DONASI

Penjual Mainan

Udara sore sekitar makam Sunan Drajat terasa sejuk, meskipun suasananya tak jauh berbeda dengan pasar. Aku, seorang guru yang tak terlalu suka dengan hal-hal spiritual,...

LATAR | SUNDAY, 22 SEPTEMBER 2024 | 20:53 WIB

Farid Mustofa

Dosen Filsafat UGM

Udara sore sekitar makam Sunan Drajat terasa sejuk, meskipun suasananya tak jauh berbeda dengan pasar. Aku, seorang guru yang tak terlalu suka dengan hal-hal spiritual, mengamati sekeliling dengan skeptis. Kali ini, aku mengantar rombongan murid berziarah wali sembilan—ritual tahunan yang menurutku tak lebih dari acara jalan-jalan yang dibumbui takhayul dan mitos. Namun, sekolah memaksa, dan di sinilah aku, berdiri di tengah kerumunan orang yang datang dengan harapan kosong dan sia-sia.

“Kalian jangan terlalu percaya sama yang gaib-gaib. Ini cuma tradisi, tidak ilmiah,” pesanku kepada murid-murid menjelang turun dari bus.

Duduk malas di bangku kayu, menunggu mereka masuk ke makam, aku amati sekitar.

Makam Sunan Drajat berada di puncak bukit, dikelilingi pemandangan indah. Di bawah bukit hamparan sawah melandai jauh. Konon, dulu di bawah sana terdapat sungai purba yang membentang dari Surabaya, Demak, hingga Cirebon, yang digunakan wali sanga saling berkunjung. Tapi bagiku, cerita semacam itu tidak lebih dari legenda.

Nisan-nisan tua berserakan membawa kesan hampa dan purba. Warung-warung kecil berjajar di pinggir jalan, suara tawar-menawar  terdengar samar. Aku melirik jam tangan. Bosan. Suasana di sekitar, meski ramai menjadi tak menarik.

Di tengah kebosanan seorang bapak tua duduk di sampingku. Tangannya menjinjing mainan anak-anak. Ada gasing, kitiran, kuda-kudaan dan sebagainya. Penampilannya sederhana mengenakan baju surjan, celana longgar, dan iket kepala batik. Perawakannya kurus tapi sehat.

“Mainan, Mas? Buat yang  di rumah” suaranya parau.

Aku menatapnya heran. Tidak ada yang menjual mainan di sini.

“Mainan?” tanyaku sinis. “Di tempat begini kok jual mainan, Pak. Mestinya makanan.”

Bapak tua tidak mendengarku, ia sibuk merapikan mainannya. Tiba-tiba sambil lalu dia berkata.

“Hidup itu permainan, Mas. Kenapa tidak mainan?”

Kalimatnya klise tapi membuatku terdiam.

“Kisanak darimana?”.

“Jogja. Kalau sampeyan?” Ia bergumam tidak jelas. Aku juga tak tertarik tahu asalnya.

“Yang nyaman, santai, tidak usah ngeden, Mas..” katanya. Yang tidak nyaman apalagi ngeden itu ya siapa. Enak saja. Sok tahu.

“Wong urip iku..”

“Nama Bapak siapa?” tenyaku memotong.

***

“Drajat,” jawabnya.

Aku tertawa kecil, geli campur sinis.

“Hahaha, namanya seperti wali. Sunan Drajat?” candaku.

Bapak tua diam tersenyum kecil. Ia menatapku sebentar, lalu beralih ke nisan-nisan di sekeliling kami. Sorot matanya teduh, seolah melihat sesuatu yang tak kasat mata. Ada keheningan dalam sikapnya yang membuatku merasa tak nyaman.

Menjelang magrib, suasana berubah. Langit jingga di ufuk barat meredup gelap, dan udara terasa lebih dingin. Warung-warung mulai sepi, satu per satu pedagang menutup kiosnya.

Aku memandang ke arah bukit. Di balik sana, tampak kilapan air  mengalir perlahan. Hamparan sawah penuh genangan tiba-tiba berubah menjadi laut. Aku tertegun. Berkali mataku mengerjap tapi  tidak juga hilang. Sekarang bahkan jelas: lampu jalan menerangi perahu-perahu yang tertambat dan orang-orang berjalan di tepian.

“Pak, apa itu? Kok ada kapal?” tanyaku menuding jauh dan bingung.

Bapak tua, yang kini berdiri menggendong mainannya, tersenyum lagi.

“Itu pelabuhan. Perahu ke Demak sudah datang, saya harus berangkat.”

Jantungku berdetak kencang.

“Ke… Demak?” tanyaku terbata-bata.

Tanpa menoleh, bapak itu berkata pelan. Suaranya berat dan dalam.

Memangun resik, resiking ati, becik ketitik, ala ketara.

Saya terpaku. Kata-katanya sederhana, namun menusuk hati.

Tanpa berkata lagi, bapak penjual mainan beranjak menuruni bukit menuju dermaga. Di sekelilingku orang-orang bermunculan,  berdiri penuh hormat melepas kepergiannya. Aku heran memandangi mereka, yang  seperti peziarah namun auranya berbeda.

“Siapa itu?” tanyaku pada sebelahku. Ia menatapku heran. “Kamu benar tidak tahu? Itu Kanjeng Sunan.”

 “Sunan… Drajat?”

Tiba-tiba orang-orang di sekelilingku lenyap. Rombongan muridku, para peziarah, semuanya hilang. Yang tersisa hanyalah nisan-nisan tua  dalam remang gelap.