Zulhijah 1439 Hijriah, saya kadang bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dibayangkan oleh pemeluk agama lain tentang umat Islam yang menunaikan ibadah haji pada setiap bulan Zulhijah? Pertanyaan ini –mungkin– dulu juga pernah hadir dalam benak seorang pemuda Kristiani, kelahiran Oosterhout –Belanda– 138 tahun silam. Bila saya hanya terhenti pada sebuah pertanyaan, maka setahu saya pemuda itu berhasil menjawab pertanyaan yang sama dengan tuntas. Bahkan, jawaban yang ia peroleh, konon mampu menjembatani orang-orang sebangsanya untuk membayangkan satu hal yang sebenarnya sangat berjarak dengan mereka. Hal itu adalah Islam.
Pemuda yang memiliki pertanyaan yang sama seperti yang saya ajukan itu bernama Christiaan Snouck Hurgronje. Bila saya hanya iseng-iseng bertanya dan ujungnya, masih bingung untuk menjawab pertanyaan itu, maka bagi Snouck (baca: panggilan Christiaan Snouck Hurgronj) pertanyaan tersebut menjadi sebuah pertanyaan kunci dalam karya desertasi yang diberinya judul Het Mekkaansche feest (Festival Mekah). Melalui serangkaian penelitian serius selama enam tahunan terhadap teks-teks klasik berbahasa Arab, Snouck berhasil mempertahankan jawaban yang ia peroleh dalam sebuah sidang terbuka di Universitas Leiden, pada tanggal 24 November 1880.
Saya memang tidak setekun Snouck Hurgronje. Saya hanya membaca beberapa buku lalu menyerah karena semakin bingung menjawab pertanyaan iseng tersebut. Snouck jauh lebih unggul daripada saya, ia berhasil merasionalisasikan hubungan antara tradisi beragama kaum Yahudi dengan Ibadah haji yang diserukan oleh Muhammad, sang orang Arab itu. Tak berhenti di situ, Snouck bahkan berani menggugat dogma ketuhanan yang dipahami oleh umat Islam hanya untuk mendapatkan jawaban yang paling rasional dari pertanyaan yang berusaha ia jawab. Dan, ia berhasil (baca : sementara ini) melakukan gugatan itu.
Dalam Het Mekkaansche Feest, Snouck dapat menjelaskan secara lebih rasional bahwasannya Ibadah haji yang diserukan oleh Muhammad itu sebanarnya juga dapat dibaca sebagai sebuah strategi politik ketimbang hanya memahaminya secara taklid sebagai sebuah perintah agama yang dogmatis. Bagi Snouck, Muhammad adalah seorang ahli strategi politik yang ulung (Drewes, 1957).
Bila mengamati konteks historiografi dari Haji itu sendiri sebagai sebuah syariat (baca: Hukum yang wajib dilaksanakan dalam Islam), maka kita perlu mundur kebelakang untuk melihat kembali sejarah awal penyebaran agama yang sempat mengalami penolakan dari kalangan Yahudi di Arab. Banyak riwayat yang menceritakan bahwa penolakan tersebut, terutama dalam hadist-hadist khudsi. Terdapat satu fakta yang tidak dapat dipungkiri, bahwa Muhammad adalah seorang Arab (baca: suku pengembara), yang berbeda dengan orang-orang Yahudi pewaris sah kota suci Makkah. Dan, yang pasti ia (baca: Muhammad) jelas berjarak dengan tradisi keagamaan yang diimani oleh orang-orang Yahudi itu. Apapun yang akan dilakukan oleh Muhammad, ia adalah orang luar (the other/outsider) dalam perspektif orang Yahudi. Disinilah letak sisi politis dari sosok Muhammad, sang Nabi umat Islam itu. Apapun tindakan yang ia serukan akhirnya cukup rasional untuk didekati dengan perspektif politik (Hurgronje, 1917). Untuk mendapatkan kepercayaan orang Yahudi bahwa ia (baca : Muhammad) juga merupakan bagian dari mereka (baca : tradisi ketuhanan kaum Yahudi), maka tugas utama Muhammad adalah meyakinkan komunitas-komunitas Yahudi di Arab bahwa ia merupakan bagian dari mereka. Jelas strategi diplomasi harus ambil bagian di sini.
Ketika umat Islam yang dipimpin oleh Muhammad melaksanakan Haji untuk pertama kalinya (baca : menziarahi dua kota suci peninggalan nabi-nabi bangsa Yahudi) maka Muhammad sang orang asing itu pun segera mendapatkan pengakuan atas “Kenabiannya” dari bangsa Yahudi (Hurgronje, 1917; Drewes, 1957). Maka menjadi sangat rasional ketika seruan haji yang dibawa oleh Muhammad dibaca sebagai sebuah kebijakan diplomasi politik. Apalagi ketika seruan haji itu dilegitimasi dengan wahyu Ilahiyah yang didapatkan oleh Muhammad (baca: Surah Al Hajj yang berisi kisah mengenai pembangunan Kaabah oleh Ibrahim, Sang Nabi Yahudi) (Hurgronje, 1917). Disinilah letak rasionalisasi dari Ibadah Haji yang berhasil disusun oleh Snouck Hurgronje itu.
Melalui tesis tersebut, Snouck akhirnya juga mampu merasionalisasikan implikasi dari pengakuan yang diberikan oleh Bangsa Yahudi atas ketersambungan sanad dari Islam terhadap tradisi keagamaan yang diimani oleh Yahudi. Implikasi tersebut ia namai sebagai “Islamisasi” (hasil strategi diplomasi yang dilakukan oleh Muhammad). Setelah Islam memperoleh legitimasinya, proses Islamisasi akhirnya mulai masif terjadi di kota suci kaum Yahudi (baca : Makkah). Bahkan Kaabah yang terletak di pusat kota Makkah pun berhasil direbut oleh umat Islam. Tak hanya itu, beberapa situs keagamaan kuno yang terletak di daerah-daerah perbukitan di sekitar Makkah pun terdampak proses Islamisasi itu (Drewes, 1957).
Jawaban Snouck itu jelas diluar jangkauan saya, meskipun –baik saya maupun Snouck Hurgronje– mengawalinya dari sebuah pertanyaan yang sama, tetapi tetap saja Snouck Hurgronje-lah yang berhasil menjawab pertanyaan itu dengan bobot jawaban yang lebih berkualitas secara akademis. Het Mekkaansche Feest karya Snouck Hurgronje memberikan sumbangsih yang besar terhadap kajian Islam dan antropologi timur di universitas-universitas Eropa hingga hari ini. Bahkan sangat pantas bila karya tersebut dikatakan sebagai karya yang melandasi pandangan dasar para peneliti Eropa yang mengkaji Islam pada masa-masa berikutnya.
Snouck mungkin salah satu sarjana Eropa angkatan pertama yang sangat paham Islam –dizamannya. Dan, tak heran, jika dunia mengenangnya sebagai sosok antropolog termashur bila kita melihat kegemilangan karya-karya yang ditulisnya itu. Pun di sini, di Indonesia (baca: dahulu Hindia Belanda) Snouck Hurgronje juga menjadi tokoh kunci, ia menjabat sebagai penasihat pemerintah Hindia Belanda urusan keagamaan, melalui petuah-petuahnya-lah pemerintah kolonial akhirnya sepakat untuk mengontrol secara ketat arah perkembangan agama Islam kedepannya. Hasilnya: Perang Aceh akhirnya dapat diredam pemerintah, Voorstenlanden berhasil ditakukan, bahkan aliran-airan dalam Islam yang masuk ke Hindia-Belanda pun berhasil di-screening. Sadar atau tidak sadar, mungkin keislaman yang kita pahami hari ini –bisa jadi– merupakan produk politik agama yang telah dirumuskan oleh Snouck Hurgronje.
Referensi
Drewes, G. Snouck Hurgronje and The Study of Islam, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 113, 1957
Hurgronje, C. Snouck. Perayaan Mekah 1880 dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje, Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) Jilid I, Jakarta, 1995.
Hurgronje, C. Snouck. The Revolt in Arabia, The Knickerbockers Press G.P. Putnam’s Sons New York and London, 1917
Kuitenbrouwer, Maarten. Dan Harry A. Poeze (ed), Dutch Scholarship in The Age of Empire and Beyond, Koninklijke Brill Leiden – Boston NV., 2014
Low, Michael Christopher, “Empire of the Hajj: Pilgrims, Plagues, and Pan-Islam under British Surveillance,1865-1926.” Thesis, Georgia State University, 2007
Porter, Venetia dan Liana Saif, The Hajj : Collected Essay, The Trustees of British Muesum, 2013
Van Koningsveld, Pieter. S.., Conversion of European Intellectuals to Islam: The Case of Christiaan Snouck Hurgronje alias ʿAbd al-Ghaffār, dalam Muslim in Interwar Europe : A Transcultural Historical Perspective, Koninklijke Brill Leiden – Boston NV., 2016