DONASI

Walisongo dan Islam Kultural

Walisongo adalah nama yang sudah sangat akrab dan menyatu dengan Islam di tanah Jawa. Sosok dan warisannya sangat dihormati kalangan Islam Tradisi. Bagi Islam Tradisi,...

LATAR | MONDAY, 3 SEPTEMBER 2018 | 07:58 WIB

Nur Kholik Ridwan

Pernah menjadi anggota PP. RMI NU dan Peneliti di ISAIS UIN Sunan Kalijaga. Karya yang pernah diterbitkan : Suluk Gus Dur : Bilik-bilik Spiritual Sang Guru Bangsa (2013); Negara Bukan - Bukan : Prisma Pemikiran Gus Dur Tentang Negara Pancasila (2018); dan NU dan Neoliberalisme ; Tantangan dan Harapan Menyongsong Satu Abad (2014).

Walisongo adalah nama yang sudah sangat akrab dan menyatu dengan Islam di tanah Jawa. Sosok dan warisannya sangat dihormati kalangan Islam Tradisi. Bagi Islam Tradisi, Walisongo bukanlah legenda, tapi kenyataan. Meski begitu, sebagian kecil kalangan Islam yang tidak menyukai Islam Kultural yang dikembangkannya mengkritik: pertama, walisongo itu dianggap mitos dan tidak ada, khayalan saja; dan kedua, sebagian mengkritik pengertian wali, sebagai orang muslim yang menjalankan perintah al-Quran dan sunnah, dan wali tidak benar kalau diberi pengertian majlis, dan akhirnya juga berujung Walisongo itu hanya khayalan.

Bagi kalangan Islam Tradisi, kenyataan Walisongo memang eksis berlandaskan pada argumentasi bahwa: Pertama, Makam para wali itu masih eksis hingga saat ini, Kedua, turun temurun diziarahi oleh umat Islam, dari mulai Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan lain-lain; Ketiga, keturunannya masih ada hingga hari ini, misalnya keturunan Sunan Drajat di Lamongan; Sunan Kalijaga di Kadilangu, Sunan Tembayat di bumi Mataram, dan lain-lain; Para kibar ulama dan auliya, di antaranya Gus Dur, sering bercerita, sering ditemui oleh Sunan Bonang, Pangeran Wa’dad, pengarang Suluk Wujil, dan pencipta beberapa jenis tembang macapat. Karya-karya para wali bahkan masih sering dirujuk hingga hari ini, seperti terdapat bebeberapa karya tulis yang ditulis salah satu Walisongo, di antaranya Serat Kaki Walaka yang hingga hari ini masih disimpan secara rapi oleh keluarga Kadilangu dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia; Kropak Ferrara yang dirampas-ditemukan para missionaris ke Italia, dan kemudian diterjemahkan ke Belanda dan bahasa Inggris oleh G.J.W. Drewes, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, merupakan karya Maulana Malik Ibrahim yang menjadi penanda literatur (baca : eksistensi para wali di masa awal islam masuk ke nusantara); Suluk Wujil yang dikarang Sunan Bonang, dan masih banyak lagi.

Walisongo itu adalah para penjaga marwah ke-Islam-an di nusantara yang eksis dari generasi ke generasi, generasi pertama adalah: Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M.), Maulana Ishaq, Maulana Ahmad Jumadil Kubro, Maulana Maghribi, Maulana Malik Israil, Maulana Muhammad Ali Akbar, Maulana Hasanuddin, Maulana Aliyudin, dan Syaikh Syubakir. Generasi kedua di antaranya adalah Ahmad Ali Rahmatullah yang mengajak Prabu Kertawijaya masuk Islam, sebagaimana tertulis dalam Kitab Walisono karya Sunan Giri, dengan langgam sinom, pupuh IV, bait 9-11, dan bait 12-14. Generasi-generasi berikutnya masih eksis hingga pendirian awal Mataram Islam, diantaranya Sunan Giri, Sunan Kalijaga dan Sunan Tembayat yang kala itu menjadi dewan penasehat kerajaan, dan masih banyak lagi para wali yang menyamar dimasa tersebut sehingga banyak yang tidak diketahui hingga hari ini.

Dakwah Islam Kultural/Islam Tradisi

Dakwah Islam kultural dilakukan oleh para wali (baca : auliya’ / kata jamak wali), yang dalam sejarah umat Islam mulai dilakukan oleh para wali setelah terjadi kekisruhan dan kekacauan pemerintahan militer Dinasti Umayyah yang sangat militeristik. Sejatinya fondasi kewaliyan memang telah diletakkan Nabi Muhammad di lingkaran Ahlussuffah di pojok serambi Masjid Nabi untuk mengimbangi kekuatan militer dan penegasan perlunya akhlak dan moral menjadi acuan hidup muslim kedepannya, oposisi kalangan sufi (baca : auliya’) berbentuk pendalaman batin dan pembersihan jiwa dengan mengajak orang masuk Islam secara damai dan membersihkan hati. Tradisi inilah yang sampai ke Jawa.

Di Jawa di dalam tradisi kitab-kitab kuno Jawa yang merujuk pada Jangka Jaya Baya, tradisi sufi (baca : para auliya’) yang muncul awal di nusantara di antaranya di bawa oleh Syaikh Syamsu Zain, dari negeri Ngerum, yang menjadi guru dari Prabu Aji Jayabaya (abad XI). Nama Syamsu Zain ini juga disebut bersamaan dengan Kitab Musarrar yang menjadi rujukan dari Jangka Jayabaya, dan masih dikutip-kutip hingga saat ini. Besar kemungkinan kitab ini adalah karangan beliau dan diajarkan di Kediri. Makamnya, oleh sebagian masyarakat disamakan dengan makam Maulana Syamsuddin al-Washil sebagai orang yang sama, di Setono Gedong, Kediri; tetapi juga ada yang menyebutkan di Tuban.

Tradisi Islam Kultural yang diajarkan oleh para wali menekankan pada kewaskitaan Islam dan kedalaman bathin Islam, dan nilai-nilai yang menjadi fondasi dalam membangun masyarakat Nusantara. Melihat pada karya Kropak Ferrara, aspek elementer syariat tidak ditinggalkan, tetapi nilai-nilai bathin Islam, pembersihan jiwa dan pengekangan hawa nafsu menjadi fondasi penting. Mencermati tradisi Islam Kultural para wali ini, di antaranya bisa dijelaskan:

Pertama, Islam datang dengan cara damai, hikmah, kebijaksanaan, dan menunjukkan keunggulan kewaskitaan Islam dan ilmu-ilmu bathin, baru kemudian diperkenalkan praktik elementer Islam.

Kedua, Islam datang dengan cara membikin fondasi-fondasi sosial dan membentuk cara berpikir masyarakat dengan ide-ide dinamis, sampai merata di seluruh penjuru nusantara.

Ketiga, Tradisi lama yang sudah ada dicoba dilanjutkan dan dikembangkan oleh para wali untuk membentuk manusia Jawa sebagai pribadi yang tuntas secara lahir bathin bahkan nilai-nilai itu lestari dan terjaga dalam bentuk tradisi yang masih eksis hingga hari ini seperti slametan, dan sejenisnya. Pada saat itu belum ada apa yang disebut abangan dan santri, semua orang jawa adalah orang Islam yang secara harfiah memiliki arti Selamat (baca : slamet / slam). Istilah abangan santri baru diperkenalkan belakangan untuk memecah kekuatan di kalangan Islam.

Keempat, Di kembangkan tatanan baru, istilah-istilah, dan kebudayaan baru yang lebih dinamis merespon gerak zaman. Di dalam karya-karya para wali kemudian muncul istilah suluk, menggantikan kakawin yang berkembang dari tradisi sebelumnya; kemudian muncul tembang yang menjadi fondasi dari tradisi macapat yang diciptakan para wali, sehingga muncul maskumambang, mijil, sinom, kinanthi, asmaradhana, gambuh, dandanggulo, dhurma, pangkur, megatruh, dan pucung. Sebagaimana disebutkan di dalam Serat Rama anggitanipun Rg. Josodipuro: “ Doek semana doeroeng ana Midjil, Pangkoer miwah Sinom, Dhandhanggoela Doerma Ian Kalanthe, Gambuh Megatroeh Maesa-langit, doeroeng ana lahir, kabeh tembang kidung” (Jasadipura, XXV: Mijil114); istilah-istilah kawula diimbangi dengan istilah masyarakat (dari bahasa Arab yang telah disadur ke Jawi), yang berarti gotong royong; diciptakan pula simbol-simbol pakaian Islam Jawa, dengan blangkon dan sorjan, sebagai baju takwa yang tidak ke-arab-arab-an; dan lain-lain. Baju sorjan dirancang dan dibuat Sunan Kalijaga. Berasal dari kata suraksa-janma, yang berarti menjadi manusia; dan berasal dari kata Arab sirajan, artinya pelita. Penggabungan ini menjadi Sorjan. Untuk baju sorjan yang umum bagi masyarakat dengan motif lurik, sebagai baju takwa pada masa itu, sebagai simbol kesederhanaan dan kemuliaan. Pada hari-hari ini, sorjan justru dipakai oleh para dhalang dan dilupakan kaum santri. Bentuk sorjan kedua, adalah motif batik, yang disebut Antakusuma, yang diperuntukan khusus untuk para bangsawan.

Tantangan-Tantangan

Islam Tradisi dan Islam Kultural menghadapi berbagai tantangan, di antaranya munculnya kolonialisme Belanda, dari sudut pengetahuan mulai di coba di netralisir satu sama lainnya, yaitu Islam dengan Jawa, dengan masifnya produksi karya-karya yang membiaskan dan memojokkan Islam oleh para sarjana-sarjana Belanda. Pemisahan Jawa dan Islam ini dilakukan dengan kajian-kajian intelektual yang serius, yang hasilnya masih eksis hingga hari ini yaitu terpisahnya antara santri dengan abangan sebagai sebuah identitas yang lain dan terbedakan. Kemudian diciptakan pula konsep-konsep lanjutan untuk memperuncing perbedaan tersebut, karya-karya intelektual sengaja dimunculkan dengan gencar sebagai kamuflase fondasi bagi orang Jawa tentang kajawaannya sebelum islam masuk, sehingga menjadi mudah untuk memisahkan Islam dari Jawa.

Munculnya dunia modern, yang dalam beberapa hal memusuhi aspek-aspek tradisi, dan gandrungnya generasi baru pada perkembangan modern dari Barat juga menjadi tantangan tersendiri bagi Islam Tradisi di Nusantara (baca : Indonesia hari ini). Kemudian munculnya Islam wahabi yang memusuhi tradisi dan menyerapah praktik-praktik umat Islam yang telah difondasikan para wali dalam bentuk tradisi yang merasuk dalam masyarakat (atau dengan kata lain bentuk islam yang tidak Arab), dengan maksud menghancurkan pertahanan kultural Islam Tradisi dari gempuran Pan Islamisme global kelewat batas, juga menjadi pekerjaan rumah yang tidak mudah bila dikerjakan sendiri oleh Islam Tradisi. Dan terakhir, munculnya generasi baru di kalangan Islam Tradisi yang lebih berorientasi ke Timur Tengah menyebabkan kehilangan kesinambungan dengan tradisi dan ilmu-ilmu dari para wali yang sebenarnya lebih aplikatif dari ilmu-ilmu impor tersebut. Demikianlah tantangan-tantangan yang harus dihadapi oleh Islam Tradisi hari ini yang bila dikatakan berat memang berat, namun ihwal tersebut merupakan tanggung jawab yang telah digariskan sejarah kepada Islam Tradisi yang sebenarnya ‘lestari’ di Nusantara (Indonesia) hingga hari ini, dan hal ini sebenarnya telah terbukti.

***