DONASI

Wayang Tauhid

Saya kira, spirit yang lebih awal berkembang setelah Islam masuk ke Nusantara adalah spirit tauhid, mengingat pokok-pokok tauhid sedemikian rupa telah melebur menjadi satu dengan...

ESAI | THURSDAY, 5 DECEMBER 2019 | 19:57 WIB

Lamuh Syamsuar

Penyair dan Ketua Lesbumi PCNU Lombok Tengah. Buku puisinya, Topeng Labuapi, terbit di Rua-aksara, Yogyakarta, 2022.

Saya kira, spirit yang lebih awal berkembang setelah Islam masuk ke Nusantara adalah spirit tauhid, mengingat pokok-pokok tauhid sedemikian rupa telah melebur menjadi satu dengan hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat Nusantara yang memiliki karakter religius. Tidak terkecuali di aras seni dan budaya, seperti misalnya pokok-pokok ajaran tauhid dalam dunia pewayangan.

Seperti yang telah dipahami pada umumnya, wayang merupakan sebuah entitas seni yang sudah tidak bisa direduksi maknanya sebagai entitas budaya semata, karena unsur-unsur di dalamnya sangat kompleks. Mengingat dalam perjalanannya, wayang telah dipengaruhi oleh berbagai macam ideologi maupun keyaknian luar yang masuk ke Nusantara. Gerak evolusi teologis dalam wayang sudah berlangsung sejak lama, sebab wayang sudah menyertai perjalanan hidup masyarakat Nusantara, terutama masyarakat Jawa, berabad-abad lamanya.

Sebelum Islam masuk ke Nusantara, eksistensi wayang yang bercorak Hindu-Budha telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Wayang pada zaman itu berfungsi sebagai media peribadatan, transmisi pemahaman religius dan ekspresi seni budaya yang sangat digemari.

Dihadapkan dengan realitas seperti ini, para Wali selaku juru dakwah yang memilih pendekatan kultural, mengawalai  syiarnya dengan mendekonstruksi bangunan ontologis atau peran penting (kedudukan) dewa dalam dunia pewayangan.

Caranya, dewa-dewa yang sudah ada, tidak dihilangkan eksistensinya. Tetapi peran dan posisi dewa-dewa tersebut dilemahkan sampai pada tingkat yang sejajar dengan makhluk. Hingga pada level epistemologi, masyarakat penikmat wayang tidak lagi menganggap dewa sebagai representasi Tuhan, melainkan hanya sebagai ilustrasi dari manifestasi sifat ke-Esa-an Tuhan.

Pada dasarnya Islam atau agama Semit lainnya sangat anti terhadap pemberhalaan materi. Setiap perwujudan atau tindakan manusia haruslah terbebas dari konsep pemujaan terhadap selain Allah. Sebab, setiap proyeksi tujuan hidup manusia (dalam ajaran Islam) haruslah mengarah kepada jalan pulang ke arah fitrahnya, yakni Tuhan. Kira-kira hal ini, senafas dengan konsep “sangkan paraning dumadi” dalam filsafat Jawa.

Gerakan penolakan terhadap penyembahan berhala di Abad Pertengahan ini, lebih populer dengan istilah Ikonoklasme, suatu gerakan penghancuran dan penolakan terhadap pemujaan berhala. Gerakan ini mendapat legitimasi dari kaum rohaniawan di Gereja-gereja Timur (Bizantium) untuk memerangi pengaruh paganisme di Eropa (Martin Suryajaya, 2016:136).

Barang tentu esensi gerakan Ikonoklasme itu sangat dipahami dengan baik oleh para Wali yang menyebarkan Islam di Tanah Jawa. Walaupun, besar kemungkinan pemahaman para Wali tentang hal tersebut, sama sekali tidak ada hubungannya dengan gerakan Ikonoklasme yang berkembang di Barat pada abad pertengahan itu.

Mengingat konsep tauhid dalam Islam cenderung lebih dekat dengan konsep tauhid yang diajarkan oleh Nabi Ibrahim, sehingga tak heran jika dalam perjalanannya mensyiarkan Islam dengan medium wayang, para wali, sama sekali tidak pernah menggambarkan zat Tuhan atau barangkali mengidentikkannya dengan dewa.

Seumpama hendak mengaktualisasikan eksistensi tuhan dalam wayang, maka para wali lebih cenderung memilih, mendeskripsikan sifat dan keagungan-Nya yang mengarah pada pentauhidan ketimbang melukiskan zat-Nya.
Misalnya, ilustrasi keagungan sifat-sifat Tuhan dalam wayang hanya disimbolkan dengan istilah-istilah seperti, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal, dan Gusti Kang Murbeng Dumadi kurang lebih maknanya sejajar dengan: Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa dan Tuhan Penguasa Kehidupan. Sedang untuk perbuatan Tuhan, dilambangkan dengan aktivitas Trimurti: Dewa Brahma, Dewa Wisnu dan Dewa Siwa (Sunyoto, 2012: 364).

Hal tersebut mengindikasikan bahwa ada perubahan mendasar dalam konsep teologi wayang pada masa Islam dengan konsep teologi wayang pada masa sebelumnya. Di mana, jika eksistensi Dewa sebelumnya dianggap sebagai Tuhan, maka keberadaan Dewa dalam wayang masa Islam tidak lagi dianggap sebagai Tuhan. Melainkan menjadi, semacam narasi pengantar, pengenalan kepada Allah, Tuhan yang Maha Tunggal.

Dari uraian di atas, setidaknya ada tiga perubahan mendasar dalam ontologi wayang setelah berasimilasi dengan ajaran Islam. Pertama, dewa bukanlah Tuhan. Kedua, kekuatan sosok dewa bukanlah kekuatan bawaan karena kuasanya sendiri, melainkan karena Tuhan yang berkehendak menganugerahinya kekuatan. Ketiga, yang paling mencolok, posisi dewa telah diredusir sedemikan rupa hingga menjadi makhluk ciptaan Tuhan atau barangkali sejajar dengan manusia.

Konsep Teologi dalam Wayang Menak

Serat Menak merupakan kitab hikayat gubahan pujangga Jawa dari epos besar yang berasal dari negeri Persia. Bangsa Melayu menerjemahkannya menjadi “Hikayat Amir Hamzah” dan nantinya Serat Menak dijadikan sebagai “kitab induk” atau pakem untuk cerita pementasan Wayang Menak.

Sekilas tipologi Wayang Menak dengan Wayang Purwa sangat jauh berbeda dalam hal konsep teologi. Jika Wayang Purwa eksistensi dewa masih dipertahankan, walaupun perannya sudah jauh berbeda dengan wayang pra-Islam, maka unsur-unsur dewa itu sama sekali tidak muncul dalam khazanah cerita Wayang Menak.

Meski kedua wayang tersebut sama-sama berkarakter surealis dalam konteks narasi mistis atau kekuatan supranatural yang dibangun di dalam pakemnya. Akan tetapi tokoh-tokoh dalam Wayang Menak memperoleh anugrah kesaktian atau “kekuatan” tidak melalui, perantara dewa, seperti konsep titisan (reinkarnasi) Dewa dalam cerita Wayang Purwa.

Seperti yang dikisahkan dalam episode pertama Wayang Menak. Wayang Menak dimulai dari cerita yang termuat dalam Menak Sarehas. Dalam Menak Sarehas dikisahkan, orang yang paling sakti mandraguna adalah sosok Patih Betaljemur. Yang nantinya menjadi guru Raden Jayengrana. Kesaktian yang diperoleh oleh Betaljemur merupakan warisan dari ayahnya Baktijemal berupa Kitab Adamakna. Kitab Adamakna didapatkan oleh Baktijemal dari ayahnya, Lukmanulhakim.

Siapa Lukmanulhakim? Lukmanulhakim adalah putra Nimdahu, juru masak kerajaan Medayin. Lukmanulhakim memperoleh kesaktian, kebijaksanaan dan kemampuan menghidupkan orang mati, setelah ia menyantap apem dari bahan kulit kayu pemberian Nabi Kilir kepada Raden Sarehas, Raja Medayin.
Konon, saat Raden Sarehas pulang dari pertapaannya, Raden membawa kulit kayu pemberian Nabi Kilir. Raden Sarehas memerintahkan Nimdahu, mengolah kulit kayu tersebut menjadi kue apem. Sayangnya ketika kue apem itu sudah matang, kue yang mengandung hasiat kesaktian tersebut dilahap oleh Lukmanulhakim. Maka jadilah yang memiliki kesaktian itu Lukmanulhakim bukan Raden Sarehas.

Wayang Menak sederhananya mengisahkan tentang petualangan Amir Hamzah yang lebih populer dengan nama Raden Jayangrana yang melakukan serangkaian penakhlukan ke kerajaan-kerajaan lain (kerajaan non-Islam) dengan misi meyebarkan ajaran Islam. Islam dengan syariat pra-Muhammad.

Pola pengisahan pada umumnya, setiapkali pasukan Raden Jayengrana berhasil mengalahkan musuhnya, hal yang pertama dituntut kepada lawannya yang sudah kalah itu adalah kesediannya menerima agama Islam, sebagai ganti agama atau kepercayan sebelumnya. Jika musuh bersedia ia akan diampuni, sebaliknya jika tidak bersedia maka ia segera dibunuh.

Selain misi penakhlukan dan penyebaran Islam itu, konflik berkepanjangan yang dihadapi oleh Raden Jayengrana adalah pertentangannya dengan mertuanya sendiri yakni Prabu Nusirwan dari negeri Madayin, Ayah kandung Dewi Ratna Muninggar (istri Raden Jayengrana) yang tidak mau tunduk dan tidak bersedia mengikuti agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Ajaran atau konsep tauhid di dalam Wayang Menak tidak digambrakan secara eksplisit di dalam 24 seri lakonnya. Hanya saja konsep teologi itu disampaikan lewat adegan atau peristiwa-peristiwa tertentu yang mengarah pada konsep ajaran dalam tauhid. Dan lebih cenderung mengarah pada konsep tauhid yang dibawa oleh Nabi Ibrahim.

Salah satu adegan yang barangkali dapat memberikan gambaran tentang konsep, teologi dalam Serat Menak, tertuang dalam Menak Sulub. Misalnya, ketika Putri Sajarah Banun, penghuni Pulau Sulub, sebuah pulau di tengah Sungai Nil, Mesir. bermimpi didatangi Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim memberi petunjuk kepada Sajarah Banun bahwa kelak ia akan berjodoh dengan Raden Maktal (Pengikut Raden Jayengrana). Setelah petunjuk itu, kemudian Nabi Ibrahim menuntun Sajarah Banun menerima Islam atau syariat yang dibawanya.

Dalam batasan tertentu, Islam bermakna penyerahan mutlak kepada kehendak Tuhan seru sekalian alam. Dan Agama Islam dimulai sejak Nabi Adam sampai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi yang terakhir. Yang berbeda hanya syariatnya, sedang isinya sama. Sama-sama mengandung ajaran Tauhid (Pandam Guritno, 1987). Maka dalam kesempatan ini, rasanya tidaklah berlebihan jika saya menilai bahwa wayang yang berkembang setelah ajaran Islam masuk ke Nusantara sebagai Wayang Tauhid. Wayang yang penuh dengan spirit tauhid. Wallahuallam.