Angin semilir berhembus menerpa lautan pasir yang luas membentang. Butiran pasir pun tak ayal berterbangan mengenai permukaan badan. Untungnya, cuaca di pagi hari yang sejuk cenderung dingin seakan menihilkan keringnya lautan pasir.
Tapi, mungkin tidak ada yang terganggu dengan butiran pasir yang tidak henti mengenai pakaian atau anggota badan. Panorama lautan pasir dan kokohnya Gunung Buthak di seberangnya, serta keinginan untuk mendaki Gunung Bromo pasti jauh lebih mendominasi pikiran.
Sembari berjalan dan menatap ke arah Gunung Buthak, tetiba saya teringat penggalan novel Sabda Palon yang pernah saya baca beberapa waktu silam. Damar Shashangka, penulis novel tersebut, menggambarkan perjalanan Bhre Kertabhumi untuk bersemadi di Pertapaan Gunung Semeru yang melintasi daerah Bromo beserta lautan pasirnya.
Saya memang agak lupa detailnya, tapi sekelabat ingatan itu menyentil saya. Ah, betapa laku tirakat begitu akrab dengan keseharian orang Jawa. Jangankan rakyat jelata, para raja pun, yang biasanya hidup bergelimang harta, sering kali diceritakan melakukan semadi setiap akan mengambil keputusan penting dalam pemerintahannya.
Sepemahaman saya, kata tirakat identik dengan menahan hawa nafsu yang dilakukan untuk mewujudkan sesuatu yang diinginkan. Bentuk tirakat bisa berupa banyak hal, bisa puasa, bisa zikir ataupun ibadah-ibadah lain. Sepengetahuan saya lho ya. Dulu, Ibu saya sering sekali berpuasa ketika saya atau adik-adik sedang mau ujian sekolah. Atau Embah saya. Tapi sayangnya, itu terhenti begitu saja. Di titik saya.
Itulah mengapa di awal saya menyebut tersentil. Sesuatu yang dulunya merupakan keseharian, kok sekarang terasa begitu asing ya. Jangankan berlaku tirakat dengan melakukan puasa berhari-hari, mengganti puasa Ramadhan pun seringkali dilakukan ketika mendekati waktu puasa Ramadhan tahun berikutnya.
Mungkin beberapa orang ada yang berkomentar tentang kesesuaian laku tirakat dengan ajaran agama. Mungkin itu ada benarnya. Tapi, dari kacamata awam saya, ada hal menarik berkaitan dengan kebiasaan tirakat jika dibandingkan dengan saya atau generasi saat ini.
Kalau kita browsing atau baca-baca singkat tentang tirakat, yang muncul adalah tentang berbagai upaya spiritual menahan hawa nafsu demi mencapai sesuatu yang diinginkan. Dari titik ini saja, rasanya sudah kurang relevan jika dikaitkan dengan masa sekarang. Ya iyalah Buk, masak kepingin punya uang harus puasa? Kalau kepingin punya uang ya bekerjalah!
Mungkin semacam itu komentar yang akan muncul pada generasi kita saat ini. Komentar itu tidak salah. Tapi, sepertinya ada sedikit yang terlupa. Bahwa simbah-simbah kita dulu juga kuat berpuasa di tengah-tengah keseharian dan pekerjaan mereka.
Bagi simbah-simbah dulu, mungkin berpuasa adalah salah satu laku tirakat yang demikian erat dengan keseharian dan sudah biasa dilakukan. Ya, memang, bahan pangan waktu itu juga bukan sesuatu yang mudah didapatkan seperti sekarang ini. Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.
Tapi, kemampuan para simbah dalam menerima dan mengelola keadaan mereka saat itu dan menjalaninya sebagai bentuk tirakat merupakan hal bagus yang seharusnya tidak kita lupakan.
Di era kemudahan informasi seperti sekarang, rasanya mudah sekali bagi kita untuk berganti keinginan. Atau bahkan menambah daftar keinginan. Ada postingan makanan viral misalnya, tiba-tiba kepingin ikut mencoba. Ada war ticket, tiba-tiba ingin ikut-ikutan. Belum lagi kalau pingin jalan-jalan alias healing tipis-tipis. Hal yang pada awalnya bukan keinginan kita, tiba-tiba bisa menjadi sesuatu yang kita idam-idamkan.
Punya keinginan tentu bukan hal yang salah. Itu wajar-wajar saja sebagai seorang manusia. Tapi, mungkin di sinilah kita perlu belajar kepada para simbah kita tentang tirakat itu. Kita mungkin kesulitan untuk melakukan laku tirakat seperti mereka. Tapi setidaknya kita belajar dulu untuk menahan dan mengelola keinginan kita .
Tentu tidak semua keinginan kita harus dituruti. Dan tentu kita perlu berusaha untuk mengelola emosi ketika tidak bisa memperoleh hal yang kita inginkan. Sepertinya teknik mengelola emosi inilah yang berbeda antara kita dengan simbah kita. Kalau mereka mungkin berusaha untuk menerima dengan lapang tetapi juga berusaha, baik spiritual maupun lahiriah, kalau kita, yaaa denial dulu lah sedikit. Kalau tidak yaa, healing dulu lah, biar ndak sumpek!
Akhir-akhir ini kita akrab sekali dengan istilah inner child, love yourself, reward untuk diri sendiri dan sebagainya. Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.
Kita akrab dengan berbagai hal yang dialamatkan untuk menyenangkan diri kita, semacam healing, hadiah karena telah melakukan sesuatu dan semacamnya. Tapi, tanpa disadari, kita lupa bahwa kadangkala diri kita membutuhkan semacam situasi yang ‘tidak enak’ agar bisa mengeluarkan potensi terbaiknya.
Keakraban kita dengan berbagai hal untuk menyenangkan diri membuat kita langsung menolak semua hal yang terlihat menyusahkan diri kita. Sebenarnya ini sifat alami juga sih. Mana ada orang yang ingin bersusah-susah?
Dan agaknya, banyak orang lupa bahwa suatu ketika, di suatu masa dalam hidup kita kemungkinan untuk berada pada posisi yang tidak menyenangkan itu.
Pada kondisi itulah, ada baiknya kita mengingat kembali simbah kita dengan laku tirakatnya. Simbah kita dengan pengelolaan hawa nafsunya dalam melewati kondisi yang tidak menyenangkan itu.
Mungkin saja, dengan mempelajari cara manajemen emosi lewat lelaku tirakat para simbah, kita bisa menemukan solusi atas permasalahan mental yang sering kita temui akhir-akhir ini. Atau mungkinkah kita sudah demikian tercerabut dari akar kita, sehingga sangat jauh bagi kita untuk mempelajarinya kembali?