Mistisisme Islam atau sufisme memiliki akar sejarah yang panjang dan dapat ditelusuri hingga ke masa Nabi Muhammad SAW. Beberapa tokoh di periode awal ialah para sahabat seperti Abu Bakar, Ali, dan Uwais al-Qarni yang dikenal kesalehan, kezuhudan, serta kecintaannya kepada Allah SWT. Istilah sufi berasal dari kata Arab, yaitu “ṣūf” artinya “bulu domba”, sebuah konotasi yang kemudian menjadi ciri pakaian sederhana dan digunakan oleh kaum sufi. Sufisme pertama kali muncul pada abad ke-9 Masehi, namun praktik sufistik telah ada sejak masa awal Islam. Dalam perkembangannya, sufisme menekankan pentingnya pengalaman langsung dengan Tuhan melalui praktik-praktik spiritual yang intens, seperti meditasi, zikir, dan kehadiran Allah dalam kehidupan, menggabungkan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat, psikologi, hingga spiritualitas dari beragam tradisi yang berinteraksi dengan politik, kebudayaan dan kesenian.
Salah satu terminologi penting dalam khazanah sufisme adalah uzlah. Uzlah artinya “menarik diri dari dunia” atau “menjauhi kehidupan duniawi”, demi mengarahkan hidup pada pencarian spiritual dan pendekatan kepada Tuhan.[1] Uzlah tidak berarti menolak dunia, tetapi secara batin menjaga jarak, para sufi dalam praktiknya tetap berinteraksi dengan dunia dengan cara sederhana dan terkontrol. Uzlah bukan hanya bentuk pengasingan diri, tetapi sebagai cara efektif untuk membersihkan hati dan pikiran dari pengaruh dunia lahir serta memfokuskan diri pada laku spiritual dalam memperkuat hubungan dengan Tuhan.[2] Melalui praktik uzlah, para sufi mengatasi godaan duniawi dengan meditasi, dzikir, dan puasa[3], serta pemisahan diri dari dunia untuk menemukan ketenangan batin dan pemahaman utuh menyeluruh atas keberadaan diri.

Seni Sufi
Seni dalam tradisi sufisme dipandang menjadi sarana kuat untuk mengalami dan mengungkapkan dimensi spiritual, mengakses sisi batin, merasakan kedalaman perasaan, serta mengintegrasikan kehadiran Tuhan[4]. Di samping itu, seni menjadi alat menyampaikan pesan-pesan spiritual secara simbolis dan metaforis, mengkomunikasikan pemahaman mendalam tentang realitas spiritual, serta membantu memahami makna tersembunyi di balik dunia materi. Seni juga menjadi sarana pengungkap perasaan dan pemahaman, sebagai medium menghubungkan diri dengan dimensi batin yang lebih tinggi, serta menjadi jalan pendekatan diri dengan Tuhan.
Seni juga menjadi sarana pengungkap perasaan dan pemahaman, sebagai medium menghubungkan diri dengan dimensi batin yang lebih tinggi, serta menjadi jalan pendekatan diri dengan Tuhan.
Melalui penghayatan seni, para sufi mengalami transformasi diri. Mereka menempatkan seni sebagai jendela menuju realitas yang melampaui batasan materi dan rasionalitas, hingga membuka kemungkinan baru dalam menggambarkan keindahan, kebenaran, dan cinta. Proses kreatif ini sejatinya merupakan ibadah pelepasan ego dan peleburan diri dengan energi kreatif, sehingga karya seni yang dihasilkan mencerminkan kedalaman spiritual. Metode seni sufistik dapat pula mengajarkan perihal ruhani dengan cerita, metafor, membangkitkan kesadaran, kesucian jiwa, dan pemahaman ketuhanan. Seni sufi adalah jembatan antara materi dan spiritual, memungkinkan ekspresi diri, kedamaian, dan hadirnya Tuhan, serta mengajak melihat dunia dengan mata batin, menelusuri keindahannya hingga merasakan kehadiran secara langsung. Seni sufistik bisa mengambil berbagai bentuk, seperti sastra, musik, tarian, dan seni rupa. Seni rupa menjadi ekspresi artistik dan spiritual yang mencerminkan nilai, pengalaman, dan pencarian mistik, menjembatani dunia lahiriah dan batin, sehingga menggambarkan perjalanan spiritual menuju persatuan dengan kebenaran tertinggi.

Lukisan Uzlah
Karya-karya Kaji Habib bertema uzlah, menggambarkan pencarian dan perjalanan batin, jejak perjalanan kerinduan mendalam, penemuan yang menggugah, dan kejutan misteri. Dalam perjalanan spiritual yang dihadirkan melalui visual lukis, Kaji Habib menangkap esensi keheningan, kekuatan introspeksi, dan refleksi, serta menggambarkan setiap momen dengan sangat detail. Kaji Habib menciptakan komposisi warna yang anggun, memperlihatkan keindahan sekaligus menghadirkan suasana kedalaman. Ia bekerja dengan hati-hati pada setiap detailnya untuk menghasilkan harmoni visual yang seimbang dan utuh.
Karya-karya Kaji Habib tidak hanya memukau secara visual, namun juga membangkitkan emosi dan meningkatkan kreativitas. Narasi yang ia ciptakan merangsang refleksi dan memperluas pemahaman tentang pencarian dan perjalanan spiritual dalam hidup. Sebuah lukisan sosok berkerudung dikelilingi mozaik warna hijau dan coklat tua, misalnya, kaya akan makna dan simbolis. Kerudung atau hijab melambangkan pemisahan antara dunia material dan realitas spiritual, merepresentasikan pencarian spiritual dan hubungan antara individu dengan Tuhan. Elemen abstrak dan kepingan mozaik mencerminkan konsep realitas yang terpecah-pecah dan bersifat relatif, dan dalam filosofi sufi, dunia fenomenal itu dianggap sebagai cerminan dari realitas yang lebih dalam dan tersembunyi. Hal tersebut merepresentasikan keragaman individu yang mencari kesatuan dengan Tuhan melalui berbagai jalan berbeda.

Paduan warna hijau dan coklat tua yang dipilih mengandung makna filosofis-sufistik. Warna hijau kerap dihubungkan dengan kehidupan, pertumbuhan, dan keselarasan alam, dipadukan dengan coklat tua yang melambangkan kedalaman, ketenangan, dan kedamaian dalam perjalanan spiritual. Gabungan kedua warna tersebut menghasilkan aura yang menenangkan dan membangkitkan kekaguman terhadap keindahan alam dan kehadiran Ilahi. Secara keseluruhan, lukisan Kaji Habib merupakan representasi visual dari perjalanan spiritual dan pencarian jiwa dalam konteks sufistik yang filosofis.
Karya-karya haji dengan tema Uzlah (menepi dari keramaian), menggambarkan perjalanan spiritual dan pencarian jiwa, mengajak merenungkan hubungan manusia dengan dimensi spiritual, menemukan kebenaran, keselarasan alam, dan kedekatan dengan Tuhan. Karya-karya lukis Kaji Habib menjadi representasi visual yang memikat, membangkitkan rasa ingin tahu, serta memperluas pemahaman diri dan makna hidup.
Referensi
Asad, M. (1993). The Road to Mecca. University of California Press.
Cole, W. O. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.
Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press.
Editor: Mohammad Hagie
[1] Asad, M. (1993). The Road to Mecca. University of California Press. Hal.45.
[2] Schimmel, A. (1975). Mystical Dimensions of Islam. University of North Carolina Press. Hal.95.
[3] Chittick, W. C. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.Hal.76.
[4] Cole, W. O. (2000). Sufism: A Beginner’s Guide. Oneworld Publications.