DONASI

Kematian yang Penuh, Ada Magma dalam Tubuhku. Catatan atas The Death of Dance oleh Fitri Setyaningsih

Kematian dance dikabarkan terjadi di Sakatoya Collective Space, padukuhan Jaranan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kematian itu digelar melalui sebuah pertunjukan bertajuk The Death of Dance oleh...

ESAI | WEDNESDAY, 30 JULY 2025 | 20:36 WIB

Kematian dance dikabarkan terjadi di Sakatoya Collective Space, padukuhan Jaranan, Panggungharjo, Sewon, Bantul. Kematian itu digelar melalui sebuah pertunjukan bertajuk The Death of Dance oleh Fitri Setyaningsih. Saya tiba, disambut untuk mengisi catatan registrasi ulang, mendapatkan masker dan gelang pita berwarna hijau, lalu menjalin obrolan hangat dengan teman-temanku yang lebih dulu tiba. Saya tidak begitu mengenal sesuatu bernama dance itu. Namun, jika kita mengandaikan Sakatoya sebagai rumah duka atas dance, mengapa tidak ada kemurungan, kemarahan, atau air mata untuk dance yang konon tewas malam itu, seperti kematian-kematian lain yang pernah kutemukan? Siapa gerangan dance itu dan mengapa ia diperlakukan seperti bajingan yang begitu dibenci?

Sebelumnya, perlu diterangkan lebih dulu, bahwa yang mati di sini adalah dance, seperti tajuk yang Fitri ajukan, dan bukan tari, joget, dansa atau gerak (untuk pertanyaan atas beda antara konsep-konsep itu, saat ini penulis memilih bersikap agnostik!). Dalam khazanah Bahasa Inggris (sebagai bahasa kolonial paling dipercaya hingga hari ini dan dengan begitu cukup valid membicarakan politik maknanya atas seni), dance punya makna yang ramping. Sebagai kata kerja, ia berarti to move the body and feet to music. Sementara itu, sebagai kata benda, ia berarti a particular series of movements that you perform to music or the type of music that is connected with it. Bagi kamus resmi itu, tubuh, bersama musik atau sonik, adalah medan utama dari dance.

Sementara itu, pada kenyataannya, kita melihat praktik dan pandangan dunia atas dance atau dans yang meletakkan karya-karyanya dalam persimpangan antar berbagai macam wahana seni dalam bentuk-bentuk yang koreogras, yaitu, kalau boleh saya mengartikan dan bukan membatasi pandangan dunia, berupa komposisi tubuh dan struktur gerak dalam ruang-waktu sebagai materi atau meta-materi. Dance telah terlampaui oleh dirinya sendiri. Kita bisa menyaksikan beberapa dance, pertarungan pandangan dunia, dan komposisi koreogras dari beberapa karya yang ada, seperti Yvonne Rainer. 

Trio A – Yvonne Rainer

Yvonne Rainer, kita tahu, adalah salah satu dedengkot dance abad 20 yang dikenal atas karya-karya eksperimentalnya dan NO Manifesto1 yang diterbitkannya pada tahun 1965. Masa-masa hangat bagi pergerakan seni konseptual di Amerika Serikat. Pemberangusan pemikiran komunisme dan sosialisme di dunia, termasuk Indonesia. Tren pembongkaran bahasa dalam skena DWEM (Dead-White-Euro-American-Male) di Utara, seperti Wittgenstein Awal-Akhir. Permulaan peningkatan kepunahan-kepunahan hewan berkat laku antropogenik. Pemanggangan dunia-dunia. Di masa itulah, pemikiran Rainer atas dance lahir.

NO Manifesto, seperti bayi yang belajar bicara, berkata tidak terus-terusan pada tatapan lazim atas dance dan memulai semua hanya dari reruntuhan dance yang tersisa dari negasi-negasinya, yaitu tubuh, gerak, dan kemungkinan-kemungkinan spasial yang lebar. Dalam Trio A, karya dance awal Rainer pasca-NO Manifesto, tubuh tidak terbatasi oleh dramatika sonik yang menyetrap gerak seperti yang dibilang kamus, melainkan melintasi ruang dalam repetisi gerak yang berikhtiar dengan negasi-negasi konsepnya dari manifesto. Dance, bagi Rainer, seolah tidak lagi begitu peduli pada materi sebagai suatu kebenaran, seperti plot, logika-dramatika Aristotelian, dan penyetrapan imperialisme Amerika Serikat yang ditempel-tempelkan pada tubuh, melainkan berasal dari dalam, dari tubuh, dari subjek yang mengalami dunia.

Setelah Rainer, diakui atau tidak, dance kontemporer mulai meleraikan sesuatu di luar tubuh dan hadir tanpa embel-embel representasi yang kokoh (bayangkan tembok batako yang menghalangi pintu rumah). Dance melesap ke dalam tubuh dan ketakberhinggan koreograsnya, melentingkan konsep kemanusiaan kepada kekosongan bernama tubuh yang menegasi kenyataan linguistik dance dalam darurat kuncitara tubuh oleh trauma dan kepalsuan-kepalsuan pasca-perang, seperti kematian yang Fitri Setyaningsih ingin hadirkan di Sakatoya malam itu.

Kematian ini adalah penutup dari salah satu program Komunitas Sakatoya tahun ini, yaitu Ruang Dalam Project 2025: An Ecology of Blur, sebuah platform pertunjukan yang mempertemukan seniman bersama audiens dengan jumlah yang terbatas. Kerangka kuratorial putaran pertama platform ini, yaitu ekologi blur, menandai dunia dan tubuh yang mengalami di dalamnya sebagai yang kabur, tak tuntas, tak biner, tak pasti, tak bebas dari saling bentuk, rembes, dan interupsi. Bagaimana blur membaca kematian dance? Atau, kalau boleh membacanya dari aspek kebahasaan, bagaimanakah blur dan Fitri Setyaningsih melihat Alam Semesta yang tidak lagi bisa berpusat pada kemanusiaan, imbas gugatan Rainer dan pemikiran sekawanan DWEM pasca-Perang Dunia II itu atas konstruksi kenyataan linguistik yang gempa dan runtuh?

Fitri, seperti Rainer, hendak bermain-main dengan kehampaan. Saya mengikuti semacam-lokakarya bersama Fitri di Sakatoya, sehari sebelum pertunjukan. Di lokakarya itu, ia menjelaskan semacam-metode yang sedang diujicobakannya. Mungkin lebih dekat disebut sebagai paradigma, ketimbang metode, karena skema materialisasinya yang mengarah ke dalam diri. Saya menyebutnya, Paradigma Empat Elemen, yaitu proses menyadari (eling) atas elemen dasar dalam diri. Elemen-elemen itu antara lain adalah api, tanah, air, udara. Teks-teks di luar diri seperti dilepaskan, peserta semacam-lokakarya itu diminta untuk menggerakkan elemen dalam tubuh itu. Tubuh, bagi Fitri, adalah alam itu sendiri yang hampa bahasa, hanya memori-memori primordial. Dengan kata kunci memori primordial ini, saya hendak mengajak Anda membaca dance dari Fitri dan kematiannya dari perspektif Sunda yang saya alami sejak belia.

Saya mau menceritakan kematian ini tanpa terburu-buru, seperti Rainer dan Fitri, memposisikan catatan tanpa banyak perantara broker makna dan pantulan spektakel tekstual. Menjelang pertunjukan secara resmi dimulai, percakapan-percakapan kecil antara saya dan teman-teman dibuka dengan pertanyaan tentang guna masker gelang warna hijau atau merah di pergelangan kami. Obrolan itu memunculkan lelucon-lelucon kurang lucu, spekulasi-spekulasi berantakan, dan dugaan-dugaan aneh tentang kemungkinan yang akan terjadi beberapa waktu ke depan. Jika dance mati, apakah dia dikubur, dibakar, atau diawetkan? Apakah gelang ini bentuk variasi partisipasi, seperti tren artistik belakangan seputar politik kewargaan, pseudo-historiogra, dan sebagainya? Gelang merah untuk membakar dance, gelang hijau untuk mengubur dance, dan masker untuk mengantisipasi bau busuk dari dance yang terawetkan? Pertanyaan itu kami simpan setelah gelaran. Tak lama kemudian, Galuh Putri, sebagian dari Sakatoya, mengumumkan pertunjukan akan dimulai dan mengajak audiens ke ruang utama pertunjukan di atas. Namun, rupanya lelucon buruk kami gagal.

Tidak ada prosesi pemakaman dance malam itu. Kursi-kursi ditata dalam dua bagian, kursi hijau dan kursi merah. Audiens duduk di kursi dengan mencocokkan warna gelang mereka dengan warna kursi. Ada sonik dan gema yang berat, ada juga kesunyian yang datang dari diamnya orang-orang, ada suhu dingin dari air conditioner, ada aroma dupa. Vibesnya kematian banget bjir. Debu-debu menghampar persegi panjang dengan tengkorak mungkin primata, Fitri Setyaningsih, bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, dan cahaya. Partikel cahaya itu, seperti konstelasi tata surya, menabrak dari pusat medan bintang ke material-material di sekitar dalam keberbatasan jangkauannya. Kontur debu yang tumpah persegi panjang itu membentuk bias bayangan, begitu juga kepada tengkorak, Fitri, Bayangan Fitri yang Luluk Ari Prasetyo, penonton, kursi-kursi plastik merah dan hijau. Saat itu, saya belum melihat mereka, baik kematian atau dance. Di manakah bajingan yang tewas itu?

Sepanjang pertunjukan, saya mencari kematian. Pertunjukan dimulai, Fitri menari bersama Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo dan aktan-aktannya yang lain. Gerakannya sekilas repetitif. Putaran terus-menerus, searah jarum jam. Debu menyebar ke mana-mana karena gerakan-gerakan itu, dan cahaya menabrak debu untuk memastikan keberadaan inderawinya untuk manusia. Sonik menggema di ruangan lantai dua Sakatoya itu, seperti sedang gempa rasanya, tetapi tidak ada apa-apa, tidak ada ketakutan, hanya ada pertunjukan itu, penonton, kru, dan seperti-kematian di sekeliling kami. Bayangan yang dikerjakan oleh cahaya dan tabrakannya atas materi di sekitar mencitrakan materi sebagai bias yang berubah sepanjang waktu. Pertunjukan diselesaikan ketika Fitri Setyaningsih hendak memberikan tengkorak yang digenggamnya sejak mula kepada Bayangannya yang Luluk Ari Prasetyo, lalu lampu mati, dan orang-orang bertepuk tangan. Dan saya masih belum menemukan kematian, dance begitu sehat wal afiat dan bugar. Siapakah yang mati dari dance itu?

Sebagai seorang separuh Sunda dan subjek-terpapar monoteisme sepanjang hidup, saya membaca kematian dance pada The Death of Dance dalam gerak bandul antara dua paradigma, yaitu kosmologi dan religiositas alakadarnya. Tatapan religiositas alakadarnya menggiring saya menanti kematian datang. Bagi monoteisme, apalagi Samawi, roh sering disejajarkan pada pribadi, sehingga kematian berlaku gaplokan ganda (double hit) pada roh dan sik. Tubuh yang tak mati, begitu juga Alam Semesta, selalu mengandung Roh, tubuh fana, Roh akan kembali kepada Yang Esa dan kekal.

Sementara itu, dalam kosmologi Sunda, seperti yang ditafsirkan Stephanus Djunatan dari pantun-pantun (Mundinglaya Dikusumah dan Eyang Resi Handeula Wangi) dan manuskrip kuno Sewaka Darma, tubuh, begitu juga Alam Semesta, begitu juga dance, atau segala sesuatu, adalah tentang pertumbuhan, pencerahan budi, peziarahan lintas-semesta (dari Puncak Dunia atau Nirwana hingga Ambang Maut dan sebaliknya) dalam metafora gunung2. Tubuh, ruang, dan waktu adalah proses kemenyeluruhan semesta (baca: gerak naik-turun lintas-semesta) dari setiap mahkluk untuk bersama-sama pergi pada pencerahan dan peristiwa moksa, seperti anarkisme primordial yang bergerak dalam partikel-partikel penyusun buana.

Diagram1. Kosmologi Sunda berdasarkan Sewara Darma tafsiran Stephanus Djunatan

Dalam masyarakat Sunda kontemporer, pengetahuan itu tidak banyak hadir, terutama setelah monoteisme datang. Saya menemukan reruntuhannya dalam laku-laku sosial, seperti nganteuran atau nga-hyang yang masih terjadi belakangan. Nganteuran, khususnya dalam masyarakat Sunda di Cibarusah, dilakukan dengan mengantarkan ayam bekakak ke orang tua, diadakan sebelum dan sesudah Ramadan. Sementara nga-hyang adalah menjadi tak-terlihat. Praktik menghilang itu masih dilakukan salah satunya oleh saudara kakek saya, namanya Karung, dia seorang Betawi, dan bisa menghilang ketika dikejar-kejar tentara kolonial setelah mencuri uang untuk dibagikan ke masyarakat miskin. Ketahanan pengetahuan itu turut didukung oleh konsep hirup atau kahirupan dalam leksikon Basa Sunda yang berarti proses segala sesuatu tumbuh, bergerak, dan hancur. Djunatan juga membandingkannya dengan Sewaka Darma yang merumuskannya secara berbeda dalam anotasi 65.

“Sebab utuh tanpa dengar 
Sebab hampa tanpa wujud 
Kepada yang halus tanpa kurungan dan lembut 
Tak memiliki badan kasar 
Tak bersua dengan salah 
Tak bercampur baur 
Tak dinikmati dan tak dibiasakan 
Tak ada kerabat tak ada orang lain”

Tubuh, seperti hirup, bukan sekadar kekosongan total, melainkan juga inti “kekuatan, kemampuan, atau sumber dari segala sesuatu yang ada”. Dalam The Death of Dance, seperti Trio A, atau karya-karya tubuh yang presence (hadir) lain tanpa broker makna seperti Jérôme Bel, Contact Gonzo, atau William Forsythe, tubuh adalah hirup yang adalah pengetahuan pada dirinya sendiri. Dengan begitu, dance di sana tidak lagi mengalami kematian seperti yang dibayangkan juga oleh sobat-sobat monoteisme, tetapi suatu kematian yang penuh. Kematian yang berasal dari segala sesuatu yang ada dari dance, yaitu hanya tubuh, ruang, dan sejarah elemen dasar. Seperti ada magma dalam tubuhmu yang tak dapat teruraikan lagi, suatu pemenuhan dari yang lenyap dan lesap. Dance mengalami kematian, dan dengan begitulah ia ada, hadir, kethok.

Dance yang modar itu seperti sedang begitu dicintai dan diziarahi bersama-sama oleh setiap material yang menyatu di Sakatoya malam itu. Apakah audiens juga sedang melakukan dance kepada dance, yaitu kematian yang penuh? Eh, tadi kursi hijau dan merah maksudnya apa, ya?

Referensi

[1] NO Manifesto oleh Yvonne Rainer tahun 1965.

[2] Kekosongan yang Penuh: Sebuah Tafsir atas Kosmologi Sunda oleh Stephanus Djunatan, dalam Jurnal Melintas Vol. 29 No. 3 Tahun 2013.

1176

Darryl Haryanto

Darryl Haryanto adalah seniman pertunjukan, dramaturg, dan penulis. Hidup di Yogyakarta/Bekasi. Kerja-kerja artistiknya banyak mengoplos materi dan narasi teknologi kekuasan dalam segala sesuatu. Sehari-hari bekerja serabutan lain sebagai editor buku anak, pembuat-buku, juru masak, penjaga toko buku dan perpustakaan independen, dan kakak rumah tangga.

Comments are closed.