Lyan, panggilku. Satu nama yang barangkali tidak akan teridentifikasi pada catatan Nomor Induk Kependudukan saat kita mau berepot-repot mencarinya di kantor desa setempat. Lyan, begitulah kami mengenalnya. Nama yang muncul dalam lingkar keakraban kawan-kawan tenaga migran. Suatu tempat yang barangkali mendewasakan kami dengan rupa-rupa, gelombang kesulitan hidup, warna, pun gemilang kekayaan karena kami telah menukarnya dengan keringat dan waktu untuk jauh dengan keluarga.
Seperti kawan-kawan yang lain, Lyan adalah salah satu perempuan yang datang dari pelosok tanah air Indonesia. Dan, seperti halnya perempuan pekerja migran lainnya, ia adalah cahaya yang menerangi rumah-rumah keluarga yang ditinggalkannya.
Lyan bukan gadis malang. Ia adalah hal umum yang kerap kalian temukan dalam realitas kehidupan. Lyan adalah hal nyata, perempuan pada umumnya yang menjadi garda penyeimbang kebutuhan keluarga di kampung halamannya. Bagaimana kemudian keadaan menggiring Lyan dan tubuh-tubuh perempuan lain menjadi tulang punggung bagi kehidupan dan masa depan.
Lyan dan perempuan migran pada umumnya adalah perempuan giat dengan segudang optimisme dan militansi dalam mengejar harapan. Tapi cerita ini adalah hal khusus; ia hanya untuk “Lyan” sahabatku.
***
Cuaca dingin tenggelam dalam kalut-kalut keadaan. Ia habis dilumat arogansi pikiran akan cara-cara menyiasati hidup. Dingin tenggelam dalam sesak. Yang ada hanya tuntutan yang meringkus gerak. Tak ada kebebasan lapang bagi kemiskinan. Setiap sendinya adalah batasan dan sekap yang menunggu kemampuan untuk melawan. Lalu Lyan? Lamat-lamat, seorang bocah menampakkan dirinya tumbuh menjadi gadis yang siap menapaki jalan panjang kehidupan yang tidak bisa ditebak.
Gadis itu menjalani hari-hari sebagaimana remaja seusianya. Lahir dari keluarga biasa yang menggantungkan hidup pada ketidakpastian cuaca. Tumbuh menjadi cerdas, ceria, semangat, dan satu yang tidak lewat: ia memiliki cita-cita.
Cita-cita mulia gadis desa umumnya sederhana. Selepas menamatkan sekolah, cita-cita mereka hampir sama: mengganti semua atribut masa muda dengan jalan panjang memperbaiki ekonomi keluarga. Cita-cita yang begitu mulia bukan?
Bagiku, Lyan dan kawan-kawan di desanya bagaikan gemintang yang menghiasi malam. Saat perjumpaan pertama, Minggu yang terik di atas hamparan hijau Victoria Park, ia mengenalkan nama dan alamat asalnya. Lyan. Nama kecil yang membuat pertemanan kita sebagai sesama pekerja migran semakin akrab.
Selalu saja, aku melihat Lyan begitu ceria dalam bercerita. Tentang dirinya yang bahagia dan keluarga yang ditinggalkannya. Namun aku menangkap ada sisi redup yang coba menemukan kata hibur atas perilakunya.
Lyan sendiri adalah cerita pencarian tentang dirinya sendiri yang belum tuntas. Ia adalah keterasingan diri dalam perenungan menemukan rasa hangat dari sekeliling. Ia adalah sulung yang memilih menjadi tenaga migran demi keluarga dan adik-adiknya di kampung. Maka, saat letih menemukan muara resah, ada bahu yang sebenarnya ingin dipakainya bersandar, namun ia memilih memakai bahunya untuk terus tegak sebagai sandaran.
Benar saja. Ia bukan hanya pahlawan devisa bagi negara. Ia pahlawan sesungguhnya dalam keluarga dan keberhidupannya. Kini, rumah Lyan begitu bagus, sepeda motor model terbaru, adik-adik yang sekolah tanpa bingung biaya, beberapa ladang terbeli dan kiriman bulanan yang ia suplai buat keluarga mampu memupuk subur penghidupan layak karena kehidupan bermasyarakat memang tidaklah gratis. Ia tidak sendiri, perempuan-perempuan muda di desanya umumnya adalah para tenaga migran yang berhasil memperbaiki taraf hidup keluarga. Perputaran ekonomi yang demikian lambat dari hasil pertanian menggiring kesempatan perempuan menembus dinding globalisasi.
Tenaga kerja migran kini begitu mengemuka membuka kesempatan bekerja ke negara luar, yang mengimplikasi terserapnya tenaga perempuan untuk mengisi ruang-ruang berupah dan menjadikan mereka pahlawan devisa. Ah, kita sedang membahas Lyan sebagai perempuan mandiri dalam keluarga, bukan ia sebagai keseluruhan masyarakat yang menyumbang pemasukan buat negara. Maka membicarakan Lyan sebenarnya membicarakan perempuan, waktu, tenaga, dedikasi dan pembuktian bahwa kerja-kerja perawatan yang kerapkali dianggap bukan keahlian adalah sesuatu yang dihargai dan bernilai gaji.
***
Lyan bukanlah bunga pajangan yang layu di jambangan. Lyan mekar menebar semerbak kesetaraan memperoleh hak untuk menjadi pekerja yang layak diberi nilai. Ia membuktikan bahwa perempuan adalah kesejatian diri yang mampu mandiri. Bukan karena label perempuan, tapi karena ia manusia merdeka.
Pada gilirannya, ia menendang tabir keterikatan pada tradisi-tradisi ketergantungan pada pola menengadahkan tangan. Ia bersama yang lain mencukupi diri dengan tenaga dan waktu yang ditukarnya dengan rupiah. Lyan menjadi sekelumit narasi yang dapat kita baca bukan karena seharusnya ia, tapi lewat keseluruhan makna.
Dan hari ini, matanya menjadi saksi atas kepedihan yang teramat. Ia berduka karena kehilangan dalam arti yang sungguh. Kehilangan dalam pendar temu yang sebenarnya telah lama mengajarinya mengenal rindu, belumlah pedih. Kini kepedihan yang teramat memilih hadir. Kabar bahwa ibu yang disayanginya dalam kasih seorang anak telah pulang ke rumah Tuhan karena sakit tahunan. Perempuan itu telah menukar waktu temu dengan pendapatan dan keberhasilan yang ia persembahkan demi kehormatan orang tua, namun kini menyisakan kesedihan bahwa ibunya telah tiada.
Dia tersungkur dalam tangis, jauh dari keluarga, jauh dari harapan untuk ikut memikul beban kesedihan sanak keluarga, bapak dan adik-adiknya. Ia berduka dalam duka yang teramat pedih sebagai anak perempuan yang kehilangan ibu. Kabar yang ia terima sore ini seperti suara angin yang berhembus halus, tapi melukai perasaan. Sore itu, ia mengetahui, lalu ia lunglai.
“Iya, Nduk. Sing sabar. Ibumu sampun kepundut mau awan,” ucap bapaknya dalam sambungan video call.
Jawaban yang semula ditunggu, justru membuat runtuh puing-puing harapan Lyan. Isak tangis pecah. Kepergian telah menjadi jurang pemisah untuk memeluk ibunya secara nyata. Wajah perempuan itu tiba-tiba membayang dalam lamunan Lyan, wajah yang dulu mengantar pamit di bandara saat ia berangkat ke luar negeri, bayang-bayang ibu Lyan yang teramat ia rindukan.
“Sing iling Nduk, uwes ojo panggah nangis,” lanjut bapaknya menenangkan dari kejauhan.
Waktu bergerak lambat. Kematian adalah satu dua kehilangan yang melekat pada keseharian saat hidup berdampingan. Begitulah, meskipun nyatanya kematian kerap datang dari sanubari manakala harapan tak sesuai realita kita.
***
Di antara gundukan resah dan pekerjaan penuh waktu sebagai tenaga migran, Lyan berusaha mengambil izin cuti pulang kampung beberapa pekan. Kematian ibunya adalah alasan dari kehendaknya pulang kampung sementara waktu dan dua minggu adalah waktu kesepakatan yang didapat dari majikan. Pulang menemui kenyataan dan memungut ketenteraman, karena selain keluarga yang ada, di kampunglah jenazah ibunya dimakamkan dengan duka cita mendalam.
Lyan menyeka sesak, menyadari usia terus merangkak, dan kerapkali perpisahan justru hadiah paling nyata dari harapan bertemu. Tak ada yang disesali dari kepergian yang telah menjadi garis pisah antara dia dan ibunya. Yang ia miliki hanya kesiapan untuk melanjutkan hidup, merawat yang tersisa dan mewujudkan harapan-harapan lain.
Terik menyengat di seluruh jalanan. Langit biru cerah tergambar di atas perkampungan. Tapi pandangan Lyan seolah gelap karena kesedihan hati yang membayang karena kehilangan. Di pusara kamboja gugur di atas nisan ibunya, sehelai-dua helai jatuh, yang basah tinggal sementara yang kering terbang terbawa sapuan angin. Kini tubuh Lyan sampai di pusara makam ibunya berada, bunga kenanga ditabur. Resah yang disimpan menggelayut dalam do’a-do’a.
“Ibu damai di sana,” ucapnya dalam pejam khidmat do’a tulus kehilangan seorang anak.
Sepoi angin hadir menyentuh kulit, menandai perjumpaan dua alam yang saling mengasihi, dan menjadi ikrar kasih yang tersatukan kembali. []
*Ilustrasi diambil dari https://www.wallpaperup.com/311342/women_abstract_black_sketches_Alex_Cherry.html