Jumat (27/5) langit Yogyakarta tidak seperti biasanya. Begitu remang dan sendu. Hujan yang tak kunjung turun, dan kiranya hari itu tepat disebut mendung tanpo udan seperti judul sebuah lagu yang viral beberapa waktu yang lalu. Kondisi alam yang berbeda tersebut, bagi orang yang waskita, dengan laku olah rasanya, pasti menerka apa yang sedang atau akan terjadi. Orang Jawa mengenal yang namanya sasmita (tanda-tanda akan munculnya kejadian dari sebuah peristiwa). Biasanya sasmita ini merujuk pada kondisi alam tertentu.
Pagi menjelang shalat Jumat, sekitar pukul 10.15 tersiar kabar yang hampir tidak ada keraguan lagi, datang dari sebuah akun twiter seorang tokoh ketua Muhammadiyah Pak Haidar Nasir. Ia menyatakan dalam unggahanya tersebut bahwa sang guru bangsa, mantan ketua Muhammadiyah (1998-2005) Buya Syafii Maarif berpulang kepangkuan Allah SWT. Kabar tersebut, laksana petir menyambar begitu saja dalam kesadaran.Tidak menduga secepat itu. Di hari yang mulia, disertai tanda-tanda alam itu, ternyata memberi isyarat akan perginya sang begawan dan cendekiawan bangsa Indonesia kelahiran Minang itu.
Saya meyakini, bahwa alam pun akan ikut berduka, ketika ada seorang dengan kemurnian jiwanya, merawat sendi-sendi kemanusiaan agar manusia tidak brutal, membabi buta merusak alam akan berpulang. Kiranya kepergian Buya Syafii Maarif, merupakan tokoh yang patut ditangisi oleh alam. Karena apa yang ia ajarkan melalui pemikirannya dan keteladanan laku hidupnya, disadari atau tidak sebagai penyeimbang, di tengah banyak orang kehilangan pegangan.
Kiranya kepergian Buya Syafii Maarif, merupakan tokoh yang patut ditangisi oleh alam. Karena apa yang ia ajarkan melalui pemikirannya dan keteladanan laku hidupnya, disadari atau tidak sebagai penyeimbang, di tengah banyak orang kehilangan pegangan.
Saya mengenal nama Syafii Maarif, tentu bukan karena saya pernah bersinggungan. Tapi dalam sebuah artikel yang ditulis Gus Dur dalam majalah Tempo yang berjudul Tiga Pendekar dari Chicago (1985). Artikel tersebut begitu melekat di ingatan saya. Dalam artikel tersebut Gus Dur dengan baik menggambarkan kemudian memperbandingkan tiga tokoh Nurcholish Madjid, Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif sebagai mahasiswa study Islam lulusan kampus kenamaan Amerika University of Chicago. Menurut Gus Dur, corak pemikiran Buya Syafii Maarif lebih dekat dengan pemikiran Nurcholish Madjid di bandingkan Amien Rais. Ia melihat bahwa antara Syafii Maarif dan Nurcholish Madjid mempunyai kecenderungan yang sama dalam melihat Islam yang lebih mengutamakan aspek kultural. Mereka selalu menekankan untuk mencari persamaan di antara semua agama dan kebudayaan. Sikap memisahkan diri dari universalitas perbedaan manusia, akan hanya menyempitkan Islam itu sendiri. Dari hal itu, terlihat bahwa keduanya tidak begitu risau dengan aspek kekhasan Islam sebagai sebuah sistem seperti gagasan Amien Rais dengan semboyannya yang terkenal yaitu “cara hidup Islami.”
Artikel tersebut terus membuat saya penasaran pada pemikiran Buya Syafii Maarif. Jujur, saya tidak intens mengikuti pemikirannya melalui karya-karya bukunya. Paling tidak, sebagai pelanggan koran Kompas saya cukup mengikuti tulisan-tulisan beliau di rubrik opini Kompas. Salah satu tulisan yang menurut saya menarik adalah–– atau jangan-jangan tulisan ini, karena berhubungan identitas kultural saya–– Pesan Untuk Muhammadiyah dan NU (Opini; Kompas). Dalam opini ini, Buya seperti mempunyai harapan untuk kedua organisasi Islam terbesar di Indonesia ini, agar NU dan Muhammadiyah yang mewakili arus utama Islam Indonesia semakin menancapkan jangkarnya di samudra Nusantara sedalam-dalamnya. “Bahwa generasi baru dari kedua organisasi ini harus berpikir besar dan strategis, untuk menjaga dan mengawal kepentingan keindonesiaan yang kadang-kadang masih terasa goyah” Ungkap buya dalam tulisannya.
Dari artikel tersebut, saya juga melihat harapan buya kepada kedua organisasi ini untuk saling bahu membahu, mengembangkan sikap yang lebih dewasa dan terukur, dalam menghadapi isu-isu semasa yang kadang-kadang dapat mengundang salah paham yang tidak perlu. Tampak sekali beliau begitu prihatin, jika kedua gerbong keorganisasian Islam ini tidak satu padu dalam upaya memajukan kehidupan beragama di Indonesia. Maka tidak salah jika dikatakan bahwa, Buya adalah jembatan atau juga tali ikat yang selalu mencoba menyatukan kedua organisasi ini dalam satu visi besar yang sama. Yaitu menjadi cerminan Islam yang memberi rahmat kepada setiap manusia.
Soal pemikiran dan gagasan buya tentu lebih besar dan kompleks dari apa yang saya tuliskan di atas. Tulisan Yudi Latif dengan judul Guru Bangsa Berpulang (kompas: 28/05/), mungkin lebih bisa menggambarkan pemikiran beliau tentang keIndonesiaan.
Namun terlepas gagasan-gagasan besar Buya Syafii Maarif, poin penting yang patut kita contoh adalah sikap keteguhan beliau memegang nilai-nilai kebenaran dan keadilan yang ia perjuangkan hingga akhir hayatnya. Beliau dikenal tidak gentar sedikitpun dengan cacian dan makian dari orang yang tidak sepaham dengannya. Dengan terus melangkah, disertai ketulusan dan kemurnian niat dari berbagai kepentingan, apa yang ia suarakan seperti cahaya, bisa membuat orang tertunduk saat melihat kegigihannya.
Keteladanan hidup sederhana tampaknya juga penting menjadi bahasa beliau untuk menyentil seseorang yang haus dengan kekuasaan. Bagaimana dari berbagai kesaksian banyak orang, laku hidup sederhana layaknya orang kampung tinggal di kabupaten Seleman menjadi magnet tersendiri dari sosok guru bangsa ini. Ia hampir tidak pernah merepotkan orang lain. Di usia senjanya pun ia masih melakukan banyak hal sendiri.
Begitu luas kiranya cakrawala keteladanan yang patut kita contoh dari Buya Syafii Maarif ini. Hingga ketika terdengar kabar berpulangnya. Rasa haru mewarnai langit bangsa ini. Jalinan ucapan duka sambung menyambung memenuhi thumbnail media sosial kita. Mulai dari masyarakat biasa, seniman, agamawan lintas iman, budayawan, hingga aparatur negara dari pemerintah daerah, menteri, hingga presiden tak luput memberi penghormatan kepadanya.
Kini, Buya Syafii Maarif berpulang dengan bahagia, menjemput pertemuan agung dengan sang Maha Pencipta. Dan kita, yang masih diwarnai rasa haru, mempunyai beban sekaligus tantangan untuk melanjutkan perjuangannya.
Selamat jalan buya kami akan selalu mengenangmu..
Leave a Reply