga merupakan ciptaan Tuhan dan turut menempati ruang-ruang bumi. Secara langsung maupun tidak, keberadaan keduanya menghadirkan manfaat yang begitu besar bagi manusia. Atas dasar itu, manusia selalu diingatkan, jika ia taat kepada Tuhan, maka sudah sepantasnya pula ia mempergunakan dan memperlakukan keduanya dengan bijak.
Mengenai tumpeng yang kecil-kecil, pun itu memiliki maknanya masing-masing. Tumpeng yang berada di tengah dan bagian timur, berwarna putih, maknanya kesucian. Tumpeng yang berada di barat berwarna kuning, bermakna kesetiaan. Tumpeng di bagian utara diwarnai hitam, menggambarkan keteguhan. Sedangkan tumpeng di bagian selatan diwarnai merah, menyimbolkan keberanian. Keempat warna ini dalam filosofi orang Jawa dimaknai sebagai darah manusia. Darah yang berasal dari cahaya. Cahaya di sekeliling kita, yang memancar dari raksasa matahari, secara kasat mata memang tak berwarna, namun pada dasarnya empat warna inilah yang menjadi bagian dirinya. Jika seorang ibu akan mengandung, cahaya yang menyentuh perutnya akan menembus ke dalam kulit, hingga kemudian berubah menjadi darah dan membentuk janin yang kemudian tumbuh membesar mewujud bayi. Bayi tersebut pada akhirnya akan lahir sebagai manusia baru. Mengapa darah disimbolkan oleh empat warna ini? Bagi orang Jawa, darah tidak semata-mata merah, seperti yang pada umumnya kita kenal. Ada pula darah berwarna kuning, yakni nanah; darah berwarna hitam, yakni luka (koreng); dan darah yang berwarna putih, yakni air mani. Darah putih yang bermakna kemurnian, darah hitam yang melambangkan keteguhan, darah merah yang melambangkan keberanian dan semangat, serta darah kuning yang menyimbolkan kesetiaan, itu semua menjadi bagian dari diri manusia. Mewujud dalam bentuk karakter manusia yang akan membimbingnya menjadi khalifah yang bijak di muka bumi ini. Tergantung bagaimana manusia itu sendiri membentuknya, dalam proses panjang kehidupan yang ia jalani selama masa hidupnya.
Mengenai tumpeng yang kecil-kecil, pun itu memiliki maknanya masing-masing. Tumpeng yang berada di tengah dan bagian timur, berwarna putih, maknanya kesucian. Tumpeng yang berada di barat berwarna kuning, bermakna kesetiaan. Tumpeng di bagian utara diwarnai hitam, menggambarkan keteguhan. Sedangkan tumpeng di bagian selatan diwarnai merah, menyimbolkan keberanian.
Makna-makna yang aku jelaskan di atas, tentunya terbatas pada ketidaklengkapan data dan interpretasi yang aku buat. Terlepas daripada itu, kita perlu menyepakati bahwa begitu lengkap dan rumitnya makna-makna yang tersembunyi dari beragam jenis sesajen untuk pertunjukan wayang tersebut. Namun demikian, itulah kekayaan filosofi yang dimiliki oleh orang Jawa. Mereka memiliki cara pandang yang unik dalam melihat dunia. Cara pandang yang membentuk pola budaya untuk memaknai kehidupan yang mereka jalani sehari-hari. Dan yang terpenting dari semuanya adalah bahwa orang-orang Jawa ini sungguh menciptakan semesta kehidupannya sendiri lewat pikiran dan tafsir mereka atas dunia.
Dari Asal, Kembali ke Asal
Kendi air yang diinapkan di atas panggung wayangan selama sebelas malam, telah mengukuhkan dirinya lebih sakral karena telah mengenyam berbagai ajaran dari lakon carangan Sunan Kalijaga. Di keesokan malamnya, panitia dari Pesantren Kaliopak, teman-teman mahasiswa Antropologi, dan para partisipan lainnya berkumpul di limasan Pesantren Kaliopak. Kami membaca tiga puluh juz Al-Quran yang dibagi-bagi per orang membaca satu-dua juz. Pembacaan Al-Quran ini kira-kira berlangsung selama hampir dua jam. Setelah itu, ketika waktu menunjukkan pukul dua belas tengah malam, kami bersiap-siap menuju lereng merapi untuk mengembalikan air yang telah kami pinjam empat belas malam sebelumnya dari Sendang Banyu Urip. Kami mengendarai beberapa mobil dan motor untuk menuju ke sana.
Sebelum menuju lereng Merapi, terlebih dahulu kami mengunjungi Pondok Pesantren Al-Qadir di daerah Cangkringan yang terletak di kaki gunung Merapi. Kami bertemu dengan Kiai Masrur[2], yang akan menjadi pemimpin doa di ritual terakhir dari peringatan 500th Sunan Kalijaga. Setelah mengobrol beberapa saat, kami melanjutkan perjalanan ke lereng Merapi. Sesampainya kami di dataran lereng Merapi, kami menyiapkan kendi air dan alat pengusungnya untuk dipikul ke hulu sungai Kali Opak yang berada di lereng gunung tersebut. Suasananya begitu gulita. Angin gunung menggerogoti pori-pori kulit. Meskipun demikian, kami tetap berjalan dengan kelelahan yang hampir memuncak karena sudah menyelenggarakan ritual akbar dari peringatan 500th Sunan Kalijaga selama empat belas malam sebelumnya. Kaki kami terseok-seok menyandung batu-batu gunung sisa lahar Merapi yang membeku. Selain bintang-bintang yang kelipnya tidak terlalu terang malam itu, cahaya lampu dari senter dan ponsel membantu penerangan perjalanan kami. Kami menuruni bukit-bukit, hingga tiba di suatu tempat yang sekiranya adalah hulu sungai Kali Opak. Agak menyangsikan memang, karena di dalam cerukan itu tidak terdapat air sama sekali yang menandakan tempat itu adalah hulu sungai. Namun, Kiai Masrur mengatakan bahwa pada musim hujan, tempat tersebut menampung dan mengalirkan air, sehingga benar-benar membentuk hulu. Memang terjadi banyak perubahan geografis di tempat itu disebabkan letusan gunung Merapi yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu. Tempat kami berdiri saat itu adalah tempat yang mengalami kerusakan terparah diterjang oleh lahar Merapi.
Kaki kami terseok-seok menyandung batu-batu gunung sisa lahar Merapi yang membeku. Selain bintang-bintang yang kelipnya tidak terlalu terang malam itu, cahaya lampu dari senter dan ponsel membantu penerangan perjalanan kami. Kami menuruni bukit-bukit, hingga tiba di suatu tempat yang sekiranya adalah hulu sungai Kali Opak. Agak menyangsikan memang, karena di dalam cerukan itu tidak terdapat air sama sekali yang menandakan tempat itu adalah hulu sungai.
Upacara penutupan kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga dimulai dengan ceramah singkat oleh Kiai Masrur, ia sekaligus memimpin doa untuk memulai ritual terakhir ini. Kami berterima kasih karena acara peringatan yang pada awalnya mengalami banyak kendala operasional, pada akhirnya dapat terselenggara dengan sukses. Ini semua berkat keluhuran niat, serta kemauan dan kerja yang keras dari semua pihak, tim pelaksana maupun tim pendukung, yang ingin mengembalikan kesadaran masyarakat akan nilai-nilai kebajikan yang diajarkan Sunan Kalijaga. Pak Kadi – seniman yang memiliki pengetahuan suluk-suluk warisan Sunan Kalijaga – menyanyikan suluk linglung untuk mengiringi pelepasan air dari dalam kendi ke atas cerukan hulu sungai Kali Opak yang dilakukan oleh Kiai Jadul Maula dibantu Kiai Masrur. Aliran air yang tumpah perlahan dari mulut kendi itu mengalirkan berbagai kebajikan dari ajaran Kanjeng Sunan Kalijaga yang kami sematkan ke dalamnya melalui serangkaian acara peringatan 500th Sunan Kalijaga selama lima belas hari ini. Semoga air tersebut dapat terus memberikan manfaatnya bagi manusia, alam, dan makhluk Tuhan lainnya, sebagaimana pengetahuan dan ilmu yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga senantiasa bermanfaat bagi kehidupan manusia selama generasi demi generasi.
Air, dalam mata rantai alirannya di bumi, tidak pernah habis dan putus, meski berubah zat, bentuk, maupun tempatnya. Ketika menguap dari lautan dan menjadi mendung, ia terbawa ke pegunungan untuk turun kembali ke bumi dalam bentuk air hujan. Air hujan itu pun mengalir membentuk sungai, melewati berbagai dimensi tanah dan bebatuan, dimanfaatkan sebagian untuk keperluan hidup manusia, hewan, dan tumbuhan. Hingga pada akhirnya ia akan tetap mengalir ke samudera, tempatnya berasal. Sirkulasinya tidak akan pernah berhenti, meski banyak melewati tahapan-tahapan, dari mengalir di sepanjang sungai; mengendap di tanah, pasir, lumpur; menggantung di awan, membeku di es; masuk ke dalam tubuh manusia, hewan, tumbuhan; dll, ia akan tetap berpulang ke samudera dan menjadi air kembali. Begitu pula pengetahuan dalam diri manusia, ia perlu melewati berbagai tingkat dan proses sebelum dapat terbentuk dengan mantap di dalam diri manusia. Sepanjang itu pula ia harus dialirkan (disebarkan) ke manusia-manusia lainnya. Karena pengetahuan tidak akan ada artinya jika ia tidak membawa manfaat bagi kehidupan dan manusia lainnya. Pengetahuan yang melimpah, yang telah dicari dan dipupuk sepanjang hidup manusia, pada akhirnya akan membawa manusia kembali kepada kesadaran akan asal-muasalnya, yakni penguasa semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Seperti air yang pada akhirnya kembali ke samudera tempatnya bermula. Dalam hal ini, proses pencarian pengetahuan dan pendalaman spiritual, menjadi satu hal yang tidak dapat terpisahkan. Pengetahuan diperoleh dari pemahaman berbagai peristiwa hidup, dipertahankan lewat aktualisasi perilaku dan penyebaran cara pandang kepada manusia lainnya. Maka pengetahuan sebenarnya suatu proses tiada henti dari aktivitas kerja dan refleksi kesadaran manusia mengenai hal-hal lain di luar dirinya. Pengetahuan yang utuh adalah pengetahuan yang menyatu dalam perilaku manusianya, dan manusia yang utuh adalah manusia yang menyatu dengan sifat-sifat Tuhannya, yang dalam istilah Sunan Kalijaga: Manunggaling kawula gusti.
Karena pengetahuan tidak akan ada artinya jika ia tidak membawa manfaat bagi kehidupan dan manusia lainnya. Namun pengetahuan yang melimpah, yang telah dicari dan dipupuk sepanjang hidup manusia, pada akhirnya akan membawa manusia kembali kepada kesadaran akan asal-muasalnya, yakni penguasa semesta, Tuhan Yang Maha Esa. Seperti air yang pada akhirnya kembali ke samudera tempatnya bermula.
Diselimuti kegelapan, dibuai oleh angin malam, betapa khidmatnya malam itu. Kami mengharu-biru oleh suasana sakral yang tercipta karena nyanyian suluk Pak Kadi yang mengalun syahdu. Kami merefleksikan kembali apa yang telah kami lakukan selama 15 hari ini melalui kegiatan 500th Sunan Kalijaga. Semoga para partisipan, penonton, dan penikmat berbagai ritual dan kesenian yang kami hadirkan sebelumnya dapat memetik makna berkaitan dengan ingatan dan pemahaman mereka akan sosok Sunan Kalijaga dan air di dalam kendi yang hanya simbol dari kemegahan cita-cita luhur dari keseluruhan acara ini.
Pluralisme, Kebangsaan, dan Rekonstruksi Sejarah
Kali Opak dipilih menjadi bagian dari ritual 500th Sunan Kalijaga ini sebab ia merupakan satu-satunya sungai yang membelah satu wilayah Yogyakarta dari Gunung Merapi sampai berakhir ke laut pantai selatan. Sebagaimana saya ceritakan di bagian atas, hulu sungai ini berada lereng Merapi. Bagian sungai ini juga melewati Pesantren, yang santri-santrinya berinisiatif untuk menyelenggarakan kegiatan budaya ini, yakni Pesantren Budaya Kaliopak. Kali Opak mengalir di bagian kiri bangunan Pesantren. Jika tidak ada pabrik penambangan pasir di tepi sungai tersebut, kita masih dapat mendengar gemericik airnya di seluruh sudut pesantren itu.
Keberadaan kali yang alirannya benar-benar memotong wilayah Jogja dari bagian utara, Gunung Merapi sampai ke bagian selatan, yakni laut pantai selatan, dianggap dapat mewakili simbolisasi ajaran Sunan Kalijaga yang dapat mencakup ke semua lapisan masyarakat Jogja (bahkan Jawa) masa itu. Usaha penyebaran agama Islam yang ia lakukan dapat menembus ke pelosok wilayah. dari sudut terpencil desa, sampai Keraton Mataram. Selain itu juga konon sejarahnya pada waktu Sunan Kalijaga bertapa menunggu kedatangan gurunya – Sunan Bonang – sampai sulur-sulur tanaman melilit tubuhnya, ia melakukannya di tepi sungai Kali Opak[3].
Jadi apa yang menjadi bagian dari serangkaian ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan historis dengan ajaran dan laku-laku Sunan Kalijaga. Dari sumber air yang berada di Sendang Banyu Urip, keterlibatannya di dalam Kupatan Jolosutro, jalur-jalur Lampah Ratri, kegiatan wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta, hingga kemudian menutup ritualnya dengan mengembalikan air ke hulu sungai Kali Opak. Itu semua berhubungan satu sama lain di dalam kesejarahan masyarakat Jawa mengenai Sunan Kalijaga. Kemudian sejarah yang dikumpulkan, dan disusun ulang tersebut, dikaitkan dengan makna kebangsaan dalam simbol burung garuda (Pancasila) dan bendera merah-putih yang turut dibawa pada lampah ratri. Ini menunjukkan bahwa sesungguhnya visi yang dibangun tidak sekedar merekam ulang jejak sejarah Sunan Kalijaga, melainkan berusaha menempatkan nilai-nilai sejarah lokal tersebut pada permasalahan nasional masa kini, yakni kebangsaan yang tengah mengalami kegamangan.
Jadi apa yang menjadi bagian dari serangkaian ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan historis dengan ajaran dan laku-laku Sunan Kalijaga. Dari sumber air yang berada di Sendang Banyu Urip, keterlibatannya di dalam Kupatan Jolosutro, jalur-jalur Lampah Ratri, kegiatan wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta, hingga kemudian menutup ritualnya dengan mengembalikan air ke hulu sungai Kali Opak.
Kiai Jadul Maula, sebagai inisiator Kebudayaan yang dibantu oleh santri-santrinya di Pesantren Budaya Kaliopak memang berusaha menggali, menyadarkan, dan merekonstruksi kembali ingatan akan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jogja saat ini. Oleh sebab, ajarannya sangat menekankan rasa toleransi dan kemanusiaan, ia mampu menanamkan nilai-nilai Islam pada setiap aspek kesenian dan kebudayaan orang Jawa, tanpa berusaha mengubah atau menghilangkan sedikit pun kebudayaan asli mereka – seperti halnya wayang carangan, hasil kreasinya. Sehingga, Islam yang diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga pun menjadi Islam yang lentur; menghargai perbedaan dan keberagaman, serta dapat menyesuaikan dengan budaya masyarakat lokal. Maka penting gunanya, apabila ingatan akan nilai-nilai luhur tersebut dijaga keutuhannya secara konsisten, karena merupakan akar budaya yang bersumber dari kearifan lokal penduduk setempat. Kearifan lokal dapat berfungsi menjadi kekuatan pamungkas untuk melawan berbagai ancaman buruk globalisasi, yang prosesnya tidak dapat dihindari, namun bisa diakali melalui strategi budaya. Dan terutama pula untuk meredam kekuatan radikalisme agama yang sedang marak beberapa tahun terakhir ini di Indonesia.
Di tengah kekacauan sosial-budaya, politik, dan ekonomi republik ini, mungkin masyarakat Indonesia saat ini memang telah kehilangan jati diri bangsanya. Dihempas oleh serangan teori, ideologi, dan budaya asing yang tidak tersaring dengan baik. Kita terguncang-guncang, gamang, karena tidak lagi memiliki pegangan akan nilai-nilai luhur yang menjadi akar budaya kita. Kita menjadi bangsa pengekor yang hanya ikut mencicipi berbagai pola dan sistem dunia yang ditawarkan bangsa asing. Hingga kemudian kita berkaca, dan menyadari bahwa ini bukan wajah dari bangsa kita, bangsa Indonesia. Kita hidup dalam ilusi yang diciptakan oleh negara-negara lain, sehingga seringkali tersandung dan terjatuh karena tidak menyadari di mana kita berjalan. Terlalu mengagumi hal-hal yang di luar diri kita, ingin menjadi seperti mereka, hingga akhirnya tercerabut dari fondasi budaya kita sendiri.
Kiai Jadul Maula, berupaya untuk menarik permasalahan kebangsaan ini sampai ke dasarnya, yakni masalah akar budaya. Maka ia pun merekonstruksi budaya, dengan mengambil tokoh simboliknya Sunan Kalijaga, dan tema pengikatnya adalah air. Dengan itu, ia menggali kembali akar budaya dari masyarakat Jawa. Berusaha mengaitkan lokalitas itu hingga tingkat global. Angka 500th dari perayaan peringatan 500th Sunan Kalijaga bukanlah perayaan tahun lahir maupun tahun meninggalnya Sunan Kalijaga. Melainkan tahun, yang apabila tahun sekarang – 2011 – dikurangi angka 500, maka tahun yang muncul adalah 1511. Di tahun 1511 ini, pertama kalinya bangsa Portugis menjejakkan kakinya di tanah Jawa. Yang berarti ialah ini tahun dimana kolonialisme untuk kali pertama mulai menjangkiti nusantara. Keraton Mataram turun berperang melawan penjajah untuk melindungi segenap rakyat dari serangan kolonialisme dan imperialisme bangsa asing. Masyarakat Jawa yang pada waktu itu sebagian besar telah mengenyam agama Islam berkat perjuangan yang dilakukan Sunan Kalijaga dan para Wali lainnya dalam menyebarkan Islam, dihantam oleh kekuatan asing baru yang membawa pengaruh lain berupa agama baru, budaya baru, kehidupan sosial yang baru, dan tentunya pola ekonomi dan politik baru yang sangat merugikan kehidupan masyarakat Jawa. Di sinilah lokalitas budaya menghadapi tantangannya dari dunia luar. Bagaimana filosofi orang Jawa yang dibentuk oleh ajaran-ajaran Sunan Kalijaga ditantang oleh pengaruh budaya bangsa lain. Awalnya negara Portugis, kemudian muncul pula Spanyol, Inggris, Belanda, dan terakhir Jepang.
Dengan masuknya penjajah ke tanah Jawa, juga ke daerah-daerah lain di penjuru Nusantara, lalu bertempur dengan Kerajaan-kerajaan di Nusantara, ini menunjukkkan bahwa pergolakan dari ranah lokal, naik menjadi bergulat di ranah Nusantara. Kemudian ketika Nusantara telah terbebas dari penjajahan, dan munculnya sebuah negara baru – Indonesia, pergolakan naik kembali satu tingkat ke ranah kebangsaan atau keIndonesiaan. Waktu berjalan sekian tahun, Indonesia mengalami beberapa pergantian Pemerintahan, dari masa Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi. Negara kita berjalan dari bentuk pemerintahan yang anti Barat, pro Barat, sampai tidak sadar meniru Barat. Pergolakan pun melesat ke tingkat yang lebih atas, yaitu ranah global. Pergolakan di sini, bukan hanya masalah identitas, melainkan keseluruhan cara pandang, sistem politik-ekonomi, etos dan pola budaya sebagai bangsa yang berkepribadian. Oleh sebab itu, mencakup multidimensi dari bidang sosial, budaya, agama, ekonomi, politik, sampai geopolitik.
Apakah mungkin saat ini di tengah serbuan budaya asing, masyarakat Jawa masih melakonkan beragam petuah dan nilai-nilai luhur dari ajaran Sunan Kalijaga? Ingatan akan akar budaya tersebut begitu penting karena mengembalikan diri kita ke kesadaran lokalitas yang melahirkan kearifan-kearifan hidup. Kita dapat mengingat, menyadari asal-muasal diri kita, makna hidup kita, dan tujuannya yang semuanya terangkum dalam filosofi kehidupan moyang kita secara turun-temurun. Tentunya dengan mencari kaitan relevansi dengan situasi zaman saat ini. Seperti air yang akan selalu kembali ke samudera, dan seperti pengetahuan yang akan selalu mengembalikan kita pada Tuhan. Begitu pula dengan jati diri manusia, ia harus selalu kembali ke akar budaya darimana ia lahir dan tumbuh. Ada sebuah kisah saat Sunan Kalijaga bermaksud pergi ke Mekah, oleh Nabi Khidir – Kanjeng Syekh Mahyuningrat – diminta pulang lagi ke tanah Jawa karena tanpanya, orang-orang Jawa itu akan kembali kafir. Contoh kisah tersebut berupaya menyampaikan maksud yang sama dalam hal proses pencarian pengetahuan. Dalam proses ini, manusia dapat mencari ke sudut semesta manapun. Namun, memang pada akhirnya harus kembali ke tempat dirinya berasal karena di situlah ia menemukan dirinya sendiri dan makna pengetahuannya, lewat amalan-amalan yang dilakukan untuk orang-orang yang pernah hidup paling dekat dengan dirinya. Itu menjadi suatu hutang budi pada kemanusiaan.
Apakah mungkin saat ini di tengah serbuan budaya asing, masyarakat Jawa masih melakonkan beragam petuah dan nilai-nilai luhur dari ajaran Sunan Kalijaga? Ingatan akan akar budaya tersebut begitu penting karena mengembalikan diri kita ke pangakuan lokalitas yang melahirkan kearifan-kearifan hidup.
Ajaran ketuhanan, toleransi, dan kemanusiaan yang ada di dalam butir-butir Pancasila mengandung makna serupa ajaran-ajaran luhur Sunan Kalijaga. Sehingga, perjuangan sikap untuk tetap menjaga dan melakoni nilai-nilai luhur tersebut sesungguhnya membentuk kekuatan jati diri kita sebagai pribadi bangsa yang berkarakter. Bangsa yang tidak mudah dibayang-bayangi oleh pengaruh ideologi dan budaya asing yang pastinya tidak sesuai dengan kondisi kebangsaan Indonesia sendiri. Jika bangsa kita benar-benar mengamalkan nilai-nilai Pancasila yang keluhuran isinya kurang-lebih sama dengan ajaran-ajaran universal Sunan Kalijaga, barangkali kegamangan kita sebagai sebuah bangsa tidak akan terjadi. Sebab individu-individu yang mengamalkan butir-butir kebajikan dari Sunan Kalijaga dan Pancasila, sudah tentu individu-invidu yang terus eling terhadap siapa dirinya, semesta, dan Pencipta-Nya. Maka penyelewengan perilaku semacam korupsi dapat terhindarkan. Melalui karakter kuat yang membentuk bangsa kita dari nilai-nilai luhur itu, kita dapat bersikap tegas dan cerdas dalam menyiasati raksasa kapitalisme. Sayangnya, kita belum kuat di wilayah karakter bangsa tersebut. Di sinilah upaya menerjemahkan sejarah ke dalam rekonstruksi budaya oleh Kiai Jadul Maula melalui ide ritual budaya 500th Sunan Kalijaga yang dibentuknya, memiliki relevansi menjawab tantangan kebangsaan saat ini. Baik dalam menghadapi pengaruh buruk globalisasi, seperti kapitalisme dan radikalisme yang semakin menjamur di negara ini. Penting bagi kita untuk mengingat kembali dan mengamalkan nilai-nilai Islam yang disebarkan Sunan Kalijaga. Agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus menjadi bangsa yang linglung karena kehilangan jati dirinya sebagai negara besar yang plural.
Bogor, Agustus 2011
[2] Kyai Masrur merupakan guru spiritual Ahmad Dhani.
[3] Hasil wawancara dengan kyai Jadul Maula.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di kebunmakna.blogspot.com, sebagai hasil dari catatan etnografis Sarah Monica, dalam acara 500 tahun Sunan Kalijaga pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Pesantren Kaliopak, Lesbumi Yogya, dibantu Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Tulisan ini dipublikasikan ulang oleh redaksi Langgar.co untuk mengingat peristiwa kebudayaan yang penting dan pernah terjadi di Yogyakarta, sebagai upaya memperteguh kembali khasanah pengetahuan Nusantara.
Selain itu tulisan ini dipublikasikan dalam dua seri. baca artikel sebelumnya
Penderitaan Bangsa Linglung
Seberapa sering Anda menonton atau membaca berita dalam sehari? Seberapa sering pula Anda memaki dan mencaci drama politik yang dimainkan para pejabat akrobatik di dalam berita tersebut? Mereka berjungkir-balik saling menudingkan kesalahan terhadap lawan politik dan menepis diri dari tuduhan kejahatan pada diri mereka sendiri. Ibarat permainan sirkus yang terus disajikan secara berulang, kebosanan pun menghinggap rongga dada dan cangkang pikiran kita. Kebosanan akan perilaku korup para elit pemerintahan dan lemahnya sistem hukum negara ini. Rakyat terus-menerus diajak bergoyang di atas perahu ketidakpastian negara kita sampai mual!
Mungkinkah ini sebuah kebuntuan reformasi? Yang dahulu begitu kita sembah ketika rezim Soeharto berhasil ditundukkan di bawah telapak kaki reformis yang mengaku gundah dengan segala kebrengsekan rezim tersebut. Toh pada akhirnya, rezim-rezim pemerintahan yang berganti kemudian, tidak atau belum dapat mendudukan rakyat dan negara Indonesia ini di dalam suatu wadah pemerintahan yang stabil dan bebas dari jaring-jaring korupsi. Rakyat hanya dihadiahi permen lollipop di awal kemenangan partai politik yang didukungnya, setelah itu hanya menghisap jempol belaka. Artinya, rakyat hanya diberi kesenangan sesaat sebagai hadiah dari partai politik karena mereka telah berhasil membawakan partai tersebut mahkota kekuasaan. Selebihnya, yang menganggur tetap menganggur; yang mengais sampah, tetap mengais sampah.
Pada akhirnya, sedikit demi sedikit kepercayaan rakyat pun meluntur seiring dengan janji-janji pemerintah yang berhembus kian-kemari tidak berbekas. Rakyat menjadi apatis dengan segala perkembangan politik dan pemerintahan, sedangkan di sisi lain para elit di atas sana semakin maruk berebut kue kekuasaan. Kemiskinan membuat rakyat menggeser norma hukum dan etika demi mempertahankan kelangsungan hidupnnya. Kehidupan sosial-budaya semakin semrawut tidak terarah. Semua bergerak demi kepentingan-kepentingan pragmatik, menuju Tuhan baru: yakni materi dan pencitraan.
Pada titik inilah kehidupan bangsa kita mengalami kegalauan. Gamang menghadapi berbagai kemandekan politik, dinamika sosial-budaya, perubahan lingkungan, yang datang baik dari dalam negeri sendiri, maupun yang berasal dari luar. Kita menjadi begitu asing menghadapi diri kita sendiri. Ketiadaan jati diri, hingga tidak mampu mengenali siapa sosok yang dihadirkan cermin kehidupan di muka kita.
Pada akhirnya, sedikit demi sedikit kepercayaan rakyat pun meluntur seiring dengan janji-janji pemerintah yang berhembus kian-kemari tidak berbekas. Rakyat menjadi apatis dengan segala perkembangan politik dan pemerintahan, sedangkan di sisi lain para elit di atas sana semakin maruk berebut kue kekuasaan.
Solusi Budaya
Dengan segala kecerdasan dan keluhuran niatnya, seorang Jadul Maula, inisiator Kebudayaan, yang dibantu santri-santrinya dari Pesantren Kaliopak – Piyungan Yogyakarta, membuat suatu rangkaian acara kebudayaan yang berlangsung dari tanggal 18 – 31 Juli 2011. Acara kebudayaan ini mengambil tema “Peringatan 500th Sunan Kalijaga”. Keseluruhan rangkaian acara yang berjalan hampir dua minggu itu berusaha untuk mengangkat dan mengingatkan kembali keluhuran nilai-nilai ajaran Sunan Kalijaga kepada masyarakat luas – khususnya masyarakat Jawa – yang selama berabad-abad sebelumnya dipegang teguh demi keseimbangan kehidupan manusia di dunia dan akhirat.
Kegiatan Sunan Kalijaga ini terdiri dari beberapa rangkaian acara. Simbol yang digunakan untuk menyatukan keseluruhan rangkaian acara yang beragam itu ialah air. Dimana air tersebut diambil dari Sendang Banyu Urip, kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kendi besar yang terbuat dari tanah liat yang diukir. Di setiap pementasan dan pagelaran budaya selanjutnya, keberadaan kendi tersebut mutlak untuk selalu berada di tengah kegiatan, agar peserta yang menikmati acara seni tersebut selalu melihatnya dan dapat mengaitkan keberadaan kendi itu dengan makna yang berusaha dipancarkannya.
Kegiatan yang mengusung kendi air itu dimulai dari Kupatan Jolosutro (Merti Desa di Jolosutro); kemudian Lampah Ratri (Jalan Bisu), dari (Piyungan – Pesantren Kaliopak –, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton Yogyakarta di alun-alun utara); pagelaran wayang selama 11 malam, dari tanggal 21-31 Juli 2011; hingga kemudian mengantarkan kendi tersebut ke lereng Merapi untuk mengalirkan air suci, yang telah bersemayam 15 hari di dalam kendi, ke perut bumi dimana ia dilahirkan sebelumnya.
Pertanyaan yang muncul di benak kita mungkin berkenaan dengan seluruh rangkaian acara budaya ini, antara lain: mengapa mengambil sosok seorang Sunan Kalijaga sebagai diskursus utama di dalam kegiatan budaya yang baru diadakan pertama kali ini? Mengapa pula air yang digunakan sebagai simbol yang mengikat keseluruhan kegiatan 500th Sunan Kalijaga? Mengapa kegiatan itu mengambil jalur-jalur dari Sendang Banyu Urip, desa Jolosutro, sampai kemudian berakhir ke lereng Merapi? Lalu apa kaitan kedua hal tersebut dengan persoalan kegamangan bangsa yang saya paparkan sedikit di bagian awal tulisan ini? Ini semua hanya beberapa pertanyaan-pertanyaan pemicu yang berusaha saya jawab satu per satu melalui penjelasan dari beragam kegiatan itu, tentunya dengan segenap keterbatasan saya.
Di Balik Layar
Seorang Sunan Kalijaga, yang bernama asli Raden Said (1450) merupakan tokoh sentral di dalam kehidupan orang Jawa yang pada masa lalu berhasil menanamkan agama Islam kepada orang Jawa. Kentalnya budaya Hindu-Buddha yang mewarnai kehidupan orang Jawa pada masa itu, memaksa Sunan Kalijaga mempergunakan kejeniusannya demi memasukkan nilai-nilai Islam yang lentur ke dalam beragam seni-budaya untuk diperkenalkan kepada orang Jawa. Di samping mereka merasa terhibur, mereka pun dapat memetik beragam ajaran luhur mengenai etika dan sikap hidup, pandangan tentang semesta, tata cara berperilaku dengan sesama manusia, dengan Sang Pencipta, dengan binatang, tumbuhan, dan lingkungannya.
Sunan Kalijaga sebagai orang pertama yang memperkenalkan kesenian gamelan dan Wayang Kulit kepada orang Jawa, yang melalui itu, ia berusaha mengajarkan filosofi kehidupan berasaskan Islam kepada mereka. Hal yang mendasari kesuksesan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajarannya hingga kemudian diterima dengan baik oleh orang-orang Jawa, ialah karena ia memasukkan nilai-nilai ajarannya tersebut ke dalam kesenian yang merupakan makanan sehari-hari mereka. Berupaya menyatukan nilai-nilai Islam yang universal ke ranah lokalitas budaya. Tidak semata-mata memaksakan agama Islam sebagaimana keutuhannya di negeri agama itu berbenih dan lahir, namun dengan mencangkokkan inti ajaran Islam tersebut ke pohon budaya masyarakat Jawa, hingga kemudian ia tumbuh mengikuti pola ranting dan dedaunan seni dan gaya hidup mereka.
Hal yang mendasari kesuksesan Sunan Kalijaga dalam menyampaikan ajarannya hingga kemudian diterima dengan baik oleh orang-orang Jawa, ialah karena ia memasukkan nilai-nilai ajarannya tersebut ke dalam kesenian yang merupakan makanan sehari-hari mereka. Berupaya menyatukan nilai-nilai Islam yang universal ke ranah lokalitas budaya.
Di sinilah terjadi sinkretisme agama, dimana agama dan kebudayaan terpaut erat bagai tutup dengan wadahnya. Apa yang menjadi kepercayaan mereka tidak mungkin terlepas dari lakon budaya yang mereka jalani dalam kehidupan sehari-hari. Maka, tidak heran bila kemudian Sunan Kalijaga dijadikan tokoh sentral, karena ia memiliki otoritas agama sebagai seorang Wali, otoritas budaya sebagai seniman, dan sebagai seorang priyayi, ia pun memiliki otoritas politik sebagai Raja di tanah Jawa.
Di Sendang Banyu Urip, sumber air yang kami gunakan di dalam rangkaian acara budaya Sunan Kalijaga, merupakan Sendang yang dibuat oleh Sunan Kalijaga pada masa hidupnya. Konon cerita, di saat penduduk desa mengalami wabah kekeringan, Sunan Kalijaga dengan izin Allah menghentakkan tongkatnya ke atas tanah tandus tersebut, hingga kemudian air jernih memancar keluar dari lubang yang ditancapkan Sunan Kalijaga di atasnya.
Air tersebut tidak pernah berhenti memancar dari waktu ke waktu, menjadi sumber mata air abadi sampai saat ini. Semua penduduk desa sekitar Sendang Banyu Urip dapat memanfaatkan air tersebut untuk kehidupannya, dari hal-hal yang bertujuan baik, maupun buruk. Sesungguhnya dapat pula kita maknai bahwa keberadaan air dan manfaat yang selalu memancar darinya, diibaratkan sebagai segala macam pengetahuan yang diajarkan Sunan Kalijaga kepada orang-orang Jawa. Ilmu dan pengetahuan yang tidak pernah habis, tidak pernah mati, namun selalu menghadirkan relevansinya terhadap kehidupan manusia sampai detik ini.
Mendaki Kupatan Jolosutro
Air yang telah dikucurkan ke dalam kendi, didoakan sejenak untuk meminta restu dari Yang Maha Kuasa agar kegiatan budaya yang akan dilaksanakan nanti, dengan meminjam air dari Sendang Banyu Urip ini, dapat tercapai semua tujuan luhurnya.
Keesokan siang, kendi air di bawa ke desa Jolosutro yang sedang menyelenggarakan merti desa. Merti desa memang diadakan setiap tahunnya, namun baru tahun ini, perayaannya disisipkan ritual lain dari acara peringatan 500th Sunan Kalijaga. Kendi air yang menjadi bagian dari 500th Sunan Kalijaga memiliki kaitan dengan festival merti desa karena di serangkaian acaranya, semua bahan-bahan makanan hasil bumi dari beberapa desa di sekitar Jolosutro diusung di dalam wadah peti berwarna-warni ke atas bukit Jolosutro, kemudian dibawa ke makam Sunan Geseng sebagai akhir dari perayaan. Sunan Geseng merupakan salah satu murid Sunan Kalijaga, maka ritual 500th Sunan Kalijaga pun perlu masuk untuk menjadikan Kupatan Jolosutro ini sebagai bagian dari ritual secara keseluruhan.
Rasa syukur atas segala berkah Tuhan berupa hasil panen yang melimpah, dituangkan melalui acara merti desa yang kegiatannya juga sekaligus merayakan kemenangan desa Jolosutro di dalam lomba karang taruna antar desa. Kegiatan yang dinamakan Kupatan Jolosutro ini dihadiri oleh petinggi-petinggi desa, pejabat DPRD, sampai Pembayun (anak sulung Sultan Yogyakarta). Upacara dan tari-tarian diadakan di tengah alun-alun Jolosutro, setelah itu semua arak-arakan berjalan menuju bukit Jolosutro, dimana makam keramat Sunan Geseng berada.
Dari atas dataran yang lebih tinggi, arak-arakan berbentuk seperti kelokan sungai yang panjang. Beraneka warna, karena terdiri dari kelompok-kelompok berbagai desa yang memakai baju adatnya masing-masing. Mereka mengusung semacam peti berbentuk limas, di dalamnya ada ragam jenis jajanan dan makanan hasil bumi yang dipersembahkan pula untuk bumi. Warna-warni arakan berjalan dengan cepat ke atas bukit terjal, melangkahi batu-batu gunung, hingga akhirnya sampai di puncak bukit yang agak lapang. Di atasnya, batu-batu nisan mencuat dari dalam tanah, dan di bukit yang tertinggi, makam Sunan Geseng menampakkan wujudnya sebagai pusat anutan. Peti-peti limasan dan kendi air diletakkan di tanah datar di dekat kumpulan makam-makam. Seorang abdi dalam Keraton membacakan petuahnya menggunakan bahasa Jawa alus atau krama Inggil (baca: kromo inggil).
Di atasnya, batu-batu nisan mencuat dari dalam tanah, dan di bukit yang tertinggi, makam Sunan Geseng menampakkan wujudnya sebagai pusat anutan.
Di sekeliling peti-peti, para penduduk desa menanti dengan sabar, hingga kemudian petuah itu berakhir, mereka menyerbu peti-peti, menguak tutupnya, mengeruk jajanan yang berada di dalamnya semampu cengkeraman mereka. Usaha merampas makanan itu seakan terlihat begitu garang dan buas, namun mereka sangat menikmati perebutan tersebut dengan tawa riang, tidak ada kekecewaan dan dendam yang muncul dari aksi mereka.
Setelah peti-peti kosong, sampah makanan tersebar di tanah sekitar makam-makam, barulah kendi air dibawa naik ke hadapan makan Sunan Geseng. Di atas kekokohan batu nisannya, perwakilan dari Pesantren Kaliopak – Faisal Kamandobat – dan dari abdi dalam Keraton, saling menjabatkan tangan sepanjang seorang tetua adat membacakan sekilas ajaran-ajaran Sunan Kalijaga dan menyanyikan suluknya. Permohonan doa ini sebagai titik awal dari rangkaian panjang ritual peringatan 500th Sunan Kalijaga.
Lampah Ratri di Kesunyian Malam
Malamnya, sekitar pukul 9 malam, lampah ratri (tapak bisu/ jalan sunyi) dilakukan. Dimulai dari Piyungan, tempat dimana Pesantren Kaliopak bersemayam. Masing-masing orang memakai baju adat atau baju santri. Di urutan paling depan dari arak-arakan, para tetua adat yang memakai baju adat Jawa dengan memegang spanduk besar bertuliskan “Peringatan 500th Sunan Kalijaga”, didampingi oleh pembawa bendera merah-putih, dan garuda Pancasila. Di belakangnya, serombongan orang-orang yang memakai baju adat berwarna merah. Setelah itu para pembawa wayang yang terdiri dari santri-santri Kaliopak dan teman-teman dari Antropologi UI, saya sendiri membawa wayang Arjuna. Di belakang kami ialah penduduk desa berusia sekolah yang memakai baju santri, di belakang mereka barulah pengusung kendi yang berjalan tertatih-tatih memanggul berat di satu sisi bahu mereka, itu juga terdiri dari mahasiswa-mahasiswa Antropologi. Sedangkan rombongan yang terakhir adalah para partisipan acara 500th Sunan Kalijaga ini, yang didampingi oleh kendaraan medis dan keamanan. Kami berjalan kaki berkilo-kilo, dan di sepanjang perjalanan, orang-orang yang sedang melintas di jalan yang sama atau yang sedang menikmati kopi di angkringan-angkringan pinggir jalan, melongokan kepala dengan heran. Terbersit tatapan ingin tahu dari wajah mereka.

foto dokumentasi Pesantren Kaliopak saat lampah latri 2011
Pada masa lalu, ritual lampah ratri ini dilakukan tanpa memakai sandal. Para perempuan memakai baju adat kemben. Fisik benar-benar diuji berdasarkan kebulatan tekad masing-masing. Namun saat ini, kami dapat melakukannya dengan memakai sandal dan bagi perempuan, tidak perlu kemben, yang penting adalah batik sebagai instrumen penting pakaian adat Jawa. Di malam yang cerah kala itu, rombongan kami berjalan bisu, tidak boleh bicara, makan, minum, ataupun merokok sampai titik perhentian. Perjalanan sunyi itu dihibur oleh api obor yang menari-menari digelitik angin, nyalanya menemani kebisuan langkah kami. Keheningan semacam itu sengaja dibuat, agar pikiran dan hati kami dapat lapang, bukannya kosong, melainkan khusyuk memikirkan beragam laku kami di sepanjang kitab hidup yang telah kami jalani. Apakah segalanya telah sesuai dengan nilai-nilai Islam yang diajarkan oleh Sunan Kalijaga. Ini merupakan upaya refleksi sebagaimana kita melakukannya di dalam meditasi.
Di malam yang cerah kala itu, rombongan kami berjalan bisu, tidak boleh bicara, makan, minum, ataupun merokok sampai titik perhentian. Perjalanan sunyi itu dihibur oleh api obor yang menari-menari digelitik angin, nyalanya menemani kebisuan langkah kami. Keheningan semacam itu sengaja dibuat, agar pikiran dan hati kami dapat lapang, bukannya kosong, melainkan khusyuk memikirkan beragam laku kami di sepanjang kitab hidup yang telah kami jalani.
Aku merasakan sendiri, dihajar oleh angin malam, langkah tiada henti, kebosanan karena senyap, dan cahaya obor yang temaram, kehadiran kantuk memang sangat tidak terhindarkan. Sayup-sayup kelopak mataku tertutup, berjalan sekian langkah di dalam tidur, hingga kemudian kaki dan badanku terantuk sesuatu, mataku membuka kembali, terkejut karena tidurnya terganggu. Namun betapa herannya aku melihat sekelilingku yang begitu ramai, wajah-wajah tanpa ekspresi, tubuh-tubuh yang berjalan dalam keremangan obor, tangan-tangan yang menegakkan wayang. Barulah aku sadar, bahwa aku masih menjalani lampah ratri. Beberapa kali kejadian ini berulang. Bisa jadi ini disebabkan kurangnya fokusku untuk merefleksikan berbagai hal di dalam diri sendiri. Diperlukan niat hati yang begitu kuat, fokus pikiran yang begitu mantap untuk menjalani ritual lampah ratri tersebut, agar gangguan-gangguan semacam kantuk dan rasa lelah dapat terhindarkan.
Bayangkan, kami berjalan kaki sepanjang 15 km dari Piyungan sampai alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta. Sebagian ada yang membawa spanduk dua meter, bendera merah-putih, patung besar garuda Pancasila, sebagian lagi membawa wayang, dan yang paling mengesankan adalah mereka yang membopong kendi air di atas bahunya. Cobaan-cobaan itu harus mampu dilalui sampai titik perhentian berikutnya yang berjarak 5 km dari titik perhentian satu ke titik perhentian lain. Di titik perhentian ini, barulah kami dapat melepas lelah, makan-minum, merokok, dan terutama, bebas bersuara.
Di perhentian pertama setelah Piyungan adalah Wot Galeh. Wot Galeh merupakan tempat makam-makam leluhur Raja Mataram. Di sini terdapat makam Pangeran Purboyo dan Pangeran Wot Galeh yang masih keturunan dari Sunan Kalijaga.
Pada malam lampah ratri tersebut, kami menjumpai Sultan Palembang yang kebetulan hari itu sedang berziarah ke Wot Galeh. Di Wot galeh ini, para pemegang wayang dan kendi air berganti peranan. Teman-teman Kaliopak dan Antropologi UI digantikan oleh teman-teman dari kelompok lain untuk membawa wayang dan kendi air itu ke titik perhentian selanjutnya di Kota Gede. Namun demikian, kami masih tetap berlampah ratri sampai ke sana.
Di Kota Gede, kami disambut oleh nyanyian suluk yang digemakan oleh para abdi dalam Keraton yang duduk mengelilingi gamelan. Kota Gede merupakan Keraton Mataram awal. Baik di Wot Galeh, maupun Kota Gede, ritual yang berlangsung terjadi di dalam kedua masjid yang besar peninggalan Sunan Kalijaga yang berada di masing-masing wilayah tersebut.
Sekitar pukul setengah 3 dini hari, lampah ratri pun dilanjutkan ke alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta. Malam beranjak makin dingin, namun para rombongan pejuang budaya dan ajaran Sunan Kalijaga yang mengikuti tapak bisu ini tetap berjalan dengan langkah tegap dan kepala tegak, menyongsong Keraton Ngayogyakarta sebagai akhir dari perjalanan sunyi malam ini.
Sesampainya di alun-alun utara, jarum jam di tangan kiriku menunjukkan waktu menjelang subuh, angin berhembus begitu dingin, rombongan kami tiba dan berdiri di depan gerbang Keraton Ngayogyakarta. Gerbang itu masih tertutup dengan angkuhnya, menantang arak-arakan kami yang mengantarkan kendi air ke bawah hidungnya. Sekian waktu kami menunggu, gerbang masihlah tertutup. Maka kami menyelesaikan ritual terakhir dengan mendendangkan suluk Sunan Kalijaga di depan gerbang tersebut, berdoa, kemudian arak-arakan bubar, kembali ke kediamannya masing-masing.
Sesampainya di alun-alun utara, jarum jam di tangan kiriku menunjukkan waktu menjelang subuh, angin berhembus begitu dingin, rombongan kami tiba dan berdiri di depan gerbang Keraton Ngayogyakarta. Gerbang itu masih tertutup dengan angkuhnya, menantang arak-arakan kami yang mengantarkan kendi air ke bawah hidungnya. Sekian waktu kami menunggu, gerbang masihlah tertutup.
Jalur lampah ratri yang ditetapkan Jadul Maula, sebagai penggagas kegiatan budaya peringatan 500th Sunan Kalijaga, dari Piyungan, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton, tak mungkin tiada beralasan. Jalur ini merupakan jalur yang ditempuh oleh Sunan Kalijaga dan pasukan Demak ketika mencari keberadaan Keraton Mataram di masa lalu. Jalur dari Piyungan, Wot Galeh, Kota Gede, sampai Keraton adalah jalur dimana Sunan Kalijaga menempuh perjalanan sekaligus menyebarkan agama Islam kepada warga Yogyakarta yang ketika itu masih beragama Hindu-Buddha. Dengan demikian dari jalur inilah, yang kemudian dipilih sebagai alur perjalanan tapak bisu (lampah ratri) untuk mengenang kembali perjuangan Sunan Kalijaga ketika ia menyebarkan nilai-nilai luhur Islam. Merefleksikan apakah perilaku hidup kita telah sesuai dengan filosofi yang ia ajarkan.
Sebagai manusia kita selalu tergerus oleh perbuatan-perbuatan khilaf dan dosa, sehingga sudah sepantasnya jika kita harus terus-menerus memaksa diri untuk mempertanyakan kembali makna hidup kita di dunia dan agar kita kembali menghayati tiap butir-butir kebajikan yang dahulu diajarkan Sunan Kalijaga. Sesuai dengan tujuan dan itikad baik tersebut, maka ritual lampah ratri di malam selasa yang bersahaja ini diberi tema “Merti Luhuring Laku Sunan kalijaga”.
Sabetan-sabetan Wayang 11 Malam
Ritual tidak berhenti sampai di situ. Kendi air yang telah mengecap festival Kupatan Jolosutro, dan Lampah Ratri dari Piyungan sampai alun-alun utara Keraton Ngyogyakarta, kemudian ditempatkan di tengah panggung pagelaran wayang kulit selama 11 malam. Pagelaran wayang kulit ini memainkan lakon-lakon Sunan Kalijaga. Melalui wayang kulit inilah, Sunan Kalijaga dahulu berhasil memperkenalkan Islam kepada penduduk desa. Wayang Carangan istilahnya, yakni wayang pakem yang disisipkan ajaran-ajaran Sunan Kalijaga. Wayang pakem sendiri merupakan jenis lakon wayangan yang ceritanya menyadur dari cerita klasik Ramayana dan Mahabrata, meski terdapat perubahan cerita yang disesuaikan dengan konteks Jawa, sehingga membuatnya berbeda dari versi aslinya yang berasal dari India, namun lakon wayang pakem tersebut selalu dipentaskan secara turun-temurun. Pada awalnya, pagelaran wayang pakem memang khusus dipertontonkan di acara-acara Keraton.
Menurut Herman Sinung Janutama, selaku pengamat wayang yang bertempat tinggal di Yogyakarta, wayang sebelumnya merupakan kesenian yang begitu sakral dan elitis karena hanya dapat dimainkan di depan kompleks candi. Seseorang yang ingin mempelajari wayang harus mendatangi candi tersebut dengan metode tirakat dan prihatin. Akan tetapi, setelah Sunan kalijaga dan Wali Allah lainnya muncul untuk mengajarkan Islam di tanah Jawa, wayang tersebut menjadi kesenian rakyat yang dapat dipertontonkan di berbagai pelosok tempat oleh golongan manapun. Dengan kata lain, tidak lagi semata-mata menjadi milik Raja-raja dan para elit Keraton[1].
Dalam lakon wayang pakem Jawa, seperti Ramayana dan Mahabrata, ada hal mendasar yang membedakannya dengan wayang carangan kreasi dari Sunan Kalijaga, yaitu sisipan lakonnya yang berupa goro-goro. Goro-goro terdapat di pertengahan cerita, jika wayang dimulai pukul 8 malam, maka goro-goro dipentaskan kira-kira sekitar tengah malam sampai jam 2 pagi. Tokoh-tokoh yang berlakon di goro-goro adalah Punakawan, yakni tokoh khas di dalam legenda masyarakat Jawa yang terdiri dari Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.
Para penonton wayang pada umumnya, lebih menantikan pertunjukkan goro-goro dibandingkan bagian lakon lain dalam kesatuan cerita di pementasan wayang. Pertama, karena goro-goro menggunakan bahasa Jawa Ngoko yang memang dipergunakan sebagian masyarakat Jawa sehari-hari. Sedangkan pada bagian lakon selain goro-goro, umumnya menggunakan bahasa Jawa tinggi/ alus (krama inggil) dan bahasa pendalangan atau Jawa Kawi (sanskerta) yang hanya dikenal dan dipergunakan di kalangan dalang dan elit Keraton. Kedua, di dalam goro-goro, Punakawan berlakon komedik, sehingga sukses mengundang segenap tawa dari para penontonnya. Ketiga, inti ajaran carangan (sisipan) dari Sunan Kalijaga dirangkum dengan pengemasan yang ringan dan jenaka di sini, sehingga penonton mudah memahami pokok-pokok ajaran yang menjadi acuan laku hidup masyarakat Jawa. Keunikan goro-goro karena petuah dan ajaran-ajaran Islam maupun filsafat hidup yang mungkin sulit dipahami dan asing, dapat disajikan dengan ringan dan riang oleh tokoh-tokoh Punakawan. Secara tidak langsung, mereka dapat mengerti dan menerima setiap ajaran itu dengan hati terbuka, seiring dengan gegap-gempita tawa mereka.
Panggung wayang berdiri dengan megah di depan Keraton Ngayogyakarta, alun-alun utara. Dua tenda panitia berjejer di bagian kiri panggung. Di depannya, bangku-bangku penonton disusun 10-15 deret. Di atasnya melengkung tenda untuk memayunginya dari hujan. Dari malam ke malam, pertunjukkan wayang semakin ramai. Orang berbondong-bondong mendatangi alun-alun utara, duduk memenuhi bangku penonton, menggelar Koran, duduk di atas motor atau becaknya, atau sekedar berdiri di sekitar panggung. Para pedagang angkringan yang sehari-hari bekerja di alun-alun utara mendapatkan rejeki nomplok karena kebanjiran pembeli sampai subuh, ketika acara wayangan selesai. Dalang, sinden, dan pemain gamelan duduk di panggung menghadap layar, memunggungi penonton. Banyak pula para penonton yang turut duduk di atas panggung – berdampingan dengan para pemain gamelan – agar dapat menyaksikan sabetan-sabetan wayang lebih dekat. Atau dari belakang layar, menyaksikan pergulatan bayangannya, sehingga esensi menonton wayangnya lebih nyata.
Suasana pagelaran begitu ramai, tetapi entah mengapa, aku merasa dingin yang berbeda dan asing di tengah keramaian tersebut. Mungkinkah ini efek mistis yang konon lekat dengan pertunjukkan wayang? Dari obrolan-obrolan bersama Pak Herman, beliau menyatakan bahwa di setiap pementasan wayang, para penonton yang berdatangan untuk menonton, tidaklah semuanya terdiri dari manusia, melainkan ada pula makhluk-makhluk gaib Allah lainnya. Mereka bisa berwujud apa saja, dari manusia normal, orang gila, ataupun mungkin wujud aslinya yang tidak kasat mata.
Memang aku perhatikan di malam-malam pertunjukkan wayang, terutama saat malam keenam, malam pertengahan dari sebelas malam, saat itu tanggal 25 Juli, malam selasa Kliwon, ketika dalang Ki Mas Lurah Cermo Radyo Harsono memainkan lakon “Dewa Ruci”, tidak seperti malam-malam biasanya, saat itu banyak sekali orang gila yang berkeliaran di alun-alun utara, hilir-mudik di antara para penonton lainnya, ikut menyemarakan pementasan wayang. Entah benar atau tidak apa yang dikatakan oleh Pak Herman, namun begitulah suasana yang aku temui di lapangan.

Kiai Jadul Maula bersama Ki Seno Nugroho pada malam terakhir acara 500 tahun Sunan Kalijaga
Ada sebelas lakon yang dimainkan oleh sebelas dalang selama sebelas hari. Terbentuknya sebelas lakon ini merupakan hasil musyawarah para dalang yang sebelumnya telah berkumpul untuk merumuskan lakon-lakon carangan Sunan Kalijaga. Lucunya, dari sekian puluh dalang yang diundang untuk datang berkumpul dan rapat untuk menentukan cerita atau lakon dari pagelaran wayang nanti, satu per satu mereka terseleksi alam dengan sendirinya. Panggilan untuk datang rapat secara terus-menerus selama beberapa hari, waktu bermusyawarah yang panjang dan melelahkan, membuat sebagai dalang yang diundang, mundur perlahan dari partisipasinya di kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga ini. Hingga kemudian, dalang yang tersisa, yang senantiasa datang dan sanggup bertahan menjalani rapat berhari-hari itu, berjumlah sebelas orang. Jumlah tersebut sesuai dengan jumlah lakon yang mereka musyawarahkan sendiri. Tanpa disengaja, entah mengapa jumlah dari kehadiran dalang tersebut sama persis dengan jumlah lakon yang telah disusun. Suatu kebetulan yang mungkin petunjuk dari Yang Ilahi. Maka waktu pagelaran wayang pun dibuat sebelas malam. Jadi satu lakon dimainkan selama semalam suntuk. Jumlah sebelas lakon, sebelas dalang, dan sebelas malam ini pun mungkin dapat pula dikaitkan dengan tahun dimana kegiatan peringatan 500th Sunan Kalijaga ini berlangsung, yakni 2011. Ada hubungannya atau tidak, semua kesamaan jumlah dari angka sebelas ini menjadi sesuatu yang menarik.
Lucunya, dari sekian puluh dalang yang diundang untuk datang berkumpul dan rapat untuk menentukan cerita atau lakon dari pagelaran wayang nanti, satu per satu mereka terseleksi alam dengan sendirinya.
Sebelas lakon yang berhasil disusun oleh para dalang yang difasilitasi oleh panitia Pesantren Kaliopak sebagai penyelenggara acara peringatan 500th Sunan Kalijaga, antara lain: Lahire Bethara Kala (Rabu, 20 Juli), Jumenengan Yudhistira (Kamis, 21 Juli), Kumbayana (Jumat, 22 Juli), Kartapiyoga Maling –Semar Mbarang Jantur – (Sabtu, 23 Juli), Mustakaweni (Minggu, 24 Juli), Dewa Ruci (Senin, 25 Juli), Wahyu Makutarama (Selasa, 26 Juli), Ganda Wardaya (Rabu, 27 Juli), Semar Minta Bagus (Kamis, 28 Juli), Pandhu Swarga (Jumat, 29 Juli), dan Pandhawa Moksa (Sabtu, 30 Juli). Lakon-lakon ini dimainkan secara berturut-turut oleh dalang yang paling senior dan tua, sampai ke dalang yang baru dan muda. Lakon pertama, sebagai lakon pembukaan dan juga merupakan lakon yang paling rumit, yakni “lahire bethara kala”, dimainkan oleh dalang senior Ki Mas Lurah Cermo Sutedjo. Gelar Ki Mas Lurah Cermo merupakan gelar yang disematkan oleh Keraton Yogyakarta kepada dalang-dalang yang telah mengabdikan dirinya sebagai dalang abdi dalam Keraton. Dalang yang memperoleh gelar tersebut adalah dalang yang selama belasan sampai puluhan tahun sudah mementaskan wayang pakem di berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Keraton.
Di malam terakhir, dalang Ki Seno Nugroho, menutup keseluruhan acara pagelaran wayangan sebelas malam di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta dengan penampilan yang begitu memukau. Dalang Ki Seno Nugroho memang dalang junior, yang termuda di antara semuanya, namun pada masa kini popularitasnya sedang meranjak naik sebagai dalang yang paling banyak ditanggap di berbagai acara di Yogyakarta. Darah mudanya, kegesitan sabetannya, kekayaan ekspresi dan power intonasi suaranya, serta lelucon-lelucon segar yang disemburkan selama pagelaran wayangnya, membuat ia begitu digemari dan dielu-elukan oleh penikmat wayang saat ini. Penampilan yang ia sajikan ke hadapan penonton di malam terakhir peringatan 500th Sunan Kalijaga sangat memukau, menjadi malam penutupan yang gemilang, menandakan kesuksesan dari acara ini. Malam itu menjadi malam dengan penonton terbanyak dan terheboh, karena tidak henti-hentinya gelegak tawa terburai ke udara sampai menjelang subuh. Tidak mempedulikan angin malam alun-alun utara yang berhembus ganas, maupun debu-pasir yang berterbangan menampar wajah dan tubuh mereka.
~~Bersambung~~
[1] Herman Sinung Janutama dalam “Lakon-lakon Wayang Carangan Karya Kanjeng Sunan Kalijaga”, hal: 22.
*Tulisan ini pernah dipublikasikan di kebunmakna.blogspot.com, sebagai hasil dari catatan etnografis Sarah Monica, dalam acara 500 tahun Sunan Kalijaga pada tahun 2011 yang diselenggarakan oleh Pesantren Kaliopak, Lesbumi Yogya, dibantu Mahasiswa Jurusan Antropologi Universitas Indonesia. Tulisan ini dipublikasikan ulang oleh redaksi Langgar.co untuk mengingat peristiwa kebudayaan yang penting dan pernah terjadi di Yogyakarta, sebagai upaya memperteguh kembali khasanah pengetahuan Nusantara.
Selain itu tulisan ini akan dupublikasikan dalam dua seri. Selamat membaca…
Saya orang Madura. Otomatis ada hambatan primordial untuk merasakan dan mengerti Jawa. Apalagi nilai Jawa yang dibungkus sastra klasik dan kesenian kuno seperti Wayangan. Sudah tentu hambatan saya berlapis-lapis tebalnya.
Sudah 6 bulan terakhir ini, atau kira-kira sejak usia kandungan istri baru 4 bulan, hingga kini anak saya berusia 2 bulan, saya belajar Jawa dari dalang Ki Seno Nugroho dan karakter Bagong via channel Youtube. Saya baru tahu tadi malam bahwa komunitas pewayangan sudah masuk ke dalam bentuk organisasi modern, semacam sudah dibentuk tim manajemen profesional yang bergerak untuk promosi.
Dari channel Youtube milik PWKS (Penggemar Wayang Ki Seno), saya tahu satu karakter saja: Bagong. Selain karakter Bagong, saya susah menikmati. Tetapi, setelah Universitas Ahmad Dahlan (UAD), kampus Muhammadiyah yang salat jahriyahnya tidak baca bismillah itu, seperti yang sekali saya alami sendiri, menanggap Wayang Ki Seno, saya berusaha datang. Kebetulan lakon kali itu Wisanggeni yang ingin meminjam kekuasaan Hastinapura sebentar saja dari keluarga paman-pamannya.
“Meminjam” atau “nyileh” perlu ditekankan di sini. Bukan merebut. Karena diksi ini adalah pengantar awal masuk ke inti cerita. Tentu dengan keterbatasan saya memahami bahasa Jawa halus itu. Dari diksi “nyileh” itu pula, saya malah terpukau dengan karakter Wisanggeni. Bukan saja karakter Bagong. Ternyata kualitas nalar-nalar Wisanggeni teruji, bahkan di hadapan para punggawa Hastina.
Misalnya, sebagai keturunan Pandawa, apa salahnya Wisanggeni meminjam sebentar kekuasaan yang mati-matian direbut oleh pihak Kurawa? Sebab, meminjam bukan berarti mau memiliki untuk selamanya. Emang ada keraton dipinjam-pinjamkan? Tanya Guru Pandita Drona. Wisanggeni jawab: kenapa tidak, sedangkan aku keturunan Pandawa?!
Kalah argumentasi, sang Guru Pandita mengeluarkan senjata tombak kadewatannya, karena tahu Wisanggeni itu sakti. Bahkan, seluruh Kurawa dan punggawa Hastina sudah lari terbirit-birit sebelumnya. Wisanggeni tahu, orang yang dihadapinya itu secara status adalah seorang guru pandita dan secara alutsista memiliki tombak dari dewa.
Wisanggeni menjawab: “Anda itu pandita. Ditambah lagi di tangan anda ada tombak kadewatan. Tentu saja saya kalah dan pasti mati. Tapi, apakah anda mau membunuh saya? Anda tahu saya ini putra siapa? Jika saya mati dan ayah saya balas dendam, apakah anda juga mau membunuh keluarga saya? Anda itu siapa? Anda itu hanya seorang guru dari negeri atas angin yang dibayar untuk menjadi guru dan mengajar di Hastinapura!”
Sang Guru Pandita tak bisa jawab. Dia merasa bukan orang pribumi di satu sisi. Di sisi lain, dia menyadari statusnya sebagai orang asing di lingkaran keluarga Hastina. Sungguh tidak layak ada orang asing ikut campur terlalu jauh ke dalam urusan antar keluarga, sekali pun statusnya sebagai seorang guru pandita. Titik.
Sampai di sini, saya merasa diguyur oleh hujan kebijaksanaan yang tak terkira-kira. Bukan berarti tidak ada aspek lain dari sebuah pagelaran yang dimulai jam 22.00 WIB dan ditutup jam 03.30 WIB itu. Sangat banyak. Tapi, saya tak mampu menangkap semuanya selain sekelumit potongan kisah di atas. Mengapa? Karena poin-poinnya menyentuh aspek primordial kemaduraan saya.
Pertama, konsep “bėpak-bėbuk” atau ayah-ibu. Dalam hirarki nilai Madura, orangtua dan keluarga adalah standar pertama dari semua nilai, yang bisa dibangun setelahnya. Semua nilai harus dikembalikan pada standard awal ini. Karena itulah, Wisanggeni berani mematahkan Sang Guru Pandita dengan menyebut status diri sebagai keluarga Hastinapura. Sedangkan status sang pandita hanya sebagai guru dari negeri atas angin, yang datang ke Jawa untuk jasa mengajar. Orang asing tidak berhak ikut terlalu jauh masuk ke dalam urusan keluarga pribumi Jawa.
Kedua, konsep “ghuruh” atau guru. Hirarki sosial dan nilai Madura setelah orangtua ditempati oleh guru. Guru atau sumber pengajaran spiritual-intelektual duduk di posisi kedua. Guru baru bisa ditaati selama selaras dengan kepentingan nilai orangtua dan keluarga. Tetapi, guru tidak perlu lagi diikuti bila terlalu jauh melampaui batas-batas yang bisa dimaklumi dalam ukuran kepentingan keluarga. Karenanya, saya melihat Wisanggeni berani “nuthuk” atau melayangkan kepalan tangan ke kepala sang guru pandita tersebut, lalu balik pulang, tanpa melanjutkan perang.
Ketiga, konsep “ratoh” atau ratu/raja. Hiraki paling terakhir adalah pemimpin politik dan negara. Seorang raja baru bisa ditaati jika sesuai rekomendasi guru dan orangtua. Karenanya, perilaku politik di Madura kontemporer sangat unik. Para Kiai jadi lumbung voters. Tetapi, calon yang kalah start merebut hati Kiai dan komunitas pendukungnya, mereka segera mendekati kepala-kepala keluarga untuk memastikan suara komunitas kecil anggota keluarganya sendiri. Jadi, posisi ratoh bagi orang Madura ya gitu, tak perlu dibela berlebihan. Tetapi, kalau Kiai dihina apalagi keluarga dihina, orang Madura siap mati. Karena itulah, Wisanggeni berani napluk semua punggawa Hastina pura. Apalagi Bagong, Batara Guru di Kayangan pun dilawan, ketika Bagong merasa Batara Guru meremehkan Sang ayah, Semar.
Kemudian ada pertanyaan: mana yang lebih dahsyat dan memukau, apakah pentas pewayangan ataukah kenikmatan di malam pertama di hari pernikahan?
Pertanyaan macam ini bagi saya ibarat harus membangun jembatan panjang dari Madura ke Surabaya. Tetapi, karena jembatan Suramadu sudah ada, yang saya perlukan sekarang cuma bercerita saja, sesuai pengalaman. Mohon bagi yang belum pengalaman; kalian mungkin hanya akan mampu memahami tapi takkan mengalami. Ini sudah dunia rasa, bukan soal diskusi ilmiah. Hehe
Saya lebih berani mengatakan, nonton wayangan jauh lebih dahsyat dari pada menikmati malam pertama di hari pernikahan kita. Pertama: di dalam wayangan, anda akan temukan pengalaman spiritual, pengalaman intelektual, dan hiburan fisikal. Pada pengalaman spiritual, anda akan disuguhi suatu tangga intelektual yang membuat anda naik ke jenjang spiritual. Misalnya, dengan belajar benturan moral (clash of morality), anda melihat baik-buruk saling melengkapi, tinggal pilih salah satu jalan saja, karena keduanya bagian dari sub-sistem kehidupan yang harus ada. Tuhan menciptakan keduanya bersamaan.
Pada pengalaman intelektual, anda akan disuguhi sejarah panjang yang berbalut fiksi. Simbol-simbol yang menantang interpretasi hermeneutis. Tetapi, tidak cukup ini, pantat dan pinggul para sinden, cara melenggak-lenggokkan tangan dan kepala, cara mata mereka melirik penonton dengan bibir merah merona, adalah alternatif lain sebagai hiburan fisikal. Kenikmatan visual-fisikal ini melengkapi kenikmatan intelektual dan spiritual tadi.
Beda halnya di malam pertama, saat pesta perkawinan selesai, sound system dimatikan, tamu undangan pulang, lalu keluarga semua ngantuk kecapekaan setelah seharian bekerja untuk ngurus urusan upacara, lalu tinggal sepasang suami istri di dalam kamar yang remang-remang, perlahan kancing dibuka, buah dada mulai halal diremas, dan celana dalam memberikan isyarat simbolik tertentu, maka saat itu hanya ada dua unsur saja: spiritual dan material-fisikal.
Pada momen spiritual, anda akan bersyukur betapa tajalli jamaliah Allah sedang terhidang pasrah di depan mata, halal dianjurkan oleh agama, berpahala dinikmati. Tajalli jamaliah yang segera bertubrukan dengan tajalli jalaliah, serta keperkasaan Allah. Kemudian, momen spiritual itu perlahan memudar seiring sudah cukupnya gerak-gerak pemanasan. Fair play. Lalu datanglah momen material sepenuhnya. Ditandai oleh keringat, jantung ngos-ngosan, dan lemah lelah menggelayuti sekujur tubuh.
Dari dua perbandingan ini, nonton wayangan jauh lebih bermakna dari malam pertama. Tetapi ingat: kita tidak akan tahu bahwa terang itu adalah terang jika tidak ada gelap. Kita tidak akan tahu gelap itu adalah gelap jika belum merasakan terang. Keduanya harus dialami demi bisa komparasi. Karenanya, Saya rasa, orang yang belum pernah menikah tidak akan tahu maksud ucapa saya bahwa nonton wayangan lebih dahsyat dari malam pertama pernikahan.
Karana itu pulalah, hipotesa saya ini hanya bisa gugur di tangan orang yang udah menikah. Heheh.
Di masa-masa awal saya duduk di bangku sekolah dasar, saya sedikit heran oleh salah seorang teman kelas saya bernama Martinjun. Saya heran, mengapa namanya sedemikian berbeda dengan nama teman-teman pada umumnya. Belakangan saya menemukan lebih banyak lagi nama-nama unik semacam itu. Sebut saja seperti Sirtupilaili, Repatmaja, Umar Maya, Kelasuara, Taptanus, Sentanus dan nama-nama unik lainnya.
Tidak berhenti sampai di sana, dalam beberapa kesempatan, jika masyarakat ingin mengungkapkan ketampanan atau kecantikan seseorang, maka mereka dengan segera merujuk nama sosok “Jayengrana” jika orang yang dimaksud itu laki-laki dan “Dewi Rengganis” jika ia perempuan.
Awalnya, minimnya narasi-narasi kebudayaan adiluhung seperti khazanah Wayang Menak di lingkungan saya, membuat saya tidak terlalu mempersoalkan nama-nama yang saya anggap di luar kebiasaan itu. Meskipun saya tidak percaya pada sesuatu yang berangkat dari ruang kosong. Barulah belakangan ini saya mulai memikirkan nama-nama itu, setelah saya memberi perhatian terhadap anasir-anasir tentang dunia pewayangan.
Eksistensi Wayang Kulit Menak di Lombok
Tradisi atau kebudayaan yang berkembang di pulau Lombok, pulau yang dihuni oleh mayoritas Suku Sasak ini, merupakan kebudayaan yang terbentuk dari perpaduan budaya Jawa dan Bali.
Sederhananya hal ini dapat dibuktikan dari bahasa daerah yang digunakan oleh masyarakat dalam berkomunikasi, yakni Bahasa Sasak. Di dalam Bahasa Sasak, kita bisa mendapati istilah yang identik atau yang berlaku di daerah Bali dan Jawa. Demikian halnya dengan tradisi sastra dan atau seni pertunjukan wayang kulit.
Bedanya, jika kecenderungan Jawa dan Bali memainkan Wayang Purwa yang masih dipengaruhi oleh anasir-anasir dari epos besar Ramayana dan Mahabarata. Maka wayang Sasak lebih cenderung memainkan wayang yang seluruhnya di ambil dari Serat Menak.
Serat Menak merupakan naskah gubahan Para Sunan atau penyebar Islam, di masa-masa awal Islam masuk ke Nusantara. Dimana isi Serat Menak sepenuhnya mengadopsi Hikayat Amir Hamzah, dari Persia.
Pada umumnya Wayang Menak, berkembang di daerah pesisir maupun di pedalaman Nusantara. Seperti di wilayah Sumatra, Sulawesi, di sebagian wilayah Jawa Barat seperti Sunda. Tidak terkecuali di Pulau Lombok.
Konon Wayang Menak diperkenalkan ke daerah Lombok, menggantikan Wayang Purwa semenjak “Rupa Candra Sasi Nabi” yang dalam Canda Sangkala berarti tahun 1111 Hijriah. Adapun jika dikonversi ke penanggalan Masehi mendekati tahun 1669 Masehi. Tahun ditulisnya serat menak oleh Yasadipura.
Menurut Kun Zahrun Istiani, Staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia di UGM. Jika karya sastra pra-Islam lebih cenderung bersifat ekslusif atau hanya bisa dinikmati oleh kalangan istana saja. Maka Wayang Menak lebih cenderung bersifat inklusif dan universal. Karena Wayang Menak, telah disesuaikan pengemasannya dengan tradisi-budaya setempat, tanpa mengurangi spirit kemanusiaan dan pesan ketauhidan yang ditawarinya. Sehingga tak heran jika Wayang Menak bisa diterima dengan mudah dan meluas oleh hampir semua lapisan masyarakat.
Wayang Menak sendiri mengisahkan kisah hidup seorang raja dari Negeri Mekah yang sudah memeluk agama Islam yang nantinya menaklukkan banyak kerajaan-kerajaan lain sembari mendakwahkan Islam. Raja tersebut bernama Raden Jayengrana yang tidak lain adalah Amir Hamzah, paman Nabi Muhammad S.A.W, putra ke-12 dari Abdul Muthalib.
Raden Jayengrana sangat dihormati dan disayangi oleh rakyat, serta disegani oleh lawan maupun kawan, karena memiliki sifat welas asih dan kemampuan atau kesaktian luar biasa hingga dalam beberapa kesempatan Jayengrana mendapat berbagai julukan antara lain Amirul Mukminin (yang berarti pemimpin orang-orang mukminin), Wong Agung Menak (yang berarti sosok yang agung), Jayangpulagon (yang berarti kesatria yang selalu memenangkan peperangan), Jayengsatru (yang berarti sosok yang selalu bisa mengalahkan musuh-musuhnya), dan banyak lagi julukan lainnya.
Dikisahkan juga bahwa Jayengrana memiliki banyak istri. Kecenderungan istri-istri yang dinikahi oleh Jayengrana merupakan putri raja dari kerajaan yang ditaklukkannya. Sebut saja semisal Munigarim, istri pertamanya yang merupakan putri kedua dari Prabu Nursiwan dari Kerajaan Medayin. Dan nantinya Wong Agung Menak menikahi Marpinjun yang tidak lain adalah adik Munigarim. Marpinjun sendiri dinikahi Jayangrana setelah Munigarim meninggal.
Kemudian Sirtupilaili merupakan putri dari Pandita Sirtu Alam yang dinikahi oleh Raden Jayengrana. Sedang Kelaswara adalah istri Jayengrana yang merupakan putri dari Prabu Kelan Jali, Raja Kerajaan Kelan. Dan dari perkawinan ini nanti lahir seorang putra bernama Repatmaja. Repatmaja yang nantinya menikahi Dewi Rengganis, seorang putri raja yang terkenal dengan kecantikan dan kesaktiannya. Konon, kesaktian Dewi Rengganis diperolehnya setelah ia diasuh dan dibesarkan oleh jin dari kerajaan gunung, kerajaan Dewi Anjani pada masa kecilnya.
Sedang Umar Maya adalah nama tokoh putra Tembi Jumaril dari Talkandangan. Ibunya bernama Siti Mahya, saudara tertua Abdul Mutalib (ayah Jayengrana). Jadi, Umar Maya adalah Paman Jayangrana. Umar Maya merupakan tokoh protagonis yang selalu menyertai Jayangrana. Intensitas kehadarian Umar Maya menyertai Jayangrana melebihi dua tokoh kembar Taptanus dan Santanus, keponakan Raja Adis dari Negeri Yunani. Umar Maya memiliki kesaktian dan keahlian seperti: bisa terbang, bisa mengobati berbagai macam penyakit, bisa menghilang dan mampu menulis di atas lempeng baja dengan jemarinya.
Saya sungguh kagum dengan masyarakat Suku Sasak yang sangat lekat dan mencintai dunia pewayangan. Bagaimana tidak, mereka mengaktualisasikan kecintaan mereka kepada wayang lewat pemberian nama keturunan atau buah hati mereka dengan nama-nama tokoh pewayangan Menak. Walaupun nama-nama itu sangat terkesan sederhana, kolot atau dianggap tidak islami. Namun, jika ditelisik lebih dalam, justru nama-nama yang seperti itu malah menunjukkan suatu spirit keislaman. Islam yang sudah mendarah daging dalam sejarah masyarakat Suku Sasak.
Lihatlah kepada kelir, cermin kehidupan ini. Bayang-bayang siapakah yang terpantul di dalamnya? Apakah kita asing terhadapnya? Lihatlah dan perhatikan tindakan dan ucapan kita. Mari kita kenali. Kewajiban manusia yang pertama dan utama adalah meyakini dan mengenal Tuhan dengan sepenuh hati, jiwa, pikiran, dan tenaganya. Betapa krusial masalah pengenalan akan Tuhan ini, namun banyak manusia yang tidak tahu, lupa, abai maupun ingkar. Tanpa keyakinan dan pengenalan, maka bagaimana manusia akan mencapai kesejatian dirinya?
Tergerak oleh kasih sayang terhadap manusia yang terhijab ini, para Walisanga, terutama Sunan Kalijaga menciptakan suatu seni pertunjukan Wayang purwa yang menghibur, namun sangat intens dalam mengajak dan mendidik masyarakat mengenali asal-usulnya dan memperoleh jati dirinya.
“Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu“
(Siapa yang mengenal dirinya, maka dia sungguh mengenal Tuhannya)
Wayang adalah bayang-bayang diri dalam kehidupan, sekaligus spektrum perjalanan spiritual manusia menuju Tuhan. Oleh karena itu, kalau orang menonton pagelaran wayang, sebetulnya bukan melihat semata gerak-gerik gambar wayang, melainkan bayangan dirinya sendiri.
Sebagai cermin, pagelaran wayang menggambarkan suatu pergulatan keras di dalam diri setiap manusia untuk mencari dan mencapai kesempurnaannya. Medan Kurusetra, tempat pertarungan para ksatria melawan semua kecenderungan jahatnya, tidak bertempat di mana-mana, melainkan di dalam diri manusia. Bharatayudha bukanlah perang antar saudara di luar sana, melainkan peperangan melawan nafsu angkara murka di dalam diri, karena kerinduan ruhani kepada Tuhan (Brantayudha). Wayang adalah medium pengenalan sekaligus otokritik diri. Menggelar wayang adalah perjalanan ziarah di dalam diri, untuk introspeksi, menggali nilai-nilai diri sekaligus mencari jalan pelepasan ruhani dari belenggu dan tipu daya hawa nafsu, baik hewani maupun syaithani.
Mari kita cari dan kenali. Sembilan tokoh utama dalam lakon-lakon wayang menggambarkan 9 (sembilan) unsur atau organ utama di dalam diri. Sebagaimana 9 tokoh ini merupakan pelaku utama di dalam pagelaran wayang, maka 9 unsur diri ini pula yang menentukan kepribadian kita. Apakah kita mengenalinya? Kalau kita perhatikan karakteristik Pandawa Lima pemeran utama dalam sebagian besar lakon-lakon wayang Brantayudha, maka akan berkelibatlah bayangan atau simbol dari lima indra, organ luar dari diri kita, yang merupakan tampilan utama dalam pembentukan dan perwujudan dari kepribadian kita. Yudistira, yang pantang berbuat salah dan jalannya melayang di atas tanah adalah gambaran dari Pernafasan (hidung) kita, yang tidak sudi mencium bau busuk dan senantiasa menghidupi diri kita dengan menghirup udara yang melayang di atas tanah. Bima, yang cenderung langsung bertindak begitu mendengar suatu berita, adalah Pendengaran (telinga) kita yang cenderung terpengaruh oleh informasi yang masuk tanpa mau repot-repot membuktikan kebenarannya terlebih dahulu. Arjuna yang tampan dan banyak mengawini perawan cantik putri begawan yang ditemuinya, adalah lambang Penglihatan (mata) kita, yang tatapannya sering menjadi acuan ketampanan/kecantikan kita dan membuat kita kokoh menyatu (kawin) dengan lingkungan sekitar tempat kita berada. Kembar Nakula, sang penjaga istal kuda dan utusan untuk menyampaikan pesan-pesan penting kerajaan, adalah gambaran indra Perasa dan Bicara (lidah) kita. Dan kembar Sadewa yang sering tinggal untuk menjaga rumah adalah pralambang indra Perasa/Peraba/Pelaksana (kulit) kita yang setia menjaga diri kita dari panas-dingin cuaca dan melaksanakan tindakan-tindakan segala rupa.
Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan.
Sementara itu, para Pandawa di atas, tidak akan menjadi satu kesatuan utuh yang tangguh di dalam menghadapi musuh-musuh, kalau tidak ditunjang secara langsung atau tidak langsung, tampak atau tersembunyi, oleh peran rumit dan kompleks dari 4 (empat) tokoh utama lainnya. Dia adalah Karna, saudara sulung Pandawa yang dibuang dan hidup di lingkungan para Kurawa. Kompleksitas situasi yang dihadapi dan bagaimana menempatkan diri di tengah silang sengkarut percaturan posisi yang diperankan oleh Karna, melambangkan Keseimbangan diri kita. Karna menyadari keterbuangan diri tetapi tidak kehilangan kasih sayangnya terhadap para saudara di satu sisi, dan di sisi lain menjalani keharusan hidup di lingkungan Kurawa yang serba jahat dengan tanpa kehilangan orientasi diri kepada kebenaran sejati. Itulah peran kompleks dan tersembunyi dari Keseimbangan, organ diri kita yang paling sering diabaikan, yang terletak di dalam dan di antara dua telinga (karno) kita.
Kemudian Sembadra, adalah seorang putri yang cantik, berkulit kuning langsat dan berperangai sangat halus. Terkenal dalam kisah Sembadra Larung, cerita tentang Sembadra yang dihanyutkan mengikuti aliran sungai agar terbebas dari nasib buruk. Putri cantik yang halus ini adalah Perasaan atau Rasa Hati kita, yang sangat sensitif yang mudah tersinggung, mudah marah, sehingga perlu dilarung agar lebih tahan uji terhadap godaan yang kita dengar maupun yang kita lihat. Selanjutnya, Kresna tak diragukan lagi adalah tokoh yang menentukan. Ia menjadi sumber rujukan dan kekuatan Pandawa di dalam memahami situasi, mengatur siasat dan strategi, juga menjadi senjata pamungkas dalam situasi tak terkendali. Tak pelak, Kresna melambangkan Pikiran (akal) kita, organ dalam yang pintar, cerdik, bijak, namun terkadang licik. Tokoh kesembilan adalah Baladewa, berbentuk putih bersih, memiliki senjata Nenggala, adalah tokoh yang tidak ada bandingannya. Andai saja di dalam Baratayudha, Baladewa sampai berpihak pada Kurawa, tak mungkin Pandawa akan mampu memenangkan perang itu. Putih bersih yang tak tertandingi inilah yang harus kita upayakan bagi Batiniah kita.
Itulah kesembilan tokoh dalam kisah wayang, pralambang dari kesembilan unsur utama diri kita. Pertanyaannya: siapakah yang membuat dan menyebabkan mereka bergerak, berkelebat, menyatu berkomunikasi saling menunjang, saling terkait maupun tercerai-berai oleh perang dan tipu daya? Di belakang kelir, tidak terlihat di dalam bayang-bayang, namun menentukan semua hal di atas, adalah Dalang. Dia yang tidak terlihat di dalam kelir, tetapi ada dan menghidupkan, adalah Ruh yang hadir sebagai unsur kesepuluh, menggerakkan diri kita untuk mengarungi jagat kehidupan.
Apakah kita selama ini menyadari kehadiran dan gerak-gerik 10 tokoh atau unsur itu di dalam diri kita? Bagaimana mereka saling menunjang harmonis atau saling mengabaikan, bertentangan dan konflik? Kesatuan harmonis di antara mereka tentu akan membuahkan perilaku kita yang mengarah kepada kebenaran, dan sebaliknya pertentangan di antara mereka cenderung akan menghasilkan tindakan kita yang mengarah kepada kesalahan/kesesatan, yaitu kepada kemenangan para Kurawa yang merupakan simbol dari kecenderungan jahat di dalam diri kita yang berjumlah 100 ini.
Melalui Pagelaran Wayang, para wali memberikan kepada kita kunci-kunci untuk mengharmoniskan kesatuan unsur-unsur utama diri, dan bagaimana memenangkan pertarungan terhadap para Kurawa yang penuh dengki. Dalam hal ini, Jamus Kalimasada adalah pusaka utama Pandawa, yang mesti melekat pada Yudistira, yang membuat mereka tak terkalahkan. Jamus Kalimasada adalah simbol dzikir, eling atau ingat kepada keagungan Tuhan, sementara Yudistira adalah Pernafasan kita. Hal ini mengandung ajaran bahwa kunci utama kesatuan unsur di dalam diri kita adalah apabila dalam setiap tarikan nafas kita mesti dibarengi upaya dzikir atau ingat kepada Tuhan, sebagai ungkapan syukur yang melekat dalam diri.
Dzikir atau ingat kepada Tuhan bukanlah ucapan Lidah, tetapi mesti menggema di dalam Batin. Oleh karena itu, di dalam wayang, batin kita yang dilambangkan oleh tokoh Baladewa, ia berkulit putih, dan selama berlangsungnya Bharatayudha dia mesti diikat di dalam goa “Grojogan Sewu” (seribu air tejun). Sebuah ajaran kunci, bahwa untuk mengalahkan angkara murka yang berjumlah 100 itu, batin kita mesti putih/suci oleh guyuran “air terjun dzikir” yang kekuatannya 1000 atau 10 kali lipatnya.
Kesatuan harmonis antara Yudistira dan Baladewa, atau Pernafasan dengan Batin di dalam diri kita ini pada gilirannya akan menerangi dan mendorong unsur-unsur lain di dalam diri supaya menyatu harmonis. Karna atau Keseimbangan kita akan bekerja keras untuk menyatukan hubungan-hubungan kompleks antara Penglihatan, Pendengaran, Perasaan, dan Pikiran. Buah dari keseimbangan itu semua adalah keputusan-keputusan yang mengarahkan kepada ucapan dan tindakan diri kita yang seimbang dan berorientasi kebenaran.
Demikianlah, kalau misalnya kita menghayati lakon wayang “Petruk Jadi Ratu”, sambil terhibur kita sebetulnya secara ironis sedang diajak untuk melakukan otokritik bagi diri kita sendiri. Sindiran yang jenaka, menyangkut perilaku kita semua yang (mungkin) sering berwatak seperti Prabu Whelgeduwelbeh. “Whelgeduwelbeh” adalah lambang dari perilaku heboh, menang-menangan, tidak peduli nasehat orang, namun pada saat bersamaan hampa makna, nihil nilai-nilai. Atau, perilaku yang nonsens. Itu semua lahir dari diri kita sebagai akibat dari hilangnya Jamus Kalimasada, yang tercuri persis pada saat para Pandawa dengan dibantu Kresna dan Baladewa sedang sibuk membangun candi, yang melambangkan bahwa orientasi dari diri kita sedang terarah pada ambisi kemegahan duniawi. Pada saat itu, kita lupa kepada Tuhan, dan tercerai berailah kesatuan unsur kita, karena kehilangan orientasi. Pada gilirannya, para pelindung ruhani kita pun menjauh, dan jadilah kita “Whelgeduwelbeh”. Na’udzu billah min dzalik.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Punokawan Itu?
Mereka adalah Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Seperti dapat kita pahami dari sebutan dan peran mereka sebagai punokawan (panakawan) di dalam pagelaran wayang, maka mereka adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan. Berbeda dengan Togog yang mendampingi para ksatria jahat, maka punokawan (Semar dan anak-anaknya) ini diceritakan selalu mendampingi para ksatria yang baik, yang selalu melakukan tapabrata dan berjuang menegakkan kebenaran.
Para punokawan digambarkan sebagai abdi atau penjaga, namun di lain sisi para dewa selalu bersikap hati-hati terhadap mereka. Siapakah sesungguhnya mereka? Punokawan itu bukanlah bayang-bayang kita, mereka tidak berada di dalam diri kita, tetapi berada di luar diri dan memang berperan sebagai penjaga perilaku kita. Di dalam hal ini, wayang tidak dimaknai sebagai bayang-bayang, melainkan mesti ditempatkan dalam makna aslinya sebagai “Ma Hyang” yang berarti: menuju pada ruh spiritual. Dalam penghayatan spiritual, punokawan adalah pralambang dari malaikat penjaga laku, yang menitis sebagai karang yang kokoh (Karang Tumaritis) menjaga ke-kesatria-an laku (perilaku yang baik). Secara singkat, dapat dikatakan bahwa inilah pralambang yang menggambarkan perwujudan dari janji Tuhan di dalam al-Qur’an: “wa man jahada fina lanahdiyannahum subulana”, (barang siapa bersungguh-sungguh di dalam mencari(kebenaran)Ku, maka Aku sungguh akan membimbing mereka kepada jalan-jalan yang mendekatkan kepada-Ku).
Semar, bermata redup dengan mulut berhias senyuman, adalah lambang dari penjaga lidah dan keseimbangan kita. Redup karena terbiasa menerima kedukaan dengan kesabaran, dan selalu tersenyum karena ungkapan kesederhanaan syukur saat menerima kenikmatan. Semar selalu berujar lembut, bijak, menuntun arah tata krama, membimbing laku rendah hati dan bersikap tak akan surut menghadapi ujian yang dihadapkan pada kita. Bentuk wayang Semar yang memiliki perut dan pantat yang besar merupakan bulatan, sebagai simbol kemampuan semar nguntal jagat (menelan dunia). Lambang ini mesti dibaca terbalik, sebagai peringatan agar lidah kita selalu bijak untuk tidak berlebihan melahap makanan yang disukai, yang justru bisa berakibat sakit yang panjang.
Petruk, yang berperawakan tinggi dan berhidung mancung, berjuluk “kantong bolong”. Ia melambangkan panjangnya jangka yang bisa kita tangkap dan cepat mencium gelagat, yang maksudnya kemampuan menyaring mana yang manfaat untuk dipikirkan dan mana yang tak perlu ditanggapi (bukan karena keputusan akal). Iya, Petruk adalah pralambang dari Penjaga telinga dan akal kita. Gareng, yang bertubuh pendek, bermata juling, berhidung besar, bertangan ceko, berkaki pincang dan bicaranya tak jelas, melambangkan Penjaga mata kita, supaya selalu instrospeksi. Ia selalu menyarankan kepada kita untuk hanya melihat yang pantas dan berorientasi pada kekurangan diri sendiri, tidak melihat segala kejelekan hanya ada pada orang lain. Bagong, diceritakan sebagai bayang-bayang dari Semar, tapi bertubuh lebih kokoh, figur wayangnya dilukiskan mirip Semar yang kelelahan, seperti terlalu banyak beban sehingga suaranya sangat berat. Bagong adalah pralambang kulit kita, tubuh kita. Ia terlihat kelelahan, adalah sebuah saran agar kita selalu ingat terhadap beban yang dipikul oleh kulit/tubuh kita sendiri, dan agar kita selalu berusaha menghadirkan keseimbangan (Semar) untuk meringankan beban kulit (Bagong) kita.
Punokawan (panakawan) adalah pamomong, teman sekaligus pembimbing, yang setia mendampingi dan mengarahkan para ksatria kepada kebenaran dan kemenangan.
Demikianlah, orang Jawa meringkas kehadiran empat Punokawan yang mendampingi perjalanan kita di dalam mengarungi kehidupan ini dengan nama “Sedulur Papat Limo Pancer” (Empat Saudara, Kelima Pusat), yang menjadi pusatnya adalah sosok/pribadi yang berorientasi kepada kebenaran dan kebaikan, seorang ksatria. Selama seseorang berupaya keras mengharmoniskan 10 unsur dirinya, sehingga dia sungguh-sungguh di jalan kebenaran, maka 4 punokawan itu datang mendekat. Akan tetapi jika seseorang keluar atau mengabaikan jalan kebenaran itu, maka 4 punokawan pun akan menjauh.
Dari Wayang ke “Ma Hyang”: Siapakah Para Dewa Itu?
Mari kita cari, golekana. Banyak orang dari berbagai kalangan menganggap pagelaran wayang bersifat Hinduistik, karena di samping mengambil setting cerita Ramayana dan Mahabharata, di dalamnya juga banyak dimainkan tokoh-tokoh dewa, seperti Wisnu, Brahma, Indra dan lain-lain. Dan kemudian tanpa berpikir jernih dan mendalam segera mereka menganggapnya sebagai Hindu. Benarkah pendapat demikian?
Kalau kita cermati dan ikuti keseluruhan cerita/lakon wayang, maka akan kita dapati bahwa nama-nama “para dewa” disebutkan, namun tidak ada kultur pemujaan sebagaimana dalam konteks Hindu. “Para dewa” terus tampil dalam pertunjukan wayang, sedemikian rupa sehingga sejak berabad-abad lalu, orang-orang Jawa yang mengikuti dan menikmati pagelaran wayang tidak ada yang menjadi Hindu karenanya. Kenapa? Karena memang di dalam pagelaran wayang tidak ada pesan atau praktik kultus/pemujaan terhadap dewa. Bahkan, di dalam lakon-lakon wayang digambarkan Bathara Guru dan dewa-dewa lainnya berada di bawah supremasi dari Semar (yang sering dianggap sebagai representasi dari kepercayaan lokal).
Mereka tahu itu, karena di dalam cerita wayang “para dewa” itu digambarkan sebagai titah (makhluk), yang hubungan antar satu dengan lainnya itu berada dalam suatu genealogi (silsilah) turun temurun yang berpangkal pada Nabi Adam. Jadi, misalnya Bathara Wisnu dan Brahma itu merupakan anak-anak dari Bathara Guru. Bathara Guru (Sanghyang Manikmaya), bersaudara dengan Sanghyang Ismaya (Semar) dan Sanghyang Antaga (Togog), mereka adalah anak-anak dari Sanghyang Tunggal. Sanghyang Tunggal anak dari Sanghyang Wenang, anak dari Sanghyang Nurrasa, anak dari Sanghyang Nurcahya, anak dari Sayid Anwar, anak dari Nabi Sis, anak dari Nabi Adam AS. Silsilah semacam ini sama sekali tidak terdapat indikasinya di dalam kultur India maupun Hindu. Dan membingungkan para orientalis, namun tidak bagi orang (Islam) Jawa.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya.
Di samping itu, para dewa sering digambarkan berperilaku “sangat manusiawi”, bisa salah dan lupa, atau bahkan tidak berdaya/berkuasa. Seperti misalnya, Bathara Narada salah memberikan senjata Konta kepada Adipati Karna padahal maksudnya kepada Arjuna. Atau,”para dewa” di Kahyangan mereka tidak berdaya melawan Prabu Niwatakawaca yang menyerang dan bermaksud memperistri Dewi Supraba, dan mereka mesti minta bantuan kepada Arjuna untuk mengalahkannya. Atau, Bathara Guru tidak kuasa menahan hasrat seksual kepada istrinya Dewi Uma, dan memaksanya berhubungan intim di atas lembu Andini, kendaraan mereka yang sedang terbang di angkasa. Dewi Uma tentu saja menolak, dan akhirnya sperma Bathara Guru tumpah jatuh di samudera yang kemudian berubah menjadi Bathara Kala. Demikian seterusnya, sehingga di dalam kesadaran dan keyakinan orang-orang Jawa, tidak terdapat kultus dan sistem kepercayaan terhadap dewa seperti halnya di dalam keyakinan Hindu di India.
Oleh karena itu, hal-hal di atas mengarahkan kita untuk melihat kelebat bayang-bayang “para dewa” tersebut sebagai sebuah simbol atau pralambang yang acuannya bukan kepada sistem keyakinan Hindu di India, melainkan kepada konteks cerita di dalam lakon-lakon wayang itu sendiri. Maka akan kita dapati, di dalam lakon “Wahyu Makutharama” terdapat wejangan Begawan Kesawawidhi kepada Arjuna mengenai Hastabrata, yang merupakan ajaran untuk mendekat dan berterimakasih kepada 8 (delapan) unsur-unsur alam, yaitu angin, atau maruta (Bathara Bayu), tanah atau bantala (Bethara Wisnu), samudra atau tirta (Bathara Baruna), api atau agni (Bethara Brahma), matahari atau surya (Bethara Surya), awan/langit atau akasa (Bathara Indra), rembulan atau candra (Bethari Ratih), bintang atau kartika ( Bethara Ismaya).
Digambarkan pula di dalam pagelaran wayang bahwa kesatuan harmonis 8 unsur-unsur alam itu sebagai Cupu Manik Astagina, yang di dalamnya orang bisa melihat gambaran masa depan maupun masa lalu, kebahagiaan maupun kemalangan, di dalam kehidupan manusia. Ini mengandung pesan bahwa Kesucian, Transendensi, dan Kasih Sayang Tuhan telah menganugerahkan kepada manusia unsur-unsur alam tersebut sebagai penunjang kehidupan, yang mana di dalam sejarahnya yang panjang, kesejahteraan maupun kebinasaan manusia tergantung bagaimana hubungannya dengan 8 unsur alam itu. Bahagia atau celaka, tergantung dari apakah ia berbuat baik dan semestinya terhadap alam atau sebaliknya. Secara singkat dapat dikatakan, bahwa sorga dan neraka dunia ini adalah unsur-unsur alam tersebut. Kalau manusia berbuat baik, maka alam akan membuat manusia bahagia. Sementara kalau manusia berbuat jahat dan merusak, maka alam akan mengingatkan dan menghukum manusia dengan bencana.
Menikmati Wayang: Sketsa Jalan Kesempurnaan Manusia Nusantara
Tentunya kita tidak berangkat dari ruang kosong, pagelaran Wayang Kulit sebagai mana format, anatomi dan lakon-lakonnya yang kita kenal sekarang, benar-benar dirancang dan diletakkan dasar-dasarnya oleh Walisanga. Antara bentuk dan isinya merupakan kesatuan utuh yang tidak terpisahkan, yang merupakan jejak dari kearifan para wali baik di dalam mengembangkan metode maupun menetapkan tujuan dari dakwah mereka, di dalam membangun peradaban Islam di bumi Nusantara, yaitu hablun minallah, hablun minannas, dan hablun minal alam (kesatuan Tuhan, manusia dan alam). Dan yang menarik adalah: hal ini telah menjadi keyakinan sebagian besar muslim Jawa hingga hari ini. Sebuah lentera pembimbing bagi muslim Jawa menjalani “suluk” laku hidup kesehariannya.
Melalui pagelaran wayang, para wali mengajarkan sketsa dari perjalanan manusia di dalam mencapai kesempurnaannya, kesejatiannya. Dimulai dari upaya yang sungguh-sungguh di dalam menyatukan keselarasan dan kerjasama yang solid antara 10 (sepuluh) unsur diri, yang akan menghadirkan bimbingan (punokawan). Kemudian dengan mengarungi persahabatan dengan 8 (delapan) unsur alam, manusia akan ditunjang perjalanan ruhaninya untuk mendekat dan mencapai kebenaran Illahi.
Wallahu A’lam bis Showab
(Artikel ini diolah dari wawancara, beberapa artikel dalam nu.or.id, dan artikel dalam katalog Matja, Seni Wali-wali Nusantara, Katalog Pameran Senirupa Muktamar Nahdlatul Ulama ke-33, 2015).