DONASI

Seh Lemahabang

Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktik-praktik fikih– diam-diam banyak dihayati. Ceritanya, berpuluh-puluh cerita, menetes dari...

ESAI | THURSDAY, 23 APRIL 2020 | 20:23 WIB

Agus Rois

Agus Rois Lahir 26 Januari 1983 di Cirebon, Jawa Barat. Pernah kuliah di Universitas Sebelas Maret, Universitas Padjadjaran, STF Driyarkara, tapi tak sampai tamat. Lalu, 2003, melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, lulus tahun 2012. Ketika masih kuliah di Yogyakarta, ia sempat aktif di badan penerbitan pers mahasiswa Balairung. Di samping menulis esai, kadang ia menulis puisi. Kini, setelah menamatkan studinya, ia menjadi penulis lepas, terkadang melakukan reportase kala senggang, sembari "ngebolang" ke pusat-pusat sejarah silam.

Sosoknya akan selalu diliputi misteri. Abadi. Tapi ajarannya –yang lebih menekankan pada suara hati dibanding praktik-praktik fikih– diam-diam banyak dihayati. Ceritanya, berpuluh-puluh cerita, menetes dari bibir orang-orang yang mencintai.

Orang-orang Lemahabang.

Seh Lemahabang bisa mati. Terbunuh. Tapi tidak untuk ajaran rahasia, manunggaling kawula gusti, Tuhan telah menyatu dalam diri kita, yang diwariskannya itu. Benar-benar merembes dan membekas dalam hati.

Meski dipanggil seratus orang wali, aku tak mau datang, aku bukan abdi mereka, aku tak diperintah mereka. Wali dengan aku sama –daging berujud bangkai. Sebentar busuk jadi tanah. Aku tak bisa didesak oleh santri yang bodoh dan senang menipu orang, oleh mereka yang mengaku dekat dengan Tuhan, dan tak tahu citra diri sendiri adalah bangkai. Mereka yang berkeliaran mengumbar ilmu kepada setiap orang yang suka ditipu. Mereka yang menyuruh orang untuk sembahyang di Masjid Demak, yang mereka sebut rumah Allah. Itu bohong belaka. Aku dulu ikut salat di sana, aku amat menyesal. Tapi itu kulakukan karena belum menyadari hakikat diri. Sekarang dapat kukatakan…

Kawula dan gusti sudah ada dalam diriku, siang dan malam tak bisa memisahkanku dari mereka. Tapi hanya saat ini nama kawula-gusti berlaku, selagi aku mati. Nanti, bila aku hidup lagi, gusti dan kawula lenyap, yang tinggal hanya hidupku, ketenteraman langgeng dalam Ada sendiri. Di sana tak dikenal kematian dan perasaan sedih. Yang ada hanya kenikmatan kekal abadi. Itulah mengapa aku sekarang merasa menderita, sebab berada di alam kematian (dunia ini) dekat surga-neraka.

Hai Pangeran Bayat, bila kau belum mengerti kebenaran dari kata-kataku, bisa dikatakan kau masih terbenam dalam masa kematian. Di sini (dunia) memang banyak hiburan aneka warna. Lebih banyak lagi hal-hal yang menimbulkan hawa nafsu. Kau tak lihat itu hanya akibat pancaindera?

Itu hanya impian, dan sama sekali tak mengandung kebenaran, sebentar lenyap. Gila saja orang yang terikat padanya, tak seperti Syekh Siti Jenar. Aku tak tertarik, tak sudi tersesat dalam kerajaan kematian. Satu-satunya yang kuusahakan ialah kembali kepada kehidupan.

Itu yang diucapkan Seh Lemahabang kepada Pangeran Tembayat –murid Sunan Kalijaga. Sebelum ia disidang dan Sunan Kudus memenggal kepalanya. Empat paragraf panjang itu, yang dinukil dari Serat Siti Jenar yang diterbitkan Tan Khoen Swie dan diulang-ulang di banyak buku setelahnya, untuk menyebut beberapa, Abdul Munir Mulkhan, Intisari Ajaran Syekh Siti Jenar (2015), Bambang Marhiyanto, Siti Jenar Menggugat (2000), Abu Fajar Al-Qalami, Legenda Siti Jenar (2005), Nizzatul Haq, Cerita Mistik Dibalik Kisah Syekh Siti Jenar (2007), Rahimsyah, Siti Jenar: Cikal Bakal Faham Kejawen (2006), bisa jadi puncak kefasihan dan perdebatan Islam Abangan dalam tradisi Jawa.

Tuhan dalam diri

Hidup bermula dari sepi

Kematian datang di tengah suara ramai

 

Itukah yang hendak ditunjukkan Lemahabang? Ya. Satu dari sekian banyak wali yang menolak pusat dan penyatuan kekuasaan itu ingin agar orang percaya Yang Ilahi telah bermukim dalam diri. Bukannya di langit tinggi.”Di mana Tuhan jika tidak di dalam diri,” kata Lemahabang. “Kelilingilah dunia, terbanglah hingga langit lapis ketujuh, kamu tetap tidak akan menemukan Tuhan.”

Belum cukup. Kita dapati ucap Lemahabang lainnya yang disebut wejangan sasahidan.

Saya inilah sebenar-benarnya Allah

Allah adalah badan saya

Rasul itu rahasia saya

Muhammad itu cahaya saya

Saya tak kenal maut

Saya tak mengenal lupa, dan kekal selamanya

Saya mengetahui segala gerak-gerik dan tingkah laku makhluk-Nya

Saya tak pernah salah, Maha Melihat dan Maha Memutuskan

Saya yang meliputi seluruh alam semesta

Seh Lemahabang inilah Allah sesungguhnya

 

Para wali marah. Menganggap omongan itu kebrutalan, sesat. Dan Lemahabang didakwa membahayakan rakyat. Ia harus dihukum atas sikapnya. Seperti kemudian kita temukan dalam ucapan Sunan Bonang. “Bagaimana caranya dan apa yang harus aku lakukan untuk mengakhiri hidupmu?” Sunan Giri bahkan mengecam Lemahabang dengan alasan “berani membuka ilmu rahasia dengan tak sepantasnya, diberikan pada tiap orang.” Giri pantas khawatir karena Lemahabang mengajarkan paham itu tanpa ditutup-tutupi kepada murid-muridnya yang tersebar di banyak tempat. “Islam dibangun atas dasar syariat,” ujar Sunan Kudus. “Kita tak bisa menjalankan perintah ibadah tanpa melalui tingkatan syariat.”

Sunan Kudus ingin agar Lemahabang akhirnya menuruti ucapannya, kembali dari jalannya yang menyimpang. Ia tak ingin ajaran Lemahabang berkembang. Sebab itu bisa meracuni iman yang baru saja terbentuk di masyarakat –di saat itu para wali sedang giatnya menanamkan keyakinan monoteisme dari keyakinan sebelumnya, politeisme-pantheisme.

Dalam kisahnya yang paling tersebar luas, Lemahabang diceritakan, ia tidak menganggap penting segala tertib, ia mencibir syariat. Baginya: syahadat, salat, zakat, puasa dan haji itu hal-hal yang tak perlu. Omong kosong itu. Hanya orang bodoh yang percaya, karena terus berharap surga dari sana. Tak ada guna lagi salat kita. Itu hanya basa-basi belaka. Suatu kesia-siaan. Hidup kita tak dihabiskan demi itu.Banyak orang tampak khusyuk salatnya, bibirnya terus berucap doa. Tapi hatinya tetap saja memikirkan dunia. Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Ia membuat tamsil untuk iman yang lembek seperti itu “Islamnya ibarat kelapa, dan hanya makan serabutnya. Padahal yang nikmat adalah buah dan airnya.”

Bagi Lemahabang, itulah awal kemerosotan. Untuk apa salat jika perangainya tetap buruk, masih suka mencuri. Untuk apa bibir lelah berdoa, jika masih menyimpan dengki. Kadang masih suka berharap imbalan.

Tuduhan itu amat telak. Lemahabang seperti ingin menegaskan kepada orang yang merasa dirinya suci bahwa inti kebahagiaan ditemukan dalam sikap menyerah secara mutlak. Bukan sekian ibadah yang membikin muak. Dan yang lebih merisaukan ialah kecamannya kepada konsep Tuhan yang berjarak. Bagi Lemahabang, Tuhan tak lagi dipandang sebagai Dia yang terlampau jauh, tak terhampiri, melainkan Dia yang tak berjarak.

Bagaimana kita harus menafsirkan ucapan itu? Agak sulit dan membingungkan memang. Di dalam banyak penuturan kisahnya, ia bukan semata-mata ingin menyingkap Tuhan. Ia, dengan mengaku dirinya Allah, ingin mengutuk mereka yang bertugas menjaga kemurnian Islam. Ia menolak sikap pura-pura.

Wali pembangkang yang utama. Kata Nancy K. Florida dalam disertasinya Menyurat Yang Silam Menggurat Yang Menjelang (1995) ketika menyoal Lemahabang. Dua puluh lima tahun sesudah buku itu ditulis, Lemahabang masih dianggap “orang yang mau bebas dari segala” tokoh oposisi terhadap hegemoni kekuasaan rohani para wali.

Tak mustahil, apa yang sebenarnya terjadi lebih dari 500 tahun lalu itu pertarungan dalam memperebutkan hegemoni antara Lemahabang dan kelompok wali. Masing-masing ingin membangun imperiumnya sendiri. Satu, ingin meneguhkan batas. Lainnya, mau bebas. Ia coba menghilangkan sekat-sekat yang membelenggu diri. Tak peduli titah raja dan perintah nabi.

Untuk sikapnya itu, ia sadar betapa jauhnya ia dari yang diimpi-impikan semua orang bagi dirinya: wali suci di tanah Jawa. “Kelaparan, sakit telah saya alami sambil mencari nafkah, meskipun Tuhan ada, ia tak dapat saya mintai apa-apa…”

Karena sikapnya itulah ia hendak dibungkam dan dilupakan. Tapi, tak semua orang seperti Sunan Kudus –yang mengumpat Lemahabang sebagai “sesat” dengan alasan yang sering dipakai “mengaku Tuhan”.

Rasanya aneh sekali, sampai sekarang riwayat Lemahabang masih hidup di tengah-tengah orang Jawa. Orang-orang Lemahabang. Ia berada antara dongeng dan sejarah, antara gelap dan terang. Jelaslah, betapa besar pengaruh dari ide-idenya, bila “bahaya panteisme (lewat ajaran Lemahabang) amat dekat bahkan sudah masuk ke dalam benteng monoteisme yang dijaga demikianketat.” Kata penulis buku Manunggaling Kawula Gusti. P.J. Zoetmulder.

Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.

Begitulah sejarah mencatat: ia kontroversial dan misterius. Ceritanya bertumpuk-tumpuk antara legenda dan mitos. Dan punya banyak versi.

Gunung Jati, Cirebon –tempat leluhur saya. Sosok Lemahabang banyak dibicarakan. Orang percaya asal-usulnya dari sana, Desa Lemahabang, 15 kilometer arah timur Lemahwungkuk –yang dahulu menjadi pusat Kraton Kasepuhan.

Dalam naskah Tan Khoen Swie, dalam bait-bait Asmarandana yang terjemahannya sebagai berikut, di sana disebutkan:

Besarlah perguruan Sunan Giri (Giri Gajah)

Dicintai para ulama

Adalah seorang muridnya

Dari negeri Siti Jenar

Bernama San Ngali Ansar

Terkenal di tempat tinggalnya (Cirebon Girang)

Dipanggil Syekh Lemahabang

 

Juga banyak pengikutnya yang meyakini: Lemahabang meregang nyawanya di ujung keris Sunan Gunung Jati yang ditikamkan Sunan Kudus di pelataran Masjid Sang Cipta Rasa di tahun 1506. Ia, yang tak pernah mengaku diri sebagai sufi yang terbenam dalam cinta akan Tuhan, kemudian dimakamkan di Kemlaten, Anggaraksa, sekarang dikenal dengan nama Kanggraksan. Versi lain –tulisan Abdul Munir Mulkhan– menyebut Lemahabang mangkat di padepokannya Krendhasawa, Mantingan, Jepara, dengan cara menghela nafas sendiri. Para pengikutnya di Cigugur, Kuningan, yakin bahwa makamnya tak pernah ada sebab tubuhnya “moksa” usai dihukum mati. Saudara saya, yang sekarang menjaga makam Sunan Gunung Jati, membuat pengakuan bahwa kubur Lemahabang atau Syekh Abdul Jalil bin Syekh Datul Sholeh persis di samping pusara Syekh Datul Kahfi di bukit Amparan Jati.

Barangkali menjadi tak penting letak kubur, tempat para wali mengeksekusi, dan asal-usul dari wali kutub itu. Meskipun di musala makam Lemahabang di Kemlaten tertulis asal-usul sang tokoh. Karena orang akan berdebat tak habis-habisnya.Sebab sosoknya sudah banyak bercampur dengan legenda dan dongeng. Dalam satu catatan ia dianggap bersekutu dengan setan karena bisa malih rupa menjadi cacing, kodok, dan burung.

Lepas dari semua kontroversi. Ia adalah manusia yang melihat diri sendiri sebagai makhluk merdeka dan tak kenal tingkatan antara kawula dan gusti.

Kemlaten. 30 menit dari rumah. Siang itu, di sela rimbun pohonan, antara ratusan makam sekelilingnya, cungkup makam Lemahabang –dalam kepustakaan Jawa, ia lebih sering disebut Siti Jenar, ada pendapat itu nama aslinya, banyak pula yang menampik itu sekadar julukan– tampak kecil sederhana, seorang tengah tirakat. Sudah lewat 20 hari. Ia bukan pengikut tarekat Akmaliyah. Iwak teluh sirah sanunggal. Ia hanya menyukai hal-hal gaib, datang dengan maksud khusus.

Menutup kekosongan itu. “Aku ingin tahu kebenaran,” katanya. “Syahadat, salat, puasa, dan zakatku belum cukup sebagai Muslim.”[]