Pada sebuah kegiatan diskusi, aku bertemu dengan M. Anhar Chusnani. Kami pun mengobrol. Sampai akhirnya, M. Anhar Chusnani berkata: “Ji, minta nomor WhatsApp. Aku mau kirim undangan pameran seni rupa,” Setelah aku memberikan nomor WhatsApp, M. Anhar Chusnani mengingatkan bahwa pameran seni rupa dibuka pada hari Minggu. Aku berucap: “Mas, aku gak bisa datang. Aku masih berada di luar kota pas hari Minggu.” M. Anhar Chusnani membalas: “Tidak apa, Ji. Datang pada waktu luang saja. Acaranya sebulan kok.”
Setelah pulang dari kegiatan diskusi, sampai di rumah, aku membuka pesan M. Anhar Chusnani di WhatsApp. Selain kiriman surat undangan pembukaan pameran seni rupa, M. Anhar Chusnani mengirimkan dua poster. Lewat pembacaan dua poster pameran itu, aku mengetahui beberapa informasi, yaitu: pameran seni rupa itu bertajuk Damar Kurung Melintas Waktu; diselenggarakan G1R1 DK (Gerakan Satu Rumah Satu Damar Kurung); diikuti dua puluh satu perupa lintas generasi asal Kabupaten Gresik; bertempat di Senja Jingga Cafe, Gresik; dan berlangsung dari 18 Mei 2025 hingga 18 Juni 2025.
***
Selama berlangsung pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu, aku berkunjung beberapa kali. Dalam setiap kunjungan, aku menuliskan catatan yang berdasarkan melihat karya para perupa dan menyimak agenda diskusi pada pameran seni rupa itu. Lalu, aku menghubungkan catatan dengan beberapa literatur dan percakapan beberapa perupa. Dan, tulisan ini adalah hasil gabungan dari setiap catatan.
***
Sesuai tajuk Damar Kurung Melintas Waktu, pameran seni rupa itu berhubungan dengan damar kurung. Dalam pengetahuanku, damar kurung adalah kerajinan sejenis lampion yang berasal dari Kabupaten Gresik. Sebagai kerajinan, damar kurung bersanding dengan sarung, kopyah, sandal, rotan, bordir, kerajinan emas dan imitasi, kerajinan perak, tas sekolah, kerajinan batu onyx, konveksi, serta kerajinan olahan.1 Pada tahun 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan karya budaya damar kurung sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia.
Dahulu, bahan damar kurung adalah bilah-bilah bambu. Setiap ujung bilah bambu yang horizontal mengikat bagian beberapa sentimeter dari ujung bilah bambu yang vertikal. Ikatan bilah bambu yang vertikal dan bilah bambu yang horizontal membentuk kerangka persegi panjang (kerangka damar kurung). Karena mengikat bagian beberapa sentimeter dari ujung, bilah bambu yang vertikal memiliki sisi luar bawah dan sisi luar atas. Sisi luar bawah berfungsi kaki; sisi luar atas berfungsi penguat konstruksi. Maksud penguat konstruksi adalah keberadaan tali yang mengikat secara diagonal antara ujung sisi luar atas pada bilah bambu yang vertikal dengan bagian tengah bilah bambu atas yang horisontal.
Pada masing-masing siku atas kerangka damar kurung diberi seutas tali agar dapat menggantungnya. Di dalam kerangka damar kurung, bagian tengah bilah bambu bawah yang horizontal diikat bilah bambu yang horizontal untuk wadah sumber cahaya (lilin). Proses terakhir, setiap bidang kerangka damar kurung ditempeli kertas yang telah dilukis. Kertas itu berbentuk sesuai bidang kerangka dengan masing-masing bagian atas berbentuk segitiga untuk menutup penguat konstruksi (tali pengikat).
Pembuatan damar kurung mengalami perubahan, seperti bambu berganti kayu, lilin berganti lampu, serta kehilangan penguat konstruksi. Juga, jinggo ‘pewarna makanan’—bahan cat untuk lukisan di kertas yang menempel di setiap bidang kerangka damar kurung—berganti cat poster, cat akrilik, hingga spidol. Perubahan itu tidak mengubah damar kurung sebagai alat penerang (fungsional) yang memiliki keindahan lukisan di atas kertas yang menutup kerangkanya (estetis).
Fungsional dan estetis pada damar kurung sangat sesuai dengan penamaannya yang berasal dari gabungan dua kata, yaitu: damar dan kurung. Kata “damar” berarti pelita atau obor yang terbuat dari getah atau resin; sedangkan kata “kurung” berarti sangkar, penjara, atau tempat tertutup. Aku mengartikan secara bebas, bahwa damar kurung adalah tempat mengurung cahaya. Dan, cahaya yang terkurung itu memberikan efek warna terhadap bagian tak terlukis pada kertas yang menempel di setiap bidang kerangka damar kurung.
***
Pertama kali aku mengunjungi pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu pada bakda magrib, 20 Mei 2025. Waktu itu, di Senja Jingga Cafe, hanya ada Joko Iwan—salah satu perupa yang terlibat pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu dan pemilik Senja Jingga Cafe. Joko Iwan sangat baik. Lewat keterangan Joko Iwan, aku mengetahui siapa saja pemilik karya. Juga, beberapa agenda selama berlangsung pameran seni rupa itu, yaitu: workshop dan diskusi.
Aku berkeliling dan memotret beberapa karya. Lalu, aku menyadari bahwa lukisan karya para perupa banyak mengambil sisi estetis—bukan fungsional—pada damar kurung. Sisi estetis yang diambil oleh para perupa bukan bentuk tiga dimensi (kerangka damar kurung). Tapi, bentuk dua dimensi (lukisan yang menutup kerangka damar kurung). Lukisan karya para perupa bermedia kertas dan kanvas serta berukuran macam-macam.
Pengambilan bentuk dua dimensi—menyisihkan bentuk tiga dimensi—menandakan perubahan orientasi damar kurung yang berawal kerajinan menjadi seni lukis. Dalam catatanku, Masmundari (1904-2005) menjadi seorang yang pertama kali melakukan perubahan itu.2 Sehingga pengambilan bentuk dua dimensi yang dilakukan para perupa pada pameran seni rupa itu seolah mengamalkan warisan Masmundari. Aku berpikir dampak perubahan itu telah membuat kerangka damar kurung kehilangan esensi.

Sumber: Dok. Aji (2025).
Memang perubahan itu turut bikin rancu kalau mengacu penamaan damar kurung. Apalagi perubahan itu membuat lukisan pada kertas dan kanvas—konteks pada pameran seni rupa itu—tidak perlu ditempel di bidang kerangka damar kurung. Atau, lukisan pada kertas dan kanvas bukan hasil memereteli bidang kerangka damar kurung. Justru, lukisan pada kertas atau kanvas langsung bertempat di bingkai. Sebab itu, lukisan karya para perupa pada pameran seni rupa itu tidak pernah mengalami efek akibat cahaya terkurung. Dan, timbul kemungkinan apa yang dilukis oleh perupa bisa tidak berbau damar kurung.
Agar sebagian besar lukisan karya perupa masih berbau damar kurung, pemberian kolom dan sketsa cerita masih dipertahankan. Kolom untuk ruang adegan; sketsa cerita untuk adegan yang bisa diambil dari dongeng, peristiwa sehari-hari, hingga pengalaman religius. Aku mengambil contoh beberapa lukisan pada pameran seni rupa itu yang mengambil sisi estetis bentuk dua dimensi damar kurung dan masih berbau damar kurung, yaitu: lukisan Tragedi Yuyu Kangkang karya Kris Adji AW, lukisan Dolan Nak Gresik karya M. Anhar Chusnani, atau lukisan Ikan Ayam karya Suef.

Sumber: E-katalog Damar Kurung Melintas Waktu (2025).
Tiga lukisan tersebut sama-sama memiliki kolom dan mengandung sketsa cerita, seperti lukisan Yuyu Kangkang yang menampilkan Klenting Kuning yang menghadap Ande Ande Lumut (kolom atas) dan Klenting Hijau dan Klenting Merah menaiki cangkang Yuyu Kangkang (kolom bawah); lukisan Dolan Nak Gresik yang menampilkan keramaian di sekitar gapura (kolom atas), pusat cinderamata (kolom tengah), dan Bandar Grissee (kolom bawah); serta lukisan Ikan Ayam yang menampilkan aktivitas di pasar (dua kolom).
Selain sama-sama memiliki kolom dan mengandung sketsa cerita, tiga lukisan tersebut memiliki kesamaan lain, yaitu: dekoratif. Aku menelisik dekoratif itu akibat tiga lukisan tersebut menempatkan pengulangan gambar tanaman (daun atau pohon), anak panah, garis zig zag, dan atap rumah. Pengulangan tersebut bikin aku teringat lukisan karya Masmundari. Barangkali pengulangan tersebut menjadi pakem yang berdasarkan cara Masmundari melukis pada kertas yang menutup kerangka damar kurung.3

Sumber: Katalog Seabad Masmundari (2005).
Untuk instalasi sangat berbeda dengan lukisan. Sebab, pada pameran seni rupa itu, instalasi Inspirasi karya H.M. Riyanto dan instalasi Mengejar Bayangan karya Joko Iwan mempertahankan sisi fungsional dan sisi estetis. Aku menilai apa yang dilakukan H.M. Riyanto dan Joko Iwan adalah jalan lain selain jalan milik Masmundari. Jalan lain lewat eksperimen agar tercipta nilai baru terhadap damar kurung. Nilai baru yang tervisualkan oleh transformasi damar kurung agar bukan sekadar lampion.
Pada instalasi Inspirasi, aku melihat damar kurung bersatu dengan cermin yang digantung di dinding. Di bawah bingkai cermin, berdiri meja yang menyentuh dinding. Sketsa cerita dalam setiap kolom pada damar kurung menampilkan figur manusia. Tulisan yang terbaca dalam setiap kolom pun menunjuk nama tempat, seperti Sualoka, Artjog, DPRD, higga Galeri Loteng. Aku menduga sketsa cerita dalam setiap kolom adalah aktivitas H.M. Riyanto di dunia seni rupa.
Pada instalasi Mengejar Bayangan, aku melihat damar kurung diletakkan di atas meja. Damar kurung itu tidak seperti damar kurung pada umumnya. Sebab, di dalam kerangka damar kurung itu, berputar beberapa benda. Ketika benda yang berputar terkena cahaya, kanvas yang menutup kerangka damar kurung terlihat bayangan figur. Ketika melihat bayangan figur, aku tiba-tiba teringat bayangan figur wayang yang digerakkan dalang di kelir yang tersorot cahaya blencong.

Sumber: E-katalog Damar Kurung Melintas Waktu (2025).
Bagiku, instalasi Inspirasi dan instalasi Mengejar Bayangan sangat penting untuk melihat perkembangan damar kurung. Sebab, ternyata, perubahan orientasi yang dialami damar kurung tidak sebatas seni lukis. Apalagi dua instalasi tersebut membuat kerangka damar kurung menjadi penting sebagai wadah yang menampung imajinasi perupa. Wadah yang dapat disatukan dengan bahan cermin (instalasi Inspirasi). Wadah yang masih tradisional tapi mampu menghidupkan bayangan figur (instalasi Mengejar Bayangan).
***
Masih pertama kali aku mengunjungi pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu pada bakda magrib, 20 Mei 2025. Aku dan Joko Iwan sama-sama berdiri di hadapan dua lukisan karya Masmundari koleksi Kris Adji AW yang mengapit hasil restorasi Rachmad Basuki terhadap lukisan karya Kiai Untung. Ketika Joko Iwan menjelaskan hasil restorasi tersebut, pandanganku mengarah ke kertas yang menempel di bawah bingkai. Di kertas itu, aku membaca kalimat: “Damar kurung kuno Kiai Oentoeng yang diperkirakan berusia 100 tahun.” Sebab itu, aku menganggap apa yang divisualkan pada hasil restorasi tersebut sebagai karya tertua di pameran seni rupa itu.

Sumber: Dok. Aji (2025).
Aku tertegun menyimak Joko Iwan yang menjelaskan hipotesis perihal wayang beber sebagai cikal bakal damar kurung. Aku menganggap hipotesis itu harus segera diteliti lebih lanjut. Sebab, pada tulisan Kris Adji AW yang berjudul Melacak Damar Kurung dalam e-katalog Damar Kurung Melintas Waktu (2025), tidak terbahas hubungan antara damar kurung dengan wayang beber. Lalu, aku diminta oleh Joko Iwan untuk menghubungi Rachmad Basuki apabila ingin lebih detail mengetahui proses restorasi tersebut.
Sebelum Joko Iwan undur diri karena urusan keluarga, aku masih berdiri di hadapan hasil restorasi tersebut. Aku menelisik bahwa hasil restorasi tersebut memiliki tiga kolom yang berisi beberapa figur wayang. Setiap kolom memperlihatkan latar istana. Dan, hasil restorasi tersebut sangat berbeda dengan karakter lukisan karya Masmundari. Aku mencatat M.P. Danny Indrakusuma—dalam bukunya yang berjudul buku Masmundari Mutiara dari Tanah Pesisir (2003)—telah menulis: “Konon Damar Kurung buatan Kiai Untung ini lebih berkualitas, dalam arti, tema-tema gambar yang ia goreskan pada kertas Damar Kurung lebih kuat makna religinya.”4
Setelah Joko Iwan undur diri karena urusan keluarga, sebelum isak berkumandang, aku mengirim pesan kepada Rachmad Basuki via WhatsApp. Beberapa menit kemudian, dia (Rachmad Basuki) membalas pesanku. Aku lega membaca balasan pesannya. Sebab, dia menyanggupi permintaanku yang ingin mengetahui proses restorasinya terhadap lukisan karya Kiai Untung. Lalu, aku dan dia saling berbalas pesan.
Ternyata, dia ragu menggunakan istilah restorasi. Sebab, apa yang dilakukannya sebatas redraw (pengembalian gambar). Sedangkan restorasi harus menggunakan bahan yang sama. Jadi, tidak mungkin menggunakan jenis kertas yang sama karena bentuk fisik lukisan karya Kiai Untung sudah tidak ada. Tapi, barangkali istilah redraw kurang umum terpakai. Sehingga, mau tidak mau, penggunaan istilah restorasi lebih mudah dimengerti.

Sumber: Dok. Rachmad Basuki (2025).
Dia menjelaskan lukisan Kiai Untung diambil dari dokumentasi foto damar kurung di buku Masmundari Mutiara dari Tanah Pesisir karya M.P. Danny Indrakusuma. Dia mengambil dengan cara scan beresolusi tinggi. Lalu, dia melakukan leveling pada hasil scan di aplikasi Photoshop. Meski beberapa bagian hasil scan mengalami distorsi, dia masih dapat melakukan penggambaran sesuai objek yang terlihat. Terakhir, dia mengolah jangkauan warna di aplikasi Photoshop agar hasil scan mengalami pecah. Hasil pecah itu dapat mengidentifikasi warna.
Dia mengaku membutuhkan referensi gambar wayang beber dan ilustrasi Serat Sindujoyo.5 Tujuan referensi: lukisan karya Kiai Untung lebih seperti ilustrasi Serat Sindujoyo, tapi detail (gelung dan jatuhnya rambut) serta figur orang lebih mengarah ke karakter wayang beber. Dia menilai bahwa perkiraan presentase restorasi (redraw) masih 30% (maksimal 35%). Dia menganggap apa yang dilakukannya tidak dapat mengembalikan kemiripan visual. Sebab, data awal (dokumentasi foto) sudah tidak terbaca.
***
Pada 28 Mei 2025, aku bertemu dengan Kris Adji AW di TPU (Tempat Pemakaman Umum) Tlogopojok (Gresik). Waktu itu, kami mengiringi jenazah seorang kenalan. Lalu, di bawah pohon, kami mengobrolkan pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu, termasuk membahas dua lukisan karya Masmundari koleksi Kris Adji AW. Aku menyimak cerita Kris Adji AW yang membeli beberapa lukisan karya Masmundari pada tahun 1984, atau sebelum Masmundari berpameran tunggal pertama di Bentara Budaya Jakarta pada tahun 1987.
Kris Adji AW bercerita bahwa dirinya membeli beberapa lukisan karya Masmundari sebelum ditempelkan di kerangka damar kurung. Juga, lewat cerita Kris Adji AW, aku baru mengetahui kerajinan damar kurung dikerjakan secara kolektif. Artinya, ada pembagian masing-masing tugas, seperti pembuat kerangka damar kurung, penggambar untuk lukisan damar kurung, hingga pewarna untuk lukisan damar kurung. Dan, Kris Adji AW berkeyakinan lukisan yang dibelinya benar-benar digambar dan diwarna oleh Masmundari.
Dua lukisan karya Masmundari koleksi Kris Adji AW menjadi karya tertua kedua pada pameran seni rupa itu. Bentuknya kubus dengan dua segitiga di bagian atas. Dua segitiga itu untuk menutup penguat konstruksi. Sebagai artefak, meski menguning karena berbahan kertas, aku menelisik ada beberapa noda tipis pada lukisan yang bernarasi perempuan-perempuan sedang beribadah (solat berjamaah dan mengaji). Meski begitu, kualitas dua lukisan karya Masmundari koleksi Kris Adji AW sangat terjaga karena warnanya masih terlihat jelas, bersih, dan tidak ada lipatan kertas. Padahal mengoleksi karya seni rupa yang berbahan kertas sangat rawan diserang jamur.6
***
Pada 1 Juni 2025, terlaksana agenda diskusi yang pertama pada pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu di rooftop Senja Jingga Cafe. Tema diskusi adalah Damar Kurung Melintas Waktu dengan narasumber Kris Adji AW dan moderator Ika Anggun Camelia. Di sana, aku menyimak Kris Adji AW yang menjelaskan apa itu damar kurung. Pada sesi tanya jawab, aku turun dari rooftop ke ruang pameran. Aku pun cangkruk bersama beberapa perupa. Dan, pandanganku menatap dua lukisan karya Masmundari koleksi Kris Adji AW.

Sumber: E-katalog Damar Kurung Melintas Waktu (2025).
Pada lukisan pertama karya Masmundari koleksi Kris Adji AW, aku mengamati kapal yang posisi gambarnya senter. Aku menghitung ada delapan figur orang di kapal—rinciannya: lima figur orang di atas kapal dan tiga figur orang di dalam kapal. Di bawah kapal itu, tergambar laut yang berisi empat ikan. Di kiri kapal itu, dua figur orang di atas jembatan. Detail dua figur orang di atas jembatan: arah figur orang ke kiri sedang membawa ikan; sedangkan arah figur orang ke kanan seolah sedang berkomunikasi dengan lima figur orang di atas kapal. Aku menilai lukisan pertama bernarasi aktivitas di pelabuhan.
Pada lukisan kedua karya Masmundari koleksi Kris Adji AW, aku mengamati dua bidang yang masing-masingnya memiliki kesamaan narasi. Bidang atas memperlihatkan delapan figur perempuan sedang solat berjamaah. Bidang bawah memperlihatkan tiga figur perempuan sedang berdiri dan lima figur perempuan sedang duduk mengaji Al-Quran. Tiga bentuk segitiga di masing-masing bidang menandakan atap bangunan. Kalau mengetahui beduk di bidang bawah, aku merasa bangunan adalah langgar. Karena tidak ada laki-laki pada masing-masing bidang, aku menebak lukisan kedua bernarasi aktivitas di langgar wedok.7
***
Pada 13 Juni 2025, terlaksana agenda diskusi yang ketiga pada pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu di rooftop Senja Jingga Cafe. Tema diskusi adalah Mengenal Damar Kurung dari Mata Masmundari dengan narasumber Shandy Anata M.T., Raja Iqbal Islamy, dan Andriyanto. Aku mengenal narasumber Shandy Anata M.T. dan Raja Iqbal Islamy sebagai anggota Museum Virtual Masmundari. Sedangkan Andriyanto adalah cucu dari Masmundari.

Sumber: Dok. Aji (2025).
Aku menyimak cerita Andriyanto yang mengenang Masmundari. Juga, cerita perihal pihak keluarga—berprofesi sebagai pengrajin damar kurung—melakukan upaya inovasi sejak Masmundari wafat. Inovasi itu adalah pembuatan batik damar kurung dan suvenir. Juga, pesan Masmundari kepada pihak keluarga agar tidak meninggalkan padusan—tradisi mendoakan dan membersihkan makam keluarga di TPU Tlogopojok menjelang bulan Ramadan. Ketika padusan, pihak keluarga Masmundari memiliki kebiasaan menggelar dan menjual damar kurung.
Sedangkan lewat cerita Shandy Anata M.T. dan Raja Iqbal Islamy, aku menyimak proses tim Museum Virtual Masmundari yang mendigitalkan dokumentasi karya-karya Masmundari milik kolektor dan informasi seputar Masmundari. Bagiku, apa yang mereka ceritakan sangat menarik. Sebab, pendigitalan dokumentasi tersebut dapat dijangkau oleh orang-orang di seluruh dunia (asal terakses internet). Tapi, pendigitalan dokumentasi memiliki kekurangan. Raja Iqbal Islamy bercerita bahwa Museum Virtual Masmundari membutuhkan biaya besar untuk perawatan. Beruntung, kekurangan itu mulai tertutupi setelah Pemerintah Kabupaten Gresik meminjamkan hosting dan domain untuk Museum Virtual Masmundari.
***
Aku menghitung tiga agenda diskusi yang terselenggara pada pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu, antara lain: Damar Kurung Melintas Waktu (1 Juni 2025); Lisan dalam Lukisan Sang Liyan bersama Wakil Bupati Gresik (7 Juni 2025); dan Mengenal Damar Kurung dari Mata Masmundari (13 Juni 2025). Sayang, aku tidak bisa lama berada di diskusi Lisan dalam Lukisan Sang Liyan bersama Wakil Bupati Gresik. Jadi, beberapa hari kemudian, aku menyimak siaran ulang diskusi itu pada akun Suara Gresik di Youtube. Aku mencermati semua diskusi tersebut menyinggung Masmundari sebagai maestro yang melukis damar kurung. Artinya, pembahasan damar kurung tidak bisa lepas dari Masmundari.
Tiga diskusi tersebut menjadi pengingat kembali terhadap sosok Masmundari dan upaya melestarikan damar kurung. Tapi, kebudayaan termasuk kata kerja, selain kata benda. Jadi, aku merasa lebih menarik apabila terselenggara diskusi perihal proses kreatif yang melibatkan para perupa yang berpameran. Sebab, proses kreatif itu akan mendorong penciptaan karya berikutnya. Dan, damar kurung pun bisa menjadi media bagi para perupa untuk mengembangkan imajinasi.
Aku merasa sayang sekali ketika tidak ada diskusi proses kreatif. Padahal, diskusi proses kreatif bisa lewat, misal: Rachmad Basuki mempresentasikan restorasinya terhadap lukisan karya Kiai Untung dengan menghubungkan referensi gambar wayang beber dan ilustrasi Serat Sindujoyo, juga penggunaan aplikasi desain sebagai teknik redraw; H.M. Riyanto dan Joko Iwan mempresentasikan masing-masing karya instalasinya yang mempertahankan sisi fungsional dan sisi estetis tapi mentransformasikan bentuk damar kurung; atau Ayos Purwoaji dan Aniendya Christianna (narasumber diskusi Lisan dalam Lukisan Sang Liyan bersama Wakil Bupati Gresik) mengulas karya-karya pada pameran seni rupa itu.
***
Akhirnya, aku teringat tulisan Hardi yang berjudul “Pelukis Masmundari dari Gresik” di majalah sastra Horison. Tulisan tersebut mereportase Masmundari yang berpameran tunggal pertama di Bentara Budaya Jakarta pada tahun 1987. Begini salah satu paragraf yang aku kutip:
Itulah suasana pembukaan pameran Masmundari, dan Bentara Budaya kali ini menyajikan kejutan yang transendental. Menatap karyanya yang berukuran kertas volio dengan pewarnaan teres atau cat poster yang berjumlah 64 buah itu, terasa suasana kerakyatan mengalir dengan deras. Sementara itu, imajinasinya mengembara begitu bebas mengatasi ruang dan waktu, sehingga lukisannya bisa digolongkan sebagai karya tradisional sekaligus modern. Imajinasinya itulah yang kini sepertinya menghilang pada kanvas pelukis modern kita, yang saya maksud imajinasi yang memiliki akar dengan masyarakatnya.8
Bagiku, kutipan paragraf di atas penting karena menunjukkan apresiasi kepada imajinasi Masmundari yang tidak berjarak dengan masyarakat. Sehingga—aku tarik ke maksud diskusi proses kreatif—perlu dialog pencapaian estetika yang ditawarkan para perupa lintas generasi pada pameran seni rupa Damar Kurung Melintas Waktu. Sebab, menengok tajuknya, terkandung sesuatu yang lebih beharga bagi para perupa yang memperlakukan imajinasinya, pengunjung pameran seni rupa itu yang ingin mengetahui siapa perupa damar kurung selain Masmundari, serta perkembangan damar kurung yang enggan berhenti di “satu waktu”. (*)
Catatan Akhir
- Lihat buku Pesona Wisata Kabupaten Gresik (tanpa tahun) yang diterbitkan Dinas Parisiwata dan Komunikasi Kabupaten Gresik pada halaman 52-54. ↩︎
- M.P. Danny Indrakusuma dalam bukunya yang berjudul Masmundari Mutiara dari Tanah Pesisir menulis: “…Sebab, seberkas sinar cerah itu baru didapatnya setelah ia berusia 78 tahun, ketika Bentara Budaya Jakarta memamerkan karya-karya lukisan Damar Kurung-nya pada bulan November 1987. Itu pun setelah karya kerajinan tangan Masmundari berubah orientasi menjadi karya lukis di atas kertas kanvas berbingkai kayu sejak mendapat “arahan” dari pelukis muda kota Gresik, Imang AW….” (hlm: 4). ↩︎
- Pada tabel 1 (hlm: 10) dalam ringkasan disertasi Identitas Perempuan Jawa dalam Tutur Rupa Damar Kurung Masmundari, Aniendya Christianna menjelaskan kosarupa sebagai ciri khas lukisan karya Masmundari, yaitu: gambar tanaman (daun atau pohon) untuk mengungkapkan dimensi ruang; anak panah untuk mengungkapkan gerak angin atau udara; garis zig zag untuk mengungkapkan dimensi ruang dan waktu; dan atap rumah untuk mengungkapkan dimensi dalam ruangan. ↩︎
- Lihat M.P. Danny Indrakusuma dalam buku Masmundari Mutiara dari Tanah Pesisir (2003) pada halaman 27-28. ↩︎
- Serat Sindujoyo adalah manuskrip yang ditulis oleh Ki Tarub Agung dan diilustrasi oleh Kyai Buder. Serat Sindujoyo mengisahkan kehidupan spiritual Mbah Sindujoyo. Bagi masyarakat pesisir di Kelurahan Lumpur dan Kelurahan Kroman (dua kelurahan tersebut bertetangga dan sama-sama berada di Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik), sosok Mbah Sindujoyo sangat dihormati dan dikagumi. Merujuk terjemahan yang dikerjakan Amir Syarifuddin, Serat Sindujoyo memiliki tanda waktu penulisan pada 21 Juli 1850 dan tempat penulisan di Desa Sukodono (Gresik). ↩︎
- Lihat pengalaman Oei Hong Djien pada tulisannya yang berjudul Lukisan Cat Air Masih Kurang Dihargai dalam buku Seni dan Mengoleksi Seni (2012), yaitu: “Jamur yang sangat jahat di daerah tropis ini memberikan bercak-bercak cokelat yang hanya bisa dihilangkan dengan bahan kimia khusus. Di samping itu, karya kertas seperti cat air dan pastel lebih rentan terhadap cahaya. Karena itu, di museum ternama di Eropa dan Amerika, biasanya karya-karya tersebut ditempatkan di kamar gelap dengan sinar lampu secukupnya.” (Hlm: 408). ↩︎
- Kata “wedok” (bahasa Jawa) berarti perempuan (bahasa Indonesia). Aku memakai ungkapan langgar wedok karena teringat masa kecil yang bermain di Kelurahan Sukodono, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Di sana, berdiri dua langgar yang terletak di perempatan gang empat—terhubung ke gang tiga dan gang lima. Langgar pertama untuk tempat solat bagi perempuan; langgar kedua untuk tempat solat bagi laki-laki. Letak dua langgar tersebut sejajar dan dipisahkan jalan gang empat. ↩︎
- Lihat majalah sastra Horison, nomor 12 tahun XXII, Desember 1987, hlm: 423. ↩︎