DONASI

Takepan; Sebuah Nyanyian Sastrawi Wali Tanah Sasak

Saya percaya bahwa, karya sastra sufistik adalah karya yang lahir dari getaran batin yang kuat, akibat merasakan kehadiran Tuhan (Sang Pencipta Alam). Dan oleh karena...

LEMBAR | WEDNESDAY, 14 AUGUST 2024 | 03:47 WIB

Lamuh Syamsuar

Penyair dan Ketua Lesbumi PCNU Lombok Tengah. Buku puisinya, Topeng Labuapi, terbit di Rua-aksara, Yogyakarta, 2022.

Saya percaya bahwa, karya sastra sufistik adalah karya yang lahir dari getaran batin yang kuat, akibat merasakan kehadiran Tuhan (Sang Pencipta Alam). Dan oleh karena pengungkapan ekspresi keagamaan seperti inilah, pembacaan lirik dengan langgam (tembang) atau perangkat bahasa lokal tertentu, sepertinya dapat dinilai sebagai amal ibadah. Tentu, ibadah yang dimaksud adalah ibadah dalam arti lain, yakni ibadah di luar kewajiban Syariat Islam yang telah ditetapkan. 

Di sisi lain, dari syair-syair sufistik itu, kita juga bisa memahami bagaimana hubungan antara sastra dan agama yang begitu erat. Agama nampak sebagai inspirasi, sedangkan sastra sebagai wahana yang tepat untuk mengaktualisasikan pengalaman batin yang mustahil dijelaskan dengan bahasa-bahasa normatif atau bahasa rasional lainnya. Sebab, sandaran utama sastra adalah rasa. Dan barangkali di sinilah letak nilai estetika dari syair-syair yang bertema sufistik itu.

Saya juga percaya, kesan-kesan keakraban dengan Sang Maha Pencipta, yang dituangkan kedalam syair-syair sufistik itu, tidak mesti datang dari orang-orang Arab. Wahananya juga tidak harus menggunakan aksara maupun Bahasa Arab. Getaran batin akibat merasakan kehadiran Tuhan yang dituangkan kedalam karya sastra itu, sekiranya juga dapat lahir dari insan-insan arifin di manapun jua, dan dari karya-karya di daerah manapun juga. Tidak terkecuali dari naskah-naskah klasik lokal yang nyaris tersebar di seluruh penjuru wilayah Nusantara. Seperti naskah-naskah takepan yang ada di Pulau Lombok, misalnya.  

Takepan merupakan istilah lain untuk menyebutkan naskah-naskah kalsik masyarakat Suku Sasak yang ada di Pulau Lombok. Asal kata takepan adalah “takep”, takep bermakna barang yang tersimpan dan tersembunyi (Ihsani, Utari, & Mandala, 2021). Jadi, takepan merupakan semacam perbendaharaan masyarakat Suku Sasak yang memiliki nilai estetika dan etika tinggi, yang tidak boleh dibaca oleh sembarang orang dan sembarang waktu. Tema-tema utama yang sering dibahas dalam takepan adalah tema-tema seputar, konsep ajaran tasawuf yang mendalam, wiracarita (cerita kepahlawanan Islam), kisah-kisah alegoris, dan tema-tema sejarah lainnya. 

Tema-tema utama yang sering dibahas dalam takepan adalah tema-tema seputar, konsep ajaran tasawuf yang mendalam, wiracarita (cerita kepahlawanan Islam), kisah-kisah alegoris, dan tema-tema sejarah lainnya.

Hanya saja, karena di Lombok tidak memiliki semacam pusat kajian naskah-naskah kelasik. Sehingga relasi antara takepan dan Agama Islam semakin tersamarkan. Dan keberadaan takepan, rentan untuk disalah artikan. Bahkan, tidak sedikit masyarakat Sasak menganggap takepan sebagai naskah klasik yang menyesatkan. Sebab isinya dinilai sudah bercampur dengan ajaran-ajaran Hindhu dari Bali. Mengingat Pulau Lombok memiliki latar belakang sejarah, sebagai pulau yang pernah ditaklukkan oleh Kerajaan Karang Asem, kerajaan bercorak Hindhu dari Bali. 

Kemungkinan lainnya, bisa jadi karena di tengah-tengah masyarakat Hindu di Bali, juga berkembang tradisi kepenulisan sastra berlatar agama, yang produknya dikenal dengan istilah cakepan.  Dimana cakepan merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut sejumlah lempir naskah lontar, yang digabungkan menjadi satu bagian utuh. Cakepan ini juga diasosiasikan dengan Pandawa Lima (tokoh utama Epos Mahabarata), oleh karenanya cakepan haruslah terdiri dari 5 unsur matrial penyusunnya. Daun lontar yang diibaratkan sebagai Arjuna, teks sebagai Yudistira, tali benang dan kepeng bolong sebagai Bima dan dua penggapit naskah diibaratkan sebagai Nakula dan Sahadewa (Sedyawati, dkk, 2021). Maka tak heran jika takepan diidentikkan dengan cakepan yang berkembang di “Pulau Dewata” itu, karena kemiripan istilah yang dipergunakan untuk menyebut naskah-naskah kelasiknya masing-masing. 

Namun, di luar dari kemungkinan tersebut, tidak sedikit dari masyarakat Sasak yang masih dan lebih percaya bahwa, takepan memiliki hubungan yang erat dengan suluk di Jawa. Saya pribadi lebih cenderung menerima tesis ini ketimbang pendapat-pendapat yang lain. Sebab, dengan sangat mudah indikasi-indikasinya bisa terlihat dari aksara, bahasa dan format pengungkapan yang dipergunakan dalam takepan, lebih kurang, memiliki kesamaan dengan aksara, bahasa dan format pengungkapan dalam karya-karya suluk di Jawa. 

Bedanya jangkauan pembahasan takepan-takepan Lombok relatif lebih sempit, tidak seluas jangkauan pembahasan suluk di Jawa yang juga menggubah anasir-anasir sastra kuno dari Hindhu-Budha, menjadi karya sastra yang punya spirit ajaran tasawuf. Misalnya seperti Serat Paramayoga, Serat Kanda, Ramayana, Mahabarata, Serat Dewa Ruci, Wedatama dan seterusnya. Nasakah yang saya sebutkan itu, nyaris tidak dikenal oleh masyarakat Sasak. Paling jauh adalah naskah-naskah klasik yang masih berhubungan dengan Kidung Panji. Semisal Serat Rengganis dan Serat Menak, yang tentunya telah digubah agar kedua naskah klasik tersebut juga menjiwai spirit ajaran-ajaran tasawuf. 

***

Di Jawa, nampaknya semua pengkaji naskah klasik, bersepakat bahwa suluk merupakan istilah untuk menyebutkan kazanah kesusastraan dan atau kepustakaan Jawa yang bercorak sufistik. Suluk mulai berkembang pada era berdirinya Kesultanan Demak.  Sebab, istilah “suluk” memang merupakan kata serapan, yang diadopsi dari Bahasa Arab (Islam) yakni “salaka”, yang bearti “perjalanan spiritual”. 

Menurut pendapat Simuh, suluk, babad, serat, wirid dan karya sastra Islami lainnya itu, mulai berkembang setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, dan di saat yang bersamaan muncul Kesultanan Demak yang dikelilingi oleh para wali Tanah Jawa sebagai penasehat spiritualnya. Dengan berdirinya Kesultanan Demak, maka orientasi keagamaan maupun kesusastraan masyarakat Jawa menjadi berubah, dari yang tadinya beragama Hindhu-Budha menjadi Islam. Dari sinilah pihak Kesultanan Demak mulai mempelajari dan menyerap unsur-unsur kebudayaan dari tradisi pesantren sebagai subjek matter karya-karya kepustakaan Islam Jawa pada waktu itu (Simuh, 1995). 

Lebih jauh, Irfan Afifi mencoba melakukan pembacaan ulang tentang makna suluk.  Irfan Afifi, mendasari pembacaannya dengan merujuk falsafah hidup orang Jawa yang paling utama yakni, “Sangken Paraning Dumadhi”. Sebuah ungkapan khas Jawa yang memberi makna akan kesejatian perjalanan hidup, sehubungan dengan asal usul kehidupan dan tujuan akhir perjalanan hidup manusia Jawa yang kembali ke Sang Maha Hidup. Dalam istilah lain, perjalanan hidup ini disebut: laku, mlaku, atau lelakon. Oleh sebab itu, tak heran jika Kepustakaan Jawa di era Demak hingga Mataram Islam diintrodusir oleh para wali Tanah Jawa dengan neologi baru yakni suluk yang sama-sama bermakna “sebuha perjalanan”. Dan secara otomatis membedakannya dengan dengan genre sastra pada era Majapahit atau masa pra-Islam, yakni Parwa, Kakawin dan Kidung (Afifi, 2019).

Namun, oleh karena, perjalanan yang dimaksud tidak hanya perjalanan yang bersifat ragawi semata, tetapi sebuah perjalanan yang melingkupi seluruh kehidupan manusia baik perjalanan yang bersifat lahiriah maupun perjalanan batin yang bisa menjebak. Oleh sebab itu dalam lakon atau “perjalanan besar” ini, manusia Jawa mestinya selalu awas terhadap emapt warna atau simbol nafsu dalam dirinya, agar ia bisa selamat sampai tujuan. Empat warna itu adalah hitam, merah, kuning dan putih. Keempat simbol warna inilah yang dihubungkan dengan empat konsep pembagian nafsu menurut Imam Ghazali yakni lawwamah, amarah, supiah, dan mutmainnah (Afifi, 2019). Sikap kewaspadaan orang Jawa terhadap empat warna ini kemudian termanifestasikan kedalam pagelaran lirik suluk, yang lebih popular dengan istilah “tembang macapat atau macapatan”.

Empat warna itu adalah hitam, merah, kuning dan putih. Keempat simbol warna inilah yang dihubungkan dengan empat konsep pembagian nafsu menurut Imam Ghazali yakni lawwamah, amarah, supiah, dan mutmainnah (Afifi, 2019). Sikap kewaspadaan orang Jawa terhadap empat warna ini kemudian termanifestasikan kedalam pagelaran lirik suluk, yang lebih popular dengan istilah “tembang macapat atau macapatan”.

Demikian juga halnya dengan nama-nama langgam utama dalam karya sastra suluk yang tidak terlepas dari konsep perjalanan hidup, oleh karena itu para wali Tanah Jawa, menciptakan nama dan jenis-jenis tembang yang menggambarkan siklus perjalanan hidup manusia secara utuh, mulai dari awal sampai akhir perjalanan hidupnya. Tembang-tembang itu adalah tembang maskumambang (dalam kandungan), mijil (lahir), kinanti (masa penantian), sinom (muda), asmarandana (mulai tumbuh perasaan cinta kepada lawan jenis), gambuh (menikah), durma (berkaya), dandanggula (merasakan pahit manis kehidupan), pangkur (mulai mengambil jarak terhadap dunia), megatruh (meninggal dunia), dan pucong (dibungkus dengan kain kafan) (Purwadi, 2005).

Dari uraian di atas nampak jelas ada relasi yang kuat antara sastra dan agama Islam. Agama dan perasaan haru manusia (baca: sastra) di hadapan Sang Khalik seakan berkelindan membentuk satu kesatuan. Bersamaan dengan itu, nampak jelas bagaimana cara orang-orang terdahulu baik di Jawa maupun di Lombok menjangkau dan mengamalkan ajaran agamanya, dengan caranya sendiri yang kemudian diaktualisasikan kedalam bentuk karya sastra, yang selanjutnya mengejawantah menjadi tradisi budaya (lokal). Maka tak heran jika dalam satu lirik Suluk Sontrang ditulis demikian: “Liring suluk ika, Sesinden para wali” kurang lebih maknanya; “suluk itu adalah nyanyian para wali”. Dan sepertinya tidak berlebihan juga jika saya mendevinisikan takepan itu, sebagai nyanyian para wali Tanah Sasak. Wallahualam!


Daftar Refrensi:

Afifi, I. (2019). Saya, Jawa, dan Islam. Yogyakarta: Tanda Baca.

Ihsani, B. Y., Utari, T., & Mandala, H. (2021). Leksikon yang Digunakan dalam Ritual Pepaosan Takepan Masyarakat Suku Sasak: Sebuah Kajian Etnolinguistik. Jurnal Ilmiah Telaah, 172.

Poerbatjaraka, & Hadidjaya, T. (1957). Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djembatan.

Purwadi. (2005). Sejarah Sastra Jawa. Yogyakarta: Gelombang Pasang.

Sedyawati, E, dkk. (2021). Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum. In T. Pudjiastuti, Media Sastra (pp. 187-188). Jakarta: Balai Pustaka.

Simuh. (1995). Sufisme Jawa Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.

Foto: Wati Nichols