DONASI

Cerita Hantu Sebagai Politik Ingatan

Saya belum terlalu lama mengikuti konten-konten di kanal media sosial Gen Alfarizi, tapi saya cukup menyukai pendekatan yang ia tawarkan untuk membongkar mitos-mitos hantu atau...

WEDNESDAY, 20 AUGUST 2025 | 10:47 WIB

Saya belum terlalu lama mengikuti konten-konten di kanal media sosial Gen Alfarizi, tapi saya cukup menyukai pendekatan yang ia tawarkan untuk membongkar mitos-mitos hantu atau demit dalam banyak folklor dan tabu-tabu di tengah masyarakat kita. Davin Asadel Alfarizi, si pemilik akun, beberapa kali menjelajah tempat-tempat yang kerap dianggap angker bareng adiknya, sambil memberi edukasi berbasis temuan sains atas apa-apa yang oleh warga kerap dianggap ‘penampakan’ atau segala hal yang menjadi tabu dan tak pernah dipertanyakan.

Ia juga cukup rajin memproduksi konten yang menjelaskan secara rasional fenomena-fenomena yang bagi kebanyakan orang dipandang sebagai kejadian di luar nalar, misalnya, seperti kesurupan, ketindihan, dan cara kerja hantu yang menurutnya tampak menggelikan. Dengan pendekatannya, Gen Alfarizi praktis menjadi tandingan untuk para pedagang cerita-cerita hantu dan para pemburu hantu di kanal Youtube, yang selama ini kelihatan gampang saja meraup jutaan penonton dari berbagai kalangan.

Secara garis besar, saya paham konten-kontennya mengarah pada pemikiran yang kira-kira seperti ini: jangan mudah percaya terhadap narasi-narasi mistis atau klenik, apalagi menerimanya sebagai kebenaran tunggal, sebab sikap semacam ini bisa menumpulkan daya kritis dan membuat siapa saja rentan terhadap berbagai bentuk manipulasi sosial. Kasus-kasus penipuan oleh individu yang mengaku sebagai dukun atau guru spiritual, misalnya, saya pikir mengonfirmasi sisi kelam dari cara berpikir magis yang mudah menghadirkan ketakutan-ketakutan irasional dalam diri kita, dan pada gilirannya membuat kita memikirkan jalan-jalan yang cenderung irasional juga untuk menyelesaikannya.

Meski demikian, kenyataannya tidak semua audiens Gen Alfarizi bersepakat dengan apa yang ia sampaikan. Orang-orang yang cenderung tidak siap menampa keraguan yang terhunus ke arah keyakinannya, relatif membela cerita-cerita hantu atau berbagai fenomena klenik lain yang Alfarizi bahas. Sebagian bahkan meremehkannya sebagai bocah yang sama sekali tidak otoritatif dalam membahas perkara-perkara hantu. Sebagian lainnya mengetes ‘kepakaran’ bocah tersebut dengan menyodorkan kasus-kasus personal mereka, dan menuntut jawaban-jawaban rasional seakan-akan itu hal yang mudah belaka. Sementara penyelidikian yang saintifik jelas butuh waktu tidak sebentar, juga kedalaman memahami konteks.

Secara sikap, saya jelas tidak sepakat dengan netizen yang menyerang Alfarizi dalam dua cara tersebut. Bagi saya, upaya Gen Alfarizi sangat penting untuk menghadirkan diskusi-diskusi yang mengasah nalar kritis. Lagi pula, ia bukan pelopor pertama dan juga bukan sosok tunggal influencer jenis ini. Tapi sejauh ini, baik Alfarizi, maupun influencer lain yang kritis terhadap narasi-narasi supranatural, kebanyakan cenderung mengurusi perkara ada atau tidaknya hantu dan berusaha menjelaskan fenomena-fenomena supranatural secara saintifik, sebagai bagian dari peristiwa alam, misalnya.

Saya pikir, yang masih absen dari pembahasan Gen Alfarizi atau influencer lain yang berusaha menelaah cerita-cerita hantu secara kritis adalah melihat bagaimana fungsi cerita hantu, atau menginterogasi gagasan mengenai hantu, di tengah masyarakat. Salah satunya dalam refleksi yang berkaitan dengan memori kultural atau ingatan sebagai praktik sosial.

Praktik Kenegaraan dan Kemauan untuk Dihantui

Saya percaya, banyak kisah mengenai hantu di negara ini yang merefleksikan kompleksitas relasi antara pemerintah atau negara dengan masyarakatnya. Jessica Auchter, dalam The Politics of Haunting and Memory in International Relations (2014), mempunyai argumen yang patut kita diskusikan dalam membicarakan ‘hantu’ dan kaitannya dengan negara.

Auchter mendudukkan hantu bukan melulu dalam pandangan dikotomis antara ada atau tidak ada, hadir atau tidak hadir, juga bukan entitas supranatural yang bisa dibuktikan atau tidak secara saintifik. Lebih jauh, ia memposisikan hantu sebagai ingatan yang menolak dilupakan dan terus hadir dalam ‘ketidakhadirannya’. Dan ingatan tersebut bisa menubuh dalam banyak bentuk, meskipun untuk esai ini saya akan secara spesifik menubuhkannya ke dalam cerita hantu. Dengan kata lain, gagasan Auchter secara tegas menyingung praktik kenegaraan yang memproduksi pengetahuan, atau wacana, mengenai siapa dan kelompok mana yang perlu ‘dihapus’ atau ‘diabaikan’ suaranya.

Untuk mengawali penjelasan saya mengenai hantu dalam praktik memori, saya hanya ingin menyinggung dua cerita hantu. Pertama, mengenai kisah hantu-hantu yang muncul dari kuburan massal korban peristiwa politik 1965. Kisah keangkeran kuburan-kuburan berisi mayat mereka yang dibantai karena berafiliasi dengan PKI atau ‘dituduh’ PKI itu juga menjadi ingatan yang terwariskan bergenerasi-generasi setelah peristiwa gelap Gerakan Satu Oktober—atau versi Orde Baru-nya Gerakan 30 September.

Jika kita menggunakan cara pandang Auchter untuk membahas cerita orang mengenai penampakan arwah-arwah korban trgaedi 65, penekanan kita bukan lagi pada kebenaran empiris tentang ke-ada-an mereka, melainkan pada fungsi sosial-politik dalam makna cerita tersebut. Bagaimanapun, korban tragedi 65 adalah orang-orang  yang pada masa Orde Baru dibuang, disingkirkan, dan dijauhkan dari kategori manusia yang layak hidup. Ketika rezim tersebut membangun pengetahuan atas otoritasnya, para korban tragedi 65 dikonstruksikan sebagai komunis yang membahayakan tatanan nasional, dan oleh karena itu penghapusan terhadap mereka memperoleh pembenaran yang resmi.

Sebagai upaya mempertahankan narasi sejarah versinya, rezim Orde Baru juga enggan mengakui mereka, membiarkan jasad-jasad korban tersebut tetap dalam kuburan massal yang tanpa nisan, seolah sengaja membuat mereka lesap begitu saja dan terlupakan dari ingatan kolektif kita. Namun residu atas tragedi tersebut rupanya bertransformasi dalam menantang kekuasaan negara: ia menjadi cerita-cerita hantu yang memediasi ingatan masyarakat dengan peristiwa pembantaian di masa lalu.

Kar-yen Leong dari Tamkang University, yang meneliti kisah-kisah supranatural di sejumlah situs tragedi 65, memberi gambaran kuat mengenai fungsi hantu dalam konteks ini. Setelah membaca papernya yang berjudul Letting the Spirits Rest: Reconciling Indonesia’s Past through Unseen Realms (2021), saya pikir kisah hantu pertama-tama harus didudukkan dalam pengetahuan lokal mengenai arwah. Misalnya, kita sering mendengar bahwa mereka yang mati dalam kondisi tidak wajar dan tidak mendapat jalan ritual menuju ketenangan, kemungkinan besar akan menjadi roh gentayangan yang menuntut dan mengganggu yang masih hidup, karena tidak mendapat tempat semestinya. Saat melakukan penelitiannya, Leong bahkan berhati-hati untuk tak menyebut korban sebagai hantu, melainkan arwah, karena istilah arwah lebih merefleksikan bahwa para korban adalah subjek manusia yang pernah punya nama dan kehidupan.

Pengetahuan terkait arwah tersebut, dalam praktiknya, memaksa masyarakat di sekitar situs tragedi 65 untuk mengingat melalui rasa takut sambil terus membayangkan peristiwa lampau mengenai penyiksaan dan pembunuhan mereka: orang-orang yang dituduh komunis. Tidak heran kalau situs-situs tersebut dianggap sebagai tempat angker yang kemudian membentuk sikap etis masyarakat untuk terus mengingat peristiwa 65.

Dengan demikian, praktik kenegaraan bisa dibilang tidak pernah berlangsung secara total. Ketika negara berusaha melupakan atau bahkan menghapus korban 65, residu atas peristiwa tersebut nyatanya selalu melawan dalam bentuk lain dan salah satu yang terkuat adalah melalui bentuk cerita hantu.

Dalam studi Leong, misalnya, kita akan mengetahui bahwa para juru kunci di situs-situs trgaedi 65 memainkan peran sebagai penghubung antara peristiwa kelam yang tersembunyi dengan masyarakat hari ini. Mereka konon sering berkomunikasi dengan para arwah untuk tujuan tertentu, termasuk mencari tahu nomor togel yang jitu untuk para penjudi. Namun dengan cara inilah, bagi Leong, para juru kunci turut menjadi penjaga “kehadiran” orang-orang yang telah hilang itu supaya tetap ada. Dengan kata lain, kisah-kisah hantu yang terus dituturkan ini memiliki fungsi sosial sebagai pengingat bahwa pernah ada peristiwa kelam yang berusaha dihapus dari sejarah serta ingatan kolektif masyarakat. Dan menurut Leong ini adalah praktik yang sangat politis.

Lewat riset Leong pula, kita juga dapat mengonfirmasi keterangan Auchter, bahwa hantu tidak bisa otomatis berbicara. Kehadiran mereka sering kali harus diperjuangkan oleh individu yang membuka diri untuk “dihantui.” Dan kesediaan “dihantui” dalam konteks Auchter, artinya membiarkan diri kita menghadapi hal-hal yang begitu dekat dengan kita, sehingga menyingkap kerentanan kita sendiri.

Misalnya, dalam melihat tragedi 65, hal yang paling dekat dengan kita adalah rasa kemanusiaan yang kita bagi bersama ketika membayangkan pembunuhan terhadap orang-orang di tahun tersebut. Sehingga, dengan rasa kemanusiaan itulah kita menjadi rentan: kita bisa merasa bersalah, malu, atau ikut terluka oleh ingatan itu. Jadi, “kesediaan untuk dihantui” adalah sikap untuk mengizinkan ingatan kelam tersebut hadir, bersedia menanggung beban emosional dan etisnya, sebagai upaya turut menyuarakan hak para korban, melampui waktu dan kematian mereka.

Cerita kedua berasal dari kampung saya sendiri, tentang seorang warga bernama Mbah Maryam (nama samaran) yang menjadi arwah penasaran dan menghantui sekolah saya. Ia dulu memiliki tanah luas yang kemudian dibeli pemerintah setempat untuk dijadikan sekolah dasar, tapi kemudian terjadi konflik dalam pembelian tersebut. Versi paling terkenal adalah Mbah Maryam merasa tidak terima karena pemerintah memberikan jumlah uang yang tidak sesuai dengan kesepakatan di awal. Perasaan tidak terima itu ia pendam sampai mati dan membuatnya gentayangan di sekolah yang berdiri di atas tanah tersebut—SD tempat saya menjalani pendidikan formal untuk pertama kalinya.

Saya tidak tahu awal mula bagaimana orang bisa percaya bahwa Mbah Maryam menjadi hantu, tapi yang jelas cerita tentang Mbah Maryam ini terus diwariskan dari masa ke masa jauh sebelum saya bersekolah di sana, sampai kemudian tersampaikan juga pada adik-adik saya. Kami semua tahu tentang cerita hantu Mbah Maryam, meskipun kami tidak pernah melihat penampakannya sebagai arwah penasaran.

Dalam hal ini, cerita hantu Mbah Maryam di desa saya juga memiliki fungsi yang sama sebagai bagian dari praktik memori. Kasusnya mungkin tidak seperti para korban 65 yang dihapus rezim Orde Baru dalam upaya membangun kekuasaan, tapi tetap saja kisah itu merefleksikan luka yang ditinggalkan negara di level lokal: tanah Mbah Maryam yang dibeli dengan harga yang tak sesuai kesepakatan menunjukkan bentuk pengkhianatan negara terhadap masyarakat sipil. Padahal, tanah itu hendak dipakai sebagai lokasi sekolah negeri, tempat generasi-generasi mendatang memperoleh pendidikan, termasuk mengenai akal-budi.

Cerita hantu Mbah Maryam menyorot ketidakadilan yang diperoleh masyarakat, menghadirkan kisah dramatik mengenai arwah yang terus melakukan protes bahkan setelah ia tak lagi hidup, dengan cara menghantui sekolah yang berdiri di atas tanahnya.

Mengingat: Sebuah Praktik yang Tak Pernah Netral

Sebagai sebuah laku yang politis, praktik mengorganisasikan ingatan bisa kita tempuh dalam banyak jalan, juga medium. Dalam hal ini, cerita hantu bisa menjadi bagian dari politik ingatan untuk melawan praktik kenegaraan. Dan setiap individu atau kelompok bisa menghadirkannya sebagai cerita rakyat yang terus diwariskan atau sebagai bagian dari ritual klenik yang memediasi masa lalu dengan masa kini. Bahkan, ingatan bisa kita organisasikan ke dalam karya-karya budaya pop seperti film, novel, musik, catatan-catatan akademis, atau dalam perbincangan-perbincangan podcast di berbagai kanal. Poin penting yang menjadi titik tekannya adalah bagaimana cerita hantu mampu membawa kita untuk melihat persoalan historis di baliknya dan, dengan itu, memberi kita refleksi kritis terhadap berbagai praktik ketidakadilan sosial di level-level kekuasaan tertentu.

Cerita hantu, dalam praktiknya, bisa menjadi pengingat bahwa ada praktik-praktik ketidakadilan yang berusaha dikubur, bahkan dihapus, oleh rezim tertentu atau di level kekuasaan tertentu. Jadi, buat saya, membicarakan cerita hantu sebaiknya tidak berhenti pada mana yang sains dan bukan sains, juga tidak berhenti pada soal modern dan tidak modern, open minded atau close minded. Terlalu fokus pada dikotomi semacam itu membuat kita rentan terjebak pada keengganan untuk memahami fungsi sosial cerita hantu yang kompleks.

Menurut saya, cerita hantu juga harus dipahami sebagai upaya praktik sosial, atau bisa juga dipahami sebagai medium bagi suara masa lalu yang terbungkam. Ia adalah bagian dari bagaimana langkah-langkah perlawanan diwujudkan, secara politis, sebagai masa lalu yang senantiasa hadir.

Referensi

Auchter, J. (2014). The politics of haunting and memory in international relations. https://doi.org/10.4324/9781315867021

Leong, K. 2021. “Letting the Spirits Rest: Reconciling Indonesia’s Past through Unseen Realms”. Journal of Archaeology and Anthropology 95: 135–176. https://doi.org/10.6152/jaa.202112_(95).0004

1957

Khumaid Akhyat Sulkhan

Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia yang menggemari topik-topik seputar kajian budaya dan media. Kadang-kadang menulis esai atau cerita fiksi sebagai medium eskapis. Novel pertamanya, Kronik Pembunuhan Selma, memenangkan juara kedua Penghargaan Sastra Rasa Ayu Utami 2025

Comments are closed.