DONASI

Saya dan Sejarah Islam-Jawa yang Mengitarinya

Selama bertahun-tahun, saya melewati dan mencerap situasi kehidupan sosial, budaya, dan agama di sekitar saya. Tidak pernah tahu dan mempertanyakan situasi apa yang sebenarnya mengitari...

ESAI | MONDAY, 15 JULY 2024 | 14:50 WIB

Selama bertahun-tahun, saya melewati dan mencerap situasi kehidupan sosial, budaya, dan agama di sekitar saya. Tidak pernah tahu dan mempertanyakan situasi apa yang sebenarnya mengitari kehidupan saya di dusun. Baru saat masuk perkuliahan, persoalan-persoalan itu muncul kembali, dan saya merasa membutuhkan suatu penjelasan yang terang. Perlu rasanya, saya menginterogasi masa lalu yang membentuk lingkungan saya tumbuh itu.

Salah satu jawaban datang dari bukunya M.C. Ricklefs  yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Mengislamkan Jawa: Sejarah Islamisasi di Jawa dan Penentangnya dari 1930 Sampai Sekarang. Buku ini merupakan buku ketiga dari penelusuran Ricklefs soal Islamisasi di Jawa. Dua buku sebelumnya, Mystic Synthesis in Java: A History of Islamization from the Fourteenth to the Early Nineteenth Centuries dan Polarizing Javanese Society, Islamic and other Visions (c. 1830-1930). Jadi, buku ketiga itu merupakan kelanjutan dari penelitian yang panjang, mengikuti proses Islamisasi sejak abad ke-14.

Beruntungnya di Bab 1 buku Mengislamkan Jawa, Ricklefs memberikan ringkasan yang memadai tentang isi dua buku sebelumnya. Sehingga pembaca, tidak kehilangan konteks dari keberlanjutan yang akan dibahas. Bab 1 penting karena mengulas bagaimana proses menjadi Jawa sekaligus Islam dimungkinkan, dan bagaimana polarisasi masyarakat Jawa pasca Perang Jawa yang dikobarkan oleh Pangeran Diponegoro.

Saya mencoba menuturkan secara ringkas, meski tetap akan panjang, perjalanan dari Islamisasi masyarakat Jawa untuk menemukan simpul-simpul dari masa lalu. Simpul-simpul yang masih mengikat orang-orang di sekitar saya sampai hari ini.

Sisa-Sisa Sintetis Mistis?

Islam datang pada abad ke-14, dan menyebar di antara masyarakat Jawa. Perlahan-lahan, masyarakat Jawa beralih ke agama Islam dan menanggalkan agama lama. Namun, tidak semua bagian dari kepercayaan dan ritual lama dapat ditanggalkan begitu saja. Di sinilah sebentuk ‘negosiasi’ berlangsung terus-menerus, untuk mendapati puncak dari geseran-geseran antara keduanya (Islam dan Jawa) itu didamaikan oleh Kerajaan Mataram dan penerusnya. Dengan muara keyakinan Islam dengan gaya Jawa menjadi sebuah sufisme dengan batasan yang longgar, disebut Ricklefs sebagai Sintetis Mistis.

Sintetis Mistis diuraikan Ricklefs memiliki tiga pilar utama: kesadaran menjadi orang Jawa berarti menjadi Muslim, melaksanakan lima rukun Islam dengan baik, dan menerima kekuatan spiritual pra-Islam seperti Ratu Kidul, Sunan Lawu, dan makhluk lainnya yang dianggap ada. Selain itu, harmonisasi Islam dan Jawa ditunjukkan dengan kitab-kitab gubahan pujangga keraton seperti, yang terkenal, Serat Centhini.

Sintetis Mistis dianggap mengalami kemunduran setelah kekalahan Perang Jawa (1925—1830). Dengan Kolonial Belanda sebagai pemenang, serta tunduknya keraton-keraton warisan Kerajaan Mataram, kolonialisme yang intensif makin tak terbendung. Membenamkan perpecahan identitas Islam-Jawa demi menghilangkan potensi ‘revolusinernya’, seturut menjauhkan Sintetis Mistis.

Selama hampir menyentuh dua abad, dalam periode yang sangat panjang dari 1830 hingga sekarang (2024), Sintetis Mistis terus mengalami tentangan dari pelbagai arus yang datang dan gejolak yang timbul di Jawa. Membuatnya kian terpinggirkan, dan hampir sulit dijumpai. Dalam keadaan yang demikian, saya melihat, sejauh yang saya pahami, sisa-sisa dari Sintetis Mistis yang sederhana ala orang-orang dusun berdasar tiga pilar yang sudah disebutkan di atas, yang masih bertahan dan terasa di sekitar saya.

Dengan gaya komunikasi khas Jawa, Islam dan Jawa dipadukan dalam bentuk simbol-simbol yang hadir pada sebuah cerita maupun doa.

Seperti cerita Nabi Muhammad menggunakan mahkota Majapahit dalam Kitab Usulbiyah. Simbol ini juga yang muncul dalam cerita yang beredar di dusun saya, ketika sebuah keris tertancap di halaman masjid dan hanya bisa dicabut dengan Al Quran yang ditangkupkan ke wilahnya oleh orang yang spiritualitasnya matang. Jelas, keris mewakili Jawa, dan Al Quran mewakili Islam. Kalau mau menafsirkan lebih jauh, keris sebagai lambang kekuatan Jawa hanya dapat dikuasai/dikendalikan oleh orang yang memahami wahyu Allah yang tertuang dalam Al Quran.

Sementara dalam berdoa, bahasa Arab (untuk ayat Al Quran) dan Jawa (untuk terjemah ayat Al Quran, dan memanjatkan keinginan) masih sering digunakan di dusun-dusun. Untuk menyebut Nabi Muhammad beriringan dengan Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi dalam cerita-cerita Jawa hampir mustahil dijumpai. Saya beruntung, simbah adalah orang pintar andalan keluarga besar saya sering mengucapkannya.

Pernah saya bertanya kepada simbah, apa yang dimaksud dengan Kanjeng Amangkurat adalah raja Mataram? Jawabannya, benar. Namun, apakah yang dimaksud raja Mataram yang bergelar Amangkurat atau yang lain, saya tidak menemukan jawaban pastinya. Yang jelas, Kanjeng Amangkurat, ratu penguasa laut selatan, dan dewi-dewi yang disebut dalam kepercayaan simbah/orang pintar memang ada secara roh. Dan, roh-roh mereka inilah yang menjadi perantara. Yakni, menghampiri Nabi Muhammad untuk meminta ‘nasihat’, dan kemudian kembali disampaikan kepada siapa pun yang datang ke tempat simbah untuk menyembuhkan kesulitannya. Ini kemungkinan bermaksud mengatakan, kurang lebih, hubungan masyarakat Jawa ke Tuhan harus melewati raja kemudian Nabi terlebih dahulu.

Sisa-Sisa Hasil Polarisasi dan Islamisasi?

Pasca Perang Jawa (1830) hingga kejatuhan Demokrasi Terpimpin (1966) terjadi polarisasi yang hebat di masyarakat Jawa. Polarisasi atau keterbelahan ini bermakna, identitas Jawa yang sama dengan seorang Muslim menjadi terpisahkan. Varian religius yang beragam selanjutnya bermunculan.

Sebagai catatan, sepanjang hampir satu abad itu, ada proses polarisasi yang cukup besar. Pertama, program Tanam Paksa (1830-1970) diterapkan dan membelah masyarakat Jawa menjadi tiga golongan besar: abangan, priayi, dan putihan. Di samping itu, dalam perkembangannya muncul kelompok tarekat, kekristenan, dan pondok pesantren sebagai institusi tradisional.

Kedua, pada awal abad ke-20 kebijakan Politik Etis memunculkan kalangan atas terpelajar yang sadar organisasi. Pada dekade-dekade ini, organisasi menjadi identitas penting daripada polarisasi yang terjadi. Varian-varian religius yang dominan memperoleh bentuk institusionalnya, baik yang berupa partai politik yang konstituennya berasal dari varian religius tertentu, atau organisasi keagamaan sesuai varian religiusnya. Hal ini bertahan hingga memasuki era Pendudukan Jepang (1942-1945), Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Demokrasi Parlementer (1950-1959) dan Demokrasi Terpimpin (1959-1966) yang ditandai politik aliran.

Pada 1966, keterbelahan atau permusuhan antara dua varian religius besar, kaum santri dengan abangan berakhir. Kehancuran institusi kaum abangan, yakni Partai Komunis Indonesia (PKI) beserta konstituennya (dipenjara dan dibunuh), melapangkan Islamisasi yang mendalam. Era Orde Baru (1966-1998) meneruskan Islamisasi yang selama satu abad lebih sebelumnya terinterupsi dan terpolitisasi.

Islamisasi tidak berjalan lancar begitu saja. Sebagai gambaran, sekutu santri dalam proses kehancuran PKI, yakni militer tidak membiarkan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) sebagai institusi politik Islam Modernis bangkit kembali. Di satu sisi, dominasi diri Soeharto dalam perpolitikan juga menjadi penghalang tersendiri dengan spiritualitasnya yang jauh dari ortodoksi Islam. Spiritualitasnya yang dimaksud simpati terhadap kebatinan Jawa dan gaya abangan. Hal  yang tidak bisa diterima kalangan Islam Modernis. Sementara dengan kalangan Islam Tradisional NU, hubungannya pelik, karena persaingan pengaruh ke level akar rumput pedesaan.

Gaya spiritualitas Soeharto bagaimanapun seharusnya terakomodasi dalam bentuk-bentuk budaya dan kesenian lokal Jawa. Namun, karena bertahun-tahun sebelumnya dimanfaatkan oleh PKI, kebudayaan dan kesenian itu menjadi ‘tercemar’. Begitu pun dengan kelompok-kelompok kebatinan yang ada juga dicurigai bersimpati terhadap PKI. Tidak hanya oleh pemerintah, tetapi kalangan santri juga menolak dan memberikan tekanan terhadap kelompok ini.

Kekerasan dalam Peristiwa 1965-1966, telah membuat banyak aktivis PKI yang abangan berkonversi dari Islam nominal ke agama seperti Hindu, Buddha, dan yang paling banyak Kristen. Hal ini dilakukan oleh aktivis Kiri yang selamat karena untuk memperoleh rasa aman, bantuan para pemuka agama Kristen terhadap kesulitan yang dihadapi pasca 65, dan ketidaksukaan terhadap kaum santri karena keterlibatannya dalam Peristiwa 1965-1966. Pertumbuhan umat Kristen juga terjadi di tahun-tahun berikutnya dengan pelbagai faktornya, terutama di perkotaan. Hal ini kemudian tidak disukai dan mengusik kaum Islam Modern yang memang basisnya di kota besar.

Meski demikian, di satu wilayah di desa saya, hidup umat Kristen dengan institusi pendidikannya, SD Bopkri. Satu-satunya SD di desa saya yang menjadi tujuan anak-anak bersekolah di sana, termasuk ayah, ibu, dan paman-paman saya. Tak lama kemudian, menyusul berdiri Gereja Kristen Jawa (GKJ), sebagai sarana ibadah pada 1980-an. Dengan demikian, dalam masyarakat desa saya, ada komunitas Kristen dan Islam yang saling menciptakan pengaruh dan persepsi, walau tidak langsung. Semisal, paman saya yang berkonversi menjadi Kristen karena pernikahan; atau ayah saya yang sudah dewasa melihat Kristenisasi sedang terjadi, bergerak membendungnya dengan mengajak mendirikan masjid dan TK ABA Muhammadiyah. Bagaimana pun apa yang dilakukan ayah saya, mencerminkan salah satu alasan pendirian Muhammadiyah pada 1912.

Islam Tradisional di sisi lain tidak terlalu khawatir dengan konversi abangan ke agama lain. Ancaman mereka datang dari rezim Orba yang berusaha mengontrol setiap aspek dari masyarakat ke tingkat bawah. Melalui Majelis Dakwah Islamiyah (MDI) yang berafiliasi dengan Golkar, rezim Orba mencoba menukik mempromosikan Islam di pedesaan untuk menyaingi NU.

Pada 1971, Pemilu pertama Orba dilaksanakan dan menjadi lonceng kematian politik aliran. Kehancuran PKI membuat konstituen abangannya yang tersisa tidak ada tempat berpijak kecuali beralih ke Golkar yang menjadi pemenang. Hasil Pemilu itu dijadikan dasar untuk memaksakan fusi-fusi partai politik yang tersisa pada 1973 dan mengubur politik aliran. Setelah itu, kaum Muslim yang sudah dikerdilkan sedemikian rupa tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan kekuasaan politik, sehingga mereka sepenuhnya fokus dengan islamisasi dari bawah.

Kaum abangan di pedesaan yang tidak memiliki institusi lagi, dan menghadapi islamisasi yang gencar, derajat keislamannya menjadi lebih tinggi. Sembari, di satu sisi tetap mempraktikkan ritual slametan yang sangat penting sebagai solidaritas masyarakat. Identitas abangan mereka tidak lagi kuat, dan menjadi seperti yang bisa saya lihat dalam kehidupan beragama nenek-nenek saya. Orang yang rajin mengamalkan salat (salah satu rukun Islam) dengan baik, tetapi sekaligus gemar membuat sajen dan slametan untuk kejadian-kejadian tertentu. Hal inilah yang kemudian diturunkan kepada ibu saya.

Sementara itu, ketika kaum Islam Tradisional dicurigai oleh militer, kaum Islam Modern di Muhammadiyah yang menjauh dari politik pada 1969—artinya berdamai dengan politik Orde Baru—melakukan Islamisasi di akar rumput.

Memasuki dasawarsa 1980-an, masyarakat Jawa dan Indonesia pada umumnya bertransformasi menjadi lebih religius. Pemerintah mendominasi proses islamisasi dengan pelbagai program seperti pendirian sekolah dengan pelajaran agama Islam dalam bentuk ortodoks; jumlah masjid bertambah dan yang rusak diperbaiki, serta dilengkapi pengeras suara; kelas menengah memperlihatkan tingkat kesalahan yang tinggi.

Ayah saya, berkat persentuhannya dengan perkotaan dan pendidikan kampus dapat dikatakan derajat keislamannya menjadi tinggi. Dia merangkul Islam Modern ala Muhammadiyah dalam kehidupan religiusnya. Artinya meninggalkan upacara seperti slametan dan kepercayaan terhadap roh-roh penunggu yang dihormati warisan orang tuanya. Bahkan setelah menikah, melarang ibu saya untuk membuat sajen.

Perubahan penting yang layak dicatat adalah sikap NU terhadap rezim Orde Baru pada paruh awal 1980-an. Organisasi Islam Tradisional ini tidak lagi ambil peran politik dengan menarik diri dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), menerima asas tunggal Pancasila yang dicanangkan pemerintah. Keputusan ini mengurangi kecurigaan pemerintah terhadap NU, dan menggerakkan keduanya dalam kerja sama Islamisasi. Lalu pada awal 1990-an, Soeharto dan keluarganya naik haji, serta merangkul Islam sebagai penyokong politiknya dengan diikuti pendirian Ikatan Cendekian Muslim Indonesia (ICMI). Kemudian, jilbab atau kerudung menjadi tren untuk pertanda kesalehan bagi perempuan diizinkan secara resmi.

Menjelang masa akhir Orde Baru, gerakan Islam yang ekstrem atau puritan bertahan dan tumbuh. Ini mengikuti apa yang sudah ada pada 1970-an di Surakarta, di mana muncul gerakan Islam yang membawa napas pemurnian. Dakwah Islam dijalankan dengan aktif, di mana kaum Modernis dan Revivalis terlibat di dalamnya. Gerakan lain yang patut dicatat, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) yang menganggap semua bentuk Islam selain ajarannya salah; Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA) yang didirikan oleh Arab Saudi dengan ajaran Islam Wahhabi-nya; dan, Dewan Dawah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikan oleh Natsir (eks Masyumi) dan ingin “memurnikan Islam dari pembusukan lokal”.

Era Orde Baru telah menunjukkan Islamisasi yang mendalam di masyarakat. Sebuah laju yang tidak mungkin dikembalikan arahnya. Dengan Islam yang sudah dianut sebagian besar masyarakat Jawa, persoalannya bukan lagi upaya mengislamkan. Pada era Reformasi pasca 1998, dinamika terjadi antara para pengikut versi Islam yang saling bertentangan dengan pelbagai keragamannya di dalam masyarakat yang ter-Islam-kan.

Berada dalam konteks era yang terbuka, gerakan-gerakan Islam biasanya secara simplifikasi digolongkan berada dalam dua garis edar besar, moderat dan garis keras dalam ajaran religius dan aksinya. Gerakan-gerakan ini pada dasarnya saling bersaing merebutkan umat. Namun, terkadang mereka juga berangkulan untuk menangkis serangan kelompok lain. Terutama kelompok-kelompok yang moderat dalam menghalau serangan garis keras. Sementara itu, apa yang dianggap serangan adalah upaya kelompok-kelompok garis keras dalam menyelaraskan kesepahaman umat tentang Islam yang benar versi mereka. Kelompok-kelompok ini kadang melakukan aksinya dengan tindakan ekstrem dan kekerasan, bahkan bom bunuh diri. Namun, ada satu pengecualian yang rasanya perlu saya singgung, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

PKS ini awalnya merupakan gerakan tarbiyah di kampus-kampus negeri dengan praktik religiusnya modernis dan cenderung tanpa kompromi. Partai ini memilih aksi pragmatis dan bertahap melalui pemilihan elektoral. Mendeklarasikan dirinya sebagai partai dakwah, partai ini berusaha mendorong Islamisasi yang mendalam di masyarakat.  Kader partai ini sudah terkenal militansinya dalam gerakan dakwah. Mayoritas pengikutnya adalah kaum Muslim kelas menengah di kota-kota besar yang sibuk.

Namun, dewasa ini, kader PKS mampu menembus dusun di kabupaten/kota kecil. Sebagai contoh, selama beberapa tahun terakhir (sebelum Pemilu 2019 hingga menjelang Pemilu 2024, dan hanya terjeda pandemi), seorang Caleg dari PKS aktif mengisi pengajian bulanan di masjid dusun saya. Kegiatan rutin itu disebut Pengajian Salimah, yang mana nama Salimah merupakan kependekan dari Persaudaraan Muslimah. Sebuah organisasi perempuan muslim yang aspirasi politiknya sejalan dengan PKS. Ibu saya hampir secara ajeg mengikuti pengajian itu. Saya hampir tidak tahu apa materi pengajian itu, yang jelas, dalam soal keagamaan, ibu saya tidak berubah sama sekali. Dia seperti yang saya kenal, sepeninggalnya suaminya atau ayah saya, kembali membuat sajen atau melakukan puasa di saat-saat tertentu sebagai srono atau sarana agar hal-hal yang akan dilakukan berjalan lancar dan sesuai keinginan.

Pertanyaannya, setelah melalui fase tidak menjalankan ritual slametan dan membuat sajen selama menikah dengan ayah saya, dan mengikuti pengajian yang digawangi kader PKS, mengapa ibu saya tetap saja kembali ke praktik peribadahan lamanya? Jawabannya mungkin berkaitan dengan masyarakat tempat dia tumbuh, yakni di dusun saya yang akan saya bahas di bawah.

Kehidupan Beragama Orang-Orang Dusun

Gerak sejarah Islam-Jawa yang sudah dipaparkan di atas, membawa sempalan ragam bentuk beragama yang ‘tersendiri’, tetapi sekaligus bukan khas orang-orang di dusun saya. Sangat mungkin bentuk-bentuk religius yang akan saya paparkan dapat dijumpai di tempat lain yang dihuni masyarakat Jawa—dan memang demikian adanya yang pernah saya dapati.

Di dusun tempat saya tumbuh, ada sebuah masjid dan punden yang berdekatan. Punden itu letaknya berada di sebuah bukit atau tanah dataran tinggi dan berdiri sendiri. Baru-baru ini, saya ke punden itu untuk mengamatinya lebih dekat. Ada satu batu kijing besar di sana yang membujur dari utara-selatan. Di bagian salah satu sisi kijing tercetak informasi dalam aksara Jawa dalam lima baris. Dengan batuan kawan yang bisa membaca aksara Jawa, informasi itu bila diurutkan berbunyi: Kyai Wayarata Pindagar 26-08-1985 (Martana). Kita bisa menduga, jika tiga baris awal merupakan nama yang dikuburkan di punden itu, sementara angka yang di baris keempat ada merupakan tanggal wafatnya dan yang di dalam tanda kurung mungkin sapaan akrabnya. Saya mencoba menanyakannya pada ibu saya, tetapi beliau tidak mengetahui apa-apa tentang sosok yang terkubur di punden itu.

Di sebelah barat laut punden atau arah ke Kaabah yang ada di Makkah, masjid dusun berdiri. Orang-orang dusun menjalankan ibadah di masjid itu selayaknya orang Muslim umumnya. Salat berjamaah saat hari Jumat atau Jumatan (bagi laki-laki), Idul Fitri dan Idul Adha. Pada hari-hari biasa, orang yang datang untuk salat lima waktu dapat dihitung dengan jari di satu tangan. Kebanyakan memilih salat di rumah. Masjid juga tidak memiliki kegiatan. Kontras dengan itu, saat bulan Ramadhan—biasanya mengikuti jadwal NU maupun pemerintah—kegiatan pendidikan baca Iqra dan Al Quran dilaksanakan setiap sore menjelang berbuka, jamaah yang salat lima waktu makin banyak—tetapi tidak signifikan, kecuali waktu sholat Isya’ yang disambung tarawih, mengadakan pengajian khusus memperingati turunnya Al Quran atau Nuzulul Quran, dan salat tarawih sebelas rakaat.

Di samping ibadah yang dikerjakan di masjid, orang-orang dusun juga mengadakan slametan maupun tahlilan yang rutin dilakukan dan bahkan ada jadwalnya, termasuk slametan di punden. Dalam setiap proses ritual yang dilakukan itu, selalu dipimpin oleh kaum yang kurang lebih mirip dengan modin, bukan ustadz. Dengan dipimpin oleh kaum, hal ini menunjukkan bahwa yang dilakukan masyarakat merangkul ibadah Islam baku dengan tradisi Jawa menjadi satu.

Hal itu diperkuat dengan hubungan antara masjid dan punden, yang mengikut George Quinn dalam Wali Berandal Tanah Jawa, menunjukkan poros varian religius lama yang sudah dibahas di atas, santri dan abangan. Saya curiga masyarakat di dusun saya berasal-usul, “Muslim Jawa yang pernah berbudaya abangan telah meninggalkan kecenderungan abangan mereka dan berbondong-bondong memeluk budaya santri” (h. 460). Prosesnya sendiri, saya kira, melalui pendalaman Islam selama era Orba, dibantu oleh seorang kiai yang kini makamnya dikeramatkan menjadi punden. Perlu dicatat juga, titimangsa wafatnya kiai itu masih tergolong baru—walau harus tetap dicurigai, serta proses mengeramatkan kuburan seseorang menjadi punden sendiri menunjukkan sisi abangan yang masih tersisa.

Sisi-sisi dari tradisi lama yang biasa dikatakan  juga bisa dilihat dari beberapa hal yang pernah terjadi.  Pada suatu ketika, ada peringatan hari besar Islam—saya lupa pastinya—dan masjid dusun menyelenggarakan pengajian serta pentas seni. Salah satu pengisi pentas seni yang tampil menghadirkan waria yang menyanyi. Bila hal itu, dilakukan pada akhir-akhir ini dan disebar melalui sosial media, saya cukup yakin kegemparan akan melanda. Namun, itu terjadi bertahun-tahun lalu saat saya masih kecil, penampilan waria di acara pengajian tidak pernah dilihat sebagai masalah. Kegemaran akan tonton ini juga diperlihatkan oleh orang-orang dusun yang doyan menonton jatilan. Mereka bahkan selalu rela menunggu bagian puncak pementasan, yakni ketika para penarinya kesurupan.

Tidak lupa, masyarakat di dusun saya masih percaya pada penguasa laut selatan atau Ratu Laut Kidul. Ibu saya selalu melarang saya mengenakan pakaian warna merah atau hijau jika bermain di pantai.

Sisa-sisa tindak-tanduk dari tradisi lama yang dianut masyarakat di dusun saya memberi wilayah toleransi longgar bagi ritual dan kepercayaan di luar ragam baku Islam yang wajib diamalkan. Sesuatu yang hari-hari ini mungkin dianggap bidah bahkan syirik oleh sebagian kalangan. Namun, berkat kelonggaran itulah, tidak ada keraguan di antara orang-orang di dusun saya yang merasa kurang dalam ibadahnya. Usaha terus untuk menyeimbangkan, jika boleh dikatakan, yang dari kultural dan spiritual secara bersama, tidak membiarkan salah satunya bergerak mandiri, tetapi bersama-sama, malah memantapkan keyakinan dari yang dijalani. Membuat masyarakat tidak merasa canggung harus melepaskan salah satunya.

Cerita tentang kehidupan beragama masyarakat dusun saya merupakan irisan kecil dari sejarah Islam-Jawa yang tergelar. Sewaktu-waktu kondisi umum yang besar dapat berubah. Dan memang, putaran roda sejarah Islam-Jawa sedang dan masih menggilas, kita yang hidup hari ini akan menjadi saksi sekaligus pelaku dalam proses itu. Semarang, 21 Februari 2024

1833

Farras Pradana

Farras Pradana lahir di Lombok Timur, tumbuh besar di Kulon Progo, menempuh pendidikan tinggi di Yogyakarta, dan sekarang bekerja di Semarang. Dia sudah menerbitkan kumpulan cerpennya Sekelompok Babi dan Rumah-Rumah (Semut Api, 2021).

Comments are closed.