DONASI

Mengenang Prie GS dan Seni Menggebuk Hidup

Kalimat itu masih saya ingat dengan jelas, “Hidup ini keras, maka gebuklah!”  Prie GS. Tertulis di tembok bagian dalam sekretariat pers mahasiswa semasa saya kuliah....

OBITUARI | SUNDAY, 14 FEBRUARY 2021 | 12:24 WIB

Kalimat itu masih saya ingat dengan jelas, “Hidup ini keras, maka gebuklah!”  Prie GS. Tertulis di tembok bagian dalam sekretariat pers mahasiswa semasa saya kuliah. Waktu itu, Pak Supriyanto Gendut Sudarsono (Prie GS) yang ada di imajinasi saya merupakan seorang bapak berambut gondrong, berkumis, dan juga seorang penulis. Belakangan saya tahu jika kalimat tersebut adalah judul buku dari trilogi Ipung, ditujukan kepada siapa saja yang setia menjaga nurani. Ipung menjadi semacam cetak birudari kisah hidup Pak Prie.

Sejujurnya, saya bukanlah pembaca tulisan Pak Prie yang baik, karena sedikit karya beliau yang saya baca. Saya mengenal Pak Prie bukan dari karyanya, tapi dari sosoknya secara langsung. Ya, perkenalan dari dekat itu terjadi pada Sabtu, 31 Agustus 2019 di rumah beliau di Jalan Candi Kalasan Selatan II No. 1003 Kalipancur. Rumah beliau berada di sebuah perumahan yang masih sepi suasananya. Rumah tersebut dominan berwarna coklat, orange, emas yang menimbulkan kesan hangat, dengan kandang burung, gazebo, dan pendopo di kedua sisinya. Beberapa pohon dan tanaman yang beliau rawat membuat suasana rumah tersebut menjadi teduh.

Pada Sabtu itu, belum genap sebulan saya berada di Semarang, tempat perantauan saya yang baru usai dari Jakarta. Saya masih ingat saat itu adalah masa yang berat dalam fase hidup saya, baik secara ekonomi, karier, sosial, dan lain-lain. Di antara rasa hidup-enggan-mati-tak-mau, Tuhan memang Maha Baik memberi saya kejutan dengan mengikuti Kelas Prie GS secara privat gratis. Padahal, Kelas Prie GS kondang mahalnya dan ditujukan pada kalangan menengah ke atas dan leader. Sesi kelas sehari dari pagi sampai sore sebesar 2,5 juta, dan kelas itu kelas terakhir yang berharga 2,5 juta karena harga akan dinaikkan menjadi 5 juta. Dari Pak Prie saya belajar bukan harga poinnya, tapi “kedaulatan diri”. Orang yang sudah berdaulat secara diri bisa bebas matok harga berapa saja. Untuk bisa berdaulat secara diri butuh tirakat yang berat dan panjang.

Dari Pak Prie saya belajar bukan harga poinnya, tapi “kedaulatan diri”. Orang yang sudah berdaulat secara diri bisa bebas matok harga berapa saja. Untuk bisa berdaulat secara diri butuh tirakat yang berat dan panjang.

Kesempatan mengikuti kelas itu tentu semacam rejeki nomplok—mungkin berkat orang baik yang mendoakan saya. Kesempatan itu datang secara tak sengaja ketika saya meliput acara milad radio Sonora FM Semarang yang mengundang Pak Prie sebagai pembicara. Salah satu radio bersejarah Semarang di mana Pak Prie pernah menjadi bagian di dalamnya, entah sebagai penyiar atau pengisi acara. Dalam sesi diskusi dengan Pak Prie tersebut saya duduk paling depan. Di sesi akhir diskusi Pak Prie membuat kuis yang berhadiah satu tiket gratis Kelas Prie GS dengan syarat mengirim tulisan ketertarikan mengikuti acara tersebut ke nomor anak pertama beliau, Mbak Suha Ais.

Usai diskusi, sebagai jurnalis media milenial Semarang waktu itu, saya sempat melakukan wawancara sebentar dengan Pak Prie. Kesan yang saya dapat, Pak Prie seperti bisa membaca saya, dari asal, latar belakang, hingga karakter saya. Itu saya rasakan karena informasi yang beliau katakan terkait saya benar, padahal saya tak banyak bicara, apalagi tentang diri saya. Saya sampai sempat curhat dan tanya ke kawan saya yang mengidolakan Pak Prie, “kok wonge iso ngerti yo?” Tak memusingkan pertanyaan itu, pada malam harinya saya langsung mengikuti kuis tersebut, saya merasa kuis itu seperti serupa panggilan untuk saya. Saya pun mengirim tulisan, dan tak selang beberapa lama dibalas cepat oleh Mbak Suha jika saya diterima mengikuti Kelas Prie GS. Senang.

Kelas Prie GS

Pada pagi itu psikologi saya masih tidak baik-baik saja. Saya datang dengan tubuh yang ndredeg. Namun ketika melihat Pak Prie, saat itu beliau mengenakan peci hitam, kemeja putih, dan sarung hitam bermotif menyapa saya di gazebo berserta satu peserta lain bernama Pak Yudiana (bekerja di bidang perbankan) saya jadi semangat. Kami masih menunggu satu peserta lain dari luar kota, seorang bapak pengusaha rumah makan, seingat saya bernama Mas Wawan.

Sembari menunggu, sambil ngobrol santai Pak Prie bermain dengan burung peliharaan dan memetik gitar. Sebenarnya tak ada kurikulum pasti dalam Kelas ini. Kurikulumnya suka-suka Pak Prie. Setelah semua peserta datang, Pak Prie pun memulai kelasnya dengan interaktif dan banyak bertanya. Terlebih tentang hal-hal dekat: “Apa yang begitu kami kagumi dan syukuri? Produk apa yang ingin kami hasilkan?”

Saya pun merefleksikan diri saya lagi, terkait apa yang saya kagumi dan syukuri. Saya menulisnya dalam sebuah daftar, saya juga menulis produk apa saja yang ingin saya hasilkan dari apa yang saya kagumi dan syukuri tersebut. Pak Prie kemudian membacanya, saya dengan perasaan tak percaya diri mendengar suara beliau. Pak Prie bilang apa yang saya tulis belum pada tahap maksimal dari apa yang sebenarnya saya bisa (underachiever). Mata Pak Prie seolah ingin bilang, “Ayo Is, kamu bisa lebih dari ini. Habis ikut Kelas Prie GS, gak boleh jadi biasa-biasa saja. Harus jadi orang bermanfaat.” Ya, saya masih ingat Pak Prie memanggil saya Is. Beliau mendorong saya lagi untuk memikirkan pertanyaan tersebut hingga saya menulis target itu untuk bisa saya raih setidaknya setahun ke depan. Apa yang saya tulis berkaitan dengan mimpi saya di bidang akademia dan menjadi scholar.

Mata Pak Prie seolah ingin bilang, “Ayo Is, kamu bisa lebih dari ini. Habis ikut Kelas Prie GS, gak boleh jadi biasa-biasa saja. Harus jadi orang bermanfaat.” Ya, saya masih ingat Pak Prie memanggil saya Is. Beliau mendorong saya lagi untuk memikirkan pertanyaan tersebut hingga saya menulis target itu untuk bisa saya raih setidaknya setahun ke depan.

Kelas itu begitu tak terasa, matahari sudah tepat di ubun-ubun waktu untuk sholat dzuhur dan makan siang. Perjamuan makan siang itu begitu istimewa. Kami diajak ke ruang utama rumah beliau yang berisi buku-buku dan perabotan-perabotan seni. Di tengah ruangan secara lesehan telah terhidang aneka makanan yang dimasak langsung oleh istri Pak Prie, Bu Sri Murdiastuti yang awet muda. Makan siang handmade dan tidak didatangkan dari orderan fast food ini memang sengaja. Beliau tak ingin memesan masakan jadi karena tak ingin menghilangkan rasa kekeluargaan antara beliau sekeluarga dan peserta. Masakan dan menu yang disajikan siang itu begitu sedap khas Semarangan, bermacam-macam, dan bergizi. Saya seperti merasa ada di rumah keluarga sendiri. Kami makan bersama-sama, moment makan siang yang tak akan pernah saya lupakan seumur hidup.

Usai ishoma, kami pun melanjutkan kelas. Kelas berpindah tempat di area pendopo. Pendopo ini sebelum pandemi Covid-19 dijadikan sebagai tempat pengajian dan kajian rutin. Di pendopo kami diajak refleksi ulang terkait tiga hal: (1) orang yang membuatmu paling sabar, (2) orang yang membuatmu paling dikasihi, (3) orang yang membuatmu paling bersyukur. Pak Prie meminta agar jawaban untuk tiga pertanyaan itu disimpan dalam hati. Pak Prie kemudian berkata: “Ingat terus tentang mereka, dan apapun di luar sana tak akan ada apa-apanya.” Di situ saya sadar, Pak Prie mencoba mendekatkan kami pada hal yang paling dekat, yakni keluarga. Sebab kelembutan yang paling susah adalah kelembutan dengan orang dekat.

Beliau juga mengingatkan kami untuk mendoakan hal-hal yang dekat. “Doakan rumah, doakan kamar, doa itu penting. Ubah kamarmu menjadi ruang produktifmu,” tuturnya. Dengan kata lain, Pak Prie meminta kami untuk mempedulikan lingkungan kami dan bagaimana mengubahnya menjadi lebih produktif. Kami masing-masing peserta juga saling sharing pengalaman. Hal yang masih saya ingat, Pak Yudiana juga berpesan pada saya: “Kamu ingin jadi siapa? Lakukan persis seperti dia, even gaya bicaranya, kewajiban-kewajibannya. Dua tingkat di atas kita masih bisa kita raba.”

Kelas berakhir sekitar Ashar, keterharuan saya terjadi lagi saat pulang. Melalui asisten dan muridnya bernama Mbak Yuli Ernawati, saya dikasih sangu untuk pulang. Sangu yang cukup untuk saya pulang naik ojol dan makan-minum enak sekali duduk. Saya pun kembali bertanya, kenapa Pak Prie tahu jika saya sedang kesulitan? Kepekaan macam apa yang dia punya? Yang weruh sak durunge winarah. Jika beliau tak pernah merasakan pengalaman macam tersebut, saya kira sulit mendapat kepekaan semacam itu. Terlebih cara Pak Prie membantu saya sungguh sangat halus dan baik.

Kabar Lelayu

Saya juga ingin bercerita sedikit tentang Mbak Yuli, murid Pak Prie yang tawadhu dan banyak membantu Kelas Prie GS. Dari Mbak Yuli, saya sangat suka mendengar cerita-cerita perjuangan hidupnya dan semangatnya dalam mencari ilmu. Pun cerita terkait perjuangannya hingga bisa ikut Kelas Prie GS. Bagi Mbak Yuli, Pak Prie adalah guru yang membentuknya sejak remaja. Tulisan, karya, dan nasehat dari Pak Prie telah memberi semangat pada Mbak Yuli pada masa berat di hidupnya. Kami berdua sama-sama sangat sedih saat kematian Pak Prie tersiar. Kabar yang begitu mendadak, sangat mendadak.

Jumat, 12 Februari 2021, saat kabar itu datang, saya tengah berada di Bojonegoro, usai melakukan penelitian antropologi di Blitar dan Trenggalek. Di bumi Angling Dharma ini saya berencana melakukan wawancara pada narasumber penelitian sekaligus nyekar ke makam kakek, nenek, dan saudara saya—Bojonegoro menjadi tempat ayah saya berasal. Usai saya nyekar makam Mbah Kung dan Mbah Yi di daerah  Lideran (Ridder), saya mendapat kabar duka itu dari status WA mantan redaktur saya yang tinggal di Semarang. Dia menulis, “Sugeng tindak, Ipung!” Lalu disusul status kawan lain yang mengidolakan tulisan Pak Prie dan status Mbak Yuli, “Sugeng tindak Pak Prie. Panjengenan piyantun sae.” Seperti tak percaya, saya membalas status WA Mbak Yuli: “Mbak, bener kah ini kabarnya? Bapak sakit apa atau kenapa?” (dengan emoticon menangis). Mbak Yuli pun membalasnya dengan foto yang berisi pemberitahuan kematian Bapak.

Saya kemudian membaca berita daring, benar, penulis, wartawan, karikaturis, budayawan Prie GS meninggal di RS Colombia Asia. Disebabkan karena serangan jantung sekitar pukul setengah tujuh pagi pada usia 56 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di TPU Bergota 2 Kalipancur, Ngaliyan, Semarang. Akhir-akhir ini, Pak Prie saya perhatikan memang aktif membuat tayangan Youtube, khususnya Humor Sufi bersama Candra Malik.

Di konteks tertentu, sulit mencari pengganti semacam Pak Prie GS di Semarang, saat orang-orang sekaliber dia padha pindah ke kota-kota besar, Pak Prie masih berkomitmen dan mensetiai Semarang. Pak Prie sedo di hari baik, diambil ruhnya dengan mudah, mungkin surga tak terkunci untuk orang seperti penjenengan, dan semoga cita-cita panjenengan bertemu dengan Sang Maha Cinta terkabul.

Daulat Diri, Daulat Karya

Jika ada yang berpendapat Pak Prie merupakan sufi modern dengan maqom tertentu saya sepakat. Selain memiliki sensibilitas yang tinggi akan keadaan orang yang dia temui, beliau bisa menjadikan hal remeh, menjijikkan, kotor, dan bau seperti tai ayam menjadi tafsir dan filsafat kehidupan yang patut direnungkan. Bahkan baginya membersihkan WC sekalipun termasuk pekerjaan suci.

Ilmu magic-nya ialah membuat hal yang remeh jadi tak remeh lagi. Yang tak adigang, adigung, adiguna, bahwa latar belakang, materi, dan fisik tak jadi soal. Terpenting adalah komitmen, sikap, dan tindakan. Sosok yang bisa santai dan guyon dengan siapa saja. Dari sosok beliau yang ramah senyum dan sering tertawa, saya belajar pula bagaimana menertawakan diri sendiri, penderitaan, dan kehidupan.

Puncak karier adalah komitmen juga menjadi nasehat Pak Prie. Sehari sebelum saya mengikuti Kelas Prie GS, tepatnya saat diskusi milad Sonora FM, Pak Prie bercerita terkait kedaulatan diri akan profesi, khususnya sebagai seorang penulis buku. Jika ada buku seorang penulis yang tidak laku, pasti ada faktor yang hilang (missing).

Beliau sama sekali tidak rela kalau buku-bukunya di toko buku dijual seharga limang ewuan (5.000-an) dan diobral murah seolah tak laku. Pak Prie kemudian mengambil sikap dengan menerbitkan bukunya sendiri, bukan karena dia ingin menolak penerbit, tapi sebaliknya membantu toko buku agar bisa mengakomodasi buku-bukunya.

Faktor yang missing adalah segmentasi pembaca. Menurut Pak Prie para pembaca bukunya adalah para pemimpin yang tak punya waktu dan tak sempat ke toko buku. Ataupun kalau ke toko buku waktu tak tepat karena buku telah diretur. Dari hasil menerbitkan sendiri, keuntungan yang dia dapat bisa untuk biaya umroh sekeluarga. Dibandingkan dengan royalti dari penerbit mainstream yang cuma cukup belanja istri sebulan.

“Ternyata ada fakta bahwa toko buku kadang-kadang kelelahan merawat buku karena nggak laku … Kadang malah didiskon limang ewu. Hina men toh. Aku nulis koyo nggawe anak’e … Penerbit jual lima ribu, tak borong di seluruh gudang. Tak dol 65 ribu, habis. Rejeki kedaulatan itu bukan kalkulasi dagang. Kamu tak tega dengan kekeramatanmu,” ujarnya saat itu, dan saya catat dengan baik.

Menariknya pula, Pak Prie tak mau memberikan bukunya secara gratis. Baginya ilmu adalah hasil dari jerih payah, begitu juga dengan Kelas Prie GS yang disugestikan mahal. Ilmu menjadi bagian dari kemartabatan, bagi Pak Prie “ilmu kudhu kemringet.” Pak Prie sadar jika manusia lemah di hadapan dua hal: hadiah dan harga murah. Murah tidak selalu soal hemat, tapi juga budaya. Agar dibayar mahal, seseorang harus berani ngempet untuk berkata tidak jika dihargai murah.

Saya juga belajar dari Pak Prie, produk terbaik dari manusia adalah dirinya sendiri. Sehingga Pak Prie mendorong untuk merawat diri secara baik-baik dengan menggali nilai kita sendiri untuk dikomunikasikan ke banyak orang agar kebermanfaatan tercapai.

Saya juga belajar dari Pak Prie, produk terbaik dari manusia adalah dirinya sendiri. Sehingga Pak Prie mendorong untuk merawat diri secara baik-baik dengan menggali nilai kita sendiri untuk dikomunikasikan ke banyak orang agar kebermanfaatan tercapai. Pak Prie pernah ngendikan, “Sesederhana apapun yang Anda kumpulkan, Anda rawat, ia akan dicatat oleh Alam Semesta sebagai bagian dari kesungguhan Anda terhadap hidup.”

Beliau juga orang yang realistis pada hidup dan bekerja sesuai dengan kodrat alam, sebagaimana wejangannya, “Memang penting membuat perencanaan, kalau Anda hidup dalam kultur yang terencana, itu lebih baik. Tapi kalau Anda dibentuk oleh alam, tumbuh sebagai otodidak, bergembira saja dengan seluruh proses, nanti alam akan membantu Anda untuk menuju fokus. Percaya saja hukum ini. Ada energi abstrak, nyaris gaib, yang mengawal Anda. Baca saja hingga Anda kekenyangan dan muntah kalau perlu.” Barangkali ini jadi strateginya dalam menggebuk hidup ketika keras, dan membentuknya ketika lunak.

Jogja, 12-13 Februari 2021

1608

Isma Swastiningrum

Isma Swastiningrum, lahir di Blora dan lulusan Fisika UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Suka ngadem di Gua Maria Dewi Sartika dan penikmat arsitektur kelenteng-kelenteng di Pecinan Semarang.

Comments are closed.