“Korjooo! Korjoooo! Korjoooooooooooooo!”
Kernet berpeci hitam nasional itu memekik seraya membenturkan cincinnya ke besi pegangan penumpang. Sopir melepas gas, menginjak rem. Bus Akas trayek Muncar-Surabaya-Kalianget yang saya tumpangi sejak 1,5 jam lalu dari Terminal Sritanjung, Banyuwangi, berhenti.
Saya gendong ransel, saya angkat bokong dari kursi di kabin tengah, saya turun dari bus kelas ekonomi ber-AC itu. Azan isya berkumandang. Kendaraan begitu ramai berlalu-lalang seperti koruptor yang tak henti-henti menggelembungkan anggaran. Dari gapura berlogo lintangan huruf Arab di seberang jalan, pemuda bersarung juga berjaket dan berkopiah hitam nasional muncul menyorong motor.
“Saifir Rohman, Mas,” ucapnya, mengenalkan diri. Tangan saya menjabat tangannya. Kami memang berbalas pesan sejak saya masih di kapal feri, bahkan sejak beberapa hari sebelumnya, karena Ustadz Syaifir-lah yang menghubungi saya untuk datang. Ke motor yang kata dia milik pesantren itu saya berbonceng. Malam itu, saya diinapkan di wisma dosen yang mewah untuk ukuran pesantren. Ranjangnya besar dan sandaran kursinya tinggi khas perabot rumah di Timur Tengah. “Sebelumnya, wisma ini ditempati seorang syaikh dari Al-Azhar, Mesir,” Ustadz Syaifir menjelaskan.
Esok harinya, pukul 9 pagi, saya sudah berada di kampus Ma’had ‘Aly Pondok Pesantren Salafiyah-Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur. Di pesantren ini, Senin 9 Juni 2025, bersama Kiai Muhammad Faizi dari Pondok Pesantren Annuqayah, Guluk-Guluk, Sumenep, pengurus perpustakaan Ma’had ‘Aly meminta kami untuk menemani para mahasantri belajar menulis esai.
Mahasantri adalah sebutan untuk para santri lulusan madrasah aliyah yang melanjutkan belajarnya di Ma’had ‘Aly. Adapun Ma’had ‘Aly merupakan lembaga pendidikan tinggi di beberapa pesantren di Indonesia yang menekuni keilmuan khusus seperti fiqih dan ushul fiqih, sejarah dan peradaban Islam, hadits dan ilmu hadits, Al-Qur’an dan ilmu Al-Qur’an, tasawuf dan tarekat, aqidah dan filsafat Islam, bahasa dan sastra Arab, juga ilmu falak. Ma’had ‘Aly Sukorejo menekuni hukum Islam (fiqih) dan filsafat hukum Islam (ushul fiqih).
Ada dua puluhan peserta dalam pelatihan itu: sepuluh santri putra dan sepuluh santri putri. “Kami sengaja tidak melibatkan banyak peserta agar kelas lebih intensif,” jawab Ustadz Syaifir saat saya bertanya kenapa hanya dua puluh peserta. Namun saat acara berlangsung, sepertinya ada tambahan sepuluh atau belasan santri lagi termasuk panitia yang ikut dalam pelatihan.
Pelatihan dibagi menjadi tiga sesi: pagi, siang, lalu malam. Di kelas pagi, Kiai Faizi diberi waktu bicara tentang tata bahasa dan kesalahan-kesalahan umum dalam penulisan. Saya ditugaskan mengurai apa itu esai dan bagaimana menulis esai dengan baik. Frasa “menulis esai dengan baik” sebenarnya mengkederkan saya karena saya sebenarnya belum benar-benar mampu menulis esai, apalagi, dengan baik. Di kelas siang, saya dipersilakan bicara tentang memilih angle sedangkan Kiai Faizi diminta mengulas penyelesaian dan penyuntingan tulisan. Terakhir, kelas malam, panitia menugaskan saya dan Kiai Faizi untuk mengoreksi sekaligus membahas esai-esai peserta yang dikumpulkan menjelang petang.
Kiai Faizi yang saban hari mengajar kitab Risalatul Mu’awanah kepada santri-santrinya di Pesantren Annuqayah, pada malam-malam tertentu memimpin sarwah dan tahlil di tengah masyarakat Desa Guluk-Guluk, hari itu telaten mengurai diksi, titik, koma, dan tetek bengek kebahasaan lainnya. Sebagai seorang kiai, penyair, esais, juga bismania, berkali-kali dia memberi trik menciptakan cerita dan unsur puitik dalam esai dengan contoh esai yang dia tulis dan telah dia terbitkan.
Saya lebih banyak berbagi pengalaman dalam menulis, mencari atau mendapatkan ide, cara mengirim esai serta momen agar esai tersebut berpeluang terbit di media massa. Untuk menyemangati peserta pelatihan, saya berkisah tentang honorarium yang didapat esais ketika esainya dimuat di koran atau majalah.
Agar peserta tidak menjadikan honorarium sebagai satu-satunya alasan menulis esai, saya sampaikan juga betapa banyak media massa yang kini menurunkan nominal uang lelah itu bahkan meniadakannya sama sekali dengan alasan efisiensi perusahaan atau berdalih zakat kebudayaan. Ah, efisiensi, betapa kata ini kini menjadi momok yang menakutkan. Dengan kata itu penyelenggara negara memangkas anggaran kesehatan dan pendidikan meski di sektor lain yang tak penting mereka menggunakannya ugal-ugalan.
Esok paginya, setelah sarapan nasi sodu khas Asembagus suguhan Ustadz Adnan, saya minta antar ke kompleks pekuburan masyayikh Pesantren Sukorejo di belakang masjid. Di depan kuburan Kiai Haji Raden As’ad Syamsul Arifin saya bertawasul dengan membaca Surah Al-Fatihah untuk Kanjeng Nabi juga keluarga dan sahabatnya berikut para ulama dan tentu saja Kiai As’ad serta para kiai dan para nyai pesantren ini. Saya teruskan dengan membaca Shalawat Nariyah sebelas kali kemudian saya bertahlil dan berdoa.
Saat membaca Al-Fatihah, saya teringat sampul berlukis sosok Kiai As’ad di Majalah Tempo edisi “Rame-Rame ke Situbondo” yang terbit 15 Desember 1984. Saya juga terkenang Majalah Tempo edisi 2 September 1989 yang di rubrik memoar-nya memuat sebelas halaman wawancara Mohammad Baharun dengan Kiai As’ad berjudul “Pemimpin di Balik Layar”. Tahun-tahun itu, Kiai As’ad memang ulama incaran media massa, terutama sejak Musyawarah Nasional Alim Ulama di Pesantren Sukorejo 21 Desember 1983, waktu Nahdlatul Ulama menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Kiai As’ad berwibawa karena meski dekat dengan penguasa dia tak pernah tertarik dengan kekuasaan. Dia menolak ketika Soekarno menawarinya menjadi Menteri Agama. Andai Kiai As’ad masih hidup pada tahun 2016, saya hakulyakin, Kiai As’ad pasti emoh bahkan mungkin marah ketika negara menganugerahinya gelar pahlawan nasional. “Aku tak ingin terkenal di bumi, Nak, aku ingin terkenal di langit,” tegas Kiai As’ad kepada Kiai Imam Qusyairi Syam, seorang kerabatnya, beberapa tahun setelah Muktamar ke-27 NU sukses digelar di Pesantren Sukorejo yang saat itu diasuhnya.
Ketika membaca Shalawat Nariyah terlintas dalam pikiran saya Pengurus Besar Nahdlatul Ulama yang menerima konsesi tambang dari negara. Saat itu pula saya teringat anggota PBNU yang menjadi komisaris perusahaan nikel di Pulau Gag, Raja Ampat, Papua Barat. Setelah itu, terbayang wajah salah satu ketuanya yang memakai teori fiqih dalam membela industri ekstraktif lalu menyebut aktivis peduli kelestarian alam sebagai wahabi lingkungan dalam gelar wicara di satu stasiun televisi.
Sambil bertahlil, saya bertanya-tanya: andai masih hidup, apa yang akan dilakukan Kiai As’ad, saat NU, organisasi yang ikut beliau dirikan bersama Kiai Haji Hasyim Asy’ari dan Syaikhona Khalil Bangkalan juga para ulama lain, kini mirip juru bicara istana atau bagian humas kementerian? Andai bisa berjumpa langsung dengan Kiai As’ad, saya ingin bertanya: apa yang perlu dilakukan hari-hari ini ketika Indonesia sedang menderita penyakit kronis dalam ranah politik, ekonomi, dan budaya?
Angin menyapu wajah yang masih basah oleh air wudu. Nama Allah dan Rasulullah menyejukkan batin yang sebelumnya hangat oleh kesangsian. Tak ada jawaban, namun setidaknya, kemusykilan telah diungkapkan.
Setelah bertawasul, bershalawat, juga bertahlil, saya berdoa untuk diri, keluarga, tetangga, teman-teman, juga negara dan bangsa yang sedang krisis keteladanan. Saya juga berdoa semoga ke depan NU diurus oleh ulama, tidak diurus oleh broker politik apalagi oleh tengkulak tambang. Saya pun bermunajat, semoga santri-santri yang kemarin belajar menulis esai di Ma’had ‘Aly Sukorejo kelak tidak menggunakan esai dan ilmu agamanya untuk mencuci tangan rezim zalim dengan kelihaian berbahasa dan kedalaman teori fiqih-nya.
Saya tinggalkan pekuburan Kiai As’ad yang saat itu juga menjelma kuburan bagi pertanyaan-pertanyaan saya tentang NU, tentang Indonesia, tentang segala tentang yang terbentang. Ustadz Wafi mengantar saya ke jalan raya pantura di selatan pesantren. Di jalan Surabaya-Banyuwangi tempat belalu lalangnya truk-truk besar menuju Bali itu saya menunggu bus menuju Terminal Sritanjung lalu menyeberang dari Pelabuhan Ketapang.
Saya menunggu bus besar dan panjang seperti Akas, Mila, atau Indonesia Abadi namun tak kunjung tiba. Yang datang justru bus Ujang Jaya dan Minto yang kecil dan pendek. Selama dan semenjenuhkan inilah rasanya menunggu pemimpin bercita-cita besar dan berpikiran panjang namun yang datang justru pemimpin berjiwa kerdil dan berpikiran pendek.
Setelah dua jam menunggu, dengan lunglai saya naik Minto. Dalam bus yang berjalan bagai siput itu saya kebagian bangku paling belakang dan karenanya tengkuk saya tertimpa terik matahari. Tengkuk yang terpanggang, bus yang berjalan tersengal-sengal, obrolan antarpenumpang dari kongkalikong para elite politik nasional hingga anak-anak mereka yang butuh biaya banyak untuk masuk sekolah di awal tahun ajaran, membuat pertanyaan-pertanyaan ini menyerbu pikiran.
Kenapa mahasantri Ma’had ‘Aly Sukorejo ingin menulis esai? Kenapa mereka rela mengundang Kiai Faizi yang jauh-jauh datang dari Madura, juga saya yang berangkat dari Bali hanya untuk menekuni sejenis tulisan yang kini tak dihargai dengan honorarium yang layak? Apakah karena mereka ingin terbebas dari penjara tulisan ilmiah rezim scopus yang sesak dengan latar belakang dan rumusan masalah, tinjauan pustaka, teori dan metodologi, daftar pustaka, berikut catatan kaki yang melelahkan pembacaan sekaligus membonsai pemikiran? Kenapa santri-santri itu ingin jadi esais? Bukankah lebih enak jadi komisaris? Jangan-jangan, mereka ingin jadi komisaris sekaligus esais, seperti mantan jurnalis dan aktivis yang sedang menikmati hari-harinya di kursi komisaris perusahaan pelat merah sambil menulis esai-esai kebudayaan di beranda media sosialnya maupun di media massa?
Ketika bus Minto yang saya tumpangi melaju di tengah-tengah Taman Nasional Baluran, saat saya memandang rimbun hijau daunan pohon-pohon jati serta sekawanan monyet yang mencari makan di pinggir jalan, saya membatin: semoga hutan ini tidak ditambang oleh yang bergelantungan di pohon-pohon lembaga kenegaraan lalu dicarikan ayat pembenarnya oleh yang mendesis di semak-semak organisasi keagamaan.