DONASI

Irisan Jalan Takdir: Jombang, Cak Nun (Jogja) dan Cak Nur (Chicago)

Waktu itu siang hari yang biasa. Cuaca di luar menembus minus belasan derajat. Duduk di pojok kerja apartemen kami, angan saya tiba-tiba dibawa melesat kepada...

CATATAN HARIAN | WEDNESDAY, 29 JANUARY 2025 | 13:56 WIB

Waktu itu siang hari yang biasa. Cuaca di luar menembus minus belasan derajat. Duduk di pojok kerja apartemen kami, angan saya tiba-tiba dibawa melesat kepada rangkaian benang merah perjalanan saya dan Mas J. Memang, musim dingin dan lamunan adalah pasangan yang abadi.

Sebuah kebetulan yang pas, pikir saya. Bulan Januari ini adalah ulang tahun pernikahan kami yang ke-13. Karenanya, berbekal niat syukuran dan selametan,* bolehlah saya tuliskan lamunan yang telah berhasil membuat hati saya hangat sekaligus takjub, takjub bukan kepada kami tetapi kepada kurikulum serta metode tarbiyah-nya Rabb yang selalu seksama dan penuh kejutan itu. Siapa tahu, pembaca jadi ikut tergerak untuk menyibak benang merah dalam hidup masing-masing.

Renungan 13 tahun pernikahan ini mengundang kesadaran, bahwa ada setidaknya tiga hal yang telah menyatukan jalan takdir saya dan Mas J: Jombang, Cak Nun (Jogja) dan Cak Nur (Chicago). Irisan ini telah menyeret kami ke dalam pencarian, permenungan, dan penemuan atas jawaban-jawaban yang selama ini kami cari–sebuah proses panjang yang akan terus berputar.

Demikianlah cerita kami, tentu saja dari sudut pandang saya:

1. Jombang

Kami bertemu di Ponpes Darul Ulum Jombang pada tahun 2001. Mas J adalah kakak kelas dua tingkat di SMA DU 2 Unggulan. Pertemuan pertama adalah ketika Masa Orientasi Siswa (MOS). Saya siswa baru, Mas J panitianya (OSIS). Melihatnya dari jauh, Allah titipkan kesan di hati saya: “Kok ada laki-laki yang tenang dan damai begini, ya”. Haha. Saya sendiri heran. Pasalnya, perawakan Mas J kala itu sebenarnya tidak menarik-menarik amat. Kesan itu saya pendam sendiri, tidak saya ungkapkan kepada siapapun, mungkin karena memang tidak saya anggap penting. Saya juga tidak membangun hubungan, bahkan pertemanan sekalipun, dengan Mas J. Saya bahkan tak ingat pernah bertegur sapa dengannya. Selepas lulus sekolah, kami menjalani hidup masing-masing. Dalam rentang waktu sampai dipertemukan lagi, ada dua momen saya mengingatnya: “Sekarang, dia menjadi sosok yang seperti apa, ya?” begitu tutur batin saya. Sekitar sepuluh tahun pasca pertemuan pertama itu, seorang teman mengenalkan kami. Kami bertemu. Dan seperti ditarik oleh jalan takdir yang tak kuasa kami bendung, kami menikah pada Januari 2012. 

Jombang adalah kota di mana saya dan Mas J dipertemukan. Ia adalah juga kota asal Cak Nun (CN, Emha Ainun Nadjib) dan Cak Nur (Nurcholish Madjid). Ponpes Darul Ulum adalah tempat di mana kami berjumpa pertama kali. Di situ pula lah, Cak Nur pernah mondok.

2. Cak Nun (Jogja)

Anugerah paling tak terduga dalam rumah tangga kami melibatkan CN.

Tahun 2015, tahun ke-4 pernikahan kami, saya diterima sebagai dosen di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mas J akan harus pindah ke kota baru. Terus terang saya dirundung gelisah: Ia nanti akan bekerja apa? Siapa temannya? Mas J berencana akan membangun usaha entah apa. “Dipikir nanti”, katanya. Waktu itu, saya sedang S-2 yang kedua di Hartford Seminary, Amerika Serikat. Mas J menemani saya sejak tahun kedua (Januari 2014), meskipun ia harus tinggal dan bekerja di Philadelphia untuk mencukupi kebutuhan kami karena beasiswa saya yang kecil (diperkecil lagi jumlahnya karena perubahan kurs USD dari IDR 9,600 ke sekitar IDR 12,000), juga untuk membayar hutang dari usaha sebelumnya yang harus gulung tikar.

Pada September tahun 2015 itu, ketika saya sudah kembali ke Jogja, Masjid komunitas Indonesia di Philadelphia (al-Falah) membuat acara penggalangan dana. Setahunan sebelumnya, Mas J sempat melontarkan ide untuk mendatangkan CN ke Masjid al-Falah. Ketika rencana fundraising ini kemudian muncul pada musim panas tahun 2015, ide lama itu menemukan wadahnya. Takmir sepakat mengundang CN dan Mbak Via (MV) untuk membersamai acara tersebut. Mas J dan beberapa teman diberi tugas mengawal CN dan MV selama di sana. 

(Pertemuan pertama Mas J dengan CN dan KiaiKanjeng (CNKK) terjadi pada tahun 1996, ketika ia mondok dan bersekolah di MTs PPMI Assalam Solo. Itu membawanya sesekali ikut pengajian Padhangbulan di Menturo ketika kemudian mondok di Jombang (1999-2002). Pada masa awal pernikahan yang saat itu cukup menantang bagi kami, utamanya pada tahun 2014–awal Mas J di AS, Mas J juga mengikuti pengajian Maiyah lewat YouTube sebagai zawiyah yang menguatkan batinnya. Maiyah sendiri bukan hal yang asing buat saya. Ketika kuliah di Jogja sejak tahun 2004, saya beberapa kali datang ke Mocopat Syafaat atau Maiyahan bersama teman-teman).

Selama mengikuti kegiatan CN dan MV di Philadelphia ini, Mas J juga terhubung dengan Cak Zakki, adik CN sekaligus pimpinan Progress, manajemennya CNKK. Mas J bertugas sebagai penyuplai lokal untuk berita di CakNun.com. Menurut ceritanya, saat itu, CN memang sempat bertanya ia akan pulang ke mana dan kapan. Ketika dijawab akan tinggal di Jogja dan pulang sebulanan lagi, CN hanya pesan, “Nanti kabari Zakki ya kalau mau pulang”.

Mas J benar-benar mengabari Cak Zakki, mengikuti pesan CN. Pada sebuah malam di penghujung Oktober 2015, Mas J mendarat di Bandara Adisucipto. Pukul 07.00 WIB besok paginya, CN dan MV menjemput kami untuk sarapan soto di Kadipiro, lalu mengajak kami ke Rumah Maiyah yang lokasinya tak jauh untuk bertemu dengan beberapa tim Progress. Setelah beberapa waktu, ketika kami berbincang di Perpus EAN, Cak Nun bertanya kepada kami, terutama meminta izin kepada saya sebagai istri Mas J: “Kalau misalnya Jamal saya minta bantu Progress bagaimana?”

Yā Allāh yā Rabbī yā Karīm, belum lama lalu, kami, lebih tepatnya saya (hehe), khawatir Mas J akan bekerja apa dan berteman dengan siapa di Jogja. Ternyata, Allah bukan hanya mengirimkan pekerjaan, tetapi juga saudara dan komunitas. Berkegiatan di Progress ini tanpa diangan, direncanakan, apalagi diminta. Istilahnya, it was not even in our wildest dream. Baru belakangan kami tahu, CN dan tim Progress memang sedang mempertimbangkan kebutuhan tambahan personel waktu itu. Alḥamdulillāh. Ini adalah ketidakterdugaan yang kami rasakan paling ajaib dalam sejarah rumah tangga kami, sekaligus menjadi pembuka kehidupan kami berdua di Jogja setelah lebih dari tiga tahun masing-masing tinggal di kota atau negara yang berbeda. Seiring perjalanan waktu, kami pun menyadari bahwa ini ternyata menjadi wasilah bagi banyak hal baik yang terjadi dalam hidup kami.

Dari keterlibatan Mas J di Maiyah, saya mengenal konsep tadabbur yang sering di-wedar-kan CN. (Mulai tahun 2016 sampai 2018, hampir setiap hari CN menulis esai yang diterbitkan dengan tajuk “Daur” dalam CakNun.com, kemudian dicetak menjadi tujuh jilid buku. Banyak esai dalam Daur ini membahas tadabbur. Atau, mungkin lebih tepatnya, Daur secara keseluruhan adalah tadabbur CN atas al-Qur’an). Tak lama setelah Mas J bercerita tentang praktik tadabbur di Maiyah, pada akhir tahun 2016, ada call for papers untuk sebuah antologi buku yang “kebetulan” saya baca dari sebuah mailing list. Waktu itu, editornya membutuhkan satu naskah tambahan tentang bagaimana al-Qur’an hidup dalam komunitas Sufi. Abstrak yang saya kirimkan tentang tadabbur dan Maiyah diterima. Tulisan sederhana itu telah terbit dalam buku Communities of the Qur’an (2019). Tulisan yang serupa juga telah membawa saya ke Universitas Leiden, Belanda (2017).

Secara natural, menulis proposal atau rencana disertasi tentang tadabbur dan Maiyah menjadi satu-satunya ide paling mungkin yang saya punya dalam masa persiapan studi doktoral (2017-2018). Proposal itu, bersama catatan dalam biodata bahwa saya akan menerbitkan tulisan di sebuah antologi buku dan punya pengalaman akademik internasional, menjadi lantaran diterimanya saya di Freie University Berlin dan oleh satu professor di sebuah kampus lain di Jerman. Proposal itu juga menjadi wasilah diterimanya saya di empat kampus di AS, hingga akhirnya berlabuh di Universitas Chicago (2019) setelah memperhatikan pertimbangan Mas J dan ibu. Selanjutnya, kuliah di Universitas Chicago menjadi wasilah petualangan kami berdua ke berbagai belahan dunia di atas peta maupun ke dalam diri.

Sebenarnya, sejak awal ada rasa kurang mantap dengan rencana menulis tentang Maiyah ini. Perjalanan studi juga mengarahkan bahwa yang lebih urgen saat ini adalah melakukan kajian tekstual. Pada akhirnya, disertasi saya memang bukan tentang Maiyah, meski masih membahas konsep yang direncanakan, tadabbur. Belakangan saya sadari, jangan-jangan, sebenarnya ini bukan persoalan kemantapan atau urgensi, melainkan bahwa maqām saya saat ini disuruh meresapi Maiyah sebagai sebuah “tradisi” dulu.

Memang, terutama setahunan terakhir, saya mulai menyadari resonansi gagasan/laku CN dengan yang saya pelajari lewat wasilah perjalanan di Universitas Chicago. Pertemuan dengan Mas Irfan Afifi di Chicago dan Ann Arbor pada Maret 2024 lalu yang memantik kesadaran ini,** dengan bulan Januari ini sebagai momen pembulatannya ketika saya tiba-tiba tergerak untuk mengkhatamkan Daur. Misalnya, CN sangat jernih dan peka dalam melihat pergeseran, kondisi dan kerusakan khas yang dibawa dunia modern. Tanpa bacaan ndakik-ndakik, berbekal pandangan dunia yang melanjutkan warisan dari leluhur kita, CN adalah figur sangat langka di tanah air yang konsisten tidak nggumun (terkagum) dengan konsep-konsep modern seperti HAM, demokrasi, negara, kemajuan, modernisme, pembangunan, ketertinggalan, globalisasi, hak, kebebasan, kesetaraan, humanisme, religion, sekularisme, pluralisme, liberalisme, fundamentalisme, moderasi, radikalisme, terorisme dll. CN justru mengajak untuk menggali, mendudukkan dan mempertanyakan semua itu. Ini bukan berarti CN sama sekali anti perubahan; musik Gamelan KiaiKanjeng itu apa kalau bukan sebentuk adaptasi terhadap perubahan! CN hanya sadar dan paham adanya penjajahan lewat kata di dunia kita hari ini, penjajahan yang kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Karenanya, CN mendorong jamaah Maiyah untuk mendayagunakan potensi akal dan rohani mereka untuk secara jernih memahami lapisan-lapisan persoalan hari ini yang sangat kompleks. Sekali lagi, jangkar ajaran CN jelas: tasawuf atau apalah itu namanya, sekumpulan ilmu peninggalan mbah-mbah kita. Dalam kelindan kompleksitas persoalan hari ini yang jelas di luar kuasa manusia untuk mengatasinya, dan manusia memang tidak semestinya punya nafsu merasa bisa mengubah zaman, CN mengajarkan bagaimana menyikapinya, bagaimana menjadi manusia yang berdaulat, untuk ndepe-ndepe, mendekat kepada Allah memohon Dia mengguyurkan pemahaman, kasih-sayang, dan keselamatan-Nya. Ini jangan dipahami sebagai gerak lari dari kenyataan, tetapi sebagai gerak berkesadaran. Masih banyak yang bisa diceritakan di sini, tapi dicukupkan dulu.

Proses pendidikan saya di UChicago, baik di dalam maupun di luar kelas, seakan menjadi rangkaian kurikulum yang menyiapkan saya memasuki dan ikut merasakan jagad kegelisahan dan penghayatan CN ini. Saya belajar dua jalur sanad keilmuan di sini, yang ini bukan semata rencana atau pilihan saya, tetapi gambar yang terlihat sesuai dengan bagaimana saya telah diperjalankan sejauh ini. Pertama, Asadian framework (Talal Asad) sebagaimana diriwayatkan oleh guru-guru saya Hussein Ali Agrama–murid langsung Asad, Alireza Doostdar dan Elham Mireshghi. Kedua, tasawuf sebagaimana diajarkan dan dihidupi oleh guru saya Yousef Casewit. Dua jalur ini, ketika dipersatukan, rasanya berirama dengan apa yang saya pahami tentang CN di atas. Saya tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa saya telah tuntas belajar. Justru sebaliknya, saya merasa baru memulai perjalanan. Ini hanya untuk menggambarkan bagaimana saya di sini dididik sehingga pelan-pelan mengembangkan rasa dan gelombang untuk bisa menerima, meresapi, mengolah dan mengelaborasi apa yang diajarkan CN dalam melihat dan menyikapi kondisi hari ini. What he has to say makes sense. Ilustrasi mudahnya, buku Daur CN terasa seperti padatan, yang lebih utuh dan indah, dari kegelisahan sekaligus jawaban yang terbentuk selama saya di sini.

Tiba-tiba, dalam lamat-lamat lamunan saya siang itu, saya dibuat ingat pesan CN ketika kami sowan pamit lima setengahan tahun yang lalu, yang kira-kira isinya begini: “Sampean tidak harus menjadi Cak Nur, Buya Syafi’i, atau Amien Rais, Mbak. Sampean temukan jalan sampean sendiri”. Bagaimana kalau ternyata jalan yang saya temukan itu, pada akhirnya, adalah jalan yang selama ini Jenengan ajarkan, CN?

Hati saya luruh seketika ketika sampai kepada kesadaran terakhir ini. Dalam perencanaan saya yang terbaik sekalipun, tak mungkin saya mampu membuat skenario bahwa Mas J akan bertemu dengan CN di Philadelphia tahun 2015, dan bahwa pertemuan itu akan turut menarik saya ke dalam pusaran permenungan intelektual dan spiritual yang ujungnya sejauh ini mengarah kepada ajaran dan laku hidup CN itu sendiri. Lucunya–Tuhan memang suka ngajak bercanda, Dia harus memperjalankan saya jauh-jauh ke Chicago hanya untuk menemukan, kemudian menyadari, jalan itu. Mungkin supaya saya mengalami “proses otentik” saya sendiri. 

3. Cak Nur (Chicago)

Menjadi mahasiswa S-1 dan S-2 di IAIN/UIN Sunan Kalijaga tahun 2004–2011, mustahil saya tidak mengenal Cak Nur atau Nurcholish Madjid. Karya-karya Cak Nur ada dalam rak buku saya, bukan hanya sebagai pajangan tetapi juga saya baca sebagian. Ketika S-1, saya bahkan tergabung dalam JARIK (Jaringan Islam Kampus), “sebuah komunitas muda Islam progresif yang konsen mengusung ide-ide liberalisme, sekularisme dan pluralisme demi mewujudkan masyarakat sejahtera, berkeadilan dan berpihak pada nilai-nilai kemanusiaan”. Jaringan ini diasuh oleh LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) dan banyak mengusung ide-ide Cak Nur. Pada tahun terakhir S-1, saya bersama teman menerjemahkan salah satu buku Abdullah Saeed, yang metode tafsir kontekstualnya dipengaruhi oleh Fazlur Rahman, guru Cak Nur di UChicago dulu. Saeed juga menulis artikel membahas metode tafsirnya Cak Nur sebagai muridnya Rahman. Sejalan dengan aura zaman itu, saya memegangi dan menyuarakan ide Islam progresif, pembaharuan Islam, atau penafsiran ulang tradisi Islam. Kuliah di Hartford lah awal mula perjalanan saya untuk merenungi ulang posisi saya sebelumnya, hingga pelan-pelan menjadi lebih matang ketika di UChicago, kampusnya Cak Nur, juga saya. (Dalam hemat saya saat ini, ketimbang memperbarui atau apalagi mendekonstruksi tradisi, yang lebih mendesak hari ini adalah memugar memori kita atas tradisi itu sendiri, yang mana kerja ini perlu dibarengi dengan interogasi asumsi-asumsi modern dalam diri kita yang, sering tanpa disadari, telah memengaruhi atau melahirkan bias tertentu dalam pembacaan kita atas tradisi tersebut juga atas diri kita sendiri.)

Cak Nur tidak hanya pernah hidup dalam diri saya, tetapi juga Mas J. Selepas SMA, ia sebenarnya diterima di Jurusan Kedokteran Hewan UNAIR tetapi tidak ditindaklanjuti karena sebuah alasan yang unik. Mas J memilih kuliah di UIN Syarif Hidayatullah, mengambil Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, salah satunya karena ingin mengikuti jejak Cak Nur. Ketika di Ponpes Darul Ulum, ia memang pernah bertemu Cak Nur yang kala itu diundang sebagai alumni untuk mengisi ceramah dalam peringatan Lustrum SMA kami. Ia juga mengaku pernah membaca tulisan Cak Nur ketika MTs, meskipun tak paham. Setahun kuliah di jurusan ini, Mas J tak betah. Haha. Ia pindah ke Jurusan Ilmu Perpustakaan karena ingin bisa ke luar negeri. Ceritanya, salah satu dosennya adalah lulusan University of Illinois Urbana-Champaign (UIUC), yang kadang juga bercerita tentang pelesir akademiknya ke luar negeri, Belanda misalnya. Mas J hanya membayangkan seru bisa ke AS dan Eropa, meskipun tidak spesifik untuk tujuan kuliah.

Ndilalah kersaningalah, kok ya diizinkan terjadi. Selain sudah pernah ke Eropa, Mas J benar-benar tinggal di Chicago, hanya dua jam dari lokasi kampus dosennya. Kota ini, tentu saja, adalah tempat Cak Nur kuliah dulu. Di kampus yang sama, saya sekarang dididik dan bertemu dengan guru-guru yang tanpa mereka sadari telah menuntun saya untuk “pulang” itu. Cak Nun sendiri pernah menjejakkan kakinya di kota ini, ketika ia mengikuti The International Writing Program di Universitas Iowa pada tahun 1981, tahun di mana Cak Nur sedang menempuh studi doktoralnya. Cerita tentang kota ini juga ditemukan dalam beberapa esai CN.

Kalau kata Mas J, yang kuliah itu bukan hanya saya, dia juga. Kami memang punya banyak kegelisahan dan pertanyaan (hidup) yang senada—Mas J diwarnai oleh CN, dan saya oleh Asad dan pemahaman saya yang masih terlampau tipis atas tradisi tasawuf. Karenanya, dalam selipan obrolan tak penting laiknya suami-istri yang lebih panjang, kami sering tukar pikiran. Saya mendengarkan refleksi dan pandangan Mas J. Demikian halnya, Mas J mendengarkan cerita saya pasca kuliah, baca, atau ketika ada permenungan tertentu. Hingga baru beberapa waktu ini, ia berujar: “Jangan-jangan bahwa obrolan kita terasa menyokong satu sama lain itu ya karena ada kesenandungan frekuensi antara renungan CN dan Asad?” Saya amini penakaran Mas J ini, terutama bahwa menurut pengalaman saya sendiri, memahami proyeknya Asad membantu menghadirkan getaran yang lebih dalam dan konkret atas rasa njarem yang pernah disampaikan CN. Kok bisa demikian, ya karena rasa njarem ini juga menyebar halus dalam tulisan-tulisan Asad, seperti juga terasa dalam perbincangan ketika saya dan dua teman sowan kepadanya pada Desember 2024 lalu. Asad menyediakan framework yang membantu saya melihat kondisi dunia modern dengan lebih apa adanya, menyelidiki asumsi-asumsinya, juga merunut cerita yang mengantarkan kita sampai di titik ini. CN mendedahkan kondisi dunia modern ini, ditambah mengajarkan kearifan dan kebijaksanaan, ḥikmah. Satu paragraf ini adalah urusan yang perlu bertahun, kalau tidak berdekade, untuk bisa kami hayati dan uraikan.

Inilah kelindan ketiga dari jalan takdir saya dan Mas J. Memori kami tentang Cak Nur digariskan menjadi sepasang sayap yang membawa kami terbang ke Chicago, menapaktilasi bukan hanya perjalanan Cak Nur tetapi juga Cak Nun. Di kota ini, kami bertumbuh bersama dan memulai perjalanan pengenalan diri, sebuah perjalanan yang kami harapkan hanya usai ketika hayat tak lagi dikandung badan.

Lamunan panjang ini telah berhasil membawa kehangatan pada bulan Januari Chicago yang sangat dingin. Jombang, Cak Nun (Jogja) dan Cak Nur (Chicago): demikianlah Allah izinkan jalan takdir saya dan Mas J beririsan. (Selamat ulang tahun pernikahan, suamiku). Alḥamdulillāh ʿalā kulli ḥāl. Segala puji bagi-Nya dalam segala keadaan. Semoga Allah luaskan rahmat, ridla, dan ampunan-Nya. Āmīn.[]

____________________________________________


–Tulisan ini adalah kado ulang tahun pernikahan dari saya untuk Mas J, yang kalau kata ibu saya, saya telah menitipkan bahkan nyawa saya kepadanya.

*Saya membagi versi pendek dari renungan ini kepada Mas Irfan, yang lalu mendorong saya untuk memanjangkan dan menerbitkannya di Langgar.co. Terima kasih, Mas. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada yang berkenan membaca. Semoga ada hal baik yang bisa diambil dari renungan pribadi ini.

**Selanjutnya, bolehlah saya tambahkan catatan di sini, sehingga benang merahnya semakin utuh, tentang cerita di balik pertemuan saya dengan Mas Irfan tahun 2024 lalu, pertemuan yang bagi saya membuka beberapa kesadaran baru, satu halnya telah saya catatkan di atas. Benang merah yang akan saya ceritakan ini baru saya sadari ketika bertemu Verena Meyer di waktu yang sama. Tahun 2018, Verena–saat itu mahasiswa doktoral di Universitas Columbia, dan kini dosen di Universitas Leiden–mengontak saya, meminta bantuan dalam risetnya di Jogja. (Jangankan pembaca, saya sendiri heran mengapa, dari sekian banyak manusia di UIN Sunan Kalijaga, Verena mengontak saya. Saat itu kami belum mengenal satu sama lain) Saya menyambungkan Verena dengan beberapa orang termasuk dengan Mas Nur Khalik Ridwan. Mas Khalik menyambungkan Verena dengan Mas Irfan. Lewat Verena, Mas Irfan mendapatkan beberapa artikel Bu Nancy Florida yang dicarinya–terjemahnya telah terbit (2020). Verena juga menyambungkan Mas Irfan dengan Bu Nancy. Lantaran ketersambungan itu–dan hanya mereka yang tahu kesyukuran saling menemukan satu sama lain–Bu Nancy mengundang Mas Irfan untuk hadir dan menjadi salah satu presenter dalam acara syukuran pensiunnya di Ann Arbor, Michigan, acara yang juga dihadiri oleh Verena. Dalam kunjungan inilah, saya dan Mas J bertemu dengan Mas Irfan secara intens untuk pertama kalinya di Chicago–menginap di apartemen kami–dan di Ann Arbor. Pertemuan itu–yang, sebagaimana segala hal yang lain, terjadi dalam waktu yang tepat tidak lebih lambat ataupun lebih cepat–melahirkan obrolan-obrolan yang menjadi wasilah terbukanya pemahaman dan kesadaran baru bagi saya. Demikianlah, Allah gerakkan hati Verena pada tahun 2018 itu untuk terlahirnya rangkain pertemuan yang menumbuhkan manusia-manusia di dalamnya.

4611

Lien Iffah Naf’atu Fina

Pendiri dan pengelola QuestioningNarratives.com, pengajar di UIN Sunan Kalijaga, sedang studi doktoral di Universitas Chicago.

Comments are closed.