Awal tahun 2025, Rick Steves, presenter acara-acara wisata dari Amerika merilis sebuah buku bertajuk On the Hippie Trail: Istanbul to Kathmandu and the Making of a Travel Writer [1]. Saya sempat membaca buku itu secara cepat, meski baru di bab pengantarnya saja di google book secara gratisan. Secara garis besar buku ini berisi kisah perjalanannya sewaktu masih muda, saat ia masih menjadi seorang penganut hippie[s]. Hippies adalah semacam gerakan kontra budaya di tahun 1960-1970an yang menyuarakan anjuran perdamaian, anti perang, dan kebebasan. Gerakan semacam ini menjamur di Eropa dan Amerika kala itu. Uniknya para penganjurnya kebanyakan merupakan anak-anak dari pensiunan tantara yang terlibat perang.
Komunitas hippies menyuarakan kritiknya terhadap operasi-operasi militer negara-negara adikuasa seperti Amerika, Rusia dan anggota-anggota NATO dengan cara traveling keliling dunia dengan bus sekolah (Thomas Bus) atau minibus Volkswagen yang dicorat-coret dengan graffiti bertemakan bunga dan alam. Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam). Mereka tertarik dengan praktik meditasi atau yoga dari agama-agama tersebut yang secara gamblang, jelas, benar-benar menawarkan makna kedamaian hidup yang tidak dimiliki negara-negara barat.
Selain menyuarakan aspirasi perdamaian, perjalanan yang dilakukan para hippies ini juga mereka maknai sebagai pencarian spiritualnya, sebab banyak hippies yang tertarik dengan ajaran hindhu, buddha, dan sufism (Islam).
Di Eropa titik awal perjalanan komunitas hippies ini dimulai dari Berlin di Jerman dan Amsterdan di Belanda, sementara di Amerika hijrah rombongan hippies biasanya ini dimulai dari San Fransisco dan New York. Sementara kota-kota yang menjadi tujuan para peziarah hippies ini adalah kota-kota yang memiliki akar spiritual yang kuat di ketiga agama ini, yakni Kathmandu (Nepal), Lahore (Pakistan), Varanasi/Delhi (India), dan destinasi akhirnya biasanya adalah Pantai Malabar di Selatan India. Kadang para peziarah ini ada yang mengambil perjalanan lanjutan hingga ke Chiang Mai (Thailand) bahkan Bali (Indonesia). Masifnya perjalanan para peziarah hippies di tahun 1960-1970an ke kota-kota suci di Asia kemudian membuat kota-kota di kawasan timur dunia ini terkenal dengan julukan Hippie Trail atau Jalur Hippie.
Tidak main-main dampaknya, gelombang gerakan ke timur ala hippies ini bahkan mampu menyeret nama-nama besar, salah satunya adalah The Beatles yang memulai perjalanan ke India di tahun 1968, bahkan George Harrison sang gitaris pun sempat dibuat terpukau oleh permainan gitar Ravi Shankar. Ada juga Steve Jobs sang pendiri Apple, yang mendapat ijazah spiritual dari Neem Karoli baba atau Maharaj-Ji. Selain itu, konon katanya orang-orang yang terlibat dalam perjalanan hippies di tahun 60-70an inilah yang kemudian kini seringkali disebut sebagai bule pelopor, yang membuka destinasi wisata di Nepal, India, Thailand, dan Indonesia (Bali).
Inspirasi Gerakan Hippies
Kembali ke buku Rick Steves, dalam buku tersebut ia berkisah tentang perjalanan “hijrah”nya melintasi Hippie Trail dari Istanbul (Turki) ke Kathmandu (Nepal) melintasi 6 negara yakni Turki, Iran, Afganistan, Pakistan, India dan Nepal. Saat memulai perjalanan ziarahnya ke timur, ia berusia 23 tahun, dan ia mengaku terinspirasi melakukan perjalanan tersebut dari Islam. Islam, menurut Rick Steves, dalam salah satu rukunnya menyarankan pemeluknya dari berbagai belahan dunia untuk menunaikan Haji sekali seumur hidup, yaitu melakukan perjalanan ke rumah Allah di kota suci Mekah, guna napak-tilas nabi-nabi terdahulu dalam menegakkan keimanannya. Sekali seumur hidup.
Melakukan perjalanan menjadi term kunci yang diletakkan Muhammad SAW dalam ajarannya, Islam. Bahkan saking utamanya makna perjalanan dalam ajaran Islam, Muhammad SAW pun memberikan umatnya teladan dengan melakukan perjalanan dari Mekah ke Madinah yang ia sebut Hijrah. Tak hanya itu ia pun menempatkan waktu pertama dimulainya perjalanan tersebut sebagai awal dimulainya perhitungan dalam kalender Hijriah.
Dalam ajaran Islam, haji dan hijrah tak semata hanya menjadi sebuah perjalanan traveling belaka, ia seharusnya menjadi perjalanan spiritual, perjalanan keimanan, perjalanan untuk mencari Allah, Tuhan-nya.
Di titik ini, Rick Steves dan para peziarah hippies terinspirasi dari Islam. Di level eksoteris (lahiriyah) memang benar perjalanan kaum hippies ke kota-kota di Timur jauh menjadi sebuah perjalanan pembuktian untuk melawan narasi negatif dari Barat, yang ditanamkan oleh orang tua-orang tua mereka, tentang kebengisan bangsa Timur, ketidak-beradaban orang-orang Timur yang layak untuk dibumi hanguskan, dibunuh, dan diperangi. Di sini dengan mereka melakukan perjalanan ke timur, mereka ingin membuktikan bahwa propaganda yang itu tidak benar, bohong, dan hanya dibuat-buat.
Dan, benar saja, tak hanya sisi kemanusiaan yang para peziarah hippies ini dapat dalam perjalanannya ke timur, banyak diantara mereka yang juga mendapatkan pencerahan spiritual. Tak hanya manusia yang mereka temui, ndilalah-nya mereka juga ketemu Tuhan pada level Esoteris (batiniyah)-nya.
Perjalanan Agung
Setelah mengulik beberapa video bedah buku Rick Steves di Youtube, saya kemudian teringat film lawas dari Perancis tentang Haji, yaitu Le Grand Voyage (2004). Film ini mengisahkan seorang pemuda keturunan Perancis-Maroko bernama Reda yang dimintai oleh ayahnya untuk mengantar sang ayah menunaikan ibadah haji. Mereka berangkat dari Perancis ke Arab Saudi tidak naik pesawat, melainkan dengan mengendarai mobil. Melintasi jarak 5.000 km lebih, melewati sembilan negara yakni Perancis, Itali, Slovenia, Kroasia, Serbia, Bulgaria, Turki, Yordania hingga akhirnya sampai ke Arab Saudi.
Dikisahkan selama perjalanan itu, mobilnya sempat di tumpangi orang asing, ayahnya sempat masuk rumah sakit karena kedinginan, ditahan diperbatasan karena visanya bermasalah, hingga uang sakunya sempat dicuri orang yang menjadi barengannya. Pokoknya banyak hal yang terjadi selama perjalanan itu. Hingga akhirnya ketika mereka memasuki perbatasan antara Yordania dan Arab Saudi, mereka bisa tenang karena ternyata banyak rombongan yang sama dengan mereka, pergi haji dengan menggunakan mobil. Setelah bergabung dengan beberapa rombongan kafilah yang juga ingin berhaji, beberapa orang dari rombongan sempat kagum saat mendengar kisah perjalanan Reda dan ayahnya yang menempuh jarak 5.000 km hanya demi berhaji.
Ada satu penjelasan menarik dari film lawas ini, saat adegan ayah Reda menerangkan padanya alasan mengapa ia memilih berhaji dengan mengendari mobil. Kurang lebih apa yang ayah Reda jelaskan adalah perihal esensi dari ibadah haji yang kini sudah banyak mengalami pergeseran, seiring dengan perkembangan teknologi transportasi. Dulu orang berhaji bisa memakan waktu berbulan-bulan lamanya, selama perjalanan itu mereka bertemu orang-orang baru, lingkungan baru, dan masalah-masalah baru, yang besar kemungkinan bisa menggoyahkan niat dan perhitungannya untuk sampai ke Mekah di bulan Dzulhidjah. Sebelum akhirnya bertamu ke rumah Allah, ujian jarak ratusan atau bahkan hingga ribuan kilometer akan menempa hatinya para peziarah haji terlebih dulu.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata. Menegasikan aspek transformasi keimanan yang di masa lalu terwadahi dalam ujian yang dinamakan “perjalanan”. Pesan ini cukup jelas ditekankan oleh tokoh ayah Reda dalam film Le Grand Voyage bahwa baginya perjalanan agung haji merupakan sebuah ritual transformasi keimanan yang harus ditempuh dengan melakukan perjalanan, setiap kesulitan yang dihadapi dan orang-orang baru yang ditemui sepanjang perjalanan adalah ujian keimanan yang menyati dalam ibadah haji ini.
Namun kini semuanya bisa diselesaikan dalam hitungan jam, dengan naik pesawat para rombongan haji pun dapat langsung menuju ke kota Mekah dengan cepat, praktis, dan efisien. Namun disitulah letak masalahnya menurut ayah Reda, kini haji yang menjadi rukun terakhir dalam ajaran Islam telah menjadi semacam kegiatan wisata rohani semata, yang menekankan pada aspek tujuan, hanya sekedar sampai ke tanah suci semata.
Pada titik ini, saya merasa ada satu benang merah antara gerakan perjalanan hippies dengan ibadah haji yang dikatakan sebagai ibadah penyempurna dalam rukun Islam, di mana dua-duanya sama-sama memaknai perjalanannya sebagai transformasi spiritual.
Pertanyaan sekarang, bagaimana kita selaku umat muslim hari ini memaknai perjalanan agung (red: Haji) dalam diri kita, yang kini telah disimplifikasi oleh pemerintah dengan sistem kredit ONH yang harus dibayar tiap tahun?
—
[1] Steves, R. (2025). On the hippie trail: Istanbul to Kathmandu and the making of a travel writer. Avalon Travel.