Siapa bilang Jakarta kota maksiat? Nampaknya pertanyaan itu harus ditahan terlebih dahulu. Pasalnya, dibalik gedung-gedung yang megah dan tempat nongkrong yang modern. Ternyata di sudut-sudut gang kecil dan perkampung di Jakarta. Banyak sekali kehadiran majelis taklim dan pengajian. Pesertanya pun lintas status, mulai dari anak-anak muda, selebritis, pejabat, hingga pengusaha. Bahkan meski bangunan-bangunan fisik terus bermunculan, arus-arus majelis taklim tetap mengalir deras dari sudut-sudut kota.
Majelis Taklim dalam Sejarah
Majelis taklim merupakan lembaga pendidikan non-formal yang berkembang pesat, khususnya di Jakarta. Majelis taklim menurut bahasa terdiri dari dua suku kata, “majelis” dan “ta’lim. Kata majelis taklim merupakan isim dari akar kata, “tempat duduk, tempat sidang, atau dewan”. Musyawarah majelis ta’lim se-DKI Jakarta yang berlangsung tanggal 9-10 Juli tahun 1980 memberikan batasan mengenai majelis ta’lim, yakni “Lembaga pendidikan non-formal yang diselenggarakan secara teratur diikuti oleh jamaah dengan tujuan untuk membina serta mengembangkan hubungan serasi antara manusia dengan Allah Swt (Suhaidi, 2021).
Dipandang dari teori pendidikan, menurut Ki Hajar Dewantara setidaknya ada tiga konsep pusat pendidikan, yakni: 1). Pendidikan rumah tangga, 2). Pendidikan sekolah, 3). Pendidikan masyarakat. Majelis taklim termasuk dalam golongan pendidikan Islam di masyarakat (Daulay, 2018). Bahkan keberadaan majelis taklim telah diakui dalam pasal 106 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Di Jakarta majelis taklim sebenarnya sudah ada sejak zaman kolonial Belanda. Menurut hasil penelitian Ridwan Saidi dan Alwi Shahab, budayawan Betawi. Majelis taklim yang pertama kali beraktivitas adalah majelis taklim Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi Kwitang, Jakarta Pusat pada 20 April 1890 dan merupakan yang tertua di Betawi. Sejak saat itu jumlah mejelis taklim kian lama kian meluas dan berkembang. Menurut Badan Pusat Statistik Provinsi DKI Jakarta menyebutkan bahwa jumlah majelis taklim pada tahun 2023 di Jakarta mencapai 4.955 (BPS, 2023). Angka ini bahkan jika dibandingkan pendidikan keagamaan lainnya, seperti pesantren jauh lebih besar. Sebab menurut data Kementerian Agama tahun 2021 pondok pesantren di Jakarta hanya 113.

Maraknya majelis taklim di Jakarta sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari para pendiri bangsa ini. Sebab Jakarta sejak dulu bukan diciptakan atau dikhususkan untuk pendidikan formal keagamaan seperti pesantren, karena Bung Karno ingin menjadikan Jakarta menjadi kota metropolitan, yang tidak saja sebagai ibukota Indonesia tetapi ibukota Asia-Afrika, Jakarta akan banyak taman dan gedung-gedung besar (Setiawan, 2004).
Kenyataan ini ditambah lagi dengan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan. Dimana Soeharto menjadikan pembangunan fisik sebagai satu-satunya kegiatan dalam masa kekuasaanya selama 32 tahun. Bangunan fisik hanya merupakan proyek bagi orang-orang kaya raya dan pengusaha kelas kakap. Sehingga seiring jalan waktu Jakarta menjadi kota metropolitan yang penuh sesak dengan bangunan-bangunan. Belum lagi daya tarik Jakarta sebagai kota metropolitan telah mengundang para pendatang untuk “mengadu nasib”. Sehingga secara tidak langsung urbanisasi juga menjadi salah satu rangkaian yang menambah padat penduduk di Jakarta. Menurut data kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) tahun 2024 mencatat bahwa penduduk DKI Jakarta telah mencapai 11,34 juta jiwa (Fadhlurrahman, 2024). Sehingga asumsi saya, banyaknya majelis taklim berkembang di Jakarta, dibanding perkembangan pendidikan pesantren adalah karena kekurangan lahan.
Sebab berbeda dengan pesantren yang butuh lahan luas, kehadiran majelis taklim tidak terlalu butuh makan tempat, hanya di rumah-rumah, masjid dan mushola. Kalau pun jamaahnya membludak. Sesekali menggunakan jalanan sebagai tempat dakwah.
Majelis Taklim Pusat Keilmuan dan Ekspresi Keagamaan
Kehadiran majelis taklim, khususnya di Jakarta. Dalam sejarah memiliki peran yang sangat besar. Hadirnya majelis taklim Habib Ali al-Habsyi Kwitang setidaknya telah membawa angin segar tersendiri di Jakarta, pasalnya majelis ini telah menjadi pusat genealogi keilmuan yang melahirkan sejumlah ulama Betawi seperti, KH. Abdullah Syafi’i (pendiri Perguruan Islam Asy-Syafi’iiyah) dan KH. Tohir Rohili (pendiri Perguruan Islam Ath-Thahiriyah). Selain ada KH. Syafi’i Hadzami ulama Betawi asli produk binaan majelis taklim.
Keduanya kemudian turut mendirikan majelis taklim, yakni majelis taklim Asy-Syafi’iyah di Jakarta Selatan dan majelis taklim Thahiriyah di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Menurut KH. Sarifuddin Amsir keberhasilan majelis taklim dalam mencetak para ulama setidaknya ada tiga hal, yakni: 1). Tidak ada batasan waktu seperti di perguruan tinggi dengan SKS untuk meneyelesaikan satu disiplin ilmu, 2). Anak murid mempunyai kebebasan waktu untuk bertanya pada guru, 3). Anak murid langsung dihadapan pada kasus-kasus konret yang ada di masyarakat.
Pembelajaran yang diajarkan di majelis taklim juga meliputi pembelajaran kitab-kitab. Sebagaimana kitab karya KH. Muhadjirin Amsar ad-Darry yang berjudul Mishbah adz-Dzulaam kitab syarah fiqh Bulugh al-Maram. Kitab karya KH. Abdul Hanan Sa’id berjudul kitab Taysir (kitab tajwid). Dan kitab Sullam An-Nayrain karangan Guru Mansur, Jembatan Lima, Jakarta Barat (Kiki, 2022). Oleh karena itu, tidak heran jika karakteristik keberislaman masyarakat Jakarta, banyak dipengaruhi oleh ulama. Itu sebabnya akhlak dan perilaku masyarakat Jakarta cenderung meski tidak semua mengikuti ulama yang berbasis pada majelis taklim.
Dahulu majelis taklim hanya dihadiri oleh bapak-bapak dan ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Namun, sejak pasca tumbangnya Soeharto sekitar tahun 2000-an terjadi pergeseran yang begitu signifikan. Majelis taklim telah banyak digandrungi oleh anak-anak muda. Hal itu tidak bisa lepas dari kehadiran sosok seorang habaib. Sejauh pengalaman saya mengikuti majelis taklim para habaib. Kecenderungan anak-anak muda mulai tertarik mengikuti majelis taklim terbangun sejak tahun 2007.
Kehadiran para habaib jelas memiliki dampak tersendiri bagi perkembangan majelis taklim, khusus di Jakarta. Bagaimana tidak? anak muda Jakarta yang tadinya rewel, “selengean”, “bandel”, diubah citranya melalui kehadiran seorang habaib. Anak-anak muda yang tadinya nongkrong di tempat tidak jelas, kini memiliki wadah lain, yakni majelis taklim. Pesona dan kharisma seorang habaib ternyata mampu menciptakan polariasi yang begitu kuat di kalangan anak muda ibukota. Adapun bentuk polarisasi itu sejauh pengalaman saya adalah terbentuknya identitas “anak majelis” dan “yang bukan”. Selain, jika kita melihat pada hari-hari tertentu, seperti malam minggu banyak majelis taklim pimpinan habaib dihadiri anak-anak muda.

Walaupun majelis taklim para habaib tidak mengajarkan literatur keislaman klasik yang “berat-berat” (meski tidak semua). Dan hanya berisi ceramah dan sholawat, namun setidaknya mampu membentuk karakter anak muda Jakarta untuk cinta kepada Nabi Muhammad Saw melalui sholawatan. Selain itu, kehadiran sosok habaib sendiri memiliki makna khusus di hati para anak muda Jakarta, terutama soal keberkahan. Sebagain anak muda percaya bahwa mengikuti setiap majelis taklim yang diisi para habaib akan membawa pada keberkahan, termasuk saya. Berkah secara etimologi diambil dari bahasa Arab, “baraka-yabruku-burukan wa barokatan”, yang berarti kenikmatan dan kebahagiaan. Jika diperhatikan lebih jauh, ternyata asal kata berkah dari baraka, artinya yang mempunyai nilai kebaikan. Sehingga makna berkah dapat dimaknai sebagai bertambahnya nilai kebaikan terus-menerus terhadap dirinya maupun orang lain disekitarnya (Alaydrus, 2009).
Bahkan jika kita melihat beberapa sumber wawancara mengenai hadirnya majelis para habaib. Maka kita akan menemukan berbagai kesan akan perubahan dalam hidupnya. Sebagaimana yang dikutip oleh Republika, “Ahmad Irfan (21), karyawan PT. Karya Widodo Motor, di Pancoran Jakarta Selatan mengaku sangat menikmati pengajian Majelis Rasulullah Saw pimpinan Habib Munzir al-Musawa. Menurutnya sejak dirinya mengikuti majelis ini, kehidupannya yang dahulu luntang-lantung, kini merasa berubah dan berbeda” (Zuhri, 2013).
Apa yang dikatakan Ahmad Irfan tentu berbeda dengan konteks hari ini ketika lahir istilah Gen-Z. Sebab di masa-masa itu teknologi belum menjadi digital natives atau belum menjadi panduan mencari spiritualitas seperti saat ini. Sehingga bila dikaitkan dengan perasaan cemas, overthinking, dan gelisah akibat tekanan modernitas yang menuntut hidup harus pasti dan terarah. Maka solusi kala itu adalah majelis taklim. Asumsi saya mungkin ini salah satu mengapa majelis taklim masih eksis sampai saat ini, terutama majelis yang dipimpin oleh habaib, adapun media sosial yang dikemudian hari muncul semakin melengkapi.
Para habaib dalam konteks ini, selain sebagai tokoh sentral yang memiliki pesona dan kharisma, ternyata juga mampu menjadi apa yang dikatakan oleh Clifford Geertz sebagai makelar budaya (cultural broker), yakni menjadi juru kendali dan sosok kunci dalam pembentukan budaya atau karakter masyarakat muslim serta menjembatani antara yang modern hedonis (dalam konteks Jakarta) dengan yang religius mengaji (ukhrawi) (Sunanto, 2020).

Layaknya seperti gayung bersambut, majelis-majelis taklim pimpinan para habaib ini juga menyambut antusias anak-anak muda ibukota dengan menciptakan merchandise, seperti kaos, helm, dan jaket (seperti jaket Majelis Rasulullah Saw). Merchandise di dalam majelis taklim bukan lagi sekedar sarana dakwah untuk mengajak anak muda cinta sholawat, melainkan sudah menjadi gaya hidup anak majelis taklim Jakarta. Sebab bisa dipastikan bila kita menghadiri majelis-majelis taklim pimpinan para habaib, setidaknya kita akan menemukan anak-anak muda memakai simbol dari majelisnya para habaib.

Oleh karena itu seiring berjalannya waktu, majelis taklim bukan hanya berfungsi sebagai tempat mentransmisikan keilmuan semata, melainkan telah menjadi tempat anak-anak muda meningkatkan gairah keberagamaannya melalui simbol-simbol, selain jaket, simbol-simbol yang sering dipertontonkan adalah konvoi motoran. Kehadiran konvoi majelis taklim ini, meski dalam beberapa hal menimbulkan kemacetan. Tetapi mampu membentuk citra majelis taklim yang tadinya terkesan kaku menjadi lebih kekinian dan menarik, khususnya di kalangan anak muda.

Sehingga anak muda Jakarta secara tidak langsung, sebagaimana disampaikan oleh Wasisto Raharjo Jati dalam, “Politik Menengah Muslim Indonesia” tahun 2016, tengah membangun identitas baru dalam beragama. Anak muda Jakarta yang tadinya tidak mengenal sholawat, enggan menghadiri maulid, tidak mengenal siapa itu habib, perlahan mulai mencintai. Sebab kesalehan atau konstruksi yang dibangun oleh majelis para habaib adalah kesalehan yang tidak muluk-muluk, dalam arti kesalehan yang sifatnya mudah dan menarik tetapi bermakna, termasuk bagi saya pribadi, yakni mencintai Nabi Muhammad Saw dengan sholawat (Jati, 2021).
Menuntut sifat kemudahan bagi kalangan muslim perkotaan seperti, Jakarta. Sejatinya tidak lepas dari rutinitas hidup. Jakarta adalah tempat bekerja siang dan malam. Di tengah rutinitas yang tidak kenal henti. Masyarakat, khususnya kelas menengah tidak sempat lagi untuk belajar agama yang “berat-berat” karena waktunya habis untuk bekerja. Sehingga salah satu cara untuk “tobat”, seperti saya dan mengisi ruang kosong religiusitas di dalam dirinya adalah dengan menghadiri majelis taklim.
Daftar Referensi
Suhaidi. (2021). Kurikulum Majelis Taklim (Fiqih-Tauhid-Tasawuf). Riau: PT. Indragiri.com.
Daulay, H. P. (2018). Sejarah Pertumbuhan & Pembaharuan Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana.
Setiawan, H. (2004). Memoar Pulau Buru. Magelang: Indonesiatera.
Fadhlurrahman, I. (2024, November 16). 29% Penduduk DKI Jakarta ada di Kota Jakarta Timur pada 2024. Diambil kembali dari katadata.co.id.
BPS. (2023, Agustus 13). Jumlah Lembaga Sarana Dakwah Provinsi DKI Jakarta Tahun 2023. Diambil kembali dari jakarta.bps.go.id.
Kiki, R. Z. (2022). Genealogi Intelektual Ulama Betawi (Melacak Jaringan Ulama Betawi dari Awal Abad ke-19 sampai Awal Abad ke-21. Jakarta: Jakarta Islamic Center.
Alaydrus, S. M. (2009). Agar Hidup Selalu Berkah. Bandung: PT. Mizan Pustaka.
Sunanto. (2020). Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya (Biografi dan Pemikirannya). Pekalongan: Penerbit Nem.
Jati, W. R. (2021). Politik Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Zuhri, D. (2013, September 15). Habib Munzir Idola Anak-Anak Muda. Diambil kembali dari news.republika.co.id.